Cari

Tanda-tanda Zaman Kaliyuga Menurut Naskah Sunda Kuno | Naskah Lontar Sanghyang Sasana Maha Guru

 


Historiana - Pembahasan zaman Kaliyuga sering kita dengar, baik dari media mainstream, blog maupun media sosial seperti youtube. Kaliyuga adalah merupakan zaman terakhir menurut ajaran Agama Hindu. Bila ditinjau dari segi arti katanya, kaliyuga adalah merupakan kebalikan dari zaman Krta/Satya Yuga, dimana kalau pada zaman krta yuga, hati manusia benar-benar tertuju kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengembali alam beserta isinya, maka pada zaman kaliyuga kepuasan hatilah yang menjadi tujuan utama dari manusia. Pada zaman ini apabila manusia sudah dapat memenuhi segala sesuatu yang bersifat keduniawian baik itu berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan) maka puaslah orang tersebut. Maka Kaliyuga sering disebut juga Zaman Kegelapan atau zaman kehancuran.

Karena pengaruh kegelapan Kaliyuga, manusia-manusia suci yang memiliki sifat rohani akan lenyap dari muka bumi. Pada saat itulah kegelapan Zaman Kali menjadi kuat dengan tersebarnya pengaruh gelapnya di seluruh dunia. Pada saat itulah seluruh ramalan pada Bab 4 Kalki Purāṇa menjadi kenyataan tanpa bisa dihentikan.

Segala sesuatu akan menjadi sangat buruk ketika Zaman Kali terus berlanjut. Bumi akan menjadi seperti salah satu planet neraka di mana setiap makhluk yang dilahirkan akan ditakdirkan untuk menderita. Ada korupsi dalam pemerintahan dan para pelindung negara sehingga mereka tidak lebih baik daripada pencuri. Rakyat tidak akan mendapatkan perlindungan pemerintah.

 

Tanda-tanda zaman Kaliyuga

Terdapat uraian rinci contoh apa yang terjadi di masa Kaliyuga, seperti dalam kitab Wisnupurana dituturkan:

“Pada masa Kaliyuga, benar banyak aturan yang saling bersaingan satu sama lain. Mereka tidak akan punya tabiat. Kekerasan, kepalsuan, dan tindak kejahatan akan dijadikan santapan sehari-hari. Kesucian dan tabiat perlahan-lahan akan merosot...... Gairah dan nafsu dijadikan pemuas hati pria dan wanita. Wanita akan dijadikan objek yang memikat nafsu birahi. Kebohongan akan digunakan kepada mencari nafkah. Orang-orang terpelajar kelihatan lucu dan aneh. Hanya orang-orang kaya yang akan berkuasa.”
  • Pada zaman Kaliyuga, banyak perubahan tak diinginkan yang akan terjadi. Tangan kiri akan dijadikan tangan kanan, dan tangan kanan dijadikan tangan kiri. Orang yang kurang terpelajar akan mengajari kebenaran. Yang tua kurang sensitif terhadap yang muda, dan yang muda akan berani melawan yang tua.
  • Pada zaman Kaliyuga, orang-orang yang berbuat dosa akan lebih berlipat-lipat, kebajikan akan meredup dan berhenti berkembang.
  • Pada zaman Kaliyuga, kehamilan di usia remaja bukanlah hal yang asing lagi. Penyebab utamanya biasanya karena dampak sosial dari pergaulan yang dijadikan salah satu kepentingan utama dalam hidup.
  • Pada zaman tersebut, umat manusia dijadikan lebih pendek, raganya melemah secara mental dan rohaniah. Umur manusia rata-rata kurang dari masa abad.
  • Pada zaman Kaliyuga, para guru akan dilawan oleh para muridnya. Mereka perlahan-lahan kehilangan rasa hormat. Pelajarannya akan dicela dan Kama (nafsu) akan mengontrol semua harapan manusia.
  • Lebih lebihnya orang-orang berdosa, keadilan dijadikan ternoda, dan kemarahan Tuhan akan mendera. Orang-orang berdosa akan dihukum melalui perihal sahnya yang dikarenakan oleh kuasa Tuhan, tetapi orang-orang yang masih hidup dan sempat menyaksikannya masih punya kesempatan kepada bertobat, atau tidak bertobat dan turut dihukum bersama orang-orang berdosa yang lain.
  • Ketika pohon-pohon berhenti berbunga, dan pohon-pohon buah berhenti berbuah, karenanya pada saat itulah masa-masa menjelang berakhir zaman Kaliyuga. Hujan akan turun bukan pada musimnya ketika belakang zaman Kaliyuga sudah mendekat.

Zaman Kaliyuga dalam Kitab Kakawin Niti Çastra Sargah IV  Ragakusuna Parwa 7-15

"Sesungguhnya, bila jaman Kali datang pada akhir Yuga, hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang-orang yang pandai, akan mengabdi kepada orang kaya. Semua pelajaran pendeta yang gaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina papa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang tuanya, orang hina dina akan menjadi saudagar, mendapat kemuliaan dan kepandaian. 

Dunia guncang dan diselubungi kegelapan, raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tapi disedekahi oleh orang-orang kaya. Pelaku-pelaku sandiwara dengan kemauan sendiri pergi bertapa kehutan-hutan, sambil melakukan gerak-gerak mudra, sesuai dengan suasana jaman Kali. Orang hina-hina menghina goloengan wesya, dan wesya tidak menghargai lagi kepada raja-raja, sebab memang tidak pantas dihargai lagi. Raja-raja menghina para berahmana. Dan berahmana segan menetapi syara agama Siwa.

Dunia hilang kesuciannya, sandilata*) yang berfaedah kepada dunia hilang kekuatannya. Brahmana, ksatria, wesya dan sudra hidup campur dan masing-masing menganggap dirinya pendeta. Dan jika rupanya sudah seperti pendeta pula, lalu nyata kelihatan apa yang dikehendakinya; dihinanya kitab-kitab suci, samadi, yoga dan mantera; Dirinya ditinggi-tinggikan seakan-akan badan mereka sudah sama dengan “Kesunyian”.

Karena pengaruh jaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi. Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya dan mencari perlindungan kepada musuh. Barang-barang suci dirusakkan, tempat-tempat suci dimusnahkan, dan orang dilarang masuk ketempat suci, sehingga tempat itu menjadi sepi. Kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan orang-orang angkaramurka.

Orang-orang yang suka memberi sedekah jatuh miskin, orang yang kikir jadi kaya-raya. Penjahat-penjahat panjang umurnya, akan tetapi orang-orang baik lekas mati. Tingkah laku hina dianggap utama, dan kebodohan dinamakan kebijaksanaan, orang yang rendah budinya disebut mulia; sungguh suatu anggapan yang aneh !. Raja menurut kepada menteri-menterinya, dan orang yang harus mengurus segalanya bertindak salah.

Pohon cempaka, cuta, cendana, bungur, tanjung yang harum baunya dan nagasari dirusak, ditebang untuk memagari pohon pung dan pilang. Angsa, merak dan murai dibunuh dan dimusnahkan untuk memanjakan burung bangau dan gagak. Anjing yang dipelihara orang senang hiduonya sebab ia dilimpahi dengan darah dan daging wanita yang cantik-cantik.

Di dalam jaman Kreta umur orang sampai 100.000 tahun. Dalam jaman Treta jumlah itu berkurang menjadi 10.000 tahun. Dalam jaman Dwapara tinggal 1000 tahun. Pada penghabisanjaman Dwapara (pada permulaan jaman Kali) hanya tinggal 100 tahun, dan akhirnya hanya tinggal 1000 bulan. Pada penghabisan jaman Kali 40 tahunlah batas umur manusia.

Hidup itu ketika di jaman Kreta tetap bertempat di dalam sumsum tulang, di jaman Treta di dalam tulang, waktu itu kehidupan di dunia kokoh sentosa. Di jaman Dwapara tempat hidup di daging, urat dan darah. Di dalam jaman Kali hidup bertempat di kulit, di bulu dan di dalam makanan.

Sejak dahulu kala, perempuan itu menjadi pangkal persengketaan. Dalam jaman Kreta Dewi Renuka, dalam jaman Treta : Dewi Janaki (Sita) yang menjadi sebab perang hebat. (Rama melawan Rawana). Dalam jaman Dwapara puteri Drupada yang ternama itu menyebabkan perang Barata.
Pada penghabisan Yuga (Kaliyuga), semua orang perempuan ingin menjadi sebab adanya perang yang dahsyat."

 

Bagaimana dengan Naskah Sunda Kuno?

Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG). Foto: academia.edu

 

Pembahasan mengenai zaman Kaliyuga terdapat pada Naskah Lontar Sunda Kuno Sanghyang Sasana Maha Guru (SSMG) atau Kropak 621) .Sanghyang Sasana Maha Guru (selanjutnya disingkat SSMG) adalah sebuah teks  prosa Sunda Kuna yang berasal dari masa pra-Islam. Sejauh ini, teks SSMG terdapat dalam dua buah naskah lontar. Naskah pertama tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dengan nomor koleksi L 621 peti 15 atau biasa disebut kropak 621, sedangkan naskah yang kedua ditemukan pada koleksi Ciburuy bernomor kropak 26.

Pada bagian kolofon terdapat keterangan bahwa teks SSMG selesai ditulis (atau disalin?) pada bulan kapat (antara bulan September sampai Oktober) tanpa penyebutan angka tahun. Pengarang (penyalin) juga mencatat bahwa teks ini selesai dikerjakan di sebuah wilayah yang disebut Desa Mahapawitra di Gunung Jedang. Perlu diketahui, bahwa  penyebutan Desa Mahapawitra sebagai tempat karya Sunda Kuna dihasilkan, juga disebut dalam teks Sunda Kuna yang lain, yaitu pada teks Sanghyang Hayu (kropak 634 dan 637) yang telah disunting oleh Undang A. Darsa dalam tesisnya (1998) dan Siksaguru (kropak 642) (belum diumumkan). Sri Mahapawitra merupakan nama lain (atau julukan) dari Gunung Raksa, yang masih dikenal dewasa ini sebagai sebuah gunung di Pulau Panaitan. Besar kemungkinan teks SSMG ditulis di sebuah kabuyutan di Gunung Raksa, Panaitan.

Batara Gana (Ganesha) adalah istadewata yang disebut dalam manggala teks SSMG. Batara Gana dianggap sebagai dewa pelindung bagi  pengarang, karena dari Batara Gana lah terciptanya lontar dan
gebang  yang digunakan  pengarang untuk menuliskan kitabnya (SSMG. III).

Kaliyuga, Trimala dan Trimala Wisesa

"...mulah dék mitemen[2] iña sang séwaka darma. Na puhun awah-awuh, tangkal ning /14v/ papa (ka)lésa, wwit ning kaliyuga, hétu ning papa ning (na)raka. Ngara(n)na, trimala, guna...."

Janganlah mau menyebut diri sebagai pengabdi darma, Jika menjadi sumber dari kekacauan, sumber dari /14v/ kesengsaraan dan kehinaan, awal dari jaman kehancuran, penyebab kesengsaraan di neraka. Disebutnya itu, tiga noda 'trimala' dalam perbuatan. 

Trimala merupakan tiga jenis kekotoran dan kebatilan manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku yang bertentangan dengan Tri Kaya Mandala Parisudha  diantaranya yakni sabda mahala, ulah mahala, ambek mahala (ucapan yang jahat, perbuatan jahat, maksud yang jahat).

Contoh yang disebut ucapan jahat, perbuatan jahat dan maksud yang jahat dirinci dengan jelas dalam naskah SSMG. Berikut contoh dari "maksud jahat" itu menurut naskah SSMG: 

"Ambek mahala ma ngaranya, kira-kira, budi-budi, ngajerum, ngagunaan, mijaheut[a] /14r/ [t]an, nganeluh, ngaracun, hiri paywagya. Ageus ma nu mupu maling papa(n)jingan[a] medar ungahadang. Sing sawatek tan ywagya, dipitwah dipih(e)dap, ya eta ambe(k) mahala. Yata sinangguh trimala ngaranya. Nihan sinangguh trimala wisesa ngaranya."

Maksud jahat yaitu: mengira-ngira, menipu, memfitnah, menyihir, melukai hati, /14r/ mengguna-guna, meracuni, iri dengki dan berprasangka buruk. Termasuk juga yang mencuri, menyelinap ke rumah perempuan yang terlarang, bernafsu untuk menghalangi. Semua yang tidak layak, dilakukan dan diniatkan, itulah maksud jahat. Itulah yang yang disebut tiga Malapetaka "Trimala".

Pancakapataka

"Nihan sinangguh pancakapataka ngaranya. Byaktanya nihan: duka sangka ri(ng) buta, duka sangka ring dewata, duka sangka ring tribwana lwaka, duka kunang tribwa/19v/na."
Inilah yang disebut lima malapetaka 'pancakapataka'. Inilah kenyataannya: kesengsaraan yang berasal dari mahluk hidup, kesengsaraan yang berasal dari dewa, kesengsaraan yang berasal dari tiga dunia tempat mahluk hidup, kesengsaraan tiga dunia (Duka Tribuana)

Perilaku yang tidak baik akan menghancurkan dunia jika dilakukan oleh para pemegang Kekuasaan. Berikut kutipan dari naskah SSMG:

Nihan sinangguh trimala wisésa ngaranya. Hana ya di sang prabu, rama, resi, mwang tarahan. Ini byaktana, aya ta kajeueung nu duka, dijual dihulunkeun, dirampas dipihéhan. Yata sinangguh pañca kapataka ngaranya, sinangguh trima(la) wisésa ngaranya, ling sang pandita.

Inilah yang disebut tiga malapetaka dalam kekuasaan "Trimala Wisesa". Adanya di Sang Prabu, Rama, Resi dan Tarahan. Inilah penjelasannya: Ada yang terlihat sedang susah, lalu dijual diperbudak, atau dirampas dan dibunuh. Itulah yang disebut lima kesengsaraan "Pancapataka" disebut juga tiga malapetaka dalam kekuasaan "trimala wisesa", Ucap Sang Pendeta.

 

Kesengsaraan yang ada pada tiga dunia itu, semua malapetaka di dunia. Ini penjelasannya: yang terkena musibah, (yaitu) pada Sang Prabu, Rama, Resi, Disi, dan Tarahan, adalah pada jaman kehancuran, menjadi awal dari penderitaan.

"...duka kunang tribwana Iwaka ngaranya. Kahuruan dayeuh, burung tahun, eleh ku sasalad, larukangkang salah masa, sarba pala tan pawwah. sarba satwa anarak. Yata duka kunang tribwana Iwaka ngaranya ma..."

Kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia 'tribwana loka' namanya: mengalami kebakaran, gagal panen - hancur karena wabah, musim kemarau berkepanjangan yang tidak pada waktunya, semua buah-buahan tidak berbuah, semua binatang musnah. Itulah kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia.

Terdapat istilah Disi/Disri dan Tarahan dalam kutipan naskah SSMG di atas. Sementara untuk Prabu, Rama dan Resi telah banyak dibahas. Memang dilihat dari sisi intensitas kemunculannya,istilah Disi dan Tarahan tidak sesering ketiga istilah lain. Oleh karena itu, dalam hal ini, ada baiknya melihat dulu peran disri dan tarahan itu. Istilah disri mengacu pada "ahli siasat/ramal" (SSKK, bagian XXVII) atau "dukun". Istilah Tarahan mengacu pada "tukang tambangan perahu" (SSKK XXVII) atau pelaut (CP XVIII).

Berikut kutipan dari Naskah Lontar Carita Parahyangan "Nya mana sang rama enak mangan, sang resi enak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang distri enak masini ngawakan na manusasana, ngaduman alas pari-alas. Ku beet hamo diukih. Nya mana sang Tarahan enak lalayaran ngawakan manurajasasana" (CP XVIII).

Pada bagian yang digarisbawahi, menjelaskan aktivitas seorang Tarahan yang merasa nyaman berlayar yang mengikuti aturan raja (sesuai hukum). Bila kita lihat bahwa Trimala akan berakibat fatal bagi seluruh dunia bila dilakukan para pemegang kekuasaan, maka Tarahan mesti seorang yang berkuasa. Bisa jadi Tarahan adalah Pejabat penguasa lautan atau setingkat dengan Laksama atau Panglima militer angkatan Laut. Tentu jika seorang Tarahan berbuat buruk, maka efeknya akan membahayakan. Pun demikian, bila Prabu, Rama, Resi dan Disri berbuat keburukan yaitu Trimala Wisesa dan Pancakapaka, maka kehancuran yang akan terjadi. Inilah yang terjadi di zaman Kaliyuga.


Referensi

  1. "Kewajiban Manusia Pada Zaman Kaliyuga" PHDI phdi.or.id Diakses 3 Februari 2022.
  2. "Lima Pilar Politik Sunda" Oleh: Atep Kurnia- Peneliti Literasi di Pusat Studi Sunda (PSS) latifclub87s.blogspot.com 7 Oktober 2012 Diakses 3 Februari 2022.
  3. Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka. Suntingan dan Terjemaahan oleh Aditia Gunawan. Editor Agung Kriswanto – Nindya Noegroho. Perpustakaan Nasional RI-2009.
  4. Gunawan, Aditia. 2011. "Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru". Konferensi Internasional Budaya Sunda II (KIBS II), 19-22 Desember 2011. Handout di academua.edu Diakses 3 Februari 2022.
  5. Aditya Gunawa. naskah-sunda.blogspot.com Diakses 8 Juni 2018
  6. Khastara Perpustakaan Republik Indonesia
  7. "Niti Çastra Dalam Bentuk Kakawin" Dikumpulkan Oleh: PGAHN 6 Thn. Singaraja. Di Ketik dan Publikasikan oleh Gede Sandiasa. Pemda Tingkat I Bali: Proyek Bantuan Lembaga Pendidikan Agama Hindu wartahindudharma12.blogspot.com Diakses 3 Februari 2022.
Baca Juga

Sponsor