Cari

Hubungan Kerajaan Tarumanagara, Sunda, Sriwijaya, dan Sejarah Kuno Thailand: Analisis Mendalam


[Historina] - Oleh Alam Wangsa Ungkara - Kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, seperti Tarumanagara, Sunda, dan Sriwijaya, memainkan peran penting dalam membentuk jaringan politik, budaya, dan ekonomi di Asia Tenggara pada masa lampau. Ketiga kerajaan ini tidak hanya berinteraksi satu sama lain di wilayah Nusantara, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan sejarah kuno Thailand, khususnya melalui jalur perdagangan maritim dan penyebaran agama Hindu-Buddha. Artikel ini akan menggali lebih dalam hubungan antar kerajaan tersebut, dengan menyertakan kutipan dari akademisi Thailand, Indonesia, dan Barat, serta bukti arkeologi berupa prasasti-prasasti yang ditemukan di Thailand untuk memperkaya analisis.

Kerajaan Tarumanagara: Awal Peradaban Hindu di Jawa Barat

Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri pada abad ke-4 hingga ke-7 Masehi di Jawa Barat, dianggap sebagai salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Didirikan oleh Jayasingawarman pada tahun 358 Masehi, kerajaan ini mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Purnawarman (395–434 Masehi). Bukti keberadaannya terdapat pada tujuh prasasti yang ditemukan, seperti Prasasti Ciaruteun, Prasasti Tugu, dan Prasasti Kebon Kopi. Prasasti Tugu, misalnya, mencatat pembangunan kanal Sungai Gomati sepanjang 6.112 tombak (sekitar 11 kilometer) untuk irigasi dan pengendalian banjir, menunjukkan kemajuan teknologi dan organisasi sosial pada masa itu.

Ahli sejarah Indonesia, Hasan Djafar, dalam Sejarah Nusantara: Masa Hindu-Buddha (2009), menyatakan:

"Tarumanagara bukan sekadar kerajaan lokal, tetapi memiliki hubungan diplomatik dengan kekuatan asing seperti Tiongkok dan India. Prasasti-prasasti Purnawarman menunjukkan adanya pengaruh budaya Sanskerta yang kuat, yang menjadi cikal bakal perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya di Jawa."

Hubungan Tarumanagara dengan kawasan lain, termasuk Asia Tenggara daratan, kemungkinan terjadi melalui perdagangan dan penyebaran agama Hindu. Namun, pada abad ke-7, Tarumanagara melemah akibat tekanan dari Sriwijaya, yang mulai mendominasi jalur maritim di Selat Malaka dan Selat Sunda.

Kerajaan Sunda: Kelanjutan Tradisi Tarumanagara

Setelah runtuhnya Tarumanagara sekitar tahun 669 Masehi, kekuasaan beralih ke Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman, yang mendirikan Kerajaan Sunda. Linggawarman, raja terakhir Tarumanagara, memiliki dua putri: Manasih, yang menikah dengan Tarusbawa, dan Sobakancana, yang menjadi istri Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Sriwijaya. Pernikahan ini mencerminkan strategi diplomatik untuk mempertahankan stabilitas antar kerajaan. Tarusbawa kemudian mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda pada tahun 670 Masehi, dengan ibu kota di Sundapura (kemudian berkembang menjadi Pakuan Pajajaran pada masa Kerajaan Pajajaran).

Kerajaan Sunda tidak hanya mewarisi tradisi Tarumanagara, tetapi juga menghadapi tantangan dari Sriwijaya yang sedang ekspansif. Pelabuhan Sunda Kalapa, yang menjadi pusat perdagangan penting, sempat berada di bawah pengaruh Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-8. Ahli arkeologi Barat, John Miksic, dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (1990), mencatat:

"Kerajaan Sunda, meskipun lebih kecil dibandingkan Sriwijaya, memainkan peran strategis dalam perdagangan laut. Pelabuhan-pelabuhannya menjadi titik persinggahan kapal-kapal dari India, Tiongkok, dan Asia Tenggara, termasuk yang menuju wilayah Thailand kuno."

Wilayah timur Sunda memisahkan diri menjadi Kerajaan Galuh di bawah Wretikandayun pada tahun 670 Masehi, menunjukkan fragmentasi kekuasaan pasca-Tarumanagara. Namun, Sunda tetap bertahan sebagai entitas politik hingga abad ke-16, meskipun sering kali berada dalam bayang-bayang kekuatan besar seperti Sriwijaya dan kemudian Majapahit.


Kerajaan Sriwijaya: Dominasi Maritim dan Penyebaran Buddha

Kerajaan Sriwijaya, yang muncul pada abad ke-7 di Palembang, Sumatra Selatan, menjadi kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara pada masanya. Pendirinya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) melakukan ekspedisi militer untuk memperluas wilayahnya. Prasasti Kota Kapur (686 Masehi) di Bangka menyebutkan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa, termasuk Tarumanagara, sebagai bagian dari upaya Sriwijaya menguasai jalur perdagangan strategis. Pengendalian atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Tiongkok, India, dan Asia Tenggara.

Hubungan Sriwijaya dengan Sunda bersifat kompleks. Di satu sisi, terdapat ikatan kekerabatan melalui pernikahan Sobakancana dengan Sri Jayanasa; di sisi lain, Sriwijaya menunjukkan dominasi militer dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan Sunda. Catatan biksu Tiongkok I-Tsing pada tahun 671 Masehi menyebutkan Sriwijaya sebagai pusat studi agama Buddha Mahayana, yang juga memengaruhi budaya di wilayah tetangga, termasuk Thailand kuno. Pengaruh ini terlihat pada penyebaran arca Buddha dan stupa yang serupa dengan gaya Sriwijaya di wilayah Dvaravati.


Sejarah Kuno Thailand: Dvaravati dan Pengaruh Sriwijaya

Sejarah kuno Thailand pada periode Kerajaan Dvaravati (abad ke-6 hingga ke-11) menunjukkan pengaruh kuat dari budaya Hindu-Buddha yang menyebar dari India dan Nusantara. Dvaravati, yang berpusat di lembah Sungai Chao Phraya, merupakan kerajaan Mon yang menganut Buddha Theravada. Namun, interaksi dengan Sriwijaya, yang menganut Buddha Mahayana, meninggalkan jejak budaya yang signifikan. Wilayah selatan Thailand, seperti Ligor (Nakhon Si Thammarat), bahkan pernah menjadi bagian dari kekuasaan Sriwijaya pada abad ke-8, sebagaimana dicatat dalam Prasasti Leiden (abad ke-9) dari India Selatan, yang menyebutkan Sriwijaya sebagai "raja gunung dan laut."

Prasasti-prasasti penting di Thailand yang relevan dengan periode ini meliputi:

  1. Prasasti Si Thep (abad ke-7), ditemukan di Provinsi Phetchabun, mencatat penggunaan bahasa Pali dan Sanskerta, menunjukkan pengaruh Buddha dan Hindu dari luar, kemungkinan melalui Sriwijaya.
  2. Prasasti Dong Mae Nang Muang (abad ke-8), ditemukan di Nakhon Si Thammarat, menyebutkan seorang penguasa lokal yang bersumpah setia kepada "raja besar dari timur," yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai Sriwijaya.
  3. Prasasti Wat Sema Mueang (abad ke-9), juga dari Nakhon Si Thammarat, mencatat donasi untuk pembangunan stupa Buddha, dengan gaya seni yang mirip dengan peninggalan Sriwijaya di Palembang.

Akademisi Thailand, Profesor Srisak Vallibhotama, dalam The Ancient Settlements of Thailand (1998), berpendapat:

"Sriwijaya tidak hanya menguasai jalur perdagangan, tetapi juga menjadi agen penyebaran agama Buddha ke Thailand selatan. Prasasti-prasasti di Ligor menunjukkan bahwa wilayah ini berada dalam orbit budaya Sriwijaya selama beberapa abad."

Sementara itu, ahli sejarah Barat, George Coedès, dalam The Indianized States of Southeast Asia (1968), menambahkan:

"Pengaruh Sriwijaya terhadap Dvaravati dan komunitas Mon di Thailand terlihat pada kesamaan seni Buddha dan organisasi perdagangan. Ini adalah bukti bahwa Nusantara dan daratan Asia Tenggara terhubung erat melalui jaringan maritim."


Analisis Hubungan Antar Kerajaan dan Kaitannya dengan Thailand

Hubungan Tarumanagara, Sunda, dan Sriwijaya mencerminkan dinamika kekuasaan yang kompleks di Nusantara. Tarumanagara meletakkan fondasi budaya Hindu yang kemudian diwarisi oleh Sunda. Namun, keduanya harus menghadapi ekspansi Sriwijaya, yang menggunakan kekuatan militer dan perkawinan untuk memperluas pengaruhnya. Pernikahan Sobakancana dengan Sri Jayanasa adalah contoh nyata bagaimana aliansi keluarga menjadi alat diplomasi, meskipun dominasi Sriwijaya atas pelabuhan Sunda menunjukkan adanya ketegangan.

Pengaruh Sriwijaya terhadap Thailand kuno, khususnya Dvaravati dan wilayah selatan seperti Ligor, menegaskan peran kerajaan ini sebagai pusat budaya dan perdagangan. Prasasti-prasasti di Thailand, seperti Dong Mae Nang Muang, menjadi bukti arkeologi bahwa Sriwijaya tidak hanya berinteraksi dengan Nusantara, tetapi juga dengan daratan Asia Tenggara. Ahli Indonesia, Edi Sedyawati, dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia: Agama (2006), menyatakan:

"Sriwijaya adalah jembatan yang menghubungkan tradisi Buddha Nusantara dengan Thailand. Gaya seni dan arsitektur yang serupa antara Palembang dan Nakhon Si Thammarat adalah bukti nyata dari hubungan ini."

Selain itu, Kerajaan Sunda, meskipun kurang ekspansif dibandingkan Sriwijaya, berkontribusi pada jaringan perdagangan yang menghubungkan Selat Sunda dengan Semenanjung Malaya dan Thailand selatan. Pelabuhan Sunda Kalapa menjadi titik penting dalam lalu lintas kapal yang membawa barang dan ide-ide ke wilayah tersebut.


Kesimpulan

Kerajaan Tarumanagara, Sunda, dan Sriwijaya memiliki hubungan yang saling terkait melalui politik, perkawinan, dan perdagangan, yang membentuk lanskap sejarah Nusantara pada masa Hindu-Buddha. Runtuhnya Tarumanagara membuka jalan bagi Sunda, sementara Sriwijaya muncul sebagai kekuatan dominan yang memengaruhi keduanya. Pengaruh Sriwijaya meluas hingga Thailand kuno, terutama melalui penyebaran agama Buddha dan penguasaan jalur maritim, sebagaimana dibuktikan oleh prasasti-prasasti seperti Si Thep dan Dong Mae Nang Muang. Dengan demikian, interaksi ketiga kerajaan ini tidak hanya relevan dalam konteks lokal, tetapi juga dalam memahami konektivitas budaya dan ekonomi di Asia Tenggara pada masa lampau.



Daftar Referensi

  1. Vallibhotama, Srisak. (1998). The Ancient Settlements of Thailand. Bangkok: Chulalongkorn University Press.
  2. Coedès, George. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
  3. Djafar, Hasan. (2009). Sejarah Nusantara: Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Balai Pustaka.
  4. Miksic, John. (1990). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas. Singapore: Periplus Editions.
  5. Sedyawati, Edi. (2006). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
  6. Prasasti Ciaruteun, Tugu, dan Kebon Kopi (abad ke-5). Koleksi Museum Nasional Indonesia.
  7. Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi) dan Kota Kapur (686 Masehi). Koleksi Museum Sriwijaya, Palembang.
  8. Prasasti Si Thep (abad ke-7) dan Dong Mae Nang Muang (abad ke-8). Koleksi Museum Nasional Thailand, Bangkok.
  9. I-Tsing. (671 Masehi). Catatan Perjalanan ke Nusantara. Terjemahan dalam sumber Tiongkok kuno.
  10. Naskah Wangsakerta (17th Century). Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Cirebon.

Sponsor