[Historiana] - Sebuah carita pantun yang sangat terkenal di kalangan orang Sunda. Lakon ini disebut dalam daftar cerita-cerita pantun yang dikumpulkan oleh Eringa (1949). Pleyte (1906, 1907) pernah menerbitkan teks cerita ini. Berdasarkan teks ini, Salmun (1938) menulis Wawacan Mundinglaya Di Kusumah. Pada tahun 1954, cerita itu digubahnya pula dalam bentuk gending karemen. Sebuah petikan pendek dari teks edisi Pleyte (1906) ditemukan pula dalam buku pengajaran sastra Sunda disusun oleh Adiwidjaja (1950). Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda IKIP Bandung (1960) pernah memperbanyak edisi C.M. Pleyte ini dalam bentuk stensilan. Ajip Rosidi menggubah Munding Laya Di Kusumah (1961) dalam bahasa Indonesia. Wahyu Wibisana (1962) menggubah cerita Mundinglaya Di Kusumah dalam bentuk gending karesmen pernah dipentaskan di Bandung, dengan judul Mundinglaya Saba Langit. Djaja Supena (tanpa tahun) menulis sebuah telaah tentang cerita ini.
Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda (1970) menerbitkan Mundinglaya Di Kusümah berdasarkan hasil rckaman juru pantun Ki Aceng Tamadipura (dari Situ raja, Sumedang). sedangkan Lembaga Kesenian Universitas Pajajaran (Bandung: 1974) menerbitkannya berdasarkan hasil rekaman juru pantun Ki Enjum (dari Ujungberung, Kabupaten Bandung). Seorang juru pantun bernama Ki Epe Satuneng (dari Kampung Cicangor, Desa Ciptasari, Kecamatan Pengkolan, Karawang) mengaku biasa pula menuturkan cerita ini.
Prabu Siliwangi, yang diceritakan dalam Mundinglaya Di Kusumah ini sebagai raja yang beristri 150 orang dan herputra 75 orang, ditafsirkan sebagai penlambang untuk menoijolkan kebesaran dan keagungan sang raja. Rusyana (1980) telah meinbuat telaah mengenai proporsi dan macam-macam deskripsi cerita pantun berdasarkan cerita Mundinglaya Di Kusumah edisi Pleyte di atas. Kartini dkk. (1980) mempergunakan cerita ini sebagai satu sampel untuk penelitiannya mengenai struktur cerita pantun Sunda.
Ringkasan berikut adalah berdasarkan edisi Pleyte itu. Prabu Siliwangi memerintah kerajaan Pajajaran, dibantu oleh Patih Kidang Pananjung dan Jaksa Gelap Nyawang. Sang raja bertapa di Gunung Hambalang karena ingin mempunyai anak dari Permaisuri Nyi Padma Wati. Permaisuni ini anak Pohaci Wiru Mananggay dari kahyangan. Pada saat Padma Wati mengandung, ia menginginkan honje, Raja menyuruh Lengser mencarinya ke Kuta Pandak, wilayah kerajaan Muara Beres. Dari Geger Malela, anak Rangga Malela di Muara Beres, Lengser mendapatkan honje sebanyak delapan pasak.
Sementara itu, di istana Muara Beres, Nyi Gambir Wangi pun sedang mengidam serta menginginkan makan honje.
Lengser Muara Beres disuruh menyusul Lengser Pajajaran. Keduanya bertengkar, lalu berkelahi, karena Lengser Pajajaran tetap tidak mau membagi hasil usahanya, Gajah Siluman dari Karang Siluman melerainya, dan memutuskan bahwa honje itu harus dibagi dua, dengan perjanjian bila kedua bayi itu kelak sudah dewasa harus dikawinkan. Waktu Nyi Gambir Wangi menginginkan terung pahit, berbagi dua pula dengan Padma Wati. Terung itu dibelah oleh Jaksa Gelap Nyawang. Setelah itu raja berkata, bahwa bayi yang masih dalam kandungan itu telah dijodohkan.
Permaisuri Padma Wati melahirkan bayi laki-laki, diberi nama Munding Laya Di Kusuma, sedangkan Nyi Gambir Wangi melahirkan bayi perempuan, dinamai Nyai Dewi Asri.
Prabu Guru Gantangan, di negara Kuta Barang, ingin mempunyai anak. Mundinglaya Di Kusumah dijadikan anak angkat, dipelihara oleh istrinya yang bernama Ratna Inten. Tetapi lama-kelamaan, karena Mundinglaya sangat perkasa dan tampan tiada tara, timbullah kekhawatiran sang raja, jangan-jangan anak itu kelak merebut kekuasaannya. Karena itu, Mundinglaya dipenjarakan.
Uwa Mundinglaya, yaitu Jaksa Seda Kawasa, Aria Patih Sagara, Gelap Nyawà ng, dan Kidang Pananjung, mempunyai firasat buruk. Mereka datang menjenguk Mundinglaya di Kuta Barang. Prabu Guru Gantangan dimarahi karena telah berani menyiksa Mundinglaya. Akan tetapi, mereka tidak jadi mengeluarkannya dari penjara dengan alasan agar anak itu belajar hidup pnihatin. Peristiwa itu tidak dikabarkan, baik kepada Padma Wati maupun kepada Raja Pajajanan.
Pohaci Wiru Mananggay mengirimkan impian kepada permaisuri Padma Wati. Permaisuni itu bermimpin mendapat Lalayang Kencana milik Guniang Tujuh di Sorong Kancana, suaranya ada di Jabaning Langit 'luar angkasa'. Impian itu segena diberitahukan kepada sang raja, yang segera mengumumkannya sebagai sayembara. Tidak seorang pun yang menyatakan sanggup memperoleh Lalayang itu. Karena itu, Padwa Wati, yang memimpikannya, harus membuktikannya sendiri. Kalau tidak berhasil, ia akan dipenggal.
Padwa Wati teringat kepada anaknya, Mundinglaya. Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung menjemputnya dari Kuta Barang. Dalam keberangkatan mencari Lalayang Kancana itu, Mundinglaya Di Kusumah disertai oleh Jaksa Seda Kawasa, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, Patih Ratna Jaya, dan Prabu Liman Sonjaya.
Dengan mempergunakan perahu, mereka berlayar menyusuri Leuwi Sipatahunan dan Sungai Cihaliwung, lalu singgah di Muara Beres karena Mundinglaya hendak menemui dulu Dewi Asri, tunangannya. Di Sangiang Cadas Patenggang, semua pengiring ditinggalkan.
Pada saat menempuh hutan, Mundinglaya ditangkap dan ditelan oleh raksasa Yaksa Mayuta. la berhasil membunuh raksasa itu, setelah mengambil azimatnya yang terdapat dalam anak tekak raksasa itu. Dengan kesaktian yang bertambah, Mundinglaya terbang ke kahyangan untuk meminta Lalayang Kancana kepada neneknya. Oleh Wiru Mananggay, Mundinglaya diperintahkan menjelmakan diri menjadi angin agar dapat menerbangkan benda itu. Guriang Tujuh mengetahui hal itu, Mundinglaya lalu dikejarnya dan dibunuhnya. Sukma Mundinglaya keluar, lalu mengipasi jasadnya sendiri yang sudah menjadi mayat itu agar bisa hidup kembali.
Prabu Guru Gantangan, di negara Kuta Barang, mempunyai beberapa orang anak angkat, yaitu Sunten Jaya, Demang Rangga Kasonten, Aria Disonten, dan Dewi Ratna Kancana. Sunten Jaya dimintanya agar meminang Dewi Asri karena kabar kematian Mundinglaya sudah didengarnya.
Mula-mula Dewi Asri menolaknya, tetapi karena dipaksa akhirnya ia menerima pinangan itu dengan syarat Sunten Jaya harus menyediakan sebuah negara dengan segala isinya. Sunten Jaya tidak dapat memenuhi syarat itu sehingga permaisuri Gambir Wangi terpaksa membantunya dengan mempergunkan segala kesaktiannya. Manakala syarat sudah dipenuhi, Dewi Asri membuat bermacam-macam ulah agar perkawinan itu tidak akan pernah dilangsungkan.
Setelah berhasil mengalahkan Guriang Tujuh, Munding Laya lalu bertapa. Pada saat itulah ia mendapat firasat buruk melalui impiannya. Dengan beberapa azimat baru yang diperolehnya dari Pohaci Wiru Mananggay, Lalayang Kancana, dan disertai oleh Munding Sangkala Wisesa (penjelmaan Guriang Tujuh), Munding Laya segera turun ke Sangiang Cadas Patenggang menjemput para pengiringnya. Perjalanan ke Muara Beres dilanjutkan dengan naik perahu, melewati Leuwi Daun.
Kedatangan rombongan itu diketahui oleh Dewi Asri. Dengan seizin ibunya, ia meninggalkan istana, berpura-pura hendak mandi di jamban larangan. Maka, bertemulah ia dengan kekasihnya Munding Laya di atas perahu kencana. Raksasa Munding Sangkala Wisesa pun segera diperintahkan memasuki negara Muara Beres. Semua prajurit yang sedang berjaga-jaga berlarian cerai-berai. Barangsiapa yang mencoba melawan diamuk dan dibunuhnya. Kepada Gegera Malela ia mengatakan bahwa ia sedang mencari saudaranya yang bernama Munding Laya Di Kusumah.
Perkawinan Dewi Asri dengan Munding Laya segera dilangsungkan. Sunten Jaya menyatakan dirinya sebagai orang yang lebih berhak karena dialah pelamar pertama. Di samping itu, ia menggugat segala harta bendanya yang telah diserahkan kepada Dewi Asri. Atas perintah Gajah Siluman, Lengser Pajajaran memberikan kesaksian. Terbukti bahwa Dewi Asri dengan Munding Laya telah dipertunangkan sejak masih di dalam kandungan. Kemarahan Sunten Jaya makin memuncak. Bersama saudara-saudaranya, ia menantang perang Munding Laya. Tetapi, mereka dengan mudah dikalahkan oleh Munding Sangkala Wisesa dan menyatakan takluk.
Munding Laya Di Kusumah diangkat menjadi raja muda dan beristrikan Dewi Asri dan Ratna Kancana (adik Sunten Jaya). Penobatannya dilangsungkan dalam sebuah pesta besar.
Sumber: Ensiklopedi Sastra Sunda. kemendikbud RI pdf. Diakses 26 Desember 2019.