[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Warga Nusantara khususnya Warga Tatar Pasundan tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Siliwangi. Ya, Prabu Siliwangi penguasa Kerajaan Pajajaran di masa silam. Dalam artikel ini, Siliwangi yang kita maksud adalah Jayadewata putra Dewa Niskala, Raja Galuh.
Dalam berbagai karya satra Jayadewata atau Siliwangi Muda sering disebut Sang Pamanah Rasa. Selain itu Siliwangi muda juga bergelar "Raja Siwi" atau "Raja Sunu". Apa artinya?
Di zaman Kerajaan Galuh masih eksis, banyak bahasa yang digunakan saat itu tidak kit kenali lagi masa kini. Kedekatan bahasa Galuhan dengan bahasa Jawa Tengahan tidak disadari warga Pasundan. Dalam artikel lain, penulis memaparkan bahwa Kerajaan Medang atau Mataram Kuno adalah Kerajaan Galuh. Oleh karena itu kita telusuri sumber-sumber naskah kuno dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Dalam Kakawin Niti Sastra, kita dapati beberapa kosa kata: ātmaja, putra, putraka, raray, śiśu, suta, sunu, tanaya, dan wěka. Semua istilah itu artinya "anak". Dengan jelas kita bisa menjelaskan arti "Raja Sunu" adalah "Raja Putra" atau sama dengan "Raja Siwi".
Untuk menyebut anak perempuan biasanya digunakan kata putrī, kanyā, kanyakā. Dalam Kakawin Nitiśāstra, anak divisualkan oleh kata anak, putra, raray, śiśu, suta, dan tanaya.
Di zaman baru kita juga sering mendapati nama "saputra". Saputra dalam bahasa Jawa, artinya Anak laki-laki (bentuk lain dari saputro, seputro, seputra). Bila kita telusuri di zaman kuno dikenal nama "Suputra". Mengutip Kakawin Niti Sastra, bahwa anak suputra atau anak yang baik, soleh, dan bijaksana akan menjadi penerang keluarga, memberi cahaya kebahagiaan kepada sanak keluarga. Anak sebagai generasi suputra. Suputra artinya anak laki-laki yang unggul (Zoetmulder dkk, 1995:1152). Suputra adalah anak yang baik, memiliki budi pekerti luhur (sādhu), serta memiliki kualitas diri, kebajikan, prestasi, kecakapan, dan keterampilan yang unggul (gunawan).
Lawan kata "Suputra" adalah "kuputra". Kuputra, sebagai anak durhaka yang diibarat pohon kayu kering yang ada di tengah hutan. Keberadaannya sangat rawan untuk menimbulkan bencana atau musibah bagi lingkungan sekitarnya. Anak durhaka diartikan anak yang suka ingkar terhadap perintah orang tua, bahkan suka mengingkari perintah Tuhan, serta tidak setia kepada Negara dan cenderung disebut pemberontak (KBBI, 2001:280). Sementara itu, suputra (anak yang baik, soleh, bijaksana) diibaratkan pohon cendana yang juga tumbuh di tengah hutan. Berbeda halnya dengan kuputra, seorang suputra akan senantiasa menjadi tempat berteduh bagi semua mahluk.
Seuweu Siwi Pajajaran
Pembaca tentu sering menemukan kata "Seuweu Siwi Pajajaran". Mengutip Kamus Sunda, arti dari kata seuweu adalah keturunan dan siwi adalah anak. Maka arti dari seuweu-siwi adalah: keturunan, anak cucu. Dengan demikian, Seuweu Siwi Pajajaran adalah para keturunan Kerajaan Pajajaran.
Referensi
- Suarka, I Nyoman., A.A. Gede Bawa, dan Komang Paramartha. 2016. "Citra dan Hak Anak Menurut Kakawin Nitiśāstra". Universitas Udayana. JURNAL KAJIAN BALI Vol. 05, No. 02, Oktober 2016.
- "Niti Çastra Dalam Bentuk Kakawin" Dikumpulkan
Oleh: PGAHN 6 Thn. Singaraja. Di Ketik dan Publikasikan oleh Gede
Sandiasa. Pemda Tingkat I Bali: Proyek Bantuan Lembaga Pendidikan Agama
Hindu wartahindudharma12.blogspot.com Diakses 19 Februari 2022.
- Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.