“...boh Prabu Siliwangi boh karajaan Pajajaran nepi ka kiwari henteu aya buktina sacara historis”
(“ ... sampai sekarang kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi tidak ada buktinya secara historis”)
(Rosidi, 2011: 57 dan 98).
“Pajajaran” dan “Siliwangi” merupakan dua nama yang sangat melekat pada emosi masyarakat di Tatar Sunda. Tidak banyak nama yang bernuansa sejarah dipakai dengan penuh kebanggaan untuk nama kekinian. Pajajaran dan Siliwangi adalah nama “yang ti dak banyak itu”. Pajajaran menjadi nama universitas terkenal di Jawa Barat, selain dijadikan nama Gelanggang Olah Raga, jalan, plaza, dan nama-nama yang lainnya. Demikian juga dengan nama Siliwangi, sebagai nama universitas di Tasikmalaya, kompleks kampus UPI Bumi Siliwangi, Kodam III Siliwangi, dan stadion Siliwangi. Ketika muncul pendapat yang menyoal keberadaan kedua nama itu secara historis, tak ayal lagi muncul banyak reaksi.
Pernyataan Ayip Rosidi di atas disampaikan dalam Orasi Ilmiah Penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Bidang Ilmu Budaya Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada tanggal 31 Januari 2011. Pernyataan di atas sangat tegas, mendasar, dan bahkan terkesan bersifat vonistis. Implisit di dalam pernyataan itu serangkaian pertanyaan: Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu (pernah) ada atau tidak ada? atau Apakah kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi itu historis atau mitos? Berkait dengan dua pertanyaan itu sebaiknya kita merujuk pada dalil: “ada sumber ada sejarah, tidak ada sumber tidak ada sejarah”. Pernyataan yang aksiomatik ini hampir tak terb antahkan lagi kebenarannya. Sekarang pertanyaannya adalah adakah sumber (sources, facts) yang menunjukkan eksistensi Pajajaran dan Prabu Siliwangi? Dalam makalah ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai Pajajaran.
Sumber yang berkaitan dengan Pajajaran ini bukan sekedar ada, tapi banyak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Pajajaran tidak perlu diragukan. Kalau pun ada yang perlu didiskusikan, bukan lagi persoalan “apakah Pajajaran pernah ada atau tidak” dan “adakah bukti historis mengenai keberadaannya”, karena persoalan ini sudah sangat jelas dan sudah menjadi fakta keras (hard-fact). Akan tapi yang masih menarik didiskusikan adalah mengenai persoalan-persoalan lain seperti mana yang lebih tepat di antara tiga nama yang disebut dalam sumber: Pakuan Pajajaran, Pakuan, atau Pajajaran; apakah Pakuan Pajajaran itu nama keraton, nama (ibu) kota atau nama kerajaan; siapa pendiri keraton Pakuan Pajajaran, tahun berapa kerajaan itu didirikan, di mana letaknya,dan sebagainya.
Sesungguhnya, persoalan-persoalan seputar Pajajaran dan Siliwangi ini sudah hampir “tamat” dikaji oleh para peneliti terdahulu, baik peneliti asing maupun dalam negeri. Sekedar menyebut beberapa saja, mereka adalah: ten Dam (1957), Friederich (1853), Hageman (1867), Holle (1967; 1969) Noorduyn (1959; 1962), Pleyte (1911; 1914; 1915), Poerbatjaraka (1921), Sutaarga (1965), Atja (1968; 1970; 1972), Saleh Danasasmita (1975; 1983; 2003; 2006; 2006). Di antara peneliti-peneliti itu Saleh Danasasmita yang paling kemudian. Keluasan penguasaannya terhadap sumber-sumber tradisional dan kekritisannya yang sangat tajam, Saleh Danasasmita mendekonstruksi pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para peneliti seniornya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis lebih banyak mendasarkan pemahaman pada pendapat-pendapat Saleh Danasasmita, termasuk kutipan-kutipan sumber-sumber tradisionalnya.
Dengan demikain, secara awal dapat dikatakan bahwa jangankan sekedar eksistensinya (ada atau tidak ada secara historis), persoalan-persoalan lainnya yang lebih rumit pun mengenai Pajajaran dan Siliwangi sudah dibahas. Persoalan eksistensi, faktanya sudah “keras” dan persoalan-persoalan lainnya bisa jadi masih lunak (soft-fact). Artinya, masih terbuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran baru seiring dengan perkembangan teori, metodologi, dan temuan fakta baru.
Nama Pakuan Pajajaran
Mengenai nama dan keberadaan “Pakuan Pajajaran” terdapat pada sejumlah sumber. Sumber-sumber yang memuat nama Pakuan Pajajaran bisa dikategorikan otentik, orisinal, dan sezaman. Sumber tersebut tidak kurang dari enam buah, terdiri atas lima l embar berupa prasasti tembaga (dari Desa Kebantenan, Bekasi, dikumpulkan oleh Raden Saleh)3 dan prasasti batu yang ada di lingkungan Batutulis, Kecamatan Kota Bogor Selatan. Prasasti tembaga Kebantenan yang lima itu memuat tiga hal, dua lembar berupa piteket (Piteket berupa piagam langsung dari raja) dan tiga lembar berupa sakakala yaitu Sakakala berisi pengukuhan jasa atau aturan dari raja yang sudah wafat (Danasasmita, 2003: 44 - 45). Bunyi sumber-sumber itu sebagai berikut:Piteket I:
“Pun, ini piteket nu séba ka Pajajaran”.Piteket II:
“Pun, ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratu Déwata”.Sakakala:
“Ong awignam astu, nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kancana, maka nguni ka Susuhunan di Pakuan Pajajaran pun”.Prasasti Batutulis:
“Wangna pun, ini sakakala, Prebu Ratu purané pun, diwastu diya wingaran Prebu Guru Déwataprana diwastu diya dingaran Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Déwata pun ya nu nyusuk na Pakwan …”.(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, dilantik beliau memakai nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik (lagi) dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata).
Sumber-sumber lain yang mejadi petunjuk keberadaan Pakuan Pajajaran adalah:
1) Carita Parahiyangan:
“Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata” (CP hal. 30 recto).(Sang Susuktunggal, yaitu yang membuat tempat duduk bagi yang masyhur keindahan gelarnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran, yang tinggal di kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratudéwata). (Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita, 2006: 31).
2) Koropak 406 atau Fragmen Carita Parahiyangan:
“Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem”.(Tiba di Pakuan Ilalu bertahta ddi keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesailah semua diisi bekas para leluhur penyelang oleh Rakéyan Darmasiksa. Kemudian diperluas sampai selesai. Diceritakan Rakéyan Darmasiksa lamanya berkuasa sebagau ratu di Pakuan 110 tahun. Beliau berkuasa lama sebagai ratu di Pakuan Pajajaran. Selesai ditulis pada tahun 30) (Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita, 2006: 30 – 31 dan 61 – 62).
3) Naskah lontar MSA.
Naskah lontar (sebetulnya nipah) ditemukan di Kabuyutan Ciburuy oleh Brandes. Naskah ini disebut juga Naskah MSA. Pembukaan pada naskah ini berbunyi:“Awignamastu. Nihan tembey sasakala Rahyang Banga masa siya nyusuk na Pakwan”.
(Semoga selamat. Begini permulaannya peringatan Rahiyang Banga waktu beliau nyusuk Pakwan).
4) Carita Parahiyangan:
“Sang Haliwungngan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakuan”.(Sang Haliwungan, yaitu Sang Susuktunggal yang ngabaru di Pakuan).
5) Naskah 406:
“Di inya urut kadatwan. Ku bujangga Sédamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa jeung bujangga Sédamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Majayajati ku bujangga Sédamanah, dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa”.(Danasamita, 2003: …; cf. Danasamita, 2006: 31).
(Di sana bekas keraton. Oleh bujangga Sédamanah diberi nama Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesai [dibangun] diberi berkah oleh Maharaja Tarusbawa dan bujangga Sédamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ketemu Bagawat Sunda Majayajati oleh bujangga Sédamanah, dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
6) Prasati Kebantenan I:
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratudéwata”.7) Prasasti Kabantenan II:
“Pun ini piteket Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sri Sang Ratudéwata”.8) Piagem Kabantenan V:
“Pun, ini piketet nu seba ka Pajajaran, miteketan kabuyutan di Sunda Sembawa .”9) Prasasti Kebantenan I – III:
“Ong Awignamastu nihan sakakala ra Rahyang Niskala Wastu Kancana, maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran”.Dari sumber-sumber di atas ada tiga nama yang digunakan: Pakuan, Pajajaran, dan Pakuan Pajajaran. Ketiga nama itu menunjuk pada maksud yang sama untuk identitas yang sama pula. Dengan demikian, Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama diri at au nama identitas eksistensinya dapat dipertanggungjawabkan secara historis.
Kerajaan Pakuan Pajajaran Dalam sumber-sumber di atas, memang, tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Pakuan/Pajajaran/Pakuan Pajajaran sebagai nama kerajaan.
Bukti-bukti sejarah yang ada, hampir bisa dipastikan, semuanya menunjuk pada nama pusat kerajaan atau ibu kota. Kerajaannya sendiri dikenal dengan nama Kerajaan Sunda. Nama inilah yang digunakan terutama oleh “orang luar” ketika menyebut kerajaan yang ada di Tatar Sunda.
Namun demikian, harus diakui bahwa tidak jarang nama kerajaan lebih dikenal melalui nama ibu kotanya. Dalam hal ini, istilah “Kerajaan Pajajaran” berarti “Kerajaan Sunda yang ibu kotanya bernama Pajajaran”. Bahwa nama keraton kemudian meluas menjadi nama ibu kota dan nama kerajaan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh, dalam prasasti Putih di Lampung Kesultanan Banten dinamakan ‘Nagara Surasowan”, padahal Surasowan itu nama keraton Banten. Saunggalah adalah nama keraton, tapi kemudian menjadi nama kota. Yogyakarta pun sebenarnya nama keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi kemudian jadi populer sebagai nama kesultanan/kerajaan (Danasasmita, 1975: 59).
Pajajaran sebagai nama kerajaan ditemukan terutama dalam naskah-naskah yang bernilai sastra, termasuk carita pantun. Dalam carita pantun bahkan disebutkan Pajajaran terbagi tiga wilayah: Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah, dan Pajajaran Barat (Sumadio, 1974: 376).
Dengan demikian, melalui konstruksi bernalar seperti itu Kerajaan Pajajaran sebagai sebuah eksistensi bisa diakui keberadaannya secara historis. Tentang asal-usul dan arti kata Pakuan Pajajaran sendiri terdapat banyak pendapat (Sumadio, 1974: 383), yaitu:
- Menghubungkan kata pakwan dengan paku (sejenis pohon, cycas circinalis), sedangkan kata pajajaran diartikan sebagai tempat yang berjajar. Pakuan pajajaran diartikan sebagai tempat dengan pohon paku yang berjajar
- Menghubungkan kata pakwan dengan kata kuwu. Dengan menunjukkan bukti bahwa sebutan pakuwan dan kuwu terdapat dalam Nagarakertagama.
- Kata pakwan berasal dari kata paku (pasak). Kata paku dapat dihubungkan dengan lingga kerajaan yang terletak di samping prasasti Batutulis. Paku (lingga) berarti pusat atau poros dunia serta sangat erat hubungannya dengan kedudukan raja sebagai pusat jagat.
Ketiga pendapat di atas dibantah oleh Saleh Danasasmita (2003: 18-19). Dengan berdasar pada Carita Parahiyangan dan Koropak 406 yang disebut juga Fragmen Carita Parahiyangan, beliau bersimpulan bahwa Pakuan Pajajaran berarti “keraton yang berjajar”. Dikatakan “berjajar” karena jumlah bangunan keratonnya ada lima yang masing-masing diberi nama: Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.
Dalam Carita Parahyangan:
Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P) unta (Na) rajana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata
Dalam Fragmen Carita Parahyangan:
Datang ka Pakwan mangadeg di kadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta pahi dieusian urut Sripara Pasela Parahiyangan ku Rakéyan Darmasiksa. Ti inya dibeukah kabwatan. Kacarita Rakéyan Darmasiksa heubeul siya ngadeg ratu di Pakwan saratus sapuluh taun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran pun. Telas sinurat bwana kapedem.
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang berbentuk “federal” yang membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja “kecil”. Di antaranya adalah Sangiang, Saunggalah, Sindangkasih, Banten, Cirebon, Galuh, Kawali, dan Pakuan. Hanya tiga kerajaan yang disebut terakhir inilah yang pernah menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda. Pusat atau ibu kota Kerajaan Sunda memang berpindah-pindah.
Mengenai kerjaan Pakuan Pajajaran sendiri sudah berdiri sejak awal abad ke-8. Pendirinya adalah Maharaja Tarusbawa (identik dengan nama Tohaan di Sunda). Keterangan ini didasarkan pada sejumlah sumber, yaitu Koropak 406, Carita Parahiyangan, Pransasti Canggal, dan naskal lontar MSA.
Tarusbawa diganti oleh mantunya bernama Maharaja Harisdarma (identik dengan Sanjaya). Harisdarma diganti oleh puteranya bernama Tamperan. Tamperan diganti oleh anaknya bernama Rahiyang Banga (Danasasmita, 2003: 23). Sanjaya bias dipastikan berkuasa pada abad ke-8, karena beliau membuat Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Bila pada zaman Sanjaya Pakuan Pajajaran sudah ada maka dapat dipastikan Pakuan Pajajaran sudah ada setidaknya pada awal abad ke-8.
Nama Prabu Siliwangi
Nama Prabu Siliwangi pun bukan nama imajinatif, bukan nama mitos tapi nama yang historis. Artinya nama ini memiliki pijakan historis. Dengan demikian, diskusi kita pun tidak lagi pada persoalan “apakah Prabu Siliwangi itu ada atau tidak ada secara historis” karena keberadaannya didukung oleh fakta yang kuat (hard-fact), setidaknya fakta mental dan fakta sosial (mentifact dan socifact). Yang menarik didiskusikan adalah apakah Prabu Siliwangi itu nama sejati atau nama alias/julukan/gelar. Kalau itu nama alias/gelar/julukan, nama itu identik dengan nama siapa. Juga, apakah gelar ini untuk seorang tokoh atau beberapa toloh? Kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah sumber/fakta.Adakah sumber/fakta sejarah yang bisa menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi? Keberadaan Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada sejumlah naskah kuna, di antaranya: Naskah Carita Parahiyangan episode XVI (di Perpustakaan Nasional RI Jakarta), Naskah Bujangga Manik (di Perpustakaan Oxford Inggris), Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (naskah lontar abad XVI, koropal 421),
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah yang masih kontroversial Naskah Wangsakerta (di Museum Sribaduga Bandung). Pada awal abad ke-16 pun nama Siliwangi sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam cerita pantun.
Muncul pertanyaan: nama Prabu Siliwangi itu identik dengan nama siapa? Pertanyaan ini muncul mengingat dalam daftar nama raja Pajajaran tidak ditemukan nama ini. Pertanyaan berikutnya adalah apakah Prabu Siliwangi merupakan raja terbesar Kerajaan Pajajaran? Pertanyaan ini muncul mengingat betapa populernya nama ini, bahkan hampir menenggelamkan keberadaan namanama raja yang lain. Secara asumsi, tidak mungkin nama ini muncul, bahkan populer bila nama ini “euweuh di kieuna”, atau menurut istilah Ayip Rosidi “henteu aya buktina sacara historis”!
Konkretnya, di antara sumber yang memuat nama Siliwangi adalah sebagai berikut.
1) Carita Parahiyangan:
“Manak deui Prebu Maharaja, tawasniya ratu tujuh tahun, kéna kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakiyan di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. Aya na seuweu. Prebu Wangi ngaranna, inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma”.2) Carita Purwaka Caruban Nagari:
“Hana ta sira natha gung ng siniwi Pakwan Pajajaran Sang Prabu Siliwangi ngaranira, anak Sang Prabu Anggalarang, ring Galuh wangsa nira, ikang rumuhun paradyéng Surawisésa kadatwan ng parahyangan kapernah wétan mandala nira. … Datan lawas pantaraning inabhisekan ta Sang Prabu Siliwangi dumadyakna Naradhipa hing Pakwan Pajajaran déning uwa nira, irika ta sira lawan winastwan Sang Prabu Dewatawisésa paradyéng Pakwan kadatwan yatika Sang Bima wastana”.3) Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian:
“Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, prépantun tanya”.Identifikasi Prabu Siliwangi
Yang sudah jelas dari persoalan ini adalah Prabu Siliwangi itu bukan nama sejati tapi nama alias/julukan/gelar. Poin yang menarik ketika membicarakan Prabu Siliwangi adalah menyoal tokoh ini identik dengan raja yang mana?Mengenai hal ini setidaknya muncul dua pendapat. Pertama, tokoh Prabu Siliwangi itu banyak. Undang A. Darsa (2011: 32) berpendapat bahwa dari 32 raja Kerajaan Sunda ada empat yang mendapat gelar Prabu Siliwangi. Mereka adalah raja yang saat memerintah Kerajaan Sunda ditandai dengan geopolitik yang guncang yang terjadi pada abad ke-15 dan 16, yaitu saat Barat masuk, saat Majapahit runtuh, dan saat masyarakat agraris mulai berkenalan dengan ekonomi dagang. Sayang, Undang A. Darsa tidak menyebutkan keempat raja itu siapa saja namanya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu tujuh, bahkan sampai dua belas orang. Tampaknya ada anggapan bahwa Siliwangi itu gelar resmi raja sehingga setiap raja Pajajaran disebut Siliwangi (Danasasmita, 2003: 142)
Pendapat kedua menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu. Tokoh itu identik dengan Prabu Jayadewata. Terhadap pendapat ini, Ayat Rohaedi (?) (dalam Sumadio, 1993: 394) memberi tanggapan bahwa mengidentikkan Prabu Siliwangi dengan tokoh Prabu Jayadewata (Sri Baduga Maharaja, 1482 – 1521) sebagaimana disebut dalam Carita Parahiyangan dianggap terlalu berani. Mengapa? Raja yang masih memerintah atau baru beberapa tahun meninggal dunia sudah disebut-sebut namanya sebagai tokoh ceritera patun (pada tahun 1518 atau sebelumnya) dianggap sebagai “pamali”. Tanggapan di atas dikritik oleh Saleh Danasamita, bahwa mengangkat tokoh yang masih hidup dalam sebuah cerita (pantun atau kakawen, misalnya) sudah lumrah. Terdapat sejumlah contoh kasus mengenai hal ini. Empu Kanwa mengangkat lakon raja Erlangga dalam Kakawen Arjuna Wiwaha; Empu Darmaja mengangkat lakon perkawinan Raja Kameswara dalam Kakawen Smardahana, Empu Sedah dan Empu Panukuh mengangkat lakon Raja Jayabaya dalam Kakawen Bharatayuddha. Lakon cerita dan sang tokoh hidup sezaman.
Hasil dari koroborasi sejumlah sumber (Purwaka Caruban, Naskan Pamarican, Waruga Jagat, Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Babad Siliwangi) yang dilakukan oleh Saleh Danasasmita tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah Prabu Siliwangi itu hanya satu dan identik dengan tikih raja yang bernama Prabu Jayadewata atau Sri Badugamaharaja yang berkuasa sebaga raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1482 – 1521.
Arti Siliwangi
Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga wawangi atau kakasih. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh, terkenal, dan punya nama harum.Secara historis tokoh ini memang berganti nama (asilih wewangi, silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua kalinya. Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada Prasasti Batu Tulis disebutkan:
“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.
(Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”).
Nama resmi raja dalam bahasa Sunda disebut wawangi. Arti harfiyahnya adalah wewangi (seuseungit). Disebut demikian karena harum dan masyhurnya raja tampak dalam nama resminya. Keterangan Babad Siliwangi yang menyebutkan nama siliwangi berarti asilih wewangi (mengganti nama) cocok dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alas an ganti nama atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan Siliwangi (Danasasmita, 2003: 67).
Simpulan
- Keberadaan kerajaan Pajajaran adalah historis, bukan mitos, bukan dongeng. Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Nama kerajaan Pajajaran harus dibaca sebagai Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajaj aran. Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran.
- Keberadaan Prabu Siliwangi pun adalah historis, bukan mitos, bukan dongeng. Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Raja Pajajaran yang dijuluki Prabu Siliwangi hanya satu . Prabu Siliwangi identik dengan Sri Baduga Maharaja.
Referensi
- Ali, R. Moh. Et al. 1975. Sejarah Jawa Barat; Pandangan Filsafat Sejarah. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat.
- Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat.
- Danasasmita. 1975. “Latar Belakang Sosial sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Kerajaan Galuh dengan Pajajaran”, dalam Asmar, Teguh et al. 1975. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat; hlm 40 – 81.
- __________ 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor.
- __________ 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Girimukti.
- __________ 2006. “Ya nu Nyusuk na Pakwan”, dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 11 – 41.
- __________ 2006. “Mencari ‘Gerbang Pakuan’”, dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 91 – 123.
- Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan”, dalam Tulak Bala; Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian lainnya megenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 173 – 208.
- Darsa, Undang A. 2011. “Prabu Siliwangi Ada”, Pikiran Rakyat, 26 Maret 2011, hlm. 32.
- Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
- Lubis, Nina Herlina et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
- …….. 1991. “Prabu Siliwangi sebagai Leluhur Elit Politik Priangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor 11 – 13 November.
- Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Diindonesiakan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Permana, Aan Merdeka. 2011. “Siapa Bilang Pajajaran Fiktif Belaka”, dalam Pikiran Rakyat, 12 Februari; hlm 29.
- Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1993. Sejaran Nasional Indonesia II. Edisi ke-4. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.
- Purwanto, Bambang. 2011. “Visual Masa Lalu dan Tradisi Historiografis di Tatar Sunda; sebuah Kajian Awal”, Makalah disampaikan pada seminar internasional “Reformulasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda”, diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jatinangor 9 – 10 Februati; hlm. 1 – 9.
- Romli HM, H. Usep. 2011. “Mapay Raratan Pajajaran”, dalam Mangle, No. 2311, 24 Februari – 2 Maret, hlm. 8 – 9.
- Rosidi, Ayip. 2011. Urang Sunda di Lingkungan Indonesia; Biantara Panampian Gelar Honoris Causa dina Widang Elmu Budaya Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Bandung: Kiblat Utama.
- Sumadio, Bambang (ed.). 1993. “Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejaran Nasional Indonesia II. Edisi ke-4. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.