Naskah Lontar Kakawin Nitiśāstra Koleksi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali |
[Historiana] - Baru-baru ini viral video anak kecil minggat dengan mengemasi pakaiannya dan membawa bantal kesayangannya. Ternyata sang anak minggat ke rumah neneknya yang berjarak beberapa langkah saja dari rumahnya. Tidak diketahui persis lokasi kejadiannya dimana. Namun dari dialek sang Ibu sepertinya terjadi di Sulawesi. Alasan anak minggat dari percakapan dalam video diketahui karena dimarahi ibunya. Sang ibu pun mengatakan bagaimana tidak memukul karena sang anak nakal.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak membahas secara rinci mengenai video yang dianggap lucu karena adanya video viral anak kecil minggat, tetapi kita telisik remah-remah budaya di masa lampau. Pernahkah Anda bertanya: bagaimana pola didik dan cara didik kepada seorang anak di zaman Jawa Kuno?
Berikut kita menelisiknya berdasarkan kitab Kakawin Nitisastra Sargah IV Ragakusuna bait ke-20.
20. Tingkahning sutaçāsaneka kadi rāja-tanaya ri sêdêng limang tahun.
Sapta ng warṣa wara hulun sapuluhing tahun ika wuruken ring akṣara.
Yapwan ṣoḍaçawarṣa tulya wara mitra tinaha-taha denta miḍana.
Yan wus putra suputra tinghalana solahika wurukên ing nayenggita.
20. Anak yang sedang berumur lima tahun, hendaknya diperlakukan seperti anak raja.
Jika sudah berumur tujuh tahun, dilatih supaya suka menurut. Jika sudah sepuluh tahun, dipelajari membaca. Jika sudah enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat; kalau kita mau menunjukkan kesalahannya, harus dengan hati-hati sekali.
Jika ia sendiri sudah beranak, diamat-amati saja tingkahnya; kalau hendak memberi pelajaran kepadanya, cukup dengan gerak dan alamat.
Kata Nitiśāstra berarti ilmu atau karya mengenai etika politik (Zoetmulder dkk., 1995:708). Akan tetapi, Kakawin Nitiśāstra bukan sekadar berbicara tentang etika politik dan pemerintahan, melainkan juga bersifat didaktik-moralistik, mengajarkan berbagai hal, seperti ajaran kebajikan, tanda-tanda zaman, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat harta dan kekayaan, hakikat penjelmaan, hakikat karma, termasuk citra dan hak anak. Namun demikian, pada artikel ini hanya dibahas persoalan citra dan hak anak seiring dengan maksud memberikan kontribusi pemikiran berkelindan dengan persoalan anak yang dihadapi bangsa saat ini.
Kakawin Nitiśāstra merupakan sebuah karya sastra Jawa Kuna yang diperkirakan dikarang pada abad ke-15 di Jawa. Poerbatjaraka dkk (1952:50) menjelaskan bahwa ada dua versi teks Kakawin Nitiśāstra, yaitu teks Kakawin Nitiśāstra yang terdiri atas 10 pupuh dan 83 bait yang lazim ditemukan di Bali dan Jawa, serta teks Kakawin Nitiśāstra yang terdiri atas 15 pupuh dan 120 bait. Lebih jauh, Poerbatjaraka menyatakan bahwa Kakawin Nitiśāstra berisi pelajaran tentang berbagai hal, seperti racun, karakter manusia, kepandaian, dan lain-lain yang dibicarakan secara terputus-putus. Namun demikian, Kakawin Nitiśāstra dikatakannya sangat terkenal dan dijadikan pedoman hidup yang dianggap baik bagi orang Jawa, pada zaman Jawa.
Lihat juga versi videonya..
Dalam kosa kata bahasa Jawa Kuna, anak disebut anak, ātmaja, putra, putraka, raray, śiśu, suta, sunu, tanaya, dan wěka. Untuk menyebut anak perempuan biasanya digunakan kata putrī, kanyā, kanyakā. Dalam Kakawin Nitiśāstra, anak divisualkan oleh kata anak, suta, putra, raray, śiśu, suta, dan tanaya.
Peran orang tua dalam mengasuh anak digambarkan secara jelas bahwa pada usia lima tahun, orang tua patut memperlakukan anaknya sebagai pangeran yang disayang dan dimanjakan. Ada kemungkinan hal yang melatarbelakangi pola asuh anak semacam itu didasari pandangan bahwa anak yang berusia nol sampai lima tahun dipandang masih kurang akal, sebagaimana dikatakan Siegel (dalam Ihromi, 2016:264) bahwa anak-anak dimanja dan diberikan apa saja yang diinginkan disebabkan oleh kesadaran bahwa anak-anak masih kurang akal dan kurang matang. Akal adalah suatu kemampuan dan tidak dapat diajarkan oleh setiap orang. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah membangun suasana kondusif sebagai tempat akal itu tumbuh dan berkembang seiring perkembangan usia anak.
Pada usia sepuluh tahun, menurut teks Kakawin Nitiśāstra, merupakan masa ideal bagi orang tua untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada anak, terutama membaca, menulis, dan berhitung (wurukěn ring aksara). Sebagaimana dikatakan Sumantri (2014:1.11) bahwa pada usia enam sampai sebelas tahun merupakan masa anak-anak menguasai keterampilan-keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Secara formal, anak-anak pada usia tersebut mulai memasuki dunia yang lebih luas dengan budayanya. Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain, dan belajar menurut peraturan yang ada. Memang jika dibandingkan dengan usia sekolah ataupun usia prasekolah bagi anak-anak saat ini, usia sepuluh tahun sebagaimana dijelaskan teks Kakawin Nitiśāstra dapat dikatakan terlambat. Menurut Sumantri (2014:1.10—1.11) masa prasekolah (PAUD, TK) bagi anak-anak adalah pada usia lima tahun dan masa sekolah (Sekolah Dasar) bagi anak-anak adalah pada usia enam tahun. Akan tetapi, sebagai fakta semiotik, pernyataan “sapuluh-ing tahun-ika wurukěn ring-aksara”, ‘pada usia sepuluh tahun patut diajari membaca dan menulis aksara’ dapat dimaknai bahwa justru pada usia sepuluh tahun itulah anak-anak memiliki kesiapan dan kematangan dalam mempersiapkan diri memasuki dunia pendidikan yang lebih tinggi.
Lebih jauh, teks Kakawin Nitiśāstra menjelaskan bahwa pada usia enam belas tahun, orang tua patut memperlakukan anak sebagai sahabat karib (tulya wara mitra). Pada usia enam balas tahun, anak sudah menuju kematangan fisik dan mental, tumbuh menjadi remaja dengan dimensi interpersonal yang muncul dalam tegangan antara ego identity dengan role confusion. Karena itu, pemberian hukuman kepada remaja mesti dilakukan secara berhati-hati (tinahataha denta mīdhana). Pemberian hukuman kepada anak memang penting diberikan bilamana anak-anak melakukan kesalahan. Teks Kakawin Nitiśāstra menyatakan bahwa orang tua yang bijaksana patut memberikan hukuman kepada anak yang bersalah agar kelak anak tidak tersesat dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan (haywālālana putra sang sujana dosa těmah ika wimarga tan wurung).
Sementara itu, memperlakukan anak remaja sebagai sahabat karib bagi orang tua penting dilakukan sebab kebanyakan remaja merasa dekat dengan orang tuanya akibat memiliki nilai-nilai yang sama dalam banyak hal dan masih memerlukan orang tua dalam melakukan hal-hal tertentu (Sumantri, 2014:3.8). Namun, ketika anak telah bersuami istri, orang tua tidak perlu banyak melakukan intervensi. Peran orang tua disarankan sebatas mengawasi, mengarahkannya berpikir dan bersikap terbuka (wurukěn ing nayenggita).
Jika memang setuju dengan pandangan anak sebagai investasi masa depan sebagaimana diintensikan teks Kakawin Nitiśāstra, maka patut dicanangkan berbagai program yang mengarahkan anak-anak bertumbuh kembang menjadi orang dewasa yang produktif, dengan senantiasa mempertimbangkan ide bahwa anak-anak merupakan sumber daya terbesar bangsa yang hak-haknya perlu dipenuhi dan dilindungi.
Teks Kakawin Nitiśāstra menjelaskan bahwa pada situasi zaman yang dipenuhi dengan konflik-konflik (Kaliyuga), dimana manusia cenderung memandang uang sebagai segala-galanya (tan hana lěwiha sakeng mahādhana) akan memengaruhi sikap dan perilaku anak (putrādwe pita ninda ring bapa).
Referensi
- Khastara Perpustakaan Republik Indonesia
- Suarka, I Nyoman., A.A. Gede Bawa, dan Komang Paramartha. 2016. "Citra dan Hak Anak Menurut Kakawin Nitiśāstra". Universitas Udayana. JURNAL KAJIAN BALI Vol. 05, No. 02, Oktober 2016.
- "Niti Çastra Dalam Bentuk Kakawin" Dikumpulkan
Oleh: PGAHN 6 Thn. Singaraja. Di Ketik dan Publikasikan oleh Gede
Sandiasa. Pemda Tingkat I Bali: Proyek Bantuan Lembaga Pendidikan Agama
Hindu wartahindudharma12.blogspot.com Diakses 19 Februari 2022.
- Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.