Prasasti Candi Angin
Peninggalan Kalingga Pendahulu Medang
[Historiana] - Menyadur dari karya Baskoro Daru Tjahjono dalam laman Kemendikbud dalam tulisan "Mataram Kuno Agraris atau Maritim". Agraris atau Maritim. Makalah ini dipaparkan oleh Baskoro Daru Tjahjono pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.
Pada awalnya Kerajaan Mataram Kuna diperkirakan berpusat di poros Kedu-Prambanan, yang didasarkan pada banyaknya tinggalan bangunan-bangunan monumental berupa candi-candi yang sangat megah di kawasan itu. Poros Kedu-Prambanan meliputi daerah-daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya sekitar Prambanan. Di kawasan Kedu terdapat Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Ngawen, dan masih banyak candi-candi lain di sekelilingnya. Di kawasan sekitar Prambanan terdapat Candi Prambanan (Lorojonggrang), Sewu, Plaosan, Sari, Kalasan, Sambisari, dan candi-candi lainnya. Selanjutnya pada masa pemerintahan Pu Sindok pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur.
Nama Mataram baru muncul sekitar awal abad VIII M, yaitu saat Sanjaya berkuasa. Ia menyebut dirinya sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Namun leluhurnya sudah mulai memerintah di Jawa Tengah sejak abad VII M yang diawali oleh Dapunta Selendra sebagai pendiri wangsa Syailendra. Pada waktu itu nama kerajaannya belum diketahui karena belum ditemukan prasasti yang menyebutkan hal itu. Pada abad V M berita-berita Cina dari jaman dinasti Sung Awal (420–470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o, kemudian berubah menjadi Ho-ling pada masa dinasti T’ang (618–906 M) dan berlangsung hingga 818 M. Selanjutnya berubah lagi menjadi She-po sejak 820 sampai 856 M (Damais, 1964:140–141; Poesponegoro, 1984:93).
Dari data prasasti diketahui terdapat sejumlah nama tempat yang diduga sebagai pusat-pusat pemerintahan atau lokasi ibukota kerajaan Mataram Kuna. Diketahui pula bahwa ibukota kerajaan mengalami beberapa kali perpindahan. Ibukota kerajaan Mataram Kuna pertama adalah Poh Pitu seperti yang tercantum dalam prasasti Mantyasih. Perpindahan lokasi ibukota kerajaan diketahui dari prasasti Siwagrha yang berangka tahun 778 Saka (856 M) yang berasal dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa ibukota kerajaan terletak di Mamratipura (kadatwan i mdang i bhumi mataram i mamratipura). Sampai saat ini lokasi Poh Pitu maupun Mamratipura belum dapat diidentifikasi. Meskipun demikian yang dapat dipastikan adalah keduanya, baik Poh Pitu maupun Mamratipura terletak di daerah Jawa Tengah sekarang. Raja Mataram Kuna lainnya yang memindahkan ibukota kerajaan yang tercatat dalam prasasti adalah Raja Sindok yang bergelar Sri Isanawikramottunggadewa, yang memindahkan ibukota kerajaan ke daerah Jawa Timur (Nastiti, 2003:24–27; Boechari, 1976; Poesponegoro, 1984:157).
Daerah Jawa Timur sudah dikuasai kerajaan Mataram Kuna sejak masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (898–911 M). Jawa Timur dengan Sungai Brantasnya sangat memungkinkan untuk meningkatkan jalur-jalur perdagangan ke seluruh wilayah Nusantara maupun untuk jalur-jalur perdagangan internasional. Dengan alasan tersebut Pu Sindok merencanakan pindah ke Jawa Timur, akan tetapi karena adanya bencana alam maka kepindahannya terburu-buru sehingga tidak sempat membangun istananya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, jelas mengapa dalam prasasti Gulung-gulung yang berangka tahun 851 Saka (929 M) tidak menyebutkan nama keratonnya dan baru tiga bulan kemudian Pu Sindok mengumumkan bahwa ia berkeraton di Tamwlang, yang diidentifikasikan dengan Desa Tambelang di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Keterangan tersebut terdapat dalam prasasti Turyyan yang berangka tahun 851 Saka (929 M). Akan tetapi dari prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (937 M) dan prasasti Paradah yang berangka tahun 865 Saka (943 M) ibukota kerajaan disebutkan terletak di Watugaluh (kadatwan ri mdang ri bhumi mataram i watugaluh) yang diidentifikasikan dengan Desa Watugaluh, di tepi Sungai Brantas, yang termasuk Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pindahnya ibukota kerajaan dari Tamwlang ke Watugaluh diperkirakan karena adanya serangan musuh (Poesponegoro, 1984:167). Sampai masa pemerintahan Raja Dharmmawangsa Tguh ibukota kerajaan masih terletak di Watugaluh. Keterangan ini diketahui dari Prasasti Wwahan yang berangka tahun 907 Saka (995 M), yang masih menyebutkan kadatwan ri mdang ri bhumi mataram ri watugaluh (Boechari, 1986:190).
Menurut Poerbatjaraka di Jawa hanya ada satu dinasti yang berkuasa atas Mataram Kuna yaitu Dinasti Syailendra. Sanjaya dan keturunan-keturunannya adalah raja-raja dari keluarga Syailendra yang menganut ajaran Siwa. Tetapi sejak Panangkaran berpindah ajaran menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut Buddha Mahāyāna juga (Poerbatjaraka, 1958:254–264). Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Kabupaten Batang menyebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ (Boechari, 1966:241–251).
Silsilah raja-raja keturunan dinasti Syailendra dapat diketahui dari dua prasasti yang dikeluarkan oleh Balitung yaitu prasasti Mantyasih I (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M). Yang menarik dari dua prasasti ini walaupun sama-sama dikeluarkan oleh Balitung tetapi daftar nama raja yang dituliskan agak berbeda. Ada empat nama yang terdapat dalam prasasti Wanua Tengah III tidak ditemukan pada prasasti Mantyasih I, yaitu Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra. Menurut Kusen perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang dikeluarkannya prasasti tersebut. Prasasti Mantyasih diterbitkan dalam rangka melegitimasi dirinya sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga yang dicantumkan hanya para raja yang berdaulat penuh atas seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra tidak berdaulat penuh atas wilayah kerajaan sehingga tidak dimasukkan dalam daftar. Sedangkan Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan dalam kaitannya dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah, sehingga semua penguasa yang berkepentingan dengan perubahan status sawah dimasukkan dalam daftar (Kusen, 1994:90–91). Selain itu, prasasti Mantyasih I hanya menyebutkan urut-urutan nama raja yang memerintah, sedangkan prasasti Wanua Tengah III selain urutan nama-nama raja juga menyebutkan angka tahun kenaikan tahta dan pengunduran diri atau meninggalnya, sehingga dapat diketahui lama masa pemerintahannya (Setiawan, 1995: 16)
Berdasarkan prasasti Mantyasih I dapat diketahui bahwa raja pertama Mataram Kuna adalah Sanjaya atau rahyanta ri Mdang menurut prasasti Wanua Tengah III. Sanjaya naik tahta pada 717 M dan memerintah selama 29 tahun sampai 746 M. Pada masa pemerintahannya, Sanjaya mengeluarkan prasasti Canggal (732 M). Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa sebelum Sanjaya naik tahta, maka raja yang memerintah Jawa atau Ho-ling adalah Sanna. Raja ini kemudian meninggal karena diserang oleh musuh. Karena ibukota kerajaan telah diserang musuh maka ketika Sanjaya naik tahta setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia memindahkan pusat kerajaannya ke Medang yang terletak di Poh Pitu. Sanjaya adalah anak Sannaha saudara Sanna (Poesponegoro, 1984:94).
Pada 746 M Rake Panangkaran naik tahta menggantikan ayahnya Sanjaya. Dia memerintah selama 38 tahun, yaitu sampai 784 M. Rake Panangkaran menyebut dirinya sebagai Permata Wangsa Sailendra dan bergelar Sri Wirawairimathana. Pada masa pemerintahannya, ia mengeluarkan prasasti Hampran, yang memperingati pemberian tanah di desa Hampran yang terletak di wilayah Trigramwya oleh seorang yang bernama Bhanu dalam kebaktian terhadap Isa dengan persetujuan Sang Siddhadewi. Selanjutnya raja ini mendirikan candi-candi kerajaan untuk ibadah agama Buddha. Di antaranya adalah Candi Kalasan yang tertulis dalam prasasti Kalasan pada 778 M, Candi Sewu untuk pemujaan Manjusri seperti tercatat dalam Prasasti Kelurak pada 782 M, Candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan, Candi Borobudur untuk pemujaan pendiri Dinasti Sailendra, dan satu wihara di bukit Ratu Boko yang didirikan 8 tahun setelah turun tahta sebagaimana tertulis dalam prasasti Abhayagiriwihara tahun 792 M (Poesponegoro, 1984:109–110). Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III yang dikeluarkan oleh Raja Balitung pada 908 M, dapat diketahui bahwa Rake Panangkaran telah menganugerahkan sebidang sawah di Wanua Tengah sebagai sima bihara di Pikatan. Bihara di Pikatan ini didirikan oleh Rahyangta i Hara adik Sanjaya atau paman Rake Panangkaran (Kusen;1994:82).
Rake Panangkaran digantikan oleh Rake Panaraban (Panunggalan), yang memerintah pada 784–803 M. Pada masa pemerintahannya, tidak mengeluarkan prasasti pun. Dia adalah anak Rakai Panangkaran dan merupakan pewaris tahta yang sah. Seperti yang tertulis pada lempengan emas yang ditemukan di dekat Gapura Utama Ratu Boko yang mengatakan bahwa dia telah membantu Rakai Panangkaran membangun gapura utama kompleks tersebut (Kusen, 1994:85).
Rake Warak Dyah Manara menggantikan Rake Panaraban, bertahta selama 24 tahun, dari 803 sampai dengan 827 M. Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III dapat diketahui bahwa Rake Warak ini beragama Siwa dan telah mencabut status sawah di Wanua Tengah sima di Bihara Pikatan. Rake Warak adalah anak Rake Panaraban. Dia disebut juga sebagai Sang Lumah i Kelasa (Kusen,1994:85).
Selanjutnya Dyah Gula naik tahta setelah Rake Warak meninggal. Namun dia hanya bertahta selama 6 bulan, dari 827 sampai dengan 828 M. Dia adalah anak Rake Warak, yang pada waktu naik tahta masih berusia muda sehingga belum bergelar rake. Sebagaimana ayahnya dia beragama Siwa.
Rake Garung berhasil naik tahta karena merebut kekuasaan dari tangan Dyah Gula, keponakannya sendiri. Dia bertahta selama 19 tahun dari tahun 828 sampai dengan 847 M. Rake Garung adalah anak dari Sang Lumah i Tuk yang kemungkinan adalah Rake Panaraban dan beragama Buddha. Pada masa pemerintahannya dia mengembalikan status sima sawah di Wanua Tengah. Sebelum memerintah telah mengeluarkan sati prasasti pada 819 M. Pada masa memerintah mengeluarkan Prasasti Tru i Tpussan pada 842 M, yang berisi penetapan sima desa Tru i Tpusan bagi Kamulan di Bhumisambhara dan menyebut nama Sri Kahulunan yang berarti ibu suri. Selain itu juga mengeluarkan Prasasti Garung pada 842 M, yang berisi tentang pembebasan tanah Mamrati dari beberapa jenis pungutan atau pajak (Kusen,1994:86–87).
Rake Pikatan Dyah Saladu menggantikan Rake Garung, bertahta selama 8 tahun dari 847 sampai dengan 855 M. Rake Pikatan Dyah Saladu beragama Siwa, dia adalah anak Rake Gurunwangi Dyah Ranu yang kawin dengan anak Rake Warak. Dia telah mencabut kembali status sima sawah di Wanua Tengah. Sebagai penganut Siwa maka dia memerintahkan membangun candi kerajaan yang berlandaskan agama Siwa, yaitu Candi Loro Jonggrang (Candi Prambanan). Hal ini diketahui dari Prasasti Siwagrha pada 856 M (Casparis, 1956:280–330; Poesponegoro, 1984:120). Nama Dyah Saladu selain terdapat pada Prasasti Wanua Tengah III juga terdapat pada bagian harmika dua stupa perwara Candi Plaosan Lor, yang tertulis: “Anumoda rake Gurunwangi Dyah Saladu astupa sri maharaja rake Pikatan” (Casparis, 1958:11; Kusen, 1994:88). Pada masa pemerintahannya telah terbit Prasasti Tulang Air, tepatnya pada 850 M, yang berisi tentang penetapan Sima di Desa Tulang Air oleh Rakai Patapan pu Manuku. Rakai Pikatan Dyah Saladu kemungkinan naik tahta dengan jalan merebutnya dari pewaris tahta yang sah. Dugaan ini muncul karena dalam prasasti Siwagrha pada 856 M tersirat adanya peperangan yang terjadi sebelum Rake Kayuwangi Dyah Lokapala naik tahta (Casparis, 1956:316–319; Kusen, 1994:89).
Setelah Rake Pikatan meninggal kerajaan dipimpin oleh Rake Kayuwangi Dyah Lokapala. Dia memerintah selama 30 tahun, dari 855 sampai dengan 885 M. Rake Kayuwangi Dyah Lokapala diidentifikasikan sebagai anak Rake Pikatan Dyah Saladu. Pada masa pemerintahannya dia mengeluarkan beberapa prasasti antara lain Prasasti Wanua Tengah I (863 M), yang berisi tentang penetapan Sima di wilayah Wanua Tengah oleh Rakai Patapan pu Manuku sedangkan yang menjadi raja pada masa itu adalah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala. Selain itu adalah Prasasti Wuatan Tija pada 880 M, berisi tentang pembebasan desa Wuatan Tija dari kekuasaan wilayah Wintri dan pembebasan pajak dan cukai selama Dyah Bumi berkuasa di Wuatan Tija. Dyah Bumi adalah anak dari Sri Maharaja Rake Kayuwangi Dyah Lokapala.
Dyah Tagwas menggantikan kedudukan ayahandanya Rake Kayuwangi. Dia tidak memakai gelar Rake karena pada waktu naik tahta belum dewasa. Dia naik tahta pada 885 M, masa pemerintahannya sangat singkat hanya 8 bulan. Dia digulingkan oleh Rake Panumwungan Dyah Dewendra. Namun setelah digulingkan tetap menyatakan dirinya sebagai raja dengan mengeluarkan Prasasti Er Hangat. Menurut Jones prasasti itu dikeluarkan pada 888 M (Jones, 1984: 19; Kusen, 1994: 89). Dalam prasasti itu dia menyebut dirinya Sri Maharaja Dyah Tagwas Jayakirtiwarddhana.
Rake Panumwungan Dyah Dewendra memerintah selama 1 tahun 4 bulan yaitu dari 885 sampai dengan 887 M. Dia digulingkan oleh Rake Gurunwangi Dyah Bhadra. Setelah digulingkan Dyah Dewendra masih mengeluarkan Prasasti Poh Dulur pada 890 M, dan menyebut dirinya Rake Limus Dyah Dewendra (Jones, 1984:197–198; Kusen, 1994:90).
Rake Gurunwangi Dyah Bhadra yang telah berhasil merebut tahta dari tangan Dyah Dewendra ternyata hanya memerintah selama 28 hari. Meskipun pemerintahannya sangat singkat dia masih sempat mengeluarkan Prasasti Munggu Antan pada 887 M. Prasasti ini kemungkinan merupakan langkah politik untuk memperkokoh kedudukannya tetapi tidak berhasil (Kusen, 1994:90).
Setelah Rake Gurunwangi Dyah Bhadra meninggalkan istana, tahta kerajaan kosong selama 7 tahun. Kekosongan itu berakhir ketika Rake Wungkalhumalang (Watuhumalang) naik tahta. Dia memerintah selama 4 tahun dari 894 sampai dengan 898 M. Selain disebut dalam prasasti Mantyasih, Rake Watuhumalang juga disebut dalam prasasti Panunggalan pada 896 M dengan gelar haji (Poesponagoro, 1984:135; Kusen, 1994:90).
Setelah Rake Wungkalhumalang meninggal yang kemudian naik tahta adalah Rake Watukura Dyah Balitung. Raja ini naik tahta pada 898 M dan memerintah sampai 913 M. Raja ini mengeluarkan prasasti paling banyak, prasasti tertua yang menyebut nama Rakai Watukura Dyah Balitung adalah prasasti Telahap (Kedu) pada 899 M, sedangkan yang termuda adalah prasasti Tulangan (Jedung I) pada 910 M.
Masih ada lima raja lagi yang memerintah Mataram Kuna setelah Dyah Balitung, sehingga tidak masuk dalam daftar raja-raja. Balitung digantikan oleh Pu Daksa, yang bergelar Çri Dakşottama Bāhubajrapratipakşakşaya. Prasasti yang menyebutkan Pu Daksa sebagai raja ialah prasasti Timbangan Wungkal yang berangka tahun 196 Sanjaya (913 M) (Brandes, 1913:53–54; Setiawan, 1995:44). Akhir masa pemerintahan Pu Daksa diperkirakan pada 919 M, yang didasarkan pada prasasti Wintang Mas B (Stuart, 1875:31; Setiawan, 1995:44). Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh Rakai Layang Dyah Tulodong.
Prasasti Lintakan (919 M) menandai awal masa pemerintahan Dyah Tulodong. Tidak banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja ini. Prasasti terakhir yang masih menyebutkan Dyah Tulodong sebagai raja ialah prasasti Harinjing B (921 M) (Kartoatmojo, 1984:48–50), sedangkan prasasti Harinjing C (927 M) tidak menyebut nama raja (Poesponagoro, 1984:151–154). Dengan demikian, pemerintahan Dyah Tulodong diperkirakan berakhir pada 927 M (Setiawan, 1995:44–45).
Selanjutnya terdapat seorang raja bernama Sri Maharaja Pu Wagiswara, yang tertulis dalam prasasti Palebuhan (927 M) (Stutterheim, 1935:432–435). Pu Wagiswara hanya memerintah dalam waktu singkat, yang diketahui dari prasasti Wulakan (927 M) yang menyebutkan Sri Maharaja Dyah Wawa sebagai raja yang mengeluarkan prasasti (Goris, 1928:66–68). Pemerintahan Dyah Wawa diperkirakan berakhir pada 928 M, yang didasarkan dari prasasti Blota (Panggumulan III) (Brandes, 1913:110–113; Setiawan, 1995:46).
Dyah Wawa digantikan oleh Pu Sindok, yang sebelumnya telah menjabat sebagai rakai Halu pada masa pemerintahan Dyah Tulodong dan sebagai rakai Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Pu Sindok kemudian memindahkan pusat kerajaan Mataram Kuna ke Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Gulunggulung, Pu Sindok mulai memerintah pada 929 M dengan gelar Sri Maharaja Sri Içana Wikrama Dharmmotunggadewa (Poesponagoro, 1984:159; Setiawan, 1995:48). Masa pemerintahan Pu Sindok berakhir pada 947 M, yang didasarkan dari prasasti Paradah I (947 M) sebagai prasasti terakhir Pu Sindok (Krom, 1915:68; Setiawan, 1995:49). Setelah berakhirnya masa pemerintahan Pu Sindok, ada masa gelap selama 70 tahun sampai dengan pemerintahan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama (Poesponagoro, 1984:168–171; Setiawan, 1995:49–50).
Referensi
- Boechari, 1966, “Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sojomerto”, dalam MISI 3 (2&3):241–251
- Boechari dan A.S. Wibowo, 1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional. Jilid I. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.
- Brandes, J.L.A.1913. “Steen van Soerabaja”, OJO LII. Batavia/S. Hage: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
- Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I), hlm. 38–41, Bandung: Masa Baru
- __________ 1958. “Short Inscription from Tjandi Plaosan Lor”. Berita Dinas Purbakala No. 4. Djakarta: Dinas Purbakala.
- Damais, L.C. 1964. “La transcriptions Chinoise Ho-Ling comme designation de Java”. BEFEO, LII. Hlm 93-141.
- Jones, A.M.B. 1984. “Early Tenth Century Java from the Inscriptions a Study of Economic, Social, and Administrative Conditions in the First Quarter of the Century. VKI 107. Dordrecht: Foris Publication.
- Krom, N.J. 1915. “Oudheidkundig Verslag Over Het Tweede Kwartaal 1915”. OV. Uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen, Weitvreden Abrecht and Co/ S. Hage M. Nijhoff.
- Kusen. 1994. “Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi. Tahun XIV–Edisi Khusus.
- Moens, J.L. 1937. “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77:317–487.
- Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar pada Masa Mataram Kuna Abad IX–XI Masehi. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Nugroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti.
- Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
- Riyanto, Sugeng. 2013, Perahu Kuna Punjulharjo dan Arkeologi Maritim Nusantara, dalam, Inajati Adrisijanti. Perahu Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.
- Setiawan, I.G.N. Made Budiana. 1995. “Pergeseran Kedudukan Pejabat Tinggi Kerajaan Mataram Kuna Pada Abad IX–X Masehi: Kajian Terhadap Situasi Politik Pemerintahan”. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
- Stuart, A.B. Cohen. 1875. Kawi Oorkonden in Facsimile, met inleiding en Transcriptie. Leiden: E.J. Brill.
- Stutterheim, W.F. 1935. “Een Javaansche Acte van Uitspraak uit het Jaar 922 AD”, TBG. Vol. 75. Hlm. 420–437.
- Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17. Semarang: Jeda.
- Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III–Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.