Cari

Kerajaan Mataram Kuno atau Medang Merupakan Kerajaan Agraris atau Maritim?

[Historiana] - Menyadur dari karya Baskoro Daru Tjahjono dalam laman Kemendikbud dalam tulisan "Mataram Kuno Agraris atau Maritim". Agraris atau Maritim

Relief Kapal Besar di Candi Borobudur


Negara maritim adalah negara yang memiliki visi atau pandangan hidup maritim untuk mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Enam syarat negara maritime adalah lokasi geografis, karakteristik tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, serta pemerintahan (Nugroho, 2010:13; Suroyo, dkk., 2007:11). Negara maritim harus dapat mengendalikan pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaannya, sehingga wajib memiliki armada laut yang tangguh, baik armada perang maupun armada dagang (Nugroho, 2010:13; Suroyo, dkk., 2007:43).

Kenneth R. Hall menyatakan bahwa ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pertama, zona Teluk Benggala, mencakup India Selatan, Srilangka, Birma, dan pantai utara Sumatera. Kedua, kawasan Selat Malaka. Ketiga, kawasan Laut Cina Selatan, meliputi pantai timur Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Vietnam Selatan. Keempat, kawasan Sulu, mencakup pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Kelima, kawasan laut Jawa, meliputi Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara (Nugroho, 2010:13–14; Suroyo, dkk., 2007:9). Selain lima zona itu ada dua zona lain, yaitu kawasan Laut Arab, meliputi Cochin, Malabar, Oman, dan Aden; dan kawasan Laut Merah, meliputi Mombasa, Mogadishu, Muza, Berenike, yang berujung di Alexandria (Nugroho, 2010:14).

Ketujuh zona komersial itu tidak terbatas pada abad ke-14 dan awal abad ke-15 saja, melainkan pada abad-abad sebelumnya juga sudah berlangsung. Demikian pentingnya tujuh zona komersial menyebabkan gesekan perebutan dominasi di kawasan itu, baik oleh Arab (Dazi), India (Magadha, Colamandala, Pandya), Daratan Asia Tenggara (Khmer), Mongol, maupun Jawa. Perebutan dominasi itu juga melibatkan Jawa dan wilayah sekitarnya, seperti kerajaan-kerajaan di Sumatera, Malaka, Kalimantan, dan Sulawesi (Nugroho, 2010:14).

Secara umum, gesekan perebutan dominasi di tujuh zona komersial menyebabkan konflik terbuka seperti Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatera, dan konflik tertutup dengan Arab. Dalam setiap konflik tersebut Jawa selalu menang, sehingga kapal-kapal Jawa mendominasi seluruh kawasan. Menurut Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, serta informasi Arab, jumlah perahu yang dimiliki negara-negara di Asia dalam satu ekspedisi umumnya sebanyak 100 perahu. Banyaknya armada kapal menunjukkan kuatnya kerajaan yang memilikinya. Armada yang memiliki jumlah kapal di atas rata-rata adalah Makasar dan Jawa. Makasar memiliki 200 perahu, sedangkan Jawa memiliki lebih dari 2.800 perahu dalam satu ekspedisi (Nugroho, 2010:16).

Dalam Carita Parahiyangan diungkapkan bahwa setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya raja Medang menganeksasi Melayu, Kemir, Keling, Cina, dan Kahuripan. Setelah aneksasi tersebut, sumber Arab yang ditulis oleh Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Cina pada 851, menyebutkan bahwa Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatera), dan Kalah (Semenanjung Malaka) sebagai daerah Jawa (Medang). Informasi ini menunjukkan bahwa sebelum Majapahit di Jawa ada kerajaan besar lain, yaitu Medang. Informasi adanya aneksasi atas Sriwijaya juga diperkuat dengan berita Cina masa Dinasti Tang yang menyatakan bahwa Sriwijaya mengirim utusan ke Cina pada 670–673, 713–741, dan utusan terakhir pada 742. Sejak itu tidak ada lagi utusan Sriwijaya yang datang (Nugroho, 2010:31–33).

Aneksasi-aneksasi yang dilakukan Raja Sanjaya adalah upaya untuk menguasai lima zona komersial di Asia Tenggara. Aneksasi atas Keling (India) merupakan bentuk penguasaan zona Teluk Benggala, aneksasi atas Melayu merupakan bentuk penguasaan zona Selat Malaka, aneksasi atas Kemir (Khmer) dan Cina merupakan bentuk penguasaan zona Laut Cina Selatan, aneksasi atas Kalimantan merupakan bentuk penguasaan zona Sulu, dan aneksasi atas Kahuripan merupakan bentuk penguasaan zona Laut Jawa. Sementara itu dua zona lain, yaitu Laut Arab dan Laut Merah telah dikuasai kerajaan pendahulunya yaitu Kaling (Nugroho, 2010:33–34).

Melalui data filologi di atas Nugroho dapat mengungkapkan bahwa tradisi maritim sebenarnya sudah lama dianut oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara, tidak saja oleh Sriwijaya dan Majapahit, melainkan juga kerajaan-kerajaan Jawa pra Majapahit, yaitu Kaling, Medang (Mataram), Kahuripan, Kadiri, dan Singasari. Mereka menyadari bahwa dengan menguasai jalur-jalur perdagangan laut akan menguasai perekonomian dunia pada masa itu.

Namun apakah data filologi yang menyatakan kehebatan armada laut Jawa, khususnya pada masa Mataram Kuna, juga didukung oleh data arkeologi. Memang belum banyak penelitian arkeologi yang membahas tentang kemaritiman masa Mataram Kuna karena adanya anggapan bahwa kerajaan itu bersifat agraris. Maka menjadi menarik apa yang telah diungkap Nugroho tersebut, sekaligus menyadarkan dan menjadi tantangan para arkeolog untuk mengungkap kemaritiman masa Mataram Kuna. Sebagai kerajaan besar yang mampu bertahan hingga rentang waktu 300 tahun, mustahil kalau Mataram Kuna tidak memiliki armada laut yang kuat, karena yang dihadapi tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa saja tetapi lebih banyak musuh dari luar Jawa. Armada laut itu tidak hanya untuk berperang menghadapi musuh tetapi juga untuk berdagang dengan kerajaan-kerajaan atau bangsa-bangsa lain, seperti Arab, India, Cina, Sriwijaya, Malaka, dan lain-lain.

Data arkeologi memang mempunyai keterbatasan, sehingga akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk dapat mengungkap jumlah armada perahu yang dimiliki oleh Jawa khususnya Mataram Kuna, sebagaimana dinyatakan dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai maupun informasi Arab. Namun informasi dari data filologi maupun data sejarah lainnya dapat membantu penelusuran tinggalan masa lalu melalui penelitian arkeologi. Misalnya jika ada informasi mengenai pelabuhan-pelabuhan kuna di suatu tempat tentunya bisa ditelusuri kebenarannya melalui penelitian arkeologi. Informasi mengenai bentuk dan ukuran perahu tentu bisa untuk perbandingan dengan temuan-temuan perahu yang sudah ada.

Temuan perahu kuna spektakuler di Desa Punjulharjo, Rembang telah diteliti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2008. Temuan perahu ini spektakuler karena merupakan temuan perahu kuna yang relatif utuh. Berdasarkan pertanggalannya, perahu kuna Punjulharjo itu berkisar antara 660–780 M. Dikaitkan dengan konteks kesejarahan, masa tersebut berada pada peradaban masa Sriwijaya di Sumatera dan Mataram Kuna di Jawa (Riyanto, 2013:5).

Perahu kuna ini belum dapat dipastikan apakah milik Sriwijaya atau Mataram Kuna, namun berdasarkan ciri-ciri teknologinya (teknik papan ikat dan kupingan pengikat) dapat dipastikan bahwa perahu Punjulharjo adalah perahu Nusantara atau Asia Tenggara secara umum (Riyanto, 2013:5). Walaupun belum dapat dipastikan sebagai milik Sriwijaya atau Mataram Kuna, namun karena perahu ini adalah perahu Nusantara bisa jadi perahu ini milik Sriwijaya atau Mataram Kuna. Penemuan ini menjadi sangat penting mengingat tingkat kesulitan yang tinggi untuk bisa menemukan sisa-sisa perahu kuna lainnya, apalagi yang relatif masih utuh, sehingga penelitian yang mendalam sangat diperlukan untuk dapat mengungkap siapa pemilik perahu itu.

Perahu Punjulharjo ini mempunyai ukuran yang cukup besar, panjang 15 meter dan lebar 4,6 meter. Perahu ini termasuk dalam kategori perahu berbadan lebar yang mampu membawa muatan yang cukup banyak, sehingga diduga sebagai perahu dagang yang dapat berlayar jauh mengarungi lautan lepas. Menurut Manguin, pakar Arkeologi Maritim dari EFEO Perancis, kapasitas perahu sekitar 60 ton dengan jumlah orang sekitar 24 orang. Dijelaskan pula bahwa perahu ini bukan jenis perahu nelayan atau perahu perang, tetapi kemungkinan perahu dagang (Riyanto, 2013:6).

Data arkeologis mengenai kemaritiman masa Mataram Kuna juga dapat ditelusuri melalui relief-relief candi. Aktivitas pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat masa lalu, kemungkinan masyarakat yang tinggal di wilayah Kerajaan Mataram Kuna, dapat diamati dari relief-relief perahu yang terdapat di Candi Borobudur. Dalam panel-panel relief itu digambarkan beberapa jenis perahu, ada jenis perahu berukuran kecil yang biasa digunakan di sungai laut dekat pantai, maupun perahu berukuran besar yang biasa digunakan di lautan lepas atau samudera. Dengan adanya relief-relief perahu berbagai ukuran dan berbagai manfaat itu menunjukkan bahwa masyarakat Mataram Kuna telah mengenal teknologi perahu, mungkin juga ada yang berprofesi sebagai nahkoda perahu.

Prasasti Puhawang Glis atau prasasti Gondosuli Prasasti pada batu, ditemukan di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti itu ditulis dalam aksara Jawa Kuna dan bahasa Melayu Kuna. Isinya kurang begitu jelas, antara lain menyebutkan bahwa pada tanggal 8 paro terang bulan Jyesta tahun 749 Śaka (7 Mei 827) Dang Puhawang Glis dan istrinya meresmikan sīma. Menurut informasi Bambang Budi Utomo prasasti itu berisi tentang puja bakti yang dilakukan oleh seorang nahkoda kapal terhadap satu bangunan suci di Gondosuli. Jika dilihat konteksnya Dang Puhawang Glis adalah nahkoda yang berasal dari Jawa atau Mataram Kuna, karena pekerjaannya sebagai nahkoda (dang puhawang), ia lama merantau. Pada suatu kesempatan rindu akan kampung halamannya, maka ia pulang dengan tidak lupa memberikan persembahan kepada dewa yang dipujanya.

Tentu masih banyak lagi data arkeologis yang berkaitan dengan kemaritiman, khususnya masa Mataram Kuna, yang dapat ditelusur. Namun perlu kerja keras untuk dapat mengungkapnya, karena belum banyaknya informasi data arkeologi maritim yang berkaitan dengan Mataram Kuna.
Penutup

Sekelumit data arkeologi di atas telah menyiratkan bahwa masa Mataram Kuna ada nuansa kemaritiman. Memang baru sedikit, namun yang sedikit tersebut mampu memberikan harapan bagi para arkeolog untuk lebih berani mengungkapkan data kemaritiman pada masa Mataram Kuna. Bangsa-bangsa yang hidup di pulau-pulau yang dikitari oleh lautan luas tentu menyadari situasi dan kondisinya tersebut, sehingga akan beradaptasi dengan lingkungan geografis yang demikian. Pada akhirnya adaptasi dengan lingkungan itu akan menghasilkan karakter yang khas bangsa itu. Maka sudah selayaknya kalau Mataram Kuna juga muncul sebagai kerajaan maritim, sebagaimana tetangganya Sriwijaya dan kerajaan sesudahnya seperti Majapahit.

Jika dalam Prasasti Canggal (732 M) disebutkan bahwa Pulau Jawa sangat indah, hijau, subur, dan kaya akan emas, tidak harus diartikan bahwa Mataram Kuna yang berada di Pulau Jawa sangat bergantung pada hasil bumi tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai negara agraris. Kekayaan alam Pulau Jawa itu dapat dikatakan sebagai bonus atau nilai tambah yang dimiliki oleh Mataram Kuna, sehingga kekuatan ekonomi Mataram Kuna tidak saja bergantung pada hegemoninya terhadap tujuh zona perdagangan Asia, tetapi juga ditopang oleh hasil buminya, sebagaimana Kerajaan Majapahit.

Oleh karena itu, apa yang telah dikemukakan oleh Nugroho bahwa Mataram Kuna adalah salah satu kerajaan maritim dengan armada lautnya yang kuat, menjadi tantangan bagi para arkeolog untuk membuktikannya. Data filologi maupun data kesejarahan lain dapat membantu para arkeolog untuk mencari dan menggali data arkeologis yang tersurat atau tersirat dalam data filologi atau sejarah tersebut.

Makalah ini dipaparkan oleh Baskoro Daru Tjahjono pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.
 


Referensi

  1. Boechari, 1966, “Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sojomerto”, dalam MISI 3 (2&3):241–251
  2. Boechari dan A.S. Wibowo, 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.
  3. Brandes, J.L.A.1913. “Steen van Soerabaja”, OJO LII. Batavia/S. Hage: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
  4. Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I), hlm. 38–41, Bandung: Masa Baru
  5. __________ 1958. “Short Inscription from Tjandi Plaosan Lor”. Berita Dinas Purbakala No. 4. Djakarta: Dinas Purbakala.
  6. Damais, L.C. 1964. “La transcriptions Chinoise Ho-Ling comme designation de Java”. BEFEO, LII. Hlm 93-141.
  7. Jones, A.M.B. 1984. “Early Tenth Century Java from the Inscriptions a Study of Economic, Social, and Administrative Conditions in the First Quarter of the Century. VKI 107. Dordrecht: Foris Publication.
  8. Krom, N.J. 1915. “Oudheidkundig Verslag Over Het Tweede Kwartaal 1915”. OV. Uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen, Weitvreden Abrecht and Co/ S. Hage M. Nijhoff.
  9. Kusen. 1994. “Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi. Tahun XIV–Edisi Khusus.
  10. Moens, J.L. 1937. “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77:317–487.
  11. Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar pada Masa Mataram Kuna Abad IX–XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya.
  12. Nugroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti.
  13. Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
  14. Riyanto, Sugeng. 2013, Perahu Kuna Punjulharjo dan Arkeologi Maritim Nusantara, dalam, Inajati Adrisijanti. Perahu Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.
  15. Setiawan, I.G.N. Made Budiana. 1995. “Pergeseran Kedudukan Pejabat Tinggi Kerajaan Mataram Kuna Pada Abad IX–X Masehi: Kajian Terhadap Situasi Politik Pemerintahan”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
  16. Stuart, A.B. Cohen. 1875. Kawi Oorkonden in Facsimile, met inleiding en Transcriptie. Leiden: E.J. Brill.
  17. Stutterheim, W.F. 1935. “Een Javaansche Acte van Uitspraak uit het Jaar 922 AD”, TBG. Vol. 75. Hlm. 420–437.
  18. Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17. Semarang: Jeda.
  19. Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III–Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.
Baca Juga

Sponsor