Punden Berundak/Piramida Cibedug
Foto: BPCB Banten
[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Istilah Pikukuh dan Pitutur barangkali terdengar asing bagi kita, bahkan bagi msayarakat Sunda kiwari (zaman sekarang). Berbeda dengan yang menganut agama Sunda Wiwitan atau Jati Sunda.
Pikukuh dan Pitutur
Pikukuh secara etimologis berasal dari kata "kukuh" dengan awalan "pi" yang menunjunkan kata benda. Secara definitif diartikan sbagai "pendidikan". Sedangkan Pitutur berasal dari kata "tutur" atau setara dengan sabda atau firman. Jadi Pitutur memiliki bobot lebih tinggi dalam kehidupan. Pitutur diartikan sebagai "aturan hukum".
Seluruh relung kehidupan orang Sunda terjaga dan berpedoman pada pikukuh dan pitutur yang telah dibuat dan diwariskan para karuhun mereka. Pikukuh dan Pitutur yang berpokok pada ajaran kepercayaan mereka berlaku juga sebagai hukum adat bagi seluruh warga Baduy. Umur pikukuh dan pitutur sama halnya dengan umur dan asal-usul keberadaan masyarakat Baduy yang sampai saat ini masih merupakan teka-teki yang belum bisa dipecahkan baik secara ilmu maupun secara empiris.
Pikukuh dan Pitutur dalam Kehidupan Urang Kanekes (Orang Baduy)
Pikukuh dan pitutur di kalangan masyarakat Baduy telah ada sejak manusia pertama berada. Orang Baduy yang tidak mengenal undak-usuk bahasa membuat orang luar mengecap orang Baduy berbahasa Sunda kasar. Padahal pada kenyataannya orang Baduy adalah orang-orang yang berkodrat alamiah serta bernaluri tinggi sekitar seni bahasa. Hal itu dapat dibuktikan dengan pengucapan yang puitisasi dari berbagai liku kehidupan. Baik dalam bentuk prosa maupun puisi lisan Baduy.
Berdasarkan keyakinan mereka yaitu Sunda Wiwitan tentang asal-usul terjadinya Buana Pancatengah (alam semesta) serta manusia pertama. Terujar dalam baris puisi lisan Baduy yang berbunyi “Jleg langit, jleg bumi, jleg Adam Tunggal” serta pitutur yang berkata “buyut teu meunang dirobah”.
Pikukuh dalam Kehidupan Masyarakat Suku Baduy
Kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy tidak terlepas dari sikap kepatuhan dan ketaatan pada amanat leluhurnya. Dimana dan pada situasi apapun mereka selalu menampilkan ciri khasnya yang sederhana, bicara ringkas, apa adanya, jujur, serta menghindari konfrontasi dengan siapapun. Sikap tersebut sudah ditanamkan secara kuat dan terus-menerus pada setiap anak cucu keturunan mereka sejak usia anak-anak sampai dewasa. Penanaman ajaran serta keyakinan sikap tersebut dilakukan oleh para tokoh adat melalui bait-bait pepatah yang ringkas, jelas, mudah dihafal, namun memiliki makna filosofis yang sangat mendalam.
Kehidupan keseharian pada masa dulu, peribahasa dan pepatah dianggap sebagai jalan yang paling mudah untuk memberi nasihat, teguran atau sindiran. Dalam peribahasa atau pepatah terkandung nilai kehidupan yang merupakan cerminan dalam suatu masyarakat. Peribahasa dan pepatah juga menggambarkan sifat, prilaku, dan keadaan suatu masyarakat. Selain itu, Pribahasa dan pepatah berfungsi sebagai alat kontrol untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial. Keharmonisan hubungan sosial akan terjaga karena di dalam peribahasa mengandung etika.
Suku Baduy menyebut kalimat-kalimat pepatah atau pribahasa tersebut adalah pikukuh, yang mereka yakini sebagai amanat leluhurnya yang harus dijalani sebagai bentuk dedikasi kepada tanah hunian mereka sebagai pancer bumi (inti jagad). Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman pada ketentuan adat yang telah ditentukan dalam pikukuh. Pikukuh juga termasuk kedalam sastra lisan Baduy. Dalam kamus bahasa Sunda, pikukuh berasal dari kata kukuh yang artinya teguh memegang pendirian atau ungkapan yang tak bisa di ganggu gugat. Karena pada dasarnya konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh kehidupan masyarakat Baduy adalah tanpa merubah apapun.
Berikut ini beberapa petikan dari bait-bait pikukuh Baduy yang sering diucapkan masyarakat Suku Baduy:
Buyut nu dititipkeun ka puun
Nagara satelung puluh telu
Bangsawan sawidak lima
ancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang diruksak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Mipit kudu amit
Ngala kudu menta
Nu lain kudu dilainkeun
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
Artinya:
Buyut yang dititipkan kepada puun
Negara tigapuluh tiga
Sungai enampuluh lima
Pusat duapuluh lima negara
Gunung tak boleh dihancur
Lembah tak boleh dirusak
Larangan tak boleh dilanggar
Buyut tak boleh diubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Memetik harus izin
Mengambil harus minta
Yang bukan harus ditiadakan
Yang lain harus dipandang lain
Yang benar harus dibenarkan.
Ujaran-ujaran diatas mengandung arti bahwa lingkungan alam tidak boleh dirusak, tata guna lahan tidak dapat dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi. Kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan, seperti hutan titipan, hutan lindungan lembur, harus tetap dipertahankan keberadaannya.
Kehidupan orang Baduy adalah titipan dari Adam Tunggal melalui ajaran Sunda Wiwitan. Seluruh bangsa dan negara berasal dari tiga puluh tiga negara yang memiliki enam puluh lima buah sungai, dan masing-masing mempunyai aturan sendiri. Negara-negara lain boleh dibangun supaya maju, akan tetapi daerah Baduy tidak boleh dihilangkan dan tidak boleh dirubah, harus tetap seperti apa adanya.
Dalam pikukuh juga terdapat tabu atau larangan yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan di Suku Baduy, larangan ini juga berlaku untuk masyarakat luar Baduy yang sedang berkunjung ke Baduy. Kententuan-ketentuan itu di antaranya sebagai berikut:
- Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur drainse dan membuat irigasi. Oleh karena itu, sistem pertanian padinya bukan padi sawah, melainkan padi ladang.
- Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian. Rumah masyarakat Baduy relatif sama, lantainya dari bambu, atapnya dari daun kirai, dindingnya dari anyaman bambu, dan tiang-tiangnya dari kayu.
- Dilarang masuk hutan titipan untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan lainnya. Masyarakat Baduy membagi tata guna lahan menjadi dua fungsi utama, yakni kawasan perlindungan lingkungan (hutan lembur dan hutan titipan) dan kawasan untuk budidaya (lahan pertanian dan pemukiman). Kawasan perlindungan lingkungan mutlak tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan apapun.4. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama penyakit, menggunakan minyak tanah, mandi menggunakan sabun, menggosok gigi mengunakan pasta, dan meracun ikan.
- Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan, seperti kopi, kakau, cengkeh, kelapa sawit, dan sebagainya.
- Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat, seperti kambing dan kerbau.
- Dilarang berladang sembarangan. Berladang harus sesuai ketentuan adat.
- Dilarang menggunakan pakaian sembarangan, yaitu keseragaman dalam berpakaian. Baduy Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih, Baduy Luar bepakaian hitam dengan ikat kepala hitam.
Masyarakat Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman yang dikenal dengan dasasila, yaitu:
- Moal megatkeun nyawa nu lain (tidak mebunuh orang lain)
- Moal mibanda pangoboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain)
- Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong)
- Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak mabuk-mabukan)
- Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain/poligami)
- Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung peuting (tidak makan malam hari)
- Moal make kekembangan jeung seseungitan (tidak memakai wangi-wangian)
- Moal ngageunah-geunah geusan sare tembang (tidak melelapkan diri dalam tidur)
- Moal nyukakeun ati ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik, atau nyanyian)
- Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata bagi laki-laki)
Dasar inilah yang melekat pada diri orang Baduy, menyatu dalam jiwa, menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Hubungan dengan alam, hubungan antara masyarakat dengan masyarakat, hubungan antara laki-laki dengan perempuan diatur dengan jelas dan tegas dan dipahami oleh semua masyarakat Suku Baduy.
Secara keseluruhan makna bait-bait pikukuh adalah pokok kehidupan untuk tercipta nya kesejahteraan, keharmonisan, perdamaian dalam kehidupan manusia dan menghindari kerusakan alam yang sering dirusak oleh manusia. Pikukuh bukan hanya nasehat dari leluhur saja melainkan menjadi penuntun atau pedoman hidup (way of life) sekaligus sebagai filosofi kehidupan masyarakat Baduy (Baduy’s life philosophy).22 Pikukuh harus ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Baduy tanpa keluhan dan banyak bertanya. Apabila melakukan pelanggaran, rasa malu dan rasa segan kepada sesama akan terus menghantui dalam diri.
Masyarakat Baduy percaya jika melanggar akan mendapatkan akibatnya terhadap diri sendiri. Contohnya mengalami sakit, hidup tidak tenang dan mendapatkan musibah lainnya. Bahkan jika menurut puun kesalahan yang diperbuat sudah melewati batas wajar maka akan diasingkan disuatu tempat bahkan sampai dikeluarkan dari Baduy karena dianggap tidak menghormati leluhur. Rasa takut terhadap Doraka, ketula, cilaka membuat masyarakat Baduy taat pada amanat leluhurnya. Kalimat-kalimat yang ada dalam pikukuh tidak tertulis dalam buku atau kitab seperti halnya dalam agama lain. Walaupun pikukuh tidak tertulis masyarakat Suku Baduy tetap melaksanakan dan menaati semua pikukuh yang ada sampai sekarang. Karena pada dasarnya semua nasehat dan amanat leluhur harus menjadi pedoman dan ditaati dalam kehidupan.
Penerapan pikukuh keagamaan lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Baduy adalah melaksanakan muja dan memelihara Sasaka Pusaka Buana atau Arca Domas, dengan cara membersihkannya dalam waktu setahun sekali sebelum melaksanakan muja.
Muja atau bertapa adalah kegiatan ziarah ke Sasaka Pusaka Buana yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para leluhur Baduy. Selama disana mereka berdoa untuk mendoakan leluhur dan menyucikan bumi untuk kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta. Selain itu, mereka juga melaporkan hal-hal yang terjadi ditanah mereka selama satu tahun kepada karuhun (nenek moyang) mereka.
Dalam upacara keagamaan ini tidak semua masyarakat Baduy diperkenankan untuk mengikuti upacara ini, hanya orang-orang tertentu yang telah ditunjuk oleh puun saja yang bisa mengikuti ritual ini.9 Upacara-upacara keagamaan tersebut adalah salah satu cara untuk menghormati leluhur dan sering disebut juga cara beribadah kepada Sang Hyang Kersa atau Batara Tunggal.
Referensi
- Afi, Neng Darol. 1998. "Tradisi dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di Indonesia". Badan Litbang Agama, Departemen Agama RI.
- Hasman, Don dan Filomena Reiss. 2012. "URANG KENEKES; Baduy People". Jakarta: Subur
- Haviland,William A. 1985. "Antropologi jilid 2". Surakarta: Erlangga.
- Muchtar, Adeng. 2011. "Antropologi Agama". Bandung: Alfabeta.
- Permana, R. Cecep Eka.2006. "Tata Ruang Masyarakat Baduy". (Jakarta: Wedatama Widya Sastra Printing.
- Oktaviani, Eky Almas. 2016. "Konsep Pikukuh dalam Kehidupan Masyarakat Suku Baduy". Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah