Cari

Prabu Senna atau Sanna atau Bratasenawa, Penguasa Pulau Jawa Keturunan Kerajaan Galuh

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Prabu Sanna atau Bratasenawa adalah Raja ketiga di Kerajaan Galuh yang memerintah dengan gelar Prabu Bratasenawa dari tahun 709 Masehi sampai 716 Masehi menggantikan Sang Jalantara Prabu Suraghana atau Mandiminyak, ayahnya. Prabu Suraghana Mandiminyak, raja Galuh kedua berkuasa sejak tahun 702-709 M.

Namanya Sang Sena atau Sanna putra Sang Jalantara, Prabu Suraghana atau Rahyang Mandiminyak putra Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Wreti Kandayun putra Raja Kandiawan putra Raja Putra Suraliman putra Raja Maha Guru Manikmaya, pendiri Kerajaan Kendan. Ibunya bernama Dewi Wulansari. Sang Sanna menikahi Sanaha (saudara perempuan beda ibu dari Mandiminyak) dan berputra Maharaja Harisdarma Sanjaya, Rakai Mataram atau Ratu Sanjaya.

Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa. Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang (Mataram Kuno) versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran (Putra Sanjaya?) sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Raja Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan pendapat van Naerssen, pada zaman pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Raja Sanjaya pada tahun 770an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Sejak saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di tanah Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat pernikahan itu ia bisa menjadi raja di Medang, dan memindahkan istana kerajaan Medang ke Mamrati. Hal tersebut dianggap sebagai awal Bangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.  Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Namun temuan menarik dari Prasasti Raja Sankhara. Dalam prasasti itu disebutkan seorang tokoh bernama Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Sebelumnya disebutkan ayah Raja Sankhara, wafat karena sakit selama 8 hari. Karena itulah Sankhara karena takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur.

Di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa raja Sankhara disamakan dengan Rakai Panangkaran, sedangkan ayah Raja Sankhara yang dalam prasasti ini tidak disebutkan namanya, disamakan dengan raja Sanjaya. Ditafsirkan bahwa raja Sanjaya menjalankan ritual yang sangat berat atas saran sang guru, resi brahmana pemuja Siwa.

Oleh Poerbatjaraka Panangkaran disamakan dengan Panaraban dalam Carita Parahyangan. Isi prasasti Raja Sankhara ini secara garis besar sesuai benar dengan kisah dalam Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa Raja Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban (Rakai Temperan) untuk berpindah agama, karena agama Siwa yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Nusantara, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana.

Isi prasasti Raja Sankhara juga sesuai dengan Prasasti Sojomerto yang kini disimpan di lokasi penemuannya di Pekalongan, menyebutkan tentang Dapunta Sailendra yang dianggap sebagai cikal bakalnya dinasti Sailendra. Baik prasasti Sojomerto ataupun prasasti Raja Sankhara, ditambah penafsiran atas naskah Carita Parahyangan, mendukung teori bahwa Sailendra adalah wangsa tunggal yang merupakan keluarga penguasa asli Nusantara. Temuan-temuan ini sekaligus membantah teori populer mengenai persaingan dua wangsa beda agama; wangsa Sailendra yang Buddha dan wangsa Sanjaya yang Hindu, yang diajukan Bosch dan de Casparis. Karena menurut prasasti Sojomerto dan Raja Sankhara, Sanjaya dan keturunannya adalah anggota wangsa Sailendra, dan wangsa ini sebelumnya adalah pemuja Siwa, sebelum akhirnya Panangkaran berpindah keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.

Sang Prabu Bratasenawa (Sanna), memerintah di Kerajaan Galuh hanya 7 tahun karena pada tahun 716 M terjadi kudeta oleh Purbasora atau Purbasura putra Resiguru Sempakwaja (kakak dari ayahnya, Rahyang Mandiminyak) yang didukung oleh Bimaraksa putra Resiguru Wanayasa, Sang Jantaka. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri Kerajaan Galunggung. Sedangkan Sanna adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Prabu Suraghana Mandiminyak, raja Galuh kedua.

Sang Sena(Prabu Sanna) meloloskan diri meminta perlindungan Raja Kerajaan Sunda Sang Tarusbawa. Prabu Sanna bersahabat baik dengan Sang Tarusbawa. Persahabatan ini pula yang mendorong Sri Maharaja Tarusbawa mengambil Sanjaya, Rakai Mataram putra Prabu Sanna Bratasenawa menjadi menantunya. 

Sementara itu di Kerajaan Kalingga adalah Ayahandanya (Prabu Suraghana Mandiminyak) dan Ibu sambungnya Parwati. Parwati adalah puteri Kartikeyasingha dengan Ratu Shima, yang menjadi ratu penguasa kerajaan Kalingga Utara (Bhūmi Mātaram) dengan gelar Sri Maharani Parwati Tunggalpratiwi (Śrī Mahārājñī Pārvatī Tuŋɡalpṛthivī) yang memerintah sekitar tahun 695-709 M. Oleh karena itu Sang Sanna bersama pelayannya, keluarganya, dan beberapa raja wilayah dengan bala tentaranya mengungsi dari Kerajaan Sunda ke Jawa Tengah di Medang Mataram bersama istrinya Dewi Sannaha. Dewi Sannaha adalah Putri Mandiminyak (Raja Galuh) dengan Parwati (Ratu Kalingga penerus Ratu Shima). Dari pernikahan Sanna dan Sannaha (adik-kakak) melahirkan Sanjaya.

Sanjaya, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama istrinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. 

Sebelum ia meninggalkan kawasan Tatar Pasundan, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.



Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra, karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa bagian utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng memakai namanama tokoh wayang seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.

Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

 

Referensi

  1. Ekajati, Edi Suhardi  dan Undang A. Darsa. 1999. "Jawa Barat, koleksi lima lembaga: Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Volume 5", T. E. Behrend. Yayasan Obor Indonesia. 
  2. Mulyana, Slamet. 1981. "Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi". Yayasan Idayu.
  3. Mulyana, Slamet. 2011. "Sriwijaya". Cet ke-4. Bantul: LKIS. Diakses 21 Oktober 2023.
  4. Ruhimat, Mamat. 2009. "Transliterasi Teks dan Terjemahan Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga.
Baca Juga

Sponsor