Penangkap petir Ilustrasi: youtube-Antony Garcia |
Syahdan, ada orang-orang mulia (waliyullah) yang menguasai ilmu menangkap petir ini (Bahasa Jawa: bledheg). Dikatakan, ketika zaman pemerintahan wali songo dulu, Ki Ageng Selo dan Syeikh Siti Jenar adalah dantara yang mempunyai kesaktian ilmu yang sangat tinggi. Dikatakan juga beliau-beliau menggunakan kesaktian ilmu untuk mengislamkan orang-orang di Jawa pada waktu itu.
Ki Ageng Selo
Ki Ageng Selo–atau sering juga disebut dengan Syaikh Abdurrahman–adalah salah seorang tokoh penyebar Islam di tanah Jawa. Beliau masih memiliki garis keturunan dengan raja terakhir Majapahit (Brawijaya VII) dan juga merupakan ‘cikal bakal’ raja-raja Mataram Islam (Panembahan Senopati–raja pertama Mataram Islam–adalah salah satu cicit Ki Ageng Selo).
Meskipun darah bangsawan mengalir dalam diri Ki Ageng Selo, beliau lebih memilih untuk hidup sederhana sebagai seorang petani–di samping sebagai seorang panutan bagi lingkungannya sebagai seorang pemuka agama–. Selain itu, Ki Ageng Selo juga dikenal memiliki ‘kesaktian’ luar biasa. Salah satu ‘kesaktian’ Ki Ageng Selo adalah bahwa beliau mampu menangkap petir (bledeg, bahasa Jawa) sehingga Ki Ageng Selo juga dikenal sebagai ‘sang Penakluk Petir’.
Dikisahkan suatu hari, Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawahnya yang terbentang luas. Namun mendadak, hari yang cerah tersebut tiba-tiba berubah mendung. Dan dalam waktu singkat, datanglah bunyi petir yang menggelegar. Semakin lama petir itu seolah bertambah mendekat, bahkan menyambar-nyambar di atas kepalanya yang hanya berpenutup caping.
Sebagai murid Sunan Kalijaga, sudah berulang kali Ki Ageng Selo mengucap “Subhanallah”, agar petir yang menyambar itu berhenti. Namun petir tersebut tetap menggelegar, bahkan ketika hujan sudah turun dengan derasnya. Hingga ketika petir itu hendak menyambar kepalanya lagi, Ki Ageng Selo dengan sigap kemudian menangkapnya. Dan terjadilah perkelahian hebat di tangah sawah dalam guyuran hujan. Hingga akhirnya petir dapat dikalahkan, dan kemudian diikatkan pada sebatang pohon gandri, di pinggiran persawahan.
Dan sepertinya, kepercayaan itu masih berkembang hingga sekarang. Ketika menyebut nama Ki Ageng Selo, maka yang teringat dalam benak orang Jawa, adalah sosok sakti yang mampu menangkap petir.
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar atau dijebut Syekh Lemah Abang adalah
Pada suatu hari, datanglah seorang mengolok-olok seraya menantang Syeikh Siti Jenar untuk mendatangkan petir. Syeikh Siti Jenar menyambut tantangan itu. Dan seperti menghidupkan api pada gas, Syeikh Siti Jenar dengan mudah mendatangkan petir. Bukan itu saja, Syeikh Siti Jenar juga menangkap petir itu lalu menunjukkan kepada orang yang mengolok-olok itu. Petir itu kemudian dilemparkan ke sebatang pohon lalu pohon itu terbakar.
Orang yang melihat kejadian itu terus terdiam, terpana terbata kerana kagun dengan kehebatan Syeikh Siti Jenar. Mereka juga dikatakan memeluk islam selepas menyaksikan kejadian itu. Sebenarnya, terdapat banyak lagi cerita mengenai Syeikh Siti Jenar dan kesaktiannya.
Menangkap Petir sebagai Metafora
Kisah terkenal dicatat dalam karya-karya sastra nusantara, dianataranya Babad Tanah Jawa. Sebagai karya sastra, sudah umum jika banyak penggunakan bahasa-bahasa kiasan (sloka). Penggunakan kata-kata metafora perlu disimak dengan seksama.
Di sinilah uniknya bahasa sastra. Selalu setiap kata perlu kita curigai memiliki pesan tersirat.Analisinya adalah upaya menyembunyikan pesan karena maksud tertentu. Bisa berupa maksud penghormatan karena pamali atau tabu menceritakannya, karena ketakutan karena ancaman jika menjelaskan secara langsung (karena tekanan politik, agama, dan lain-lain).
Kisah–sebagaimana sebuah teks–merupakan sebuah buku terbuka yang dihamparkan di hadapan kita. Kita bisa membacanya secara tekstual maupun secara metaforis. Seperti pada cerita di atas, ketika kita membaca kisah tersebut secara tekstual maka yang kita dapatkan adalah sebuah cerita luar biasa tentang kesaktian seorang tokoh di masa lalu (untuk tidak mengatakannya sebagai sebuah kisah yang dilebih-lebihkan), namun ketika kita mencoba membaca kisah tersebut sebagai sebuah metafora, maka mungkin kita akan mendapat hikmat dan belajar lebih banyak dari kisah tersebut.
Analisisnya bahwa, Ki Ageng Selo (murid Sunan Kalijaga, baca pengikut Sunan kalijaga) dan Syekh Siti Jenar saat itu menjadi perhatian penguasa Demak. Disaat penaklukan Majapahit -hingga runtuhnya Majapahit, Sunan Kalijaga dan Siti Jenar tidak terlibat dalam "Penghancuran" Majapahit. Selanjutnya Ki Ageng Selo (pengikut Sunan Kalijaga ) dan Siti Jenar lebih hati-hati dalam berperilaku setiap hari bahkan dalam mendakwahkan ajaran Islam. Kehati-hatian ini bukan karena gangguan umat non-Muslim, tetapi justru dari Demak yang Muslim. Penyebabnya adalah Politik Strategis.
Fakta ketidakterlibatannya dalam penghancuran Majapahit, Sunan Kalijaga diutus Raden Patah untuk "me-lobby" Prabu Brawijaya dalam pelariannya di Blambangan, sesaat sebelum menyeberang ke Bali. Baca di "Dibalik Runtuhnya Kerajaan Majapahit (Hidden Story)"
Ki Ageng Selo (Juga Sunan Kalijaga) dan Siti Jenar menjadi perhatian banyak orang. Sering terngar suara-suara sumbang (desas-desus) terhadap mereka. Sebagian penutur sejarah menerangkan bahwa desas-desus muncul dari kalngan Hindu-Budha terhadap ajarannya. Sementara pendapat ahli lain justru menjelaskan bahwa desas-desus itu datang dari kalangan Muslim sendiri yang berbeda pandangan dengan Ki Ageng Selo dan Siti Jenar. Ajaran tasawuf yang dianggap bersebrangan dengan pusat kekuasan Demak, kemudian memunculkan stigma negatif.
Ketika Ki Ageng Selo sedang mengolah sawahnya, tiba-tiba petir menyambar. Petir adalah suara menggelegar yang biasanya muncul saat mendung. Suara menggelegar ini –secara fisika, muncul akibat gesekan dua awan yang memiliki massa berbeda sehingga menimbulkan percikan listrik (berbentuk kilat) dan suara menggelegar yang kadang memekakkan telinga. Apa artinya ini?
Ketika perjalanan dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Selo mulai berjalan baik dan sesuai harapan, tiba-tiba muncul suara-suara yang memekakan dan menyakitkan telinga, muncul fitnah-fitnah yang jika tidak berhati-hati dalam mensikapinya bisa membunuh dan menghancurkan dakwah yang telah dilaksanakan (dalam kisah yang lain Ki Ageng Selo pernah melakukan ‘penyerangan’ ke Demak akibat terpancing emosi dari orang-orang yang sengaja ingin mengadu domba Selo dan Demak).
Suara yang paling memekakan telinga tentu suara "petir" paling keras. petir datang dari "atas", yaitu penguasa Kerajaan, saat itu Kerajaan Demak yang paling berkuasa dan baru saja menumbangkan Kerajaan majapahit.
Namun Ki Ageng Selo mampu menghindar dan kemudian menangkap petir. Akhirnya Ki Ageng Selo mampu menaklukkan suara-suara sumbang dan fitnah yang menerpa beliau dengan kelembutan dan tindakan-tindakan.
Akhir yang berbeda dengan Syekh Siti Jenar. Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Konon ada kisah bahwa Sunan Giri adalah guru Syekh Siti Jenar, namun berbeda pendapat soal cara mengIslamkan Majapahit, Siti jenar mundur dan selanjutnya sering kena fitnah dengan menyebutnya penyebar alisan sesat. Siti Jenar (juga Sunan kalijaga, guru Ki Ageng Selo) menginginkan cara-cara halus dan damai dalam meng-Islamkan Jawa (baca: mengIslamkan Majapahit) bukan melalui penaklukan (baca: penyerangan militer). Pandangan ini disebut Islam Abangan, "kaum Merah" yang berbeda dengan kelompok sunan-sunan pengusung kekuasaan kerajaan Demak sebagai "kaum Putih". Sebagai "kaum Merah-Islam Abangan", kalijaga memilih menggunakan pakaian hitam, yang membedakan dengan Sunan-sunan lain yang terlihat "Asing" ke-Arab-araban.
Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah peristiwa tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Terkenal dengan tuduhan sesatnya pada konsepsi Manunggaling Kawula Gusti. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. (Akan saya buat catatan tersendiri tentang beliau).
Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Akhirnya sidang para wali yang diketuai oleh Sunan Giri selaku Mufti tanah jawa memutuskan hukuman mati bagi Siti Jenar. Tetapi para wali cukup bijak. Siti Jenar diberi waktu setahun untuk merenung dan bertobat. Siapa tahu dalam waktu 1 tahun itu dia akan menyadari kesalahannya.
Konon ada kisah:
Selama 1 tahun sunan Kalijaga mendapat tugas mengawasi gerak gerik Siti Jenar. Ternyata Siti Jenar tidak berubah. Dia tetap berfaham Wihdatul Wujud atau manunggaling Kawula Gusti. Persatuan hamba dengan Tuhannya. Maka setelah lewat 1 tahun hukuman mati itupun dilaksanakan. Bertindak sebagai pelaksana adalah Sunan Kudus selaku Senopati Waliullah.
Sunan Kalijaga "mengawasi"? bagaimana mungkin, sunan kalijaga bertugas sebagai Iletejen Demak (telik Sandi) dimana keduanya termasuk kaum Merah-Islam Abangan. Sebenarnya Sunan Kalijaga ditugas (dimohon bantuannya) mendekati dan mengajak Syekh Siti Jenar menghadiri undangan (atau surat penangkapan) dari Demak. Sebagaimana tugas yang sama dari Demak kepada kalijaga menjumpai Raja Majapahit yang telah digulingkan Demak, Prabu Brawijaya.
Walaupun Siti Jenar telah mati, tapi murid-murid nya masih banyak. Diantaranya adalah Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Lontang Asmara, dan lain-lain.
Sang Penangkap Petir adalah Kisah Nyata
Karena tetap penasaran, saya terus mencari yang bisa menguatkan keyakinan apakah mungkin ada manusia yang mampu menangkap petir? Bahwa dalam penulisan tentang sosok wali, Saya ingin menafsir ulang kisah-kisah para ulama penyebar Islam tersebut. Keberadaan mereka tidak terlpas dari cerita klenik, mitos, magis, dan mistis.
Kenyataannya, Di Bandung, daerah Cipamokolan, seputaran Riung Bandung Soekarno Hatta, ada seseorang yang terkenal karena "ulahnya" terhadap petir. Sebutnya saja namana "Anti Petir" Ia tukanga ngangon bebek di sawah. Suatu saat, tahun 90-an, ada anak-anak sedang bermain bola. Awan mendung, hujapun deras. Si Anti Petir mnyuruh anak-anak tiarap. tiba-tiba... JEGREGGGG bledhek alias petir menyambar.
Anak-anak sontak menutup kupingnya yang terasa sakit akibat mendengar suara petir. Tiba-tiba... mereka kaget, melongo.. lalu ngakak. Apa yang terjadi? si Anti Petir hampir bugil.. karena bajunya hancur. ternyata dia tersambar petir. Ajaibnya dia masih hidup. Kok bisa? Saya pun tak mengerti. Konon ia punya ilmu mBah Sangkan -Prabu Chakrabuana Cirebon, hingga dia punya kemampuan anti petir. Kejadian dia disambar petir, terlah berulangkali.
Cerita ini juga banyak saya dengar di Jawa, Sumatera dan daerah lainnya.
Kisah yang mirip dengan Ki Ageng Selo dan Siti Jenar. Bedanya dalam kisak ini, dia tidak "menangkap petir" tetapi "Anti petir"
Jangan-jangan kisah Sang penangkap Petir benar adanya? Saya akan bahas dalam tulisan khusus mengenai budaya klenik Jawa Sundaland.