Cari

Analisis Perdamaian Ukraina: Tantangan dan Prospek di Tengah Konflik Berlarut

Ilustrasi

 

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara - Konflik antara Rusia dan Ukraina, yang telah berlangsung sejak aneksasi Krimea oleh Rusia pada 2014 dan meningkat tajam dengan invasi skala penuh pada Februari 2022, terus menjadi salah satu isu geopolitik paling mendesak di dunia. Hingga Februari 2025, perang ini telah memasuki tahun ketiga tanpa tanda-tanda penyelesaian yang jelas. Upaya perdamaian, meskipun sering digaungkan oleh berbagai pihak, tampaknya menghadapi jalan terjal akibat perbedaan kepentingan, posisi yang kaku, dan dinamika global yang kompleks. Artikel ini menganalisis tantangan utama dalam mencapai perdamaian di Ukraina serta prospek yang mungkin muncul berdasarkan perkembangan terkini.

Tantangan Utama Menuju Perdamaian

  1. Posisi Berseberangan antara Rusia dan Ukraina
    Salah satu hambatan terbesar adalah ketidakcocokan visi perdamaian antara kedua belah pihak. Ukraina, yang dipimpin oleh Presiden Volodymyr Zelensky, bersikeras bahwa perdamaian hanya возможно (mungkin) jika Rusia menarik seluruh pasukannya dari wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian Ukraina, termasuk Krimea dan Donbas. Sebaliknya, Kremlin di bawah Vladimir Putin menegaskan bahwa Ukraina bukan entitas negara yang sah secara historis dan menuntut pengakuan atas wilayah yang telah didudukinya, termasuk empat oblast yang dianeksasi pada 2022 (Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson). Ketegangan ini diperparah oleh pernyataan Putin bahwa tujuan "operasi militer khusus" belum tercapai, menunjukkan keengganan untuk berkompromi.

  2. Keterlibatan Pihak Eksternal
    Dukungan Barat, khususnya dari Amerika Serikat dan NATO, telah menjadi penopang utama bagi Ukraina, baik dalam bentuk senjata, dana, maupun sanksi terhadap Rusia. Namun, ini juga memperumit negosiasi. Rusia memandang intervensi Barat sebagai ancaman eksistensial dan alasan untuk mempertahankan agresinya, sementara Ukraina bergantung pada bantuan tersebut untuk bertahan. Di sisi lain, negara-negara seperti China dan India, yang menjaga hubungan ekonomi dengan Rusia, enggan mendukung tekanan penuh terhadap Moskow, menciptakan fragmentasi dalam upaya diplomatik global.

  3. Krisis Kemanusiaan dan Ekonomi
    Perang telah menyebabkan lebih dari 10 juta orang mengungsi dan menghancurkan infrastruktur vital Ukraina, termasuk sektor energi dan ekspor biji-bijian. Rusia juga menghadapi tekanan ekonomi akibat sanksi, meskipun telah menemukan cara untuk bertahan melalui perdagangan dengan mitra non-Barat. Ketidakstabilan ini meningkatkan taruhan bagi kedua pihak: Ukraina tidak ingin menyerah karena biaya yang telah dibayar terlalu besar, sedangkan Rusia melihat mundur sebagai tanda kelemahan strategis.

  4. Kegagalan Institusi Multilateral
    PBB, yang seharusnya menjadi mediator utama, tampak lumpuh dalam konflik ini. Rusia, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan, memiliki hak veto yang menghalangi resolusi substantif. KTT Perdamaian Ukraina di Swiss pada Juni 2024, misalnya, tidak menghasilkan kemajuan signifikan, dengan banyak negara—termasuk Indonesia—memilih abstain dari komunike akhir, mencerminkan ketidaksepakatan global tentang cara menyelesaikan konflik.

Prospek Perdamaian

Meskipun tantangan besar menghadang, beberapa skenario perdamaian tetap layak dipertimbangkan:

  1. Gencatan Senjata Sementara
    Sejumlah pihak, termasuk Presiden AS terpilih Donald Trump (yang akan dilantik pada Januari 2025), telah menyuarakan keinginan untuk mendorong gencatan senjata. Trump, dalam pernyataannya pada Desember 2024, menekankan "perdamaian berkelanjutan" sebagai prioritas, meskipun detail rencananya belum jelas. Gencatan senjata bisa menjadi langkah awal untuk membuka ruang dialog, tetapi keberhasilannya bergantung pada kesediaan Rusia dan Ukraina untuk menarik pasukan dari garis depan—sesuatu yang belum terlihat hingga kini.

  2. Kesepakatan Teritorial
    Analis dari lembaga seperti Globsec memperkirakan bahwa perang dapat berakhir dengan Ukraina kehilangan sekitar 20% wilayahnya kepada Rusia, termasuk sumber daya alam senilai triliunan dolar. Ini bisa terjadi jika tekanan militer Rusia terus meningkat dan dukungan Barat melemah, terutama jika ada perubahan kebijakan di AS pasca-pemilu. Namun, Ukraina kemungkinan besar akan menolak kesepakatan ini kecuali ada jaminan keamanan yang kuat, seperti keanggotaan NATO—opsi yang ditentang keras oleh Rusia.

  3. Diplomasi Multipolar
    Negara-negara netral seperti Indonesia, yang secara konsisten mendorong perdamaian berdasarkan prinsip kedaulatan dan integritas teritorial, bisa memainkan peran lebih besar. Usulan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 2023 untuk zona demiliterisasi dan gencatan senjata, meskipun ditolak Ukraina saat itu, menunjukkan potensi pendekatan pihak ketiga. Namun, efektivitasnya bergantung pada kemampuan menyatukan kepentingan global yang terpolarisasi.

Kesimpulan

Perdamaian di Ukraina pada Februari 2025 tampak jauh dari genggaman. Ketegangan militer, keterlibatan pihak eksternal, dan kerusakan yang telah terjadi menciptakan situasi di mana kompromi terasa seperti kekalahan bagi kedua belah pihak. Prospek terbaik dalam jangka pendek mungkin adalah gencatan senjata sementara untuk meredakan krisis kemanusiaan, diikuti oleh negosiasi bertahap yang melibatkan aktor global dan regional. Namun, tanpa perubahan signifikan dalam posisi Rusia dan Ukraina—serta dukungan terkoordinasi dari komunitas internasional—konflik ini berisiko berlarut melampaui 2025, dengan konsekuensi yang semakin menghancurkan.


Referensi

  1. BBC News Indonesia. (2024, Februari 22). "Perang Ukraina: Siapa pemenang perang yang sudah berjalan dua tahun dan empat pertanyaan lainnya."
  2. Kompas.com. (2022, Maret 23). "5 Dampak Perang Rusia-Ukraina yang Mengubrak-abrik Ekonomi Global."
  3. MPR.go.id. (2022, Mei 25). "Kedepankan Pertimbangan Kemanusiaan untuk Upayakan Perdamaian pada Krisis Rusia-Ukraina."
  4. SINDOnews. (2024, Desember 25). "Trump Inginkan Perdamaian Berkelanjutan di Ukraina."
  5. Republika.co.id. (2023, Juni 6). "Soal Solusi Perdamaian Prabowo, Ukraina Disebut Harusnya Berterima Kasih."
Baca Juga

Sponsor