Cari

Upeti Raja-raja Nusantara sebagai Tanda Takluk pada Kekaisaran Tiongkok?


 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Kisah para raja Nusantara yang mengirim upeti ke negeri Tiongkok telah tercatat dalam sejarah. Sebut saja mulai dari Kerajaan Tarumanagara bahkan Salakanagara telah mengirimkan upeti ke negeri Tiongkok atau China. Pun demikian raja-raja berikutnya seperti Sunda-Galuh, Mataram Kuno (Medang), Kahuripan, Singhasari, dan Majapahit. 

Sejarah hubungan Tiongkok dan Indonesia telah berlangsung sekitar 2.000 tahun. Dimulai sejak dibukanya jalur sutra laut di zaman Dinasti Han (206 SM-220 M). Seperti halnya pengiriman utusan, pengiriman upeti dari raja-raja Nusantara ke “Kaisar Sejagat” di Tiongkok merupakan tradisi yang lazim dilakukan kala itu. Apakah pemberian upeti itu merupakan tanda takluknya raja-raja Nusantara pada Kaisar Tiongkok?

Untuk itu, kita mulai dari pengertian upeti.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) upeti (1) uang (emas dan sebagainya) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara(-negara) kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan; (2) uang dan sebagainya yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.

Upeti adalah harta yang diberikan suatu pihak ke pihak lainnya, sebagai tanda ketundukan dan kesetiaan, atau kadang-kadang sebagai tanda hormat. Dalam sejarah upeti biasanya diminta oleh negara yang kuat kepada negara-negara sekitar yang lebih lemah, negara bawahan, serta wilayah-wilayah taklukannya.

Mengutip Setiawan dalam Jurnal Kompilasi Hukum, bahwa Di era Majapahit, pajak (upeti) sebagai bentuk rasa penundukan diri pada sang penguasa dalam bentuk pengkastaan dan apa dampak pemungutan pajak (upeti) kerajaan Majapahit untuk membangun ekonomi wilayah kekuasaan.

Sedangkan raja Sunda (Pajajaran) menerima pemberian dari wilayah kekuasaannya yang disebut upeti sebagai "Seba". Ada perbedaan kata Seba dan Pamuat/pamwat. Seba dapat diartikan sebagai pajak sedangkan Pamuat sebagai Retribusi misal sebagai biaya keamanan atau uang masuk barang ke pelabuhan dan lain-lain.

Mari kita telisik lebih jauh. Dalam Naskah Sunda Kuno Perjalanan Bujangga Manik, menyebutkan bahwa beberapa barang berharga yang digunakan di Kerajaan Sunda berasal dari Tiongkok sebagai upeti dari negeri seberang (pamuat ti alas peuntas).

Selain sebagai negeri yang menjadi mitra dalam berbagai interaksi sosial, ekonomi, dan budaya, Tiongkok juga disebutkan sebagai salah satu ancaman bagi kedaulatan negeri pada masa kerajaan Sunda masih berdiri. Naskah Amanat Galunggung menyatakan bahwa salah satu tempat yang harus benar-benar dijaga dari serangan musuh adalah kabuyutan Galunggung. Beberapa negeri yang dianggap ancaman terhadap kedaulatan kerajaan Sunda adalah Jawa, Baluk, Cina, Lampung, dan negeri lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan.

Hubungan Tiongkok dengan Sunda telah terjalin sejak sebelum abad ke-7 Masehi dengan adanya pengiriman utusan-utusan dari Tarumanagara ke Tiongkok. Hubungan Tiongkok dan Sunda mengalami masa perkembangan pada abad ke-16 dan 17 dengan bukti-bukti yang ditemukan pada naskah-naskah Sunda Kuno. Pengetahuan masyarakat Sunda pada abad ke-16 dan 17 tentang Tiongkok membuktikan bahwa mereka telah saling mengenal melalui bahasa, peradaban, produk-produk berkualitas tinggi, politik, dan kepandaian.

Catatan-catatan informasi Tiongkok tentang wilayah di Samudra Timur dan Barat, sebagai sebuah istilah untuk menunjuk wilayah Nusantara dan Taiwan, selalu diakhiri dengan catatan wilayah tersebut menyerahkan upeti kepada Kaisar Tiongkok. Meski demikian, pernyataan bahwa banyak wilayah di Nusantara yang mengirimkan upeti kepada Tiongkok, sebagai bentuk wujud takluknya wilayah-wilayah tersebut, adalah keliru.

Misalnya kita melihat berita di zaman modern ini terdapat seremoni saling memberi buah tangan antar negara. Apakah itu upeti? atau itu merupakan sebuah pemberian suap? Mari kita ambil contoh pada diri kita ketika berkunjung ke rumah saudara atau kolega kemudian membawakan sesuatu sebagai buah tangan atau oleh-oleh. Apakah itu suap atau upeti tanda tunduk kita?

Dalam bahasa Hanzhi China, Upeti disebut 朝贡 (Cháogòng). Upeti/Cháogòng adalah jaringan hubungan internasional longgar yang berfokus pada Tiongkok yang memfasilitasi perdagangan dan hubungan luar negeri dengan mengakui peran dominan Tiongkok di Asia Timur. Ini melibatkan berbagai hubungan perdagangan, kekuatan militer, diplomasi dan ritual. Negara-negara bagian lain harus mengirim utusan upeti ke Tiongkok sesuai jadwal, yang akan melakukan kowtow kepada kaisar Tiongkok sebagai bentuk upeti, dan mengakui keunggulan dan prioritasnya. Dalam budaya Tionghoa, kowtow adalah bentuk penghormatan yang tertinggi, dan biasanya dilakukan terhadap orang tua dan dihormati. Dalam tatacara kekaisaran pada masa lampau, kowtow juga dilakukan terhadap kaisar. Terdapat beberapa tingkatan kowtow yang dilakukan berdasarkan kekhidmatan suatu upacara dalam istana.

Kowtow menjadi kosakata Bahasa Inggris sejak awal abad ke-19 untuk menjelaskan suatu cara memberi hormat, namun perlahan maknanya menyempit menjadi "suatu sikap merendahkan diri dan tunduk". Orang Barat yang pertama kali menyaksikan cara kowtow menganggap hal tersebut sebagai praktik pemujaan, walau sebenarnya dalam tradisi Tionghoa tidak selalu bermakna religius. 

Tata cara menghadap Kaisar Tiongkok dalam bentuk Kowtow ini juga dilakukan di Zaman Hindia Belanda. Duta besar dari Hindia Belanda, Isaac Itsingh tak menolak bersujud kepada Kaisar Qianlong dalam kunjungannya pada tahun 1794-1795.

Kowtow juga dipraktikkan dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga Tiongkok seperti Jepang dan Korea. Berdasarkan Joseon Wangjo Sillok (Babad Dinasti Joseon), pada tahun 1596, sang unifikator Jepang, Toyotomi Hideyoshi harus berlutut lima kali dan bersujud tiga kali untuk menyatakan kepatuhannya pada Dinasti Ming.

Negara-negara lain mengikuti ritual formal Tiongkok untuk menjaga perdamaian dengan tetangga yang lebih kuat dan memenuhi syarat untuk bantuan diplomatik atau militer dalam kondisi tertentu. Aktor politik dalam sistem upeti sebagian besar otonom dan dalam hampir semua kasus hampir independen.

Dalam prakteknya, Sistem upeti Tiongkok membutuhkan serangkaian ritual dari negara-negara pembayar upeti setiap kali mereka mencari hubungan dengan Tiongkok sebagai cara untuk mengatur hubungan diplomatik. Ritual utama umumnya meliputi:

  • Pengiriman misi oleh negara-negara pembayar upeti ke Tiongkok.
  • Para utusan negara-negara pembayar upeti melakukan kowtow di hadapan kaisar Tiongkok sebagai "pengakuan simbolis atas inferioritas mereka" dan "pengakuan status mereka sebagai negara bawahan.
  • Penyajian upeti dan penerimaan "hadiah bawahan" kaisar.
  • Penobatan penguasa negara pembayar upeti sebagai raja yang sah di tanahnya.
Setelah selesainya ritual, negara-negara pembayar upeti terlibat dalam urusan yang mereka inginkan, seperti perdagangan.

Prof Liang Liji dalam bukunya “Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia”, menjabarkan secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi di zaman itu. Penulis sejarah Cina mengerti bahwa penyampaian upeti tersebut berlangsung karena ada keuntungan. Pada 1443 (?), Gubernur Canton melaporkan bahwa utusan Indonesia memakan biaya negara terlalu banyak, sehingga Kaisar Tiongkok menyampaikan upeti cukup satu kali dalam setahun. Dengan membatasi pemberian upeti, terlihat bahwa upeti bukan merupakan bentuk wujud tunduk sebuah negara. Upeti merupakan bentuk pemberian barang-barang berharga kepada sebuah negara. Negara yang menerima juga akan memberikan balasan dengan memberikan barang-barang yang mewah. Ketika utusan telah diterima, utusan-utusan yang biasanya diikuti saudagar-saudagar swasta diberi kesempatan berniaga. 

Dari kisah tersebut, pemberian upeti merupakan salah satu strategi untuk memasarkan produknya ke suatu negara agar diterima oleh pejabat negara lain, dan bukan merupakan bentuk ketundukan sebuah negara. Tradisi tersebut merupakan salah satu tradisi kuno perdagangan di Asia. Dengan mengenakan produk tersebut oleh para pejabatnya pada masa itu, masyarakat umum akan mengikutinya.

Bagi dinasti-dinasti Kaisar Tiongkok, mereka sebagai kekaisaran besar menganggap dirinya sebagai pusat peradaban. menurut pandangan mereka di luar dari kekaisaran mereka semuanya adalah bangsa barbar tidak beradab. karena itu baik bahasa, tulisan, karya seni dan budaya yang unggul semua dimiliki oleh kekaisaran. pembenaran keunggulan itu adalah diterimanya atau tersebarnya seni budaya mereka ke peradaban lain di sekitarnya.

Konsekuensi dari pandangan tersebut membuat kekaisaran Tiongkok tidak mengakui adanya peradaban lain yang bisa membuat produk yang lebih unggul dari mereka. karena itu terjadi kebingungan ketika mereka membutuhkan produk atau barang yang harus di import dari luar karena ternyata tidak bisa mereka buat atau produksi sendiri di dalam negeri.

Seperti halnya kuda asia tengah yang lebih kuat, berbagai batu permata, atau berbagai jenis armor dan persenjataan dari barat yang dibawa lewat jalur sutra. hal ini berpotensi membuat malu kekaisaran karena harus mengakui kalau ada peradaban lain yang bisa memproduksi barang yang lebih unggul daripada mereka. sehingga mau tidak mau harus mengakui adanya saingan yang dalam beberapa hal bisa dibilang selevel atau sederajat dengan mereka. 

Karena itu untuk menyelamatkan muka, sistem "upeti" pun dirubah. bagi rakyat awam mereka sekedar melihat terjadinya upacara megah satu atau beberapa kali dalam setahun dimana kaisar akan menerima rombongan besar dari banyak kerajaan luar yang semuanya membawa harta kekayaan mereka sebagai upeti. tampak kemegahan dari kekaisaran yang membuat rakyatnya senang dan bangga. tetapi hal ini hanyalah sebuah kedok politis.

Pada kenyataannya, jauh hari sebelum upacara pemberian upeti tersebut berlangsung utusan kedua belah pihak akan bertemu secara rahasia. dari sisi kekaisaran akan menyerahkan daftar barang yang mereka butuhkan. lalu dari sisi kerajaan luar mereka akan menyanggupi entah sebagian atau keseluruhan dari permintaan tersebut. mereka juga bebas menawarkan produk lain yang mungkin baru tahun ini mereka produksi.

Bukan gratisan, pihak kerajaan luar juga menyerahkan daftar barang yang mereka inginkan. lalu terjadilah tawar menawar agar terjadi kesepakatan jumlah dan nilai yang dirasa adil. seekor kuda ditukar dengan segulung sutra atau batu permata ditukar dengan pakaian mewah dan perhiasan. setelah deal kedua belah pihak kemudian menyiapkan barang-barang tersebut.

Dalam upacara penyerahan upeti, pihak kerajaan luar akan membawa upeti sesuai yang dijanjikan. biasanya simbolis tidak beli 1000 kuda lalu dijejerkan semua, tetapi beberapa saja asalkan memenuhi kriteria meriah, megah dan mewah. lalu setelah diterima, dengan alasan karena "kemurahan hati" sang kaisar maka kekaisaran sudi membalas pemberian upeti tersebut dengan "hadiah" yang setimpal.

Bagi rakyat awam dan pengunjung dari jauh, hal ini tampak luar biasa sekali. kekaisaran tidak sekedar terima upeti yang merupakan haknya tetapi juga dibalas dengan hadiah yang lebih besar dari pemberian negara taklukan. sekilas pihak kekaisaran terlihat bagaikan pihak yang betul-betul kuat dan kelebihan harta sampai merasa perlu dibagi-bagi kepada kerajaan taklukan.

Padahal yang sebenarnya terjadi adalah murni transaksi. upeti dan hadiah jejadian atau drama politis bohong-bohongan ini memang bertujuan untuk menjaga dan mendongkrak prestise pemerintah. tentu isi "hadiah" yang diberikan oleh kaisar sesuai dengan permintaan dari kerajaan luar sebagai barteran dari barang yang mereka bawa sebagai upeti.

Sistem ini sendiri memacu ekonomi karena mendorong perdagangan sehingga banyak kerajaan luar yang sudi mengaku "tuduk" terhadap kekaisaran. tentu mereka sekedar tunduk-tundukan di atas kertas dan kedua pihak memahami hal tersebut. walaupun tunduk tetapi kekaisaran tidak punya kuasa apapun terhadap kerajaan luar. hal ini tidak lebih dari pura-pura agar bisa melakukan perdagangan.

Lucunya klaim terhadap kerajaan yang "tunduk" ini di era modern dipakai sebagai dasar pembenaran terhadap luasnya wilayah yang dikuasai oleh suatu dinasti. padahal luasnya kekuasaan de facto yang sebenarnya dimiliki tentu tidak meliputi kerajaan yang sekedar tunduk untuk urusan dagang semata. mereka tokh hanya tunduk di atas kertas saja bukan secara politis atau militer.

Peradaban lalu mulai dari Sumeria kuno, Akkadia, Babylonia di mesopotamia ataupun Romawi di eropa menggunakan sistem barter dan upeti yang sama ketika berhadapan dengan kerajaan lain atau suku barbar. barang dari kerajaan luar atau suku barbar oleh Romawi diakui sebagai upeti, sedangkan barang yang sebenarnya dibeli diakui sebagai hadiah dari Romawi kepada kerajaan luar atau suku barbar.

Mungkin sistem upeti yang tertua digunakan oleh firaun mesir dalam perdagangan dengan kerajaan lain seputar mediterania. sama-sama berunsur politis untuk menjaga popularitas pemerintah. dalam sejarah, kerajaan kecil sekalipun jarang ada yang benar-benar tunduk kecuali dikalahkan dalam perang. membuktikan bahwa kebebasan mengatur dan menentukan nasib sendiri adalah hal yang hakiki pada semua bangsa.

 

Bentuk Upeti Sebagai Tanda Takluk

Upeti sebagai bentuk tanda takluk suatu negara lebih diwujudkan dalam bentuk emas. Dalam Prasasti Gunung Butak 1294, bentuk pemberian sebuah desa kaswatantran Kudadu sebagai bentuk pemberian upeti kepada Raja Majapahit berupa emas 1 ka, 5 tahil. Informasi Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) mengenai upeti Malaka sebagai negara bawahan Siam ke Siam juga berupa emas. Emas yang diserahkan sebanyak 40 tahil emas setiap tahun. Gambaran tersebut jelas memperlihatkan adanya kesamaan mengenai makna upeti sebagai bentuk wujud tanda takluknya sebuah negara ke negara lain di wilayah kawasan Asia Tenggara.

Dalam Berita Tiongkok, banyak diceritakan jika upeti yang diberikan oleh wilayah di Samudra Timur dan Barat kepada Kaisar Tiongkok bukan dalam bentuk emas, melainkan lebih banyak dalam bentuk hasil produk negara. Pemimpin yang bernama Bai-li-su-ra sangat senang dan mengirim utusan ke istana yang berangkat bersama Utusan Kaisar. Utusan tersebut membawa upeti berupa produk negara ini. Ini artinya upeti yang diberikan kepada Tiongkok bukan merupakan wujud dari takluknya negeri tersebut kepada Cina, melainkan lebih merupakan bentuk strategi guna memasarkan produknya ke suatu negara sebagaimana yang dilakukan Tiongkok terhadap Malaka. Maka, wajar bila kemudian pemerintah Tiongkok membatasi pemberian upeti agar emas kerajaan tidak banyak terserap oleh para pedagang asing yang datang.


Upeti ke Majapahit di Nusantara

Mengenai kajian tentang pandangan Majapahit terhadap negeri-negeri lain di Asia Tenggara dan sebaliknya, sebenarnya belum pernah dilakukan. Telaah yang telah dilakukan hanya membicarakan kedudukan masing-masing kerajaan tersebut secara umum, misalnya yang dilakukan oleh D. G. E. Hall dalam bukunya Sejarah Asia Tenggara (1988), hanya menyebutkan tentang perkembangan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan sezaman di Asia Tenggara. Begitu pun karya Renee Hagesteijn Cirles of Kings: Political dynamics in early continental Southeast Asia (1989), menguraikan pertumbuhan dan pergantian raja-raja di Asia Tenggara daratan, tanpa membincangkan pengaruh dari kerajaan lain di kepulauan Asia Tenggara. Karya Paul Michel Munoz, dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Nusantara dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Prasejarah—Abad XVI) (2009), menguraikan dengan agak panjang terbentuknya kerajaan-kerajaan yang paling awal di kawasan Asia Tenggara hingga abad ke-16, namun tidak menyertakan adanya pandangan antarkerajaan tersebut terhadap sesamanya. Dengan demikian terdapat peluang untuk membicarakan permasalahan yang diajukan dalam telaah ringkas ini, yaitu tentang interaksi dan pandangan antarkerajaan di Asia Tenggara, India, dan Cina, terutama pandangan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan lain yang sezaman di kawasan yang sama.

Majapahit telah mempunyai cara pandang dan menempatkan negeri-negeri sezaman dalam interaksinya dengan negeri-negri itu. Cara pandang itu didasarkan kepada penataan wilayah yang mengacu kepada ajaran keagamaan Hindu-Buddha sebagai agama yang waktu itu banyak dipeluk oleh para penguasa dan masyarakatnya.

Selama perkembangannya, Majapahit mengadakan interaksi dengan berbagai daerah lain, pada umumnya hubungan itu berlangsung baik, hanya 3 kali Majapahit mengadakan penyerangan ke daerah Nusantara, yaitu ke Bali, Dompo di Sumbawa (diuraikan dalam Nāgarakŗtāgama), dan Tumasik (uraian dalam kitab Sejarah Melayu). Dalam Nāgarakŗtāgama dinyatakan pula bahwa setiap tahun pada era Hayam Wuruk berkuasa terjadi pasewakan agung di istana Majapahit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan baik dengan daerah-daerah lainnya. Sebab dalam upacara penghadapan itu banyak utusan dari berbagai negeri yang datang ke hadapan raja. Kemungkinan upacara seba menghadap raja itu masih berlangsung dalam masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, hanya kemegahannya berkurang, dan para tetamu yang datang pun tidak banyak lagi.

Negara besar di Asia yang tentunya banyak dikenal oleh masyarakat Majapahit adalah Cina dan India. Hal yang menarik adalah bahwa Cina sebagai salah satu negara besar di Asia waktu itu tidak disebutkan oleh Prapanca sebagai salah satu Mitra Satata Majapahit. Walaupun demikian, hal yang tiada terbantahkan bahwa cukup banyak tinggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina ditemukan di situs Trowulan, bekas kota Majapahit yang terletak di Mojokerto sekarang. Mengenai India Mpu Prapanca menyebut beberapa daerah yang ada di kawasan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa terdapat niagawan yang datang dari daerah-daerah tersebut, sehingga dikenal oleh penduduk Majapahit dan dicatat oleh Prapanca.

 

Majapahit dan Daerah-daerah Nusantara

Mengenai hubungan Majapahit dengan daerah-daerah lainnya di Nusantara, artinya di pulau lain di luar Majapahit, disebutkan dalam kitab Nāgarakŗtāgama di pupuh 13—14 (Pigeaud, 1960, hlm. 11--12 dan hlm. 16-17) yaitu beberapa daerah yang kerapkali mengirimkan utusan ke Majapahit. Daerah-daerah di Pulau Sumatera yang disebutkan oleh Mpu Prapanca antara lain Malayu, Jambi, Palembang, Karitang, Teba (Muaro Teba), Dharmmasraya, Minangkabwa, Siyak, Parlak, Pane, Mandahiling, Tamihang, Barus, dan Lampung. Di Pulau Kalimantan disebutkan daerah-daerah Tanjung-Nagara, Kapuhas, Katingan, Sampit, Kuta-Lingga, Kuta-Waringin, Sambas, Lawai (Muara Labai), Kadangdangan, Landa, Samedang, Sedu, Buruneng, Saludung, Pasir, Baritu (Barito), Tunjung-Kute, dan Tanjung-Puri.

Di Semenanjung Melayu disebutkan beberapa daerah, yaitu Pahang, Hujung Medini (Johor), Langkasuka (Lengkawi), Kalanten, Tringgano, Pakamuwar (Muwar), Keda, Jere (Bukit Jerai), dan Tumasik. Wilayah-wilayah di timur Pulau Jawa yang disebut dalam Nāgarakŗtāgama antara lain adalah Bali, Badahulu, Lwa Gajah, Gurun (Nusa Penida), Taliwang, Dompo, Sanghyang Api (Gunung Api, atau Pulau Sangeang), Bhima, Sheran (Seram), Lombok-Mirah, Saksak, Luwuk, Makasar, Butun (Buton), Salaya, Sumba, Wandan, Ambwan, Wwanin (Onin), Seran, dan Timor (Pigeaud, 1962, hlm. 30-34). Daerah-daerah itu agaknya yang dikenali oleh orang-orang Majapahit sehingga Mpu Prapanca menyantumkan nama daerah-daerah itu dalam Nāgarakŗtāgamanya.

Referensi

  1. Danasasmita, Saleh. dkk. 1987. "Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan". Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
  2. Darsa, Undang Ahmad, Edi S. Ekadjati, dan Mamat Ruhimat. 2004. "Darmajati: Naskah Lontar Kropak 423 (Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan, dan Terjemahan Teks)". Bandung: Universitas Padjadjaran.
  3. Groeneveldt, W.P. 2009. "Nusantara dalam Catatan Tionghoa". Depok: Komunitas Bambu. 
  4. Hilman, Yusuf Adam. 2017. "UPETI dalam Perspektif Teori Hegemoni". Published on Jul 5, 2017. Ponorog: Celina Media. isuuu.com Diakses 12 Nopember 2023.
  5. Liji, Prof. Liang. 2012.  “Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  6. Mulyana, Slamet. 1979. "Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya". Jakarta: Bhratara.
  7. Munandar, Agus Aris. 2020. "Majapahit dan Negeri-Negeri Sezaman: Interaksi dan Pandangan". Jurnal Berkala Arkeologi, Volume 40 No. 1, Mei 2020, 1-24. [PDF]
  8. Munoz, P. M. 2009. "Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah-Abad XVI)". Yogyakarta: Mitra Abadi. 
  9. Noorduyn, J. - A. Teeuw. 2009. "Tiga Pesona Sunda Kuna. (Terjemahan oleh Hawe Setiawan, Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa)". Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 
  10. Pigeaud, Th. G. Th. 1960-1963. "Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nagara-kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD". Volume I—V. The Hague: Martinus Nijhoff.
  11. Pigeaud, Th. G. Th. 1924. "De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Prozageschrift Uitgegeven, Vertald en Toegelicht". Disertasi, Rijksuniversiteit te Leiden. ‘s-Gravenhage: Nederlandsche Boeken Steendrukerij vh.H.L.Smits.
  12. Ruhimat, Mamat. 2017. "Hubungan Tiongkok dan Sunda Dalam Naskah-Naskah Sunda Kuno: Kearifan Lokal Dalam Menjaga Keutuhan Bangsa Indonesia". Jurnal Cakrawala Mandarin - Asosiasi Program Studi Mandairn Indonesia. Vol.1, No.1, April 2017, PP. 75-85.
  13. Setiawan, Yudhi. 2022. "Pajak (Upeti) Majapahit (Wilwatikta) Dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Otonomi". Jurnal Kompilasi Hukum Volume 7 No. 2, Desember 2022
  14. Situmorang, T.D., A.Teeuw, dan Amal Hamzah. 1952. "Sedjarah Melaju Menurut terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir Munsji)". Djakarta: Djambatan.
Baca Juga

Sponsor