[Historiana] - Radikalisme adalah akar dari terorisme. Sejarah mengajarkan kita bahwa senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme. Pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar.
Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan hard-power dengan pendekatan soft-power. Selain pendekatan hard-power, Indonesia juga mengutamakan pendekatan soft-power melalui pendekatan agama dan budaya.
Menurut hemat penulis, pendekatan soft-power melalui agama bisa gagal. Kegegalan itu muncul akibat perbedaan sudut pandang (madzhab) ditambah lagi aliran pemikiran yang berbeda. Alhasil malah terjadi benturan demi benturan. Belum lagi ditambah dengan stigma pada agama lain sebagai kafir dan pembela thoghut yang tak dapat ditemukan titik persamaannya.
Kita bisa mengambil jalur budaya. Kita sebagai orang Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan adat-budaya masing-masing bisa menjadi modal dalam menghentikan radikalisme. Mari kita kembali ke adat budaya masing-masing dahulu. Saya sebagai Orang Sunda kembali ke adat-budaya Sunda. Bagi Anda orang Batak, Jawa, Minang, Minahasa, Dayak, Madura, Bali, Sasak dan lainnya kembali dahulu ke adat masing-masing. Lalu... kita lihat apa yang terjadi?
Bila kita melihat media sosial sebagai sarana "perang", diwarnai masalah agama. Maka bila kita cermati dalam media sosial tidak ada bantah-bantahan dan hingar bingar yang disebabkan masalah adat dan budaya.
Saya orang Sunda dan Anda mungkin Orang Jawa. Saya tak bisa membantah dan tidak menerima bahwa Anda orang Jawa dan saya Sunda. Kita sadar ahwa saya dan Anda berbeda. Pun demikian, saya tak bisa memprotes Tuhan atas pemberian karunia kehidupan bagi saya sebagai orang Sunda. Bahasa kita pun berbeda, namun kita bisa menerima dengan lapang dada atau legowo. Namun, bila kita berbicara masalah agama, kenapa menjadi bentrok?
Yuk kita kembali menelisik sejarah kebangsaan kita. Waktu zaman kerajaan Majapahit dan Pajajaran dimana masih menganut Hindu-Budha, Kejawen dan Sunda Wiwitan, kita mendapat paparan kisah peperangan "BharataYudha". Peperangan besar antara Pandawa dan Kurawa. Anehnya, kita tidak ada yang memposisikan sebagai Pandawa atau Kurawa dalam kehidupan nyata. Rupanya para leluhur kita menyimak kisah Bharatayudha sebagai "cermin" dalam mencari hikmah dalam kehidupan. Tidak dengan serta merta kita ikut campur dalam pertetangan dan pertempuran dengan mengidentifikasikan diri kita pada pihak-pihak tertentu.
Saat itu, leluhur kita bukanlah manusia-manusia tak berpengetahuan dan tidak mengetahui sebuah kejadian nun jauh diseberang negerinya. Kita ingat, Majapahit dan Pajajaran sudah dikenal dengan eksport-import dari berbagai pelabuhan yang dimilikinya. Namun leluhur kita tetap mengidentifikasikan dirinya sebagai Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Dayak dan sebagainya. Kerajaan Majapahit tidak memaksakan penduduk Nusantara berbahasa Jawa dan Beragama yang sama dengan penguasa Majapahit. Demikian juga Kerajaan Pajajaran yang tidak pernah berada di bawah kekuasaan Majapahit tidak pernah memaksakan rakyat Sunda menganut agama seperti para Raja dan Bangsawan Pajajaran. Ketika raja-raja Sunda menganut Agama Hindu (Bhairawa dan Waisnawa), kemudian Budha (Tantrayana, Sarwastiwadha dan Mahayana), rakyat pajajaran sebagian besar tetap menganut agama leluhurnya yang disebut dalam pantun Bogor "Agama Sunda" tea atau Sunda Wiwitan atau Jati Sunda.
Kembali kepada pembahasan kita mengenai radikalisme. Dengan mengingat jati diri kita sebagai salah satu suku bangsa di nusantara (Indonesia) kita sadar bahwa kita berbeda. Perbedaan budaya kita sebagai bangsa akan "menegur" diri kita sendiri: "Mengapa menjadi tidak tenang ketika kita beragama samawi?". Agama samawi adalah agama yang dikelompokan oleh peneliti terdiri dari agama Abrahamik, yaitu agama yang diturunkan Tuhan kepada keturunan nabi Ibrahim A.S. yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Solidarisme kita pada agama abrahamik seakan melupakan jati diri kita yang memang ditakdirkan Tuhan berbeda. Cara pandang Jahiliyah di negeri Arab yang gemar berseteru dan berperang dari masa ke masa menular ke bangsa kita. Tidak percaya? lihat saja "perang" caci maki, hoax dan fitnah di media sosial yang diakibatkan bahasan masalah agama abrahamik.
Saya mencoba melihat orang Islam dari sisi Saya sebagai orang Sunda, meskipun saya juga beragama Islam. Juga ketika saya melihat orang beragama Yahudi dan Nasrani dari sisi saya sebagai orang Sunda bukan dari "Sisi saya sebagai orang Islam"
Mari kita hormati leluhur kita sendiri. Mengapa harus seperti itu? Anda nenek moyang kita saat itu, tidak memilih mengakhiri hidupnya atau berdiam diri tidak menyelamatkan diri dikala bencana gunung berapi, tsunami, gempa bumi, longsor... maka kita takkan pernah lahir di dunia ini. Mengapa kita harus memilih menghancurkan daripada membangun dunia seperti yang dilakukan nenek moyang kita?
****