Ilustrasi: Marc Creighton |
[Historiana]- Suasana gaduh media sosial (medos), pilkada ricuh? Politic is war. Tsun Tzu mengatakan bahwa politik adalah perang. Di tengah tibanya tahun politik ini, media sosial yang seakan menjadi “arena baru” pertarungan partai politik, berupa agitasi dan propaganda politik. Bahkan polarisasi pilpres 2014, yang menghadapkan Jokowi dan Prabowo, masih sangat terasa hingga sekarang. Masyarakat media sosial atau netizen terbelah, dan tak jarang saling melempar hoax, fitnah, maupun ujaran kebencian.
Politik menginginkan hingar-bingar. Kegaduhan. Euforia. Kelatahan yang tak akan dibiarkan usai. Politik menafsukan persatuan dalam perceraian, begitu pula sebaliknya. Tidak ada kawan dan lawan yang yang abadi dalam politik. Yang abadi hanya satu: kepentingan, lebih khusus lagi yaitu kepentingan menguasai.. Oleh karena itu, yang terpampang dalam media sosial niscaya doa kemenangan. Ini adalah psikologi perang. Kegaduhan yang begitu mendalam di kalangan netizen hanya akan mendapat sedekah amplop kosong berstempel kampanye. Seluruhnya dibungkus dalam bara yang terlalu panas untuk menyejukkan.
Pilkada menjadi ancaman terhadap persatuan bangsa. Sesi debat Cagub dan Cawagub Jawa Barat pada putaran ke-2 diwarnai ricuh. Kericuhan bermula dari paslon nomor urut 3 mengatakan dan membentangkan kaos dengan bunyi "2018 Asyik Menang, 2019 Ganti Presiden".
Riuh rendah para pendukung saat debat dilaksanakan menjadi preseden buruk demokrasi Indonesia. Benarkah paslon nomor 3 melanggar Undang-undang pemilu? Hal ini sedang ditangani bawaslu. Yang menjadi masalah adalah "rasa" yang terlanggar dalam etika. Pandangan umum masyarakat bahwa penggunaan forum pilkada yang menyinggung pilpres telah menyinggung rasa manusia. Etis dan tidak etis menjadi ukuran umum masyarakat awam tanpa harus dikonfrontir dengan aturan perundangan. Manusia punya akal untuk mengukur sejauh mana prilaku yang pantas untuk dilakukan. Lebih-lebih hidup di Indonesia dimana kesantunan dikedepankan, daripada sekedar nafsu untuk memperoleh kekuasaan dan kepentingan sesaat.
Diakui atau tidak, politik telah menjelma berupa polusi dalam kehidupan kita, bahkan di dalam kehidupan beragama dan yang lebih privat lagi daripada itu. Pilihan kembali pada kita: membiarkannya memenuhi pendengaran atau kita, kecilkan volume hiruk-pikuknya hingga batas minimum hingga walaupun para politisi berteriak dengan seribu pelantang tetap saja tak ada yang terdengar selain keheningan jiwa atau bathin yang eling dan waspada bahwa kita sendiri punya hak dan kehendak sendiri tanpa diatur hingar bingar politik. Jika mereka tidak bisa berhenti bicara, kita dapat berhenti mendengarkannya. Kitalah penentu remote kehidupan kita.