Cari

Sejarah Aksara Sunda

[Historiana] - kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. Kebudayaan Sunda dimasa lalu, khususnya pada masa kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Sunda. Dalam perkembanganya kemudian sering dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya  pakaian tradisional, kesenian tradisional bahasa daerah, aksara dan lain sebagainya. Dari sekian banyak kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Sunda, salah satunya adalah Aksara Sunda.

Mengenal Aksara Sunda

Aksara adalah sebuah “sistem simbol visual” yang tertulis pada satu media, yang memiliki fungsi untuk mengungkapkan unsur-unsur yang mengekspresikan suatu bahasa. Istilah lain mengatakan  “aksara” adalah ‘sistem tulisan,’ maka alphabetical (alfabet) dan abjad adalah istilah berbeda, yaitu merupakan tipe aksara  berdasar klasifikasi fungsional. Pada suatu aksara, ada unsur-unsur lebih kecil, antara lain; grafem, huruf, diakritik, tanda baca, dan lain-lain.

Asal mula aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal pada kata “a” dan “kshara".Istilah “A”  memiliki  arti  ‘tidak', sedangkan “kshara” memiliki definisi “termusnahkan”, maka arti aksara adalah sesuatu yang kekal, langgeng, ataupun tidak  termusnahkan. Alasan “kekal” karena aksara memiliki peran untuk mendokumentasikan  dan mengabadikan satu peristiwa kedalam bentuk tulis-menulis. Hal ini bisa kita lihat dan amati pada banyaknya aksara yang tertulis pada media yang dipahat pada batu, ditulis di atas daun lontar, serta diukir di permukaan lempeng tembaga, itu bisa menjadi bukti untuk kita bisa menemukan dokumentasi sejarah masa lalu.


Perjalanan Sejarah Aksara Sunda

Kecakapan dalam tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui keberadaannya sejak abad ke-5 Masehi, pada masa Kerajaan Tarumanagara. Selanjutnya baru sekitar zaman Kerajaan Sunda (masa Pakuan  Pajajaran-Galuh,  abad ke-8 sampai dengan abad ke-16), selain ditemukan peninggalan yang berupa prasasti dan piagam (Geger Hanjuang, Sanghyang Tapak, Kawali, Batutulis, dan Kebantenan), juga sudah ditemukan peninggalan yang berupa naskah (berbahan lontar, nipah, kelapa, dan bilahan bambu) dalam jumlah yang cukup banyak dan berasal  dari berbagai daerah di wilayah Jawa Barat atau Tatar Sunda. Naskah-naskah tertua yang ditemukan dari wilayah Tatar Sunda ini berasal dari sekitar abad ke-14 hingga abad ke-16 Masehi.

Naskah-naskah dimaksud yang telah digarap dan dipelajari hingga saat ini, antara lain Carita  Parahyangan,  Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Kisah Perjalanan Bujangga Manik, Kisah Sri Ajnyana, Kisah Purnawijaya, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Sanghyang Raga Déwata, Sanghyang Hayu, Pantun Ramayana, Serat Déwabuda, Serat Buwana Pitu, Serat Catur Bumi, Séwaka Darma, Amanat Galunggung, Darmajati,Jatiniskala, dan Kawih Paningkes. Penemuan  naskah-naskah Sunda selanjutnya hingga abad ke-20 telah dicatat dalam beberapa laporan berupa buku katalog naskah yang dikerjakan oleh Juynboll (1899, 1912), Poerbatjaraka (1933), Pigeaud (1967-1968, 1970), Sutaarga (1973), Ekadjati dkk. (1988), Viviane Sukanda-Tessier & Hasan  Muarif  Ambary (1990), dan Ekadjati & Undang A. Darsa (1999). Naskah-naskah Sunda yang telah dicatat dan diinvetarisasi tersebut kini tersimpan dimuseum atau perpustakaan yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun demikian masih banyak naskah-naskah yang tersebar  di kalangan masyarakat secara perseorangan yang hingga kini belum terinventarisasi (Direktori Aksara Sunda, 2008,h.44).


Pengaruh Aksara india terhadap Aksara Sunda

Pada dasarnya, pengaruh aksara-aksaradari India itu dapat dibedakan ke dalam tiga tipe utama, yaitu:
  1. Early Pallawa ‘Pallawa Awal’ yang mengacu kepada model Calukya dan Venggi,
  2. Later Pallawa ‘Pallawa Lanjut’ yang mengacu kepada model Pali (Ava dan Siam) dan model Kamboja, dan
  3. Nagari yang mengacu kepada model Dewa Nagari dan Nepal.er
Aksara tipe Pallawa Awal menunjukkan ciri-ciri yang berhubungan dengan aksara-aksara pada prasasti abad ke-3 hingga abad ke-5 Masehi di India Selatan dan Sri Langka. Aksara tipe ini di wilayah kebudayaan Sunda digunakan dalam prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, seperti prasasti: Kebon kopi I (± tahun 450 Masehi), Ciaruteun (± tahun 450 Masehi), Jambu (± tahun 450 Masehi), dan Tugu (± tahun 450 Masehi). Di antara prasasti-prasasti tersebut ada yang sezaman dengan prasasti di Muara Kaman (± tahun 400 Masehi) di Kutai Kalimantan Timur (Direktori Aksara Sunda, 2008, h 42).

Prasasti Ciaruteun

Di Jawa Barat ditemukan sebuah prasasti yang berbahasa Melayu Kuno, tepatnya dari daerah Ciampea Bogor yang tidak jauh dari tempat temuan prasasti Kebonkopi I sehingga prasasti ini disebut dengan prasasti Kebonkopi II (Djafar, 1991:24). Prasasti Kebonkopi II ini memberitakan Rakryan Juru Pangambat ‘Yang Mulia Juru Pengamat’ pada tahun kawihaji panca pasagi (458 Çaka + 78 = 536 Masehi), perihal petahbisan tahta bagi “Haji ‘Raja’ Sunda”. Aksara  yang digunakan dalam prasasti ini dapat dikategorikan ke dalam  tipe Pallawa Lanjut (Direktori  Aksara Sunda, 2008, h 43).


Tipologi Aksara Sunda

Direktori Aksara Sunda (2008) menjelaskan Aksara Sunda Kuno memiliki tipe dasar aksara Pallawa Lanjut. Aksara tersebut memiliki kemiripan dengan model aksara Tibet dan Punjab (band. Holle, 1877), dengan beberapa ciri tipologi dari pengaruh model aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum mencapai taraf  modifikasi bentuk khasnya. Hal ini nampak sebagaimana yang digunakan dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah Sunda Kuno berbahan lontar dan bambu abad ke-14 hingga abad ke-18 Masehi.

Dalam pada itu, model aksara yang digunakan pada prasasti-prasasti dan piagam zaman Kerajaan Sunda, baik dari periode Kawali-Galuhmaupun periode Pakuan-Pajajaran dapat memberi gambaran mengenai model aksara Sunda Kuno yang paling awal. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti yang terdapat di kompleks Kabuyutan Astanagedé, Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis yang dibuat pada sekitar masa peperintahan Prabu Niskalawastu Kancana (1365-1478), dan prasasti Batutulis Bogor (1533) serta piagam Kebantenan Bekasi yang dibuat setelah masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521).

Prasasti Kebantenan

Prasasti-prasasti Kawali ini dapat digolongkan ke dalam  jenis piteket, yakni memuat pengumuman langsung dari raja yang memerintah membuat prasasti,sedangkan prasasti Batutulis dan piagam Kebantenan termasuk ke dalam jenis sakakala, prasasti yang dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa seseorang (raja) yang telah wafat. Beberapa contoh prasasti/piagam dimaksud tampak berikut ini.(h. 44-45).

Prasasti Kawali I

Prasasti Kawali III
Baca juga: Mengenal 6 Prasasti Kawali atau Prasasti Astana Gede | Kerajaan Galuh

Selain peninggalan aksara sunda yang berupa prasasti batu tulis, juga di temukan aksara yang ditulis di atas daun lontar dan daluwang (kertas yang terbuat dari bahan kulit kayu saeh). Hal ini menujukkan bahwa aksara sunda merupakan ciptaan kreasi masyarakat sunda pada waktu itu.

Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesia
Sebuah paragraf dari teks naskah SSK ini dapat disajikan sebagai bukti bentuk bahasa yang digunakan dalam naskah dan prasasti, yakni:
Ndeh  nihan  wirahakna  sang  sadu,dé  sang  mamét  hayu.  Hana  sanghyang siksakandang  karesian  ngaranya,  kayatnakna  wong  sakabéh.  Nihan  ujar  sang sadu,  ngagelarkeun  sanghyang  siksakandang  karesian:  Ini  sanghyang  dasakreta kundangeun urang réya.

Terjemahannya:
Ya  inilah yang akan diajarkan oleh sang budiman bagi mereka yang mencari kebahagiaan. Ada ajaran yang bernama Sanghyang Siksakandang Karesian demi kewaspadaan semua orang. Inilah ujar sang budiman  menguraikan Sanghyang Siksakandang Karesian: Ini Sanghyang Dasakreta sebagai pegangan orang banyak
Kosakata yang berhubungan dengan tujuh aspek budaya Sunda yang terungkap dalam naskah dan prasasti Sunda Abad XI s.d XX M. sudah banyak yang tidak diketahui, tidak dikenali, tidak dimengerti, bahkan sudah banyak yang tidak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Sunda dewasa ini. Perkembangan semantik kosakata bahasa Sunda kuno yang terungkap di dalam naskah dan prasasti Sunda cukup signifikan perbedaannya. Halini disebabkan adanya rentang waktu yang begitu panjang dan lama antara abad XI dengan abad XX Masehi.

Anda bisa membaca Kamus hasil penelitian para sejarawan yang paling tidak sudah dapat memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat Sunda pada umumnya dan masyarakat akademis khususnya. Hasil penelitian yang ada dapat dijadikan sebagai media atau alat bantu pengajaran dan bahan ajar bagi mata kuliah bahasa Sunda (kuno), filologi, arkeologi, sejarah dan seni, serta budaya daerah (Sunda) secara umum.

Bagian-bagian Aksara Sunda

Aksara Sunda terbagi manjadi 4 bagian yaitu: Aksara Swara, Aksara Ngalagena, Aksara Rarangken, Aksara Angka

Aksara Swara

Aksara swara atau vokal (aksara latin) terdiri dari 5 aksara yaitu a, e, eu, u, dan e. fungsi dari aksara ini adalah untuk merubah vocal dasar yang di miliki oleh aksara ngalagena.

Aksara Swara

Aksara Ngalagena

Aksara Ngalagena atau konsonan (Aksara latin) terdiri dari 25 huruf yaitu ka, ga, nga, ca, ja,nya, sya, ta, da, na, pa, ba, ma, kha, ya, ra, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, za. Fungsi dari aksara ngalagena ini adalah sebagai aksara dasar dari Aksara Sunda Kaganga dan aksara ini sudah mempunyai vocal dasar yaitu vocal a

Aksara Ngalagena

Aksara Angka

Dalam angka Aksara Sunda sama seperti aksara yang lain, terdapat 10 angka yang di gunakan dan bisa untuk disandingkan. Ke sepuluh angka tersebut adalah

Angka Sunda

Aksara Rarangken

Rarangkena dalah tanda vokalisasi aksara sunda yang terdiri dari 13 buah tanda.

Referensi

  1. Ayatrohaedi. 2005. "Mataholang: Benih dan Bentuk Kesenian Sunda." Makalah Seminar SeniBudaya Sunda Buhun. Bandung: Yayasan Tetekon Bandung.
  2. Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. "Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat  Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi
  3. Darsa, Undang Ahmad. 1991. "Identifikasi Bahasa Yang Hidup Pada Masa PakuanPajajaran". Bogor: Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran.
  4. Darsa, Undang Ahmad. 1991.."Aksara yang Pernah Digunakan Menulis Bahasa Sunda"  (Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna HA-NA-CA-RA-KA). Yogyakarta: Balai Kajian Jarahnitra-Lembaga Javanologi Yayasan Panunggala
  5. Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati. 1995. "Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar dan Transliterasi". Jakarta: yayasan Kebudayaan Nusantara.
  6. Ekadjati, Edi Suhardi. 1983. "Naskah Sunda. Inventarisasi dan Pencatatan". Bandung: Kerjasama Lembaga  Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation (Laporan Penelitian).
  7. Suryani NS, Elis. 1990. "Wawacan Panji Wulung: Sebuah Kajian Filologis."(Tesis). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
  8. Suryani NS, Elis & Undang A. Darsa.2003. "Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia". Bandung: Alqaprint.
  9. Suryani NS, Elis & A. Marzuki. 2005. "Kamus Bahasa Sunda Buhun". Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
  10. Suryani NS, Elis, dkk. 2006. "Kamus Bahasa dan Seni Budaya Sunda Buhun Abad 11 s.d 20 Masehi". Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Laporan Penelitian).
  11. Suryani NS, Elis. 2007. "Mengenal Aksara, Naskah, dan Prasasti Sunda". Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.
  12. Suryani NS, Elis. 2007. "Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun". Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya.
  13. Zgusta, Ladislav. 1971. "Manual of Lexicography". The Hague-Paris: Mouton
Baca Juga

Sponsor