Cari

Merusak Budaya Jawa akan Mati Saling Bunuh? | Hukum Karma?

Ilustrasi: sebelumtidur.com

[Historiana] - Perjalanan bangsa ini telah kenyang makan asam garam kehidupan. Pengabdian, perjuangan, pengharapan. Sejarah Jawa "History of java ala Historiana" adalah mencoba memahami lebih mendalam tentang masa lalu bangsa, khususnya di pulau jawa dari sisi spiritual.

Becik ketitik ala ketara 
Segala perbuatan baik dan buruk pada akhirnya akan kelihatan juga nantinya.

Judul di atas "merusak budaya jawa akan mati saling bunuh" menjadi bahan renungan penulis. Siapapun dan dengan latar belakang apapun, (baik etnis, bahasa adat, budaya dan agama,) harus berbuat baik (normatif) tidak saling membenci, menghina, merendahkan dan melukai. Bhumi Pertiwi sekan tak rela dan memberikan 'kukuman' atas perilaku itu/

Sebelumnya kita bahas batas budaya jawa yang dimaksud adalah 'budaya cinta kasih - kemanusiaan". Jawa di sini mengacu pulau yang termasuk di dalamnya sejarah Sunda. Budaya jawa sering kita nilai sebagai budaya adlihung. Pokok bahasan tentang menghargai, menghormati dan melindungi hidup dan kehidupan manusia dan alam lingkungan. Jauh dari segala iri, dengki dan kebencian. menjadikan agama sebagai "ageman", yaitu pakaian (bagi suku Jawa) dan "pegangan" (bagi suku Sunda).

Pamali atau tabu ketika mencampuradukan kebaikan dan keburukan. Apalagi membungkus keburukan seolah-olah baik. Becik ketitik ala ketara: Segala perbuatan baik dan buruk pada akhirnya akan kelihatan juga nantinya.

Sejarah mencatat beberapa kali peristiwa yang 'melanggar' kehidupan kerajan zaman lalu dengan mengabaikan hak hidup manusia. Bungkus agama dijadikan motto melakukan pengrusakan bhumi pertiwi. Upaya-uapaya penaklukan dan politik bumi hangus terhadap negara/kerajaan lain tidak mewarisi budaya Jawa. Peperangan sebelumnya hanya menundukan lawan, tanpa melakukan bumi hangus. Perilaku baru manusia Jawa (juga Sunda) telah jauh dari pakem sebelumnya. Inilah barangkali membuat Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa tak berkenan lagi kejayaan Nusantara ditegakan dengan cara-cara seperti itu.

Alasan-alasan ekonomi di masa lalu dibentuk dengan adanya kesepakatan jalinan kerjasama antar kerjaan yang memiliki kepentingan yang sama. Diluar kesepakatan dianggap penentangan dan bisa berujung konflik berupa putusnya kerjasama bahkan sampai peperangan. Namun demikian, sikap saling menghargai sesama kerajaan Nusantara masih ada.

Kisah Hancurnya Pajajaran
Kisah hancurnya Pajajaran sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia, khususnya bagi orang Sunda. Serangan Gabungan kekuatan Kerajaan Islam Cirebon-Demak dan peluluhlantakan Keraton Pajajaran oleh Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Cirebon dan Banten sama-sama keturunan dari Maharaja Sri Baduga atau lebih dikenal Prabu Siliwangi.

Kerajaan Pajajaran hancur, sirna ing bhumi. Peristiwa bumi hangus dan pembunuhan keluarga kerajaan Pajajran menjadi saksi "sakit hati" yang membawa petaka. (Baca juga: Sakit Hati Kesultanan Cirebon Penyebab Penyerangan ke Pakuan Pajajaran? | Subang Larang Sang Istri Siliwangi yang Terbuang), Kisah-kisah agama dibawa-bawa dalam peristiwa penyerangan Cirebon-Demak dan Banten ke Pajajaran. Bahkan kisah Prabu Siliwangi yang "harus" dikejar-kejar Kian Santan, Sang anak Prabu Siliwangi untuk mengIslamkannya. Padahal saat itu, raja Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya prabu Suryakancana.

Lalu Kerajaan Islam Banten dan Cirebon berkuasa di tatar Pasundan.

Karma yang tak pernah Ingkar janji

Kerajaan Islam Banten (Kesultanan)
Miris, ironis dan menjadi bahan renungan saya. Kisah selanjutnya dari raja-raja Kerajaan banten adalah perang rebutan kekuasaan. Bahkan yang paling Ironis adalah Sultan Haji membunuh ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa di kerajaan Banten.

Sumber tulisan berasal dari  “Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten; Sumbangan bagi Pengenalan sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa” yang ditulis Hoesein Djajadiningrat tahun 1983, seperti dikutip dalam Sejarah Kabupaten Tangerang yang disusun Tim Pusat Studi Sunda tahun 2004.

Peristiwa pengkhianatan yang paling terkenal dalam zaman Kesultanan Banten adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Haji kepada ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Konon Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji terhasut VOC untuk menyerang ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. Bukankah "tidak kebetulan". Kerajaan islam Banten sebagai 'anak' Pajajaran sebelumnya juga menyerang ayahnya! Dan lebih parah lagi, Sultan Haji mengikat perjanjian untuk menyerahkan Cirebon kepada VOC. Juga sebelumnya raja-raja Banten saling berebut kekuasan.

Selain peristiwa pengkhianatan Sultan Haji, pengkhianatan yang cukup fenomenal dalam sejarah Kesultanan Banten dilakukan oleh Ratu Fatimah terhadap Sultan Banten Zainul Arifin yang memimpin Banten pada 1733 – 1750. Sultan Banten Zainul Arifin tak lain suami dari Ratu Fatimah sendiri.

Pengkhianatan yang dilakukan Ratu Fatimah kepada suaminya dilatarbelakangi perebutan kekuasaan. Saat itu, Pangeran Gusti, putera Sultan Banten dari isteri yang lain diangkat sebagai putera mahkota.

Ratu Fatimah tak menyetujui pengangkatan itu, karena dia menghendaki Pangeran Syarif Abdullah, menantu dari puterinya yang berasal dari suaminya yang dulu, untuk diangkat sebagai putera mahkota.

Dengan merekayasa Sultan Banten menderita sakit gila, Ratu Fatimah kemudian melaporkan kondisi itu ke Kompeni. Sultan Banten ditangkap, kemudian dibuang ke Ambon. Sebagai gantinya, Syarif Abdullah menjadi Sultan Banten pada tahun 1750.

Seperti halnya pengkhianatan Sultan Haji, pengkhianatan Ratu Fatimah juga telah menyebabkan berkurangnya wilayah kekuasaan Banten karena harus diserahkan kepada Kompeni sebagai balas jasa atau imbalan.

Sultan Haji dan VOC  menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.

Mungkin saat itu, kerajaan banten sudah benar-benar melupakan leluhurnya yaitu Kerajaan Sunda-Pajajaran. banyak pakem yang digunakan kerajaan dalam menghadapi konflik perbutan kekuasaan. Diantaranya penyelesaian secara musyawarah dengan penengah dari seorang agamaran atau pandita dari Kabuyutan/Mandala.

Kerajaan Islam Cirebon (Kesultanan)
Ketika Susuhunan Jati (Syarif Hidayatullah) memproklamirkan Cirebon sebagai Kerajaan Mahardika (merdeka) dari Pajajaran, Prabu Siliwangi penguasa Pajajaran akan menyerang kerajaan Cirebon, Namun penyerangan itu bisa dibatalkan atas nasihat dari Purahita (Pendeta Sunda). Karena adanya pakem "Tri Tangtu" maka Sang Raja Sunda Pajajaran menuruti nasihat itu. Namun, kelak kemudian hari justru Cirebon diserang oleh Kerajaan Cirebon yang notabene adalah keturunan Pajajaran. Saat itu, sudah tidak ada lagi pemuka agama Cirebon yang menasihati agar tidak menyerang leluhurnya. Ironis.

Adanya campur tangan Mataram dan Banten terhadap Kerajaan Islam Cirebon membuat pecahnya kerajaan tersebut menjadi 2 kesultanan yaitu Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman. Selanjutnya pada tahun 1697 Kasepuhan pecah menjadi Kasepuhan dan Kacirebonan, hal ini tidak lain karena adanya campur tangan dari VOC. Kesultanan Kacirebonan hanya bertahan hingga tahun 1723 dan Cirebon kembali menjadi dua kesultanan.

Kondisi berbalik, jika sebelumnya Kerajaan Cirebon membidani kelahiran kerajaan banten, maka para kemunduran Kerajaan Cirebon akibat campur tangannya Banten .

Kerajaan Demak (Kesultanan)
Kerajaan Islam Demak, dipimpin Raden patah sebagai Sultan melakukan penyerangan tehadap Kerjaan Majapahit ayahnya Prabu Brawijaya V. Kisah yang sama dengan penyerangan Banten-Cirebon terhadap Pajajaran.

Suksesi/pergantian kepemimpinan Demak jatuh kepada Dipati Unus. Ia terbunuh dalam pertempuran di Malaka.

Suksesi Raja Demak 3 tidak berlangsung mulus, terjadi Persaingan panas antara P. Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggono), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar) dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya Sekar gugur di Sungai. Pada tahun 1546 Trenggono wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggono, sebagai Raja Demak ke 4, akan tetapi pada tahun 1549 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya Penangsang, putera Pangeran Surowiyoto (Sekar). P. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak sebagai Raja Demak ke 5. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, Adipati Jepara, hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi P. Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo).

Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era Kerajaan Demak. Joko Tingkir (Hadiwijoyo) memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.

Peranan politik yang dilakukan oleh Ratu Kalinuyamat diawali ketika terjadi kemelut di Istana Demak pada pertengahan abad ke-16 yang disebabkan  oleh  perebutan  kekuasaan  sepeninggalan  Sultan Trenggono. Perebutan tahta menimbulkan peperangan berkepanjangan yang berakhir dengan kehancuran kerajaan.

Perebutan  kekuasaan  terjadi  antara keturunan Pangeran Sekar  dengan  Pangeran Trenggono. Kedua Pangeran ini memang berhak menduduki tahta Kesultanan Demak. Dari segi usia, Pangeran Sekar lebih tua sehingga merasa lebih berhak atas tahta Kesultanan Demak daripada Pangeran Trenggono. Namun Pangeran Sekar lahir dari istri ke tiga Raden Fatah, yaitu putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggono lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel, oleh karena itu Pengeran Trenggono merasa lebih berhak menduduki tahta Kesultanan Demak.

Pangeran Prawata, putra Pangeran Trenggono, membunuh Pangeran Sekar yang dianggap sebagai penghalang bagi Pangeran Trenggono untuk mewarisi tahta Kesultanan  Demak.  Pembunuhan terjadi di sebuah jembatan sungai saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari shalat Jum’at. Oleh karena itu, ia dikenal dengan nama Pangeran Sekar Seda Lepen.

Menurut tradisi lisan di daerah Demak, pembunuhan itu terjadi di tepi sungai Tuntang, sedang menurut tradisi Blora, Pangeran Sekar dibunuh didekat sungai  Gelis.

Pembunuhan ini menjadi pangkal peresengketaan di Kerajaan Demak. Arya Penangsang, putra Pangeran Sekar berusaha menuntut balas atas  kematian ayahnya, sehingga ia berusaha untuk menumpas keturunan Sultan Trenggono. Apalagi ia mendapat dukungan secara penuh dari gurunya Sunan Kudus.

Bagi lawan-lawan politiknya, Arya Penangsang dituduh telah banyak melakukan kejahatan dan pembunuhan terhadap keturunan  Sultan Trenggono. Ia menyuruh Rangkut untuk membunuh Sultan Prawata. Sultan Prawata terbunuh bersama Permaisurinya pada tahun 1549. Ia kemudian membunuh Pangeran Hadirin, suami Ratu Kalinyamat.

Pangeran Hadirin berhasil dibunuh oleh pengikut Arya Penangsang dalam perjalanan pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya dalam rangka  memohon  keadilan dari Sunan Kudus atas dibunuhnya Sultan Prawata oleh Arya Penangsang. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia memihak Arya  Penangsang.

Menurut Sunan Kudus, Sultan Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Penangsang yang harus dibayar dengan nyawanya. Arya Penangsang juga mencoba membunuh Adipati Pajang  Hadi Wijaya, menantu Sultan Trenggono.

Kematian Sultan Prawata dan Pangeran Hadirin tampaknya membuat selangkah lagi bagi Arya Penangsang untuk menduduki Tahta  Demak. Meskipun pembunuhan terhadap  Sultan  Prawata  dan  Pangeran  Hadirin  telah berjalan  mulus,  namun  Sunan  Kudus  merasa  belum  puas  apabila Arya Penangsang belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu Hadi Wijaya.

Atas nasehat Sunan Kudus, Arya Penangsang berencana membunuh Hadi Wijaya, namun  mengalami  kegagalan. Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan Pajang.

Rangkaian  peristiwa  pembunuhan  para  kerabat  raja  Demak  hingga perang  antara  Pajang  melawan Jipang  itu  dalam  sumber  tradisi  terjadi  pada tahun 1549. Hal itu merupakan anti klimaks dari sejarah Dinasti Demak.

_______________________________
Mengutip pernyataan Gus Muwafik "Tanah Jawa ini tanah keramat, maka berhati-hatilah". Jawa dikenal keramat, angker atau suwung. Bahkan kisah Syekh Subakir sang penumbal pulau Jawa juga dilatarbelakangi kekeramatan Pulau Jawa ini.

Benarkah Sang Bhmi Pertiwi marah terhadap manusia yang saling menumpahkan darah? Mungkinkah kejadian yang diterima pelaku pengrusakan nilai kemanusiaan menerima karmanya?

Wallahualam

Referensi

  1. "Peristiwa Pengkhianatan Ratu Fatimah di Kesultanan Banten" oleh Darussalam J.S 2013 bantenhits.com diakses 11 Juni 2018
  2. "Perjanjian ini jadi awal mula pengkhianatan Sultan Haji Banten" Merdeka.com diakses 11 Juni 2018
  3. Rosita, Heni. 2015. "Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1677-1752". Yogyakarta: UNY
  4. Muljana, Selamet. 2005. "Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Hindu Jawa dan T imbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara". Yogyakarta: Lksi. hlm. 242-245
  5. Sudibjo Z. H. 1980. "Babat Tanah Jawi". Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,i, t. p. hlm.65-81.
  6. Dee Graft, DR. H.J. 1986. "Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan Dari Majapahit ke Mataram. Terj." Jakarta: Grafitipers dan KITLV. hlm. 91
Baca Juga

Sponsor