Cari

Asal-Usul kerajaan Kalingga dan Hayam-Pati serta Konflik Kerajaan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Gunung Muria dan Selat Muria - Patiayam

 

[Historiana] -Melongok sejarah di sekitar Kabupaten Jepara, Kudus dan Pati Jawa Tengah pada abad ke-7 Masehi adalah adanya Kerajaan Kalingga (Galuh Kalingga) hingga Medang (Mataram Kuno/Galuh). 

Kerajaan Kalingga terkait dengan Pulau Maurya atau Muria yang kini hanya disebut Gunung Muria. Dahulu Gunung Muria terpisah dengan Pulau Jawa hingga terjadi pengendapan di selat Muria yang akhirnya menyatukan Pulau Muria dengan Pulau Jawa.

Pulau atau Gunung Muria adalah awal komunitas Keling atau Holing yang merupakan pelarian dari Kerajaan Kalingga India sejak tahun 325 Sebelum Masehi di zaman Raja Ashoka yang Agung sebagai Raja Maurya yang berkuasa di anak benua India. Raja Ashoka penganut Agama Buddha. Ashoka ketika itu menguasai seluruh anak benua India mulai dari wilayah yang kini disebut Afganistan hingga Bangladesh dan di selatan hingga sejauh Mysore. Kerajaan atau Kekaisaran Maurya didirikan oleh Candragupta di Pattalipura (sekarang disebut Patna) di Magadha, India Timur Laut. Pada tahun 322 Sebelum Masehi (SM), Chandragupta naik tahta hasil kudeta yang dipimpin dari dinasti Nanda. Menurut kitab Wishnu Purana, jumlah raja-raja Dinasti Maurya ada sepuluh dan memerintah selama 137 tahun: dari sepuluh diantaranya adalah Ashoka-Wardhana.

Tetangga Kekaisaran Maurya adalah Kerajaan Kalingga, yaitu sebuah Negara Republik Feodal yang terletak di pantai negara bagian India (sekarang Odisha) dan bagian utara Andra Pradesh. Kota Kalingga adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaan dan demokrasinya. Dengan demokrasi monarki dan parlementernya, negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuno. Di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin yang secara dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan ksatryadharma.

Terjadi perang antara Kerajaan Maurya dan Kalingga pada tahun 265 atau 263 SM. Asal mula perang Kalingga tidak jelas. Kemungkinan akibat pelarian saudara Ashoka yang berkhianat di Maurya yang melarikan diri dan mendapatkan suaka dari Kerajaan Kalingga. Kemudian Raja Maurya, Kaisar Ashoka meminta Kerajaan Kalingga tunduk kepada kekuasaannya. Kalingga menolak permintaan Ashoka. Ashoka marah dan mengirimkan tentaranya menyerang Kalingga. Pada penyerangan pertama, pasukan Maurya kalah ketika melawang Kalingga. Ashoka tercengang akan kekalahan ini. Kemudian ia melakukan penyerangan lagi secara besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam Sejarah India sampai saat itu. Kalingga mati-matian melawan. Namun jumlah lawan tak sepadan. Kalingga jatuh dan seluruh wilayah Kalingga dijarah dan dihancurkan.

Piagam-piagam Ashoka kemudian hari, menyebutkan bahwa dari sisi Kalingga lebih kurang 100.000 jiwa tewas. Sedangkan dari sisi Maurya, jumlah prajurit Ashoka yang tewas lebih kurang 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang keluar pulau.

Banyak pelarian dari Kalingga ke negeri-negeri di Asia Tenggara termasuk Nusantara. Pelaut-pelaut Sadhabas (Sadhavas - Alam kediaman yang suci) memimpin pelarian mereka mencari daerah-daerah untuk bermukim. Salah satunya di pulau Jawa dan pulau Muria.

Ratusan tahun kemudian, orang-orang pengungsi Kalingga India sudah mapan menetap di pulau Jawa. Termasuk menetap di pulau Muria. Sebelum pulau atau gunung bernama Muria, Gunung tersebut bernama Sapto-Argo (Sapta-Arga) yang artinya Tujuh puncak gunung. Kemudian dari nama Sapto-Argo berubah menjadi Muria yang diambil dari kata Maurya. Penyebutan ini, konon berawal dari pasukan Kerajaan Maurya India mengejar-ngejar para pengungsi orang-orang Keling (Kalingga India) yang lari mengungsi di pulau ini. Maurya adalah nama Dinasti Maurya, kerajaan besar di India. Nama tersebut sebagai pertanda peringatan bagi bangsa Kalingga agar tunduk kepada dinasti Maurya. 

Di seputaran Gunung Muria sekarang, ada situs Candi Angin di Keling Jepara. Candi Angin adalah sebuah reruntuhan di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Candi Angin menyimpan teka-teki yang belum terpecahkan, siapa pendirinya dan pada zaman kapan. Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua daripada Candi Borobudur, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha. Mungkin juga Candi Angin dibangun oleh pelarian Kerajaan Kalingga India sebelum masehi. Kemudian ada lagi Candi Bubrah (artinya roboh) di desa Tempur, Keling Jepara ini. Candi bubrah bisa juga disebut sebagai Gapura menuju Candi Angin. 

Bila dilihat arsitektur Candi Angin dan Candi Bubrah bercirikan budaya Megalitik, bisa jadi sudah ada sebelum Imigran Kalingga tiba di pulau Jawa. Besar kemungkinan, kedatangan imigran dari India ke wilayah Jawa tengah selanjutnya membaur dengan warga asli. Bukti arkeologi memberikan gambaran bahwa sejak zaman prasejarah, wilayah Galuh Purba telah berpenghuni. Temuan megalitik terdapat di Jawa Tengah seperti di Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Rembang, Pati dan daerah tengah seperti Klaten, Magelang, Karanganyar, Blora dan Gunungkidul (Yogyakarta) (Prasetyo, 2006: 284) serta Purworejo dan Purbalingga (Sudiono, 2000). Dengan demikian, saat kedatangan imigran India, di wilayah tersebut telah ada masyarakat megalitik dan telah membangun tempat-tempat suci megalitik sebagai pusat religinya. Kelak di zaman Hindu-Buddha di pulau Jawa, karakteristik bangunan suci khas Nusantara nampak dalam konstruksi candi-candi.

Diantara para imigran India itu berhasil mendirikan kerajaan kecil di tanah Jawa. Diperkirakan muncul Kerajaan Kalingga pada abad ke-5 M (jepara.go.id). Bukti arkeologis pada abad ke ke-7 M muncul Kerajaan Kalingga (Holing, Dwa Pa tan atau Dupo) di pantai utara Jawa Tengah. Berita keberadaan Kalingga (Ho-ling) dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing. Pulau Jawa mulai terindianisasi dan merupakan awal Hindu-Syiwa kerajaan di Jawa Tengah dan sebelumnya muncul Kerajaan Kutai dan Tarumanagara pada abad ke 4 Masehi. Mungkin saja pendiriannya bersamaan atau berdekatan waktunya dengan Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.

Kelak beratus tahun kemudian, yakni pada abad ke-15 M, Kerajaan Demak zamannya penyebaran Islam Walisanga membuat replikasi kota suci Yerusalem dengan menyebut Al-Kuds menjadi kota Kudus, dan gunung Muria yang semula pulau maurya atau Muria yang semula berasal dari kata Maurya, narasinya berubah, bahwa nama Muria berasal dari kata Moriah yang diambil dari nama Gunung Moriah di Yerusalem untuk mengingatkan sejarah Nabi Muhammad SAW ketika beliau Mi'raj dari puncak gunung Moriah. 

Kerajaan Patiayam atau Ayam-Pati atau Hayampati


Lokasi Kerajaan Neo-Kalingga atau Kalingga baru ada di Kecamatan keling, Kabupaten Jepara. Kerajaan Kalingga berdiri sekira pada abad ke-6 atau ke-7 Masehi. Disebutkan pula bahwa pendahulu raja-raja Kalingga baru di Jawa Tengah adalah kelanjutan dari Jawa Timur. Sejarah kerajaan ini langka dan samar-samar.

Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Kalingga:

  1. Prabhu Wasumurti (594-605 M)
  2. Prabhu Wasugeni (605-632 M)
  3. Prabhu Wasudewa (632-652 M)
  4. Prabhu Wasukawi (652 M)
  5. Prabhu Kirathasingha (632-648 M)
  6. Prabhu Kartikeyasingha (648-674 M)
  7. Ratu Shima (674-695 M)

Pada tahun 674 M, Kerajaan Kalingga diperintah Ratu Shima menggantikan suaminya yang wafat. Konon, Ratu Shima sendiri asli dari Kalingga sedangkan suaminya berasal dari Kerajaan Melayu di Sumatra. Jadi Suami Ratu Shima, Prabhu Kartikeyasingha (648-674 M) adalah menantu Raja Kalingga. Ayah Ratu Shima adalah Prabhu Wasugeni (605-632 M) yang memiliki 2 anak yaitu Ratu Shima (Dewi Wasuwari) dan Prabhu Wasudewa.  Setelah Prabhu Wasugeni mangkat, takhta dilanjutkan oleh putranya yaitu Prabhu Wasudewa (kakak Ratu Shima).

Di masa pemerintahan Ratu Shima dikenal menerapkan hukum yang sangat keras. Hingga suatu saat hukuman keras ditimpakan kepada putra mahkotanya yang dianggap bersalah ketika menyentuh pundi perhiasan di jalan dan dinilai bukan haknya. Akhirnya putra mahkota dihukum mutilasi jari kakinya (ini keringan hukuman yang seharusnya hukuman mati).

Ratu Shima memiliki Putri bernama Parwati yang menikah dengan Rahyang Mandiminyak (Suraghana) Raja Galuh ke-2 dan melahirkan putri bernama Sanaha. Kelak Sanaha dinikahkan dengan  Sana atau Bratasenawa, putra Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Ra Babu istri Sempak Waja. Dari hasil pernikahan sedarah ini, lahirlah Sanjaya. Rahyang Mandiminyak bersama istrinya Parwati berkuasa di Kalingga, dilanjutkan oleh Sanaha bersama Sana (Bratasenawa, Raja Galuh ke-3) dan kelak diturunkan kepada Sanjaya.

Ratu Shima menjanda setelah ditinggal mati suaminya, Prabhu Kartikeyasingha. Raja Jayanasa (Jayanaga - menurut Coedes, 1923) dari Kerajaan Sriwijaya ingin melamar Ratu Shima, tetapi ditolak. Jayanasa sakit hati dan ingin menghancurkan Kerajaan (Neo)-Kalingga. Semula Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan kecil yang dipimpin Sri Jayanasa. Ia adalah menantu Raja Tarumanagara yaitu Linggawarman. Di waktu yang sama Sang Tarusbawa, Raja Sunda juga menantu Raja Tarumanagara Linggawarman. Hubungan Tarusbawa, Raja Sunda dan Sri Jayanasa Raja Sriwijaya adalah sama-sama menantu Raja Tarumanagara. Namun tahka Kerajaan Tarumanagara diturunkan kepada Tarusbawa membuat cemburu Sri Jayanasa yang merasa statusnya sama dengan Tarusbawa. Sri Jayanasa dendam terhadap Tarusbawa dan suatu saat merebut tahta Kerajaan Tarumanagara.

Dalam prasasti Kota Kapur peninggalan Sriwijaya menyebutkan akan "menghukum Bhumi Jawa". Apakah yang dimaksud adalah Tarumanagara atau Kalingga? Ada permusuhan antara Sriwijaya dengan Kalingga akibat Maharani Shima menolak pinangan Sri Jayanasa. Dalam prasasti Canggal peninggalan Sanjaya, adalah pertamakalinya istilah Jawa untuk menamai pulau Jawa sekarang ini. Bisa jadi yang dimaksud Bhumi Jawa dalam prasasti kota Kapur adalah Kerajaan Kalingga. Atau bisa jadi memang Tarumanagara, karena dalam waktu hampir bersamaan Kerajaan Kalingga dan Tarumanagara sirna. Yang jelas, Prasasti Sojomerto merupakan peninggalan Wangsa Sailendra yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini tidak menyebutkan angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan berasal dari kurun akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 masehi.

Sriwijaya dalam prasasti Kapur ingin menghukum Bhumi Jawa. Dalam berbagai literatur, disebutkan tahun 752 M, Sriwijaya menguasai Kalingga (dan Tarumanagara?). Mungkin peristiwa ini, membuat Sanjaya tidak lagi sebagai Raja Kalingga dan mendirikan Kerajaan Medang di pedalaman selatan Jawa yaitu Bhumi Mataram yang diyakini sekarang adalah Yogyakarta. 

Lantas benarkah penyerbuan Sriwijaya menyebabkan Kerajaan Kalingga dan Tarumanagara lenyap? Bisa jadi demikian. Namun bukan satu-satunya penyebab keruntuhan kerajaan Kalingga dan Tarumanagara. Terjadi pula peristiwa perebutan tahta atau perpecahan sesama keluarga kerajaan baik di Tarumanagara maupun Kalingga. Tarumanagara pecah menjadi Sunda dan Galuh sedangkan Kalingga dibagi 2 dan mengalami pemberontakan dari putra mahkota Maharani Shima yang dimutilasi jari kakinya. Ia menyusun kekuatan di pulau Muria atau gunung Muria yang menurut kisah folklore disebut Kerajaan Pati-Ayam. Kerajaan ini jarang diketahui. Menurut cerita rakyat dan Babad Pati yang merupakan turunan Babad Tanah Jawi, pati artinya santan kelapa. Maka dalam Babad Pati (abad ke-17 M, zaman Mataram Islam) menyebut nama Pati Pesantenan. Kebenaran definisi pati sebagai santan (bahasa Sunda Cai pati) dibantah para pemerhati budaya Kabupaten Pati. Definisi bahasa harus disesuaikan dengan konteks waktu saat itu. Sedangkan nama daerah Pati sejak zaman Empu Sindok sudah disebutkan. Artinya nama wilayah Pati sudah cukup tua. Istilah pathi (pati) dalam bahasa Sansekerta menurut Sarkar (1971-1972: 41-48) didefinisikan sebagai "Lord" atau "Tuan Penguasa". Contohnya Narpati diartikan sebagai "Lord of the People" sedangkan Bhupati diartikan sebagai "Lord of the Land" lalu Maharaja diartikan "Great King" dan rajadiraja diartikan "supreme king of the kings".  

lukisan sabung ayam

Sementara kata "Ayam" atau "Hayam" (Sebagaimana digunakan Maharaja Majapahit Hayam Wuruk), memliki makna simbolis kultural. Menurut Antropolog asal Amerika, Clifford James Geertz, menggunakan paradigma interpretasi simbolik, mendiskripsikan makna Ayam itu, ada suatu bangunan kultur yang besar, tentang status, tentang kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang menjadi dasar pembentukan budaya. Dalam sejarahnya kisah-kisah di tanah Jawa dan Bali kerap dijumpai kisah "Sabung Ayam". Geertz dalam salah satu eseinya yang terkenal, Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight. Esai yang menjadi salah satu artikel penting dalam bukunya, The Interpretation of Culture: Selected Essays, menyimpulkan bahwa hanya kelihatannya saja jago-jago (ayam-ayam) yang bertarung di sana. Sebenarnya, yang bertarung di sana adalah manusia-manusia.” Pada Ayam terdapat "Taji". Geertz saat melakukan penelitian etnografi di Bali mengungkapkan pentingnya taji sebagai simbol kewibawaan.

Bagi masyarakat Jawa, Bali, Sunda, dan lainnya, ayam jantan dulu pernah memiliki asosiasi untuk melukiskan tentang citra keberanian atau kejantanan. Jadi Ayam Pati atau Pati Ayam dapat dimaknai sebagai seorang "Penguasa yang memiliki Jiwa Ksatria/Pahlawan/Jagoan".

Dendam kesumat tidak pernah berhenti sebagai bara api perseteruan anak-cucu Kerajaan Tarumanagara, Kalingga, Sriwijaya dan negeri-negeri di Nusantara ini selalu hidup.

Kembali ke Kerajaan Kalingga. Kartikeyasingha menjadi raja Kalingga pada tahun 648 M. Dari perkawinan dengan Ratu Shima, selain Pangeran Jaya-Shima, masih mempunya dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara). Saat Kartikeyasingha (suami Ratu Shima) wafat tahun 674 M, Ratu Shima mengambil alih posisi suaminya sampai dengan tahun 695 M dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Pemerintahan di pusat kerajaan oleh Ratu Shima didelegasikan kepada 4 orang menteri yang mengatur negara beserta 28 negara taklukan yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ratu Shima terlanjur kecewa kepada putra mahkotanya, maka kedudukan raja setelah dia lengser diberikan kepada anaknya yang membelah Kalingga menjadi 2 yaitu Kalingga Utara dan Kalingga Selatan. Lalu tahta dilanjutkan oleh cucu perempuannya yaitu Sanaha dan kelak menikah dengan Sana (Raja Galuh ke-3) putra Rahyang Mandiminyak bersama istrinya mempimpin kalingga. Selama Sana (Bratasenawa) dan Sanaha memerintah Kalingga, Ratu Shima masih hidup pun demikian dimasa sebelumnya di saat Rahyang Mandiminyak bersama istrinya Parwati (putri Ratu Shima) bersama memerintah Kerajaan Kalingga Utara dan Dewasingha memerintah Kalingga Selatan (Kerajaan Kalingga terbagi 2). Rupanya ada masa transisi 'magang' menjadi raja di zaman itu. Setelah Maharani Shima wafat pada tahun 732 M, Sanjaya (buyutnya) menggantikannya menjadi Raja Kalingga Utara yang kemudian Sanjaya mengganti nama Kerajaan menjadi Medang (Galuh?) dan memindahkannya ke Bhumi Mataram.

Sebelumnya Sanjaya telah menjadi Raja Sunda dan Galuh. Kekuasaan Sunda (dan Galuh) diserahkan kepada putranya dari Tejakancana yaitu Tamperan Barmawijaya atau Rakai/Rakyan/Rakeyan Panaraban. Sanjaya juga menikahi Sudiwara putri Dewasingha, Raja Kalingga Selatan atau Bhumi Sambara dan memiliki putra yaitu Rakai/Rakeyan/Rakyan Panangkaran.

Lalu kemana Sang Putra Mahkota Kalingga yang dijatuhi hukuman mutilasi itu? Apakah dia wurung (gagal) menjadi raja Kalingga berikutnya? Putra mahkota itu bernama Pangeran Jayashima, yaitu putra pertama Ratu Shima. Karena Jayashima cacat fisik, maka sesuai aturan Kerajaan di masa itu maka status sebagai putra mahkota dicopot darinya. Aturan ini berlaku di Kerajaan Tarumanagara, Galuh dan Sunda yang menyatakan bahwa pewaris tahta kerajaan dipilih dari para pangeran yang sempurna dan tidak cacat jasmani maupun rohani. Akibatnya persyaratan ini Pangeran Jayashima jadi tersingkir. Ia mendirikan Kerajaan Kalingga di Pulau/Gunung Muria. Inilah yang kemudian ditaktukan oleh Sriwijaya.

Bermula dari hukuman Maharani Shima kepada Putra Mahkota bernama Jaya-Shima. Kejadian itu memunculkan ketidaksenangan Putra mahkota yang didukung oleh menteri-menteri terhadap keputusan maharani Shima yang dianggap tidak berperikemanusiaan. Kejadian tersebut berbuntut perlawanan dari Sang putra Mahkota.

Putra Mahkota memberontak melawan kebijaksanaan Maharani Shima, sehingga kerajaan Kalingga terpecah menjadi dua kubu. Akibatnya kerajaan menjadi lemah. Ketika kekalutan meliputi segenap pembesar kerajaan serta pra prajurit, menimbulkan kebingungan para ksatria dan prajurit. Siapakah pemimpin yang harus diikuti perintahnya.

Putra Mahkota menyusun kekuatan di Pulau Muria yang saat itu terpisah dengan pulau Jawa. Kemudian ia melakukan penyerangan dan pendudukan pada pos-pos strategis dimulai menguasai selat Silugangga dan berhasil menghancurkan pos-pos pertahanan Kerajaan Kalingga sehingga terputus hubungan Pulau Muria dengan pulau Jawa. Maka terjadilah perang saudara antara anak dan ibu. Konon, dikisahkan pasukan perang ada yang berkendaraan gajah. Posisi Kerajaan Kalingga yang berada di anak Gunung Muria Selatan berhasil ditundukkan. Pertempuran memakan banyak korban, baik manusia atau binatang kendaraan seperti gajah dan kuda. Tetapi Putra Mahkota gagal menundukkan keraton Ratu/Maharani Shima. 

Menurut sebagian ahli sejarah, penyerangan Sriwijaya ke Bhumi Jawa berhasil. Tahun 682 M, Sriwijaya (masa Sri Jayanasa) mengirim ekspedisi militernya untuk menghukum bhumi Jawa yang dianggap tak berbakti. Satu per satu kerajaan di Jawa ditundukannya. Diserangnya kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) sebagai pesaing berat pedagangan. Berikutnya Kalingga runtuh dan dikuasai Sriwijaya. Dan pada tahun 695 M, Sriwijaya menghentikan penyerangannya akibat turun tangannya Kekaisaran Tiongkok melerainya. Konon, tahun 752 M, Kerajaan Kalingga Utara dan Selatan menjadi wilayah taklukan Sriwijaya, kecuali Pulau Muria yang dijadikan wilayah netral atau sebenarnya bawahan langsung Sriwijaya. Sriwijaya menyerang Kalingga bermula dari permasalahan sakit hati karena pinangan Sri Jayanasa ditolak Ratu Shima. Sedangkan menurut Prasasti Kota Kapur yang dibuat pada Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi) adalah ungkapan akan menghukum Bhumi Jawa.

Ketika Kerajaan Kalingga diserang Sriwijaya, Keraton Ratu Shima dibumihanguskan. Maharani Shima dan para pangeran lainnya lari menyelamatkan diri ke Jawa Barat (mungkin ke Kerajaan Galuh). Sementara Pangeran Jayashima bersama pengawalnya menyelamatkan diri di hutan perbukitan Pulau Muria sisi selatan. Di tempat yang baru inilah Pangeran Jayashima menyusun kekuatan dan mendirikan kerajaan baru diperbukitan sisi timur Dukuh Terban. Seiring berjalannya waktu, Pangeran Jayashima selanjutnya sebagai penguasan pulau Muria yang meliputi Jepara, Kudus dan Pati. 

Raja Jayashima menjadi sahabat Kerajaan Sriwijaya dan Kaisar Tiongkok. Kedua negara itu memberikan jaminan tidak akan mengusik maupun mencampuri urusan pemerintahan Raja Jayashima di pulau Muria. Bahkan kedua kerajaan tersebut siap membantu bilamana ada pihak-pihak yang mengganggu atau menyerang Kerajaan Raja Jayashima. 

Memang kenyataannya, Sriwijaya punya kepentingan besar akan keberadaan pelabuhan internasional Welahan. demikian juga Kaisar Tiongkok punya kepentingan untuk mempertahankan Pelabuhan Welahan sebagai pelabuhan internasional yang netral. Ada dua pelabuhan penting di pulau Muria yaitu Welahan dan Silugangga (Juana). Raja Jayashima punya peran penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat di pulau Muria. Kerajaannya disebut Kalingga Muria. Raja jayashima memindahkan keraton dari Jepara ke perbukitan (pegunan Patiayam) dekat selat Silugangga (Selat Patiayam).

Raja Jayashima berkuasa sejak 695 M (sejak berhentinya serangan Sriwijaya) hingga 752 M (pada saat Sriwijaya memulai penyerangan ke wilayah Mataram di Jawa Timur. Raja Jayashima meninggal, kemudian digantikan putranya yang bernama Pangeran Hayam-Pathi. Menurut Babad dan folklore, Raja Hayam-Pathi mengganti nama Kerajaan Kalingga-Muria menjadi Kerajaan Hayam-Pathi atau Pathi-Ayam.

Mungkinkah ini  penyebab Keling Jepara ditinggalkan Rakai Sanjaya? Dalam Prasasti Canggal (732 M), Sanjaya menyebutkan pendahulunya adalah Sana atau Bratasenawa sebagai raja tanpa menyebutkan nama kerajaannya. Barulah pada Prasasti Mantyasih (dari Kedu berangka tahun 907 M), Dyah Balitung menyebutkan nama pendiri Kerajaan baru yang bernama Medang di Bhumi Mataram adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dyah Balitung dalam Prasasti Tulangan (832S/910M) disebut sebagai Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu. Mungkin pula, peristiwa ini membuat kisah Ibukota Kerajaan Galuh berpindah-pindah hingga Kawali Ciamis. Sedangkan kita pun sulit memetakan teritorial mana Kerajaan Galuh mana Medang? Bila penulis menghipotesiskan bahwa Kerajaan Galuh kemudian memiliki ciri Kemaharajaresian atau Kerajaan berbasis keagamaan sebagaimana awalnya didahuli oleh Kerajaan Kendan dibawah kepemimpinan Mahararesi Manikmaya (abad ke-6 M di zaman Tarumanagara). Jadi Kerajaan Medang adalah Kerajaan Galuh seperti terlihat Gelar Dyah Balitung. Bahkan Kerajaresian Galuh pada zaman Batari Hyang Janapati tahun 1111 M (Prasasti Geger Hanjuang) sebagai Ratu Galuh sekaligus Resi masih nampak hingga zaman Maharaja Wastukancana berkuasa atas Sunda dan Galuh (prasasti Kawali). Selanjutnya wilayah kekuasan terus mengecil. Jika di asosiasikan mirip dengan Kesultanan Cirebon yang dipimpin Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cirebon yang ketiganya berteritorial yang sama.

Bila kita telisik secara kritis, menjadi pertanyaan: benarkah penaklukan Sriwijaya itu terjadi pada Kerajaan Tarumanagara dan Kalingga? Tahun 686 M sudah tidak ada Kerajaan Tarumanagara. Seharusnyaa saat itu yang ditaklukan Sriwijaya adalah Kerajaan Sunda yang berdiri (dideklarasikan sebagai pengganti Tarumanagara) tahun 670 M. Sedangkan tahun 752 M, saat Sriwijaya menghentikan serangan, Maharani Shima telah wafat sebelumnya yaitu tahun 732 M dan nama Kerajaan Sudah berganti menjadi Medang di Bhumi Mataram (bagian selatan Jawa yang kini diperkirakan Jogjakarta). Untuk Kalingga bisa jadi adalah Kalingga-Muria dibawah Prabhu Jayashima yang ditaklukan Sriwijaya. Dan di Jawa Barat, bisa jadi sebaran lebih dari 60 Candi di Kompleks percandian Batujaya Karawang adalah peninggalan Sriwijaya. Dalam berbagai naskah Sunda, tidak pernah menceritakan tentang candi-candi ini secara jelas.

Kerajaan Sriwijaya termasuk kerajaan Talasokrasi (Kulke, 2016). Istilah talasokrasi (dari bahasa Yunani: θάλασσα (thalassa), artinya laut, dan κρατείν (kratein), artinya "berkuasa", maka θαλασσοκρατία (thalassokratia), "penguasa laut") merujuk pada suatu negara yang memiliki lingkungan kekuasaan utama berupa lautan, sebagai kemaharajaan bahari. Contohnya adalah jaringan kota pelabuhan Fenisia. Talasokrasi tradisional jarang sekali menguasai kawasan pedalaman, bahkan di tanah air mereka sendiri (contoh: Tirus, Sidon, atau Kartago).  Pun demikian Kerajaan Sriwijaya hanya menguasai pesisir pulau-pulau yang ditaklukannya.

 

 

Referensi

  1. Coedes, George. 1964. "The Indianized States of Southeast Asia". Honolulu: East-West Center Press (translation of Les Etats Hindouises d'Indochine et d'Indonesie. Paris: De Boccard, 1964).
  2. Coedes, George. 1989. "Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Seri terjemahan arkeologi)".‎ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Cet. 1 edition (January 1, 1989) 
  3. Coedes, George. 1992. "Sriwijaya : history, religion & language of an early Malay polity : collected studies".  Publisher ‏ : ‎ MBRAS (January 1, 1992) 
  4. Coedes, George. 2015. "The Making of South East Asia (RLE Modern East and South East Asia). Routledge Library Editions: Modern East and South East Asia, 1st Edition, Kindle Edition
  5. Geertz, Clifford James. 1973. "The Interpretation of Culture: Selected Essays". New York: Basic Books, Inc. monoskop.org Diakses12 Agustus 2021. 
  6. Harianti, dkk. 2007. "Laporan hasil Penelitian Babad Pati: Perang Tanding Adipati Jayakusuma Melawan Panembahan Senopati dalam Babad Pati". Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi.
  7. Hernowo, Henky Bambang. "Hancurnya Kerajaan Pati Ayam". Dinas Arsip dan Perustakaaan Daerah Kabupaten Pati Jawa Tengah. dinasarpus.patikab.go.id PDF Download. Diakses 12 Agustus 2021.
  8. Kulke, Hermann. 2016. " Śrīvijaya Revisited: Reflections on State Formation of a Southeast Asian Thalassocracy [article] ". Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient, Année 2016 102 pp. 45-95 . persee.fr
  9. Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  10. Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet.
  11. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  12. Reid, Anthony.1998. "Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Lands Below the Winds", Volume 1. Yale University Press
  13. Sarkar, Himanshu Bhusan. 1971-1972. "Corpus of the Inscriptions of Java (Corpus inscriptioonum Javanicarum), up to 928 A.D. Calcuta, K.L. Mukhopadhyay, 2 Vols.
  14. Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  15. Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  16. Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS 
  17. Soekmono, Drs. R. 1998. " Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2", 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Cet ke-5.
  18. Sudiono. 2000. "Peninggalan Prasejarah di Kabupaten Purworejo". Jakarta: Puslitkernas: Majalah Kalpataru Majalah Arkeologi 14 29-50.

Baca Juga

Sponsor