Beberapa hari terakhir, unggahan cerita lucu tentang karakter fiksi Mukidi, menjadi bintang baru media sosial. Netizen, bahkan hingga musisi Iwan Fals dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung ramai berkomentar di akun media sosial mereka. Lalu, mengapa Mukidi begitu populer?
Pengamat media sosial Nukman Luthfie mengungkapkan 'ketenaran' Mukidi karena cerita lucu dan menghibur memang merupakan topik yang selalu mendapat sambutan hangat netizen Indonesia, bersamaan dengan cerita inspiratif atau emosional dan 'pertempuran politik.' Demikian diberitakan BBC, Agustus lalu.
“Cuma setahun terakhir, timeline di media sosial dan facebook itu dipenuhi nada amarah (politik), yang lebih banyak menyebarkan konten kebencian, termasuk di WhatsApp,” kata Nukman, kepada BBC Indonesia.
Sekarang, katanya pula, "orang sudah jenuh dengan (postingan tentang) pertengkaran agama, suku dan politik. Makanya begitu ada konten menghibur seperti Mukidi, langsung populer."
Tercatat sejak Jumat (26/08), netizen Indonesia telah mencuit ihwal terkait Mukidi sebanyak lebih dari 26 ribu kali.
Salah satunya adalah akun Twitter @bambangelf yang mengeluarkan pendapat seirama dengan Nukman.
Bahkan komentar datang dari kalangan Istana. Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yang tampak senang membaca cerita-cerita humor Mukidi, mengapresiasi para penulisnya
Cuitan pejabat Istana yang akrab disapa Pram itu telah di-retweet sebanyak lebih 100 kali.
“Era baru dua arah”
Karakter Mukidi sebenarnya diciptakan oleh Soetantyo Moechlas atau yang akrab dipanggil Yoyo pada tahun 1990an. “Iseng aja pakai nama itu,” kata Yoyo kepada BBC Indonesia, Senin (29/08).
Kala itu, berbagai cerita lawakan dengan tokoh utama Mukidi, yang dikisahkan berasal dari Cilacap dan merupakan “orang biasa-biasa saja, tidak terlalu alim, mudah akrab dengan siapa saja” itu, kerap dikirimkannya ke Radio Prambors.
Tweet dari IwanSatyanegaraKamah |
Kepopuleran itu berlanjut ketika unggahan dibawa ke Twitter dan Facebook, dengan cerita-cerita Mukidi yang dibuat sendiri oleh netizen.
“Muncullah era baru partisipasi. Konten aslinya tetap beredar, tetapi orang di sosmed buat hal baru dengan tokoh ini. Ini sangat menarik, karena zaman dulu yang namanya konten lucu itu adanya di televisi. Jadi satu arah. Dan kalau di TV tokohnya lebih penting daripada ceritanya. Mukidi ini tidak, dia bukan siapa-siapa,” ungkap Nukman.
Meskipun banyak orang lain yang membuat cerita Mukidi versinya sendiri, Yoyo mengaku tidak tertarik untuk ‘mematenkan karakter ciptaannya itu’. Pasalnya, sejalan dengan cuitan Iwan Fals, bahwa “Mukidi itu muka kita sendiri”.
“Saya senang orang jadi kreatif. Mukidi itu mewakili diri mereka sendiri. Saya nggak mau monopoli karena saya ngambil (ceritanya) juga dari masyarakat,” tutur Yoyo.
Sumber: disiniajatempatnya.com |
Meskipun membebaskan netizen membuat cerita Mukidi versinya masing-masing, Yoyo menyimpan kekhawatiran image karakter itu berubah.
“Takutnya nanti ceritanya vulgar, terus disangka dari saya. Itu yang saya khawatirkan.”
Kepopuleran Mukidi pun telah membuat Yoyo mendapatkan tawaran untuk meluncurkan ulang buku kumpulan cerita Mukidi, yang pernah dikeluarkannya pada 2010 lalu secara mandiri.
Dengan segala ketenaran Mukidi, pengamat media sosial Nukman Luthfie menyebut tren baru bisa saja menggoyahkan ketertarikan masyarakat terhadap Mukidi.
“Di ilmu sosial itu, hal yang serius dan humor terus berganti. Biasanya kalau dunia terlalu serius, akan muncul orang yang akan membawa humor. Tapi kalau humor sudah terlalu garing, yang serius akan muncul, itu akan otomatis,” pungkasnya.
Baca juga: Cerita Mukidi bukannya juga banyak yang vulgar?
.