[Historiana] - Sang Tarusbawa dikenal sebagai pendiri kerajaan Sunda setelah Tarumanagara. Ia bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Berawal dari Raja bawahan, Sang Tarusbawa menjadi raja Daerah Sundapura, pada masa itu berada dibawah kekuasaan Tarumanagara. Sang Tarusbawa kemudian menjadi seorang Maharaja di Tarumanagara yang memperoleh tahta Tarumanagara setelah menikah dengan Dewi Manasih, putri Maharaja Tarumanagara Linggawarman, Raja Tarumanagara terakhir. Sang Tarusbawa dinobatkan menjadi Maharaja Tarumanagara tahun 669 Masehi.
Sejarah Kerajaan Sunda dianggap dimulai sejak Sang tarubawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda, tepatnya setahun setelah ia dinobatkan yaitu pada tahun 670 Masehi, nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga kerajaan Sunda dianggap kelanjutan dari Tarumanagara.
Terdapat Raja-raja Sunda sebelum Sang Tarusbawa
Jika diteliti lebih lanjut tentang sebutan raja Daerah Sunda, serta dikaitkan dengan prasasti Juru Pangambat yang ditemukan disekitar daerah prasasti Ciaruteun, yang menyatakan tentang pemulihan kekuasaan Sunda, dimungkin istilah Sunda sebagai bentuk kerajaan sudah ada ketika masa Tarumanagara berdiri, bahkan disebut-sebut bahwa Purnawarman dimasa keemasannya mengendalikan pemerintahan Tarumanagara dari daerah (kota) Sunda. Sunda atau Suddha, Sindhu secara etimologis sudah dikenal sejak 4.000 SM.
Menurut para filolog mengenal adanya proto-melayu yang dianggap lebih tua di Asia, namun proto Soendic (Sunda) jauh lebih tua ribuan tahun dari proto-melayu (Bern Nothover, 1973). Mungkin pula alur ini berhubungan dengan penemuan istilah Sunda sebagai akronim dari Prabu Shindu, yang ajarannya merebak hingga ke Jepang (Shinto) dan Mahenjodaro (India), kemudian disebutkan sebagai ajaran Hindu. Konon kabar artefak ajaran ini masih dapat ditemukan di Bali dan penganut Sunda Wiwitan. Para penganut ajaran ini pun meyakini, bahwa ajaran ini asli berasal dari Bumi Nusantara, bukan dari luar.
Demikian pula masalah cikal bakal kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan, masih panjang silsilah ke atasnya, yang konon belum terpecahkan. Tentang para perintis kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan diuraikan oleh Undang A. Darsa dan Edi. S. Ekadjati didalam menjelaskan : Garis besar Isi Fragmen Carita Parahyangan.
Para perintis dimaksud, sebagai berikut :
- Bagawat Angga Sunyia yang berkedudukan sebagai Batara Windupepet.
- Bagawat Angga Mrewasa yang berkedudukan sebagai Prebu Hujung Galuh.
- Bagawat Angga Brama berkedudukan di Pucung, namun dibunuh oleh Sang Pandawa.
Kisah ini diuraikan, sebagai berikut:
"Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Sunyia dyi adegkeun Batara Windupepet; windu ngabener pet nga pegat pegatkeun. Ulah teresna, ulah dekkabawa ku rupa warna, ulah kabawa ku sakaton sakareungeu. Haywa mido, mi telu, adana siya rabi siya tunggal. Lamunfa dek mido, mitelu, maka nguni carut di carrek kaliyuga. Pamalina tan yogya sengguhheun tunggal. - Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Mrewasa diadegkeun Prebu Hujung Galuh, siya jagat palaka. Ulah siya pakadang-kadangan, nyandung sapilanyceukan, ngala rabi sama rabi, ngala hulanyjar ka huma ti urang kaluaran, munuh tanpa dosa, midukaan tanpa dosa. Anaking, eta pamali prela ya na bwana pamalina. Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Ku Maharaja Trarusbawa, Bagawat Angga Brama di adegkeun [Maharaja Trarusbawa] (Bagawat) Suci Mayajati. - Sumaur Bagawat Suci Mayajati, "Pun, kami dipipejah bwana ku Sang Pandawa." Memeh munggah maring sorga dingaran an deui ku Maharaja Trarusbawa, dingaran na buyut lingga. Leupas ti inya sangkanna menta pulang ka Pucung. Sadatang ka unggal tahun, Maharaja Trarusbawa kena na panyji na lemah. Anggeus ta indit Sang Hyang Rancamaya, dipindahkeun Sang Hyang Nagasusupan di Sang Ratu Mambang, Sang Ratu Kalasakti."
Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan pula, bahwa Tarusbawa adalah pengganti Bagawat Angga Brama, yang di bunuh oleh Sang Pandawa (Kuningan). Kelak Sang Pandawa pun mampu mengalahkan Sanjaya, dan mengejarnya hingga ke daerah Galuh. Jika dilihat periode masa Klasik di tatar Pasundan, adanya pengaruh politik dan kerajaan, disinyalir dimulai pada masa berdirinya Tarumanagara, maka pada masa Tarusbawa, Pakuan mengendalikan para penguasa daerah lainnya. Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa Maharaja Tarusbawa mengeluarkan pangwereg 'ketentuan berupa hak' bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan. Istilah Pamwatan diterjemaahkan sebagai kewajiban memper sembahkan upeti' sebagai tanda setia.
Adapun para penguasa daerah yang disebutkan didalam naskah, adalah: "Sang Resi Putih dinobatkan sebagai Batara Danghyang Guru di Galunggung yang berpusat di Sukasangtub. Bagawat Sangkan Windu di Denuh yang berpusat di Jambudipa. Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai Batara Waluyut di Mandala Cidatar yang berpusat di Medang Kamulan. Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai Batara di Geger Gadung yang berpusat di Bantar Bojong Cisalak. Bagawat Resi Karangan dinobatkan sebagai Preburaja di Kandangwesi yang berpusat di Papandayan. Bagawat Cinta Premana dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di Puntang yang berpusat di Gunung Sri. Bagawat Tiga Warna dinobatkan di Mandala Puncung yang berpusat di Lamabung. Bagawat Pitu Rasa dinobatkan sebagai Batara Sugihwarna di Mandala Utama Jangkar yang berpusat di Gunung Tiga".
Para penguasa dan wilayahnya diatas menunjukan daerah kekuasaan Tarusbawa, bahkan di dalam pembahasan lainnya disebutkan mengenai batas-batas wilayah dimaksud, sebagai berikut :
- Batas wilayah Galunggung: sebelah timur lereng Pelangdatar, sebelah utara lereng Sawal, dan sebelah barat tepi sungai Cihulan.
- Batas wilayah Denuh : - sebelah barat tepi Cipahengan hingga hulu Cisogong tapal batas Puntang, sebelah timur hulu Cipalu, dan sebelah utara hulu Cilamaya.
- Batas wilayah Geger Gadung: - sebelah barat tepi Cilangla, sebelah utara lereng Parakukan membentang ke Geger Handiwung serta Pasir Taritih terus ke muara Cipager Jampang hingga hulu Cilangla.
- Batas wilayah Kandangwesi : - sebelah barat tepi Cikandang wesi, sebelah utara lereng tapal batas Lewa.
- Batas wilayah Puntang: Sebelah barat lereng Pakujang sampai Gunung Mandalawangi, sebelah utara lereng Kalahedong hingga Gunung Haruman, dan sebelah timur tepi Ciharus.
- Batas wilayah Windupepet hanya disebut sebelah barat tepi Cikaradukun.
- Batas wilayah Lewa : - sebelah barat tepi Cimangkeh, dan sebelah utara lereng tapal batas Kandangwesi.
Lihat juga versi videonya...
Selain wilayah tersebut, dijelaskan adanya daerah dibawah kekuasaan Terusbawa, yakni wilayah Windupepet, berpusat di Gunung Manik dan wilayah Lewa, di Pacera. Naskah asli di maksud berisi sebagai berikut :
- Alasna Galunggung ti timur hanggat Pelangdatar, ti kaler hanggat Sawal, ti barat hanggat Cihulan.
- Alasna Gegergadung ti barat hanggat Cilanglayang, ti kaler hanggat Parakukan, unggahna Geger Handiwung, Pasir Taritih, muhara Cipager Jampang diterus hulu Cilangla.
- Alasna ti barat Cipatujah di muhara Cipalatih, ti barat hanggat gunung Kendeng.
- Alasna Denuh ti barat hanggat Cipahengan, ti hulu Cisogong alasna Puntang, ti timur hulu Cipalu, ti kaler hanggat hulu Cilamaya, ti barat hanggat Abwana.
- Alasna Windupepet di barat hanggat Cikaradukun. Alasna Pun tang ti barat hanggat Pakujang gunung Mandalawangi, ti kaler hanggat Kalahedong gunung Haruman, ti timur hanggat Ciharus.
- Alasna Lewa ti barat hanggat Cimangkeh, ti kaler hanggat Wates.
- Alasna Kandangwesi ti barat hanggat Cikandangwesi, ti kaler hanggat Wates.
- Keh anggeus pahi kaduuman alas, diduuman ku Maharaja Tarrusbawa. Ja ini pawidyana alas, pawidyana desa: Sumur hulu alas Galuh. Heuleutna ti kaler hanggat Sukasangtub hulu alas Galunggung.
- Medang Kamulan hulu alas Cidatar.
- Bantar Bojong Cisalaka hulu alas Gegergadung.
- Gunung Tiga hulu alas Utama Jangkar.
- Jambudipa hulu alas Denuh.
- Lama bung hulu alas Pucung.
- Gunung Manik hulu alas Windupepet.
- Gunung Sri hulu alas Puntang.
- Pacera hulu alas Lewa.
- Papandayan hulu alas Kandangwesi.
Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Maharaja Trarusbawa berkuasa lama sekali di keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati, namun hal yang agak meragukan mengenai waktu memerintahnya, yakni 1100 tahun. Hal yang sama dengan penyusunan sejarah selanjutnya ten tang penggantinya. Tarusbawa disebutkan digantikan oleh Maharaja Harisdarma (Sanjaya), tapi kemudian takhta kerajaan diwarisi para penggantinya secara berebutan. Mungkin istilah secara berebutan di terjemaahkan dari kalimat ‘turuna pa tiwah-tiwah’, sehingga nampak terus adanya perebutan kekuasaan, mulai dari Rahyang Tamperan lalu kepada Rahyang Banga, Rahyang Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, dan berakhir kepada Rakeyan Darmasiksa.
Nama Kerajaan
Kota Sundapura, tempat asal Tarusbawa pernah digunakan sebagai ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman. Dimungkinkan ia adalah keturunan dari Purnawarman. Alasan Tarusbawa memindahkan ibukota kembali ke Sundapura pada tahun pada tahun 591 Saka (669 Masehi), karena Tarusbawa memimpikan untuk mengembalikan masa kejayaan Tarumanagara ketika beribukota di Sundapura.
Didalam penulisan sejarah, sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda dimulai sejak Tarusbawa memindahkan ibukota Kerajaan Tarumanagara. Istilah Sunda di dalam prasasti sudah disebutkan sebelum digunakan oleh Terusbawa, seperti dalam prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 Masehi), menyebutkan tentang dipulihkannya kekuasaan raja Sunda. maka wajar jika ditafsirkan bahwa kerajaan Sunda sudah ada dan digunakan sebelum tahun tersebut, ka rena prasasti dimaksud tentu tidak dibuat langsung atau bertepatan dengan didirikannya kerajaan Sunda, prasasti tersebut tidak menandakan dimulainnya kerajaan Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa telah ada penguasa Sunda yang kekuasaannya dipulihkan. Data prasasti ini disinyalir memiliki kaitan yang jelas dengan kisah Fragmen Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa masih ada para perintis kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan sebelum masa pemerintahan Tarusbawa.
Menurut Sutaarga (1966), penamaan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran menunjukan pada kota atau pusat pemerintahan, sedangkan kerajaannya masih tetap bernama Sunda. Penggunaan nama Pajajaran atau Pakuan Pajajaran sama dengan Keraton Yogya yang menggunakan nama kota atau pusat pemerintahan (kerajaan), bukan mutlak menunjukan nama kerajaannya.
Istilah Sunda untuk nama suatu daerah pernah digunakan Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Kota Sunda pada masa itu adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura, Purnawarman memerintah dan mengendalikan Tarumanagara, dan di Sundapura Taruma nagara mencapai masa keemasannya. Tarumanagara berahir setelah wafatnya Linggawarman, dan digantikan oleh Tarusbawa, menantunya, yang menikahi putri Linggawarman, Dewi Manasih. Tarusbawa dinobatkan dengan nama nobat Maharaja Terusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sini para penulis sejarah mencatat dimulainya kerajaan Sunda.
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kampung Muara dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Prasasti tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584 Saka (662 Masehi), masa Tarumanagara, namun menurut para ahli lainnya dibuat tahun 854 Saka (932 Masehi), menunjukan pada masa Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada di wilayah Kerajaan Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara sehingga dimungkinkan prasasti tersebut peninggalan masa Tarumanagara.
Di dalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura:
telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prastawa saking Brata-nagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan Tarumanagara. Pada masa lalu diberi nama Sunda-pura. Nama ini berasal dari negeri Bharata).
Tentang perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan didalam Fragment Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Dina urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kada twan Bima–Punta–Narayana–Madura–Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta–Narayana– Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).
Cerita lainnya tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadatwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa)
Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Mengenai istilah Pakuan Pajajaran, menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing, dengan namanya sendiri, secara berurutan disebut Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral VOC Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Banten dan Cirebon.
Istilah ini ditemukan pula didalam Laporan Scipio (Belanda), sebagai berikut :
Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan di dalam Prasasti tembaga di Kebantenan Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebut nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk kerajaan Sunda. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama negara dan wilayahnya.
Referensi
- Darsa, Undang A. 2000. "Tinjauan filologis terhadap fragmen Carita Parahyangan: naskah Sunda kuno abad XVI tentang gambaran sistem pemerintahan masyarakat Sunda". Bandung: Lembaga Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.
- Permana, Rangga Saptya Mohamad., M.I.Kom. 2015. "Makna Tri Tangtu di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan". Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191. academia.edu Diakses 18 Nopember 2020.
- Rosidi, Ajip. 2003. "Tulak Bala: Sistem Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda". Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.