[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Bila Anda membaca buku "Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas antara Sains dan Spiritualitas" karya Frithjof dan kawan-kawan, dengan sangat jelas menjabarkan makna penting dari “Paradigma baru” dalam Ilmu pengetahuan dan teknologi bagi bumi dan mahluk penghuninya. Dialog yang berlangsung dalam buku ini mengembara lebih jauh dari sekedar keingintahuan terhadap evolusi yang terjadi dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dengan semangat para pencari kebenaran Agung, mereka membincangkan proses kehidupan dan ruh untuk menemukan bahwa seluruh semesta adalah kesatuan.
Bagaimana dengan cara pandang karuhun (leluhur) kita?
Dalam buku Suria Saputra (1950) berjudul "Etnis Baduy" dikisahkan mitologi Baduy tentang asal usul keberadaan ini, yaitu susunan yang ada ini yang kita sebut kosmologi. Pada mulanya hanya ada awang-awang uwung-uwungan atau kehampaan. Pada mulanya hanya kosong. Dari kekosongan ini muncul 3 batara, yakni Batara Keresa, Batara Kawasa, dan Batara Mahakarana. Tiga batara ini menyatu menjadi Batara Tunggal.Mitologi ini menyebutkan bahwa Batara Tunggal atau Sang Hyang
Tunggal terdiri dari 3 Batara, yakni Keresa (kehendak, Will), Kawasa (kuasa, tenaga, power), dan Mahakarana (Penyebab, Pikiran, Mind).Yang tunggal itu terdiri dari tiga, sedang yang tiga itu dalam yang satu.
Kosmologi Jati Sunda menganut Keberadaan Alam yang terbagi dalam 3 alam besar, yakni Alam Sakala, Alam Niskala, dan Alam Jatiniskala. Alam Sakala adalah alam manusia . Alam Niskala adalah alam para dewa-dewa. Alam Jatiniskala hanya dihuni oleh Ijunajati Nistemen yang berada di alam yang tak mungkin dikenal manusia. Manusia mengenal keberadaanya berdasar alam Niskala.
Alam Niskala dihuni oleh berbagai dewa-dewa dan dewi-dewi. Setiap dewa dan dewi adalah aspek dari Ijunajati Nistemen. Ungkapan bahwa para dewa dan dewi adalah tak lain Ijunajati Nistemen terdapat dalam ucapan-ucapan ini: Aku adalah Dia sebagai Aku. (Aing ingya Eta ingnya Aing). Rahasia kosmologi ini juga terdapat dalam kitab kuno zaman kerajaan galuh, yakni Jatiraga, yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno dan Aksara Sunda kuno.
Siapakah Ijunajati Nistemen ini? Inilah kata-katanya menurut para dewa dan dewi:
“Aku sempurna tanpa tujuan: tanpa perlu kekuatan
tanpa perlu ucapan
tanpa perlu itikad
tanpa perlu surga
tanpa perlu cerita
tanpa perlu kebebasan
tanpa perlu macam jenis
tanpa perlu aturan
Aku sempurna tanpa penghayatan: tak terkatakan
tak terasakan
tak terdengar
tak terlihat
tak tehalang mahagaib
Sebab aku adalah: kekuatan tanpa tenaga
ucapan tanpa kata
perasaan tanpa di rasakan
tidak rendah tidak tinggi
Tetapi padaKu: ada kekuatan tetap kekuatanku begini
ada ucapan tetap ucapanku begini
ada perasaan tetap perasaanku begini
Bagaimana mungkin diperintah karena aku bukan untuk di perintah
Bagaimana mungkin terasakan karena aku bukan untuk di rasakan
Bagaimana mungkin terlihat karena aku bukan untuk di lihat
Diperintah tapi tidak bisa di perintah
Dia yang memerintah dia pula yang diperintah
Dia yang memuat dia pula yang dibuat
Itulah sebabnya tak bisa diperintah
Karena itu: diperintah memerintah sendiri
terasakan dirasakan sendiri
adanya lenyap melenyapkan sendiri
kebenaran lepas dari kebenaran sejati”
Ungkapan-ungkapan paradoxal dalam logika alam Sakala ini adalah “logika” alam Niskala. Tidak nalar manusia adalah nalar dalam alam rohani.
Konsep kosong dan Isi di jelaskan dalam sebuah pantun yang bernama Panggung Karaton. Dalam pantun, penjelasan ini disebutkan sebagai Ilmu Kosong Nenek Moyang Galuh. Bunyinya demikian:
Tèras kangkung galeuh bitung
Tapak mèri dina leuwi
Tapak soang dina bantar
Tapak sireum dina batu
Kalakay pake jumarum
Sisir sèrit tanduk ucing
Sisir badag tanduk kuda
Kekemben layung kasunten
Kurambuan kuwung kuwung
Tulis langit gurat mega
Panjangna sabudeur jagat
Inten sagede baligo
Bait pertama menceritakan kekosongan dalam kekosongan. Hidup di dunia ini tidak bermakna, tidak berbekas, seperti leyapnya jejak titik di air, jejak angsa di tanah bentar, jejak semut di batu. Itulah manusia yang bernilai laki laki (bumi-tanah).
Bait kedua sebaliknya, yakni langit yang kosong sesungguhnya justru penuh isi. Ada gurat tulisan di langit, gambar-gambar pada mega. Yang nampaknya kosong di atas itu sesungguhnya sejatinya isi. Ibarat intan sebesar buah semangka.
Dunia manusia ini tiada tanpa adanya dunia langit.
Yang tidak Ada itu sejatinya Ada. Sedangkan yang ada ini sejatinya tidak ada. Ayana Aya ayana Eweuh, Aya tèh eweuh, Eweuh tèh aya. Begitu ungkapan manusia Sunda sekarang masih diingat ajaran-ajaran tua ini.
Tabe Pun.
Referensi
- Adarsa, Undang dan Edi Kadarsi. 2006. "Gambaran Kosmologi Sunda". Bandung: Penerbit Kiblat
- Capra, Fritjop. 1999. "Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas antara Sains dan Spiritualitas". Yogyakarta: Fajar Pstaka Baru.
- Eliade, Mersia. 1995. "Sakral dan Propan". Pustaka Baru
- Saputra, Surya. 1950. "Etnis Baduy". Bogor: s.n
- Subagio, Rahmat. 1981. "Agama Asli Indonesia". Sinar Harapan
- Simmer, Hendri. 2003. "Sejarah Filsafat India". Pustaka Pelajar
- Sumardjo, Prof Jakob. 2009. "Kosmologi dan Pola Tiga Sunda". Imaji Vol. 4 - NO. 2/ Februari 2009 Neliti.com Diakses 10 Juli 2022.
- Stephenson, Faslie dan David Haberman. 2001. "Hakekat Manusia". Bintang