Cari

Kerajaan Singhapura atau Sing Apura, Negeri Bawahan Kerajaan Sunda Galuh Kawali

Bale Rama Tempat Tidur Ki Ageng Tapa. Foto: Sportourism.id

[Historiana] - Singhapura atau ditulis Sing Apura atau Singapura merupakan salah satu kerajaan kecil yang wilayahnya berada di sekitar Kecamatan Gunungjati (saat ini), dan adalah kerajaan pada masa awal sebelum Kerajaan Cirebon berdiri.

Dalam Naskah Sunda Kuno (NSK), Singhapura merupaka sebuah Mandala atau Kabuyutan Tatar Pasundan. Dalam pemerintahan Tarumanagara, pemimpin Mandala disebut sebagai "Raja Mandala". Mandala adalah kawasan perdikan yang otonom dengan pemerintahan ala kerajaan yang berbasiskan keagamaan Hindu-Buddha. Ini yang membedakan istilah Kerajaan dalam cara pandang kesejarahan Barat dan China.


Kerajaan Singhapura, diperkirakan berdiri sekitar abad ke-12. Hal ini dapat dilihat dari sebagian artefak yang ditemukan di sekitar situs Lawang Gedhe Desa Mertasinga yang diperkirakan dibuat sekitar abad ke-12.

Kerajaan Singhapura mengalami puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Tapa pada tahun 1401. Dimana berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti (P. Roliya Martakusuma), saat itu pelabuhan Muara Jati mendapat kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Hal ini menandakan bahwa pelabuhan ini merupakan belabuhan populer pada zamannya.

Pada zamannya, kerajaan ini memiliki menara Mercusuar di atas bukit amparan jati. Banyak sekali kapal-kapal dagang yang membongkar muatan di pelabuhan milik kerajan. Terlebih pelabuhan ini sudah memiliki fasilitas untuk transit, untuk mengisi air tawar, juga untuk memperbaiki kerusakan kapal di galangan kapal. Selain itu, Cirebon pada saat itu dikenal juga memiliki stok persediaan kayu jati yang cukup baik kualitas dan ketersediaan yang banyak.

Diperkirakan bahwa pusat pemerintahannya berada di Desa Sirnabaya. Desa Sirnabaya awalnya bernama Singapura. Asalnya dari kata sing apura atau yang memberi maaf, atau juga kota yang mendapat  ampunan dari Tuhan. Singapura dapat juga bermakna "Gerbang Singa", simbol yang diwariskan oleh Kerajaan Wanagiri dan Indraprahasta yang menggunakan simbol Singha Dwaja Rupa pada panji-panjinya. Bahkan bendera Kerajaan Cirebon juga bergambar singa yang disebut Kad Lalancana Singha Barwang Dwajalullah atau lebih dikenal dengan sebutan "Macan Ali".

Pada abad 14-15 M, Singhapura merupakan kerajaan bawahan Sunda Galuh yang beribukota di Kawali dan berlanjut pada masa Sunda Pakuan Pajajaran semasa pemerintahan Surawijaya Sakti dan Ki Gedeng Tapa yaitu putra Prabu Niskalawastukancana dari istrinya Mayangsari.

Kerajaan Singapura mencapai masa gemilang dengan pelabuhannya yang ramai dikunjung berbagai suku bangsa. Itu membuat Singapura juga disebut Kota Berbagai Bangsa. Mungkin ini asal mula Sarumban, kumpulan orang berbagai bangsa.

Bukti sejarah 

Bukti yang terdapat di desa Sirnabaya antara lain  bale yang terbuat dari bilah-bilah kayu jati kuno. Keadaannya sudah ringkih kurang terawat karena telah berumur ratusan tahun. Bale ini masih berdiri  cukup kokoh di samping kantor Balai Desa Sirnabaya, tepat di pinggir Jalan Ki Gede Mayang. Bale itu memiliki delapan tiang dengan bantalan 15 bilah kayu. Panjangnya sekitar 5 meter dan lebar 2 meter. Warga menyebutnya sebagai  gelondongan pangarem-arem yaitu tempat duduk pamong desa jaman dulu.

Bale tersebut beberapa kali berpindah posisi. Menurut keterangan masyarakat, bale tersebut sudah tiga kali dipindahkan. Awalnya berada di depan kantor bale desa lalu dipindahkan ke sebelah barat sekitar 100 meter dari desa. Kini disimpan di pinggir bale desa, dekat pintu gerbang kantor desa yang kayunya juga sezaman dengan bale pangarem-arem tersebut.

Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung tercatat adanya sejumlah tinggalan arkeologis bercorak Hindu-Buddha yang sudah mengalami transformasi bentuk dan lokasi. Termasuk pindahnya posisi bukti sejarah Kerajaan Singhapura.

Di dalam kantor desa terdapat dua bale lagi yang ukurannya hampir sama, namun tidak terlalu panjang. Kedua bale itu bertiang empat, juga terbuat dari kayu jati kuno. Satu di antaranya diselimuti kelambu dan diyakini sebagai tempat tidur Ki Ageng Tapa. Bale itu disebut bale rama.

Benda sejarah lainnya yang masih asli tersimpan di Bale Rama di antaranya kohkol (kentongan), Kempul (penabuh kohkol), tiga buah batu dan batu keris. Di sebelahnya terdapat bale yang posisinya sama dengan Bale Rama dan disebut warga dengan sebutan Bale Keliwon. Tempat itu sering dimanfaatkan untuk kegiatan tahlilan saat Jumat Kliwon.

Hanya berjarak beberapa meter di belakang balai desa, di tanah yang agak lapang, berdiri bangunan panggung di atas dua undakan berbalai bata kuno dan batu belah. Luas bangunannya sekitar empat meter persegi dengan pintu menghadap utara. Atapnya bergaya limasan yang tengahnya mengerucut. Sedangkan tiang-tiang sudutnya berdiri di atas umpak batu setinggi 30 cm dari permukaan lantai tanah. Dindingnya terbuat dari bilik bambu yang sudah renggang anyamannya. Di dalam bangunan terdapat satu buah meja bulat dan tumpukan kayu tua bekas tiang bale yang sudah keropos dimakan waktu. Bangunan ini oleh masyarakat disebut Umah Rama yaitu rumah Ki Ageng Tapa.

Bagian samping bangunan dimanfaatkan warga dengan menyambung salah satu bagian atapnya untuk dijadikan warung terbuka tempat jajan anak-anak, sebelum atau setelah mengaji di Masjid Sirnabaya. Masjid ini sama tuanya dengan Umah Rama. Di sebelah barat, hanya belasan meter  dari lokasi Uma Rama, terdapat sebuah sumur yang dikenal warga sebagai sumur Kejayan. Sumur tua itu masih dianggap sakral karena terkait sejarah kawasan tersebut.

Disebelah timur Umah Rama dulu terdapat sebuah kolam besar  yang disebut Kolam Segaran. Konon kolam itu sengaja dibuat Ki Ageng Tapa untuk pertanian di wilayah itu. Sekarang kolam itu sudah hilang menjadi lapangan. Mirisnya, sebagian jejaknya yang masih terlihat sempat menjadi tempat pembuangan sampah.

Umah Rama kemungkinan besar adalah musola yang sering dimanfaatkan Ki Ageng Tapa untuk bermunajat kepada Allah. Apalagi posisinya persis di pinggir kolam Segaran dan dekat dengan Sumur Kejayaan sekarang.

Bagian timur Kolam Segaran, dekat Sekolah Dasar Negeri Sirnabaya, terdapat  pohon besar yang doyong ke utara. Pohon itu adalah Pohon Katimaha  yang keberadaannya sudah sangat langka, seperti halnya Pohon  Sidoguri dan Dewandaru di Keraton Kasepuhan.

Referensi

  1. Marie-Odette Scalliet,. "Antoine Payen: peintre des Indes orientales : vie et écrits d'un artiste du XIXe siècle (1792-1853)"
  2. Kerajaan Singapura di Cirebon. Perpustakaan Tanah Impian

Baca Juga

Sponsor