Cari

Mandala Agrabinta adalah Cikal bakal Kerajaan Agrabintapura?

[Historiana] - Mandala Agrabinta adalah tempat suci orang sunda berupa kamandalaan atau kabuyutan sebagai tempat mempelajari ilmu keagamaan. Mandala Agrabinta adalah cikal bakal Kerajaan Agrabintapura atau kerajaan Tanjung Kidul. Mandala ini termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.

Mandala ini disebutkan dalam naskah kuno Sunda (NSK), sebagaimana dijelaskan oleh undang A Darsa. Mandala atau Kabuyutan ini adalah budaya masyarakat di tatar Sunda zaman kuno. Ajaran Hyang atau Sunda Wiwitan atau agama Jati Sunda yang menjadi latar belakang pendirian Kemandalaan atau Kabuyutan ini. Bentuk kemandalaan ini adalah bukit yang disebut orang Sunda sebagai Gunung, berupa punden berundak.

Mandala Agrabinta berada di kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan Agrabinta terletak sekitar 130 km dari Kota Cianjur ke arah selatan. Lokasi di wilayah selatan Kabupaten Cianjur sehingga lebih dekat dengan Samudra Hindia, yaitu sekitar 2 km serta dilintasi oleh jalan Lintas Selatan Jawa Barat.

Keberadaan Mandala Agrabinta juga dikenal sebagai kerajaan Agrabintapura diterangkan dalam naskah Wangsakerta tahun 1677 masehi. Kerajaan itu didirikan oleh Prabu Swetalimansakti, adik kandung Prabu Dewawarman Raja Salakanagara abad ke 2 masehi.

Sejarah

Pengertian Agrabintapura terdiri atas tiga kata yaitu Agra, Binta dan pura. Kata Agra berasal dari Bahasa Sangsekerta yang berarti pucuk atau puncak, kata Binta merupakan penggalan dari kata Bintaro (Cerbera manghas) yaitu  tumbuhan pantai atau paya berupa pohon dengan ketinggian dapat mencapai 12 m, Daunnya berbentuk bulat telur, berwarna hijau tua, yang tersusun berselingan. Bunganya harum dengan mahkota berdiameter 3-5cm berbentuk terompet dengan pangkal merah muda. Benang sari berjumlah lima dan posisi bakal buah tinggi. Buah berbentuk telur, panjang 5-10cm, dan berwarna merah cerah jika masak. Pohon bintaro dahulu banyak terdapat di wilayah Agrabinta untuk saat ini banyak terdapat dialiran sungai Cibintaro. Kata pura berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti Karaton atau Istana. Jadi pengertian Agrabintapura yaitu Keraton yang berada di atas cahaya dan dikelilingi oleh pohon bintaro yang indah serta rindang ( Keraton yang berkilau cahaya mentari).

Secara konsep pertahanan Agrabintapura di kelilingi oleh Benteng-Benteng Alam, di sebelah utara di bentengi oleh lembah Citangkolo yang lebar dan dalam, disebelah timur di bentengi oleh  lembah sungai Cibintaro, di sebelah selatan benteng alam Cibintaro yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan sebelah barat lembah sungai Ciagra.

Merunut konsep spiritual Agrabintapura berada sejajar membentuk garis lurus dengan Gunung gede, ketika berada di Agrabinta kita bisa melihat dengan jelas kesebelah utara terlihat Gunung Gede dan disebelah timur Gunung Papandayan dan sebelah selatan bergaris jelas Samudera Hindia. Disamping itu semua, di Agrabinta terdapat banyak aliran sungai yang tentunya mendukung untuk konsep ritual keagamaan jaman dahulu.

Pada jaman penjajahan, Agrabinta merupakan basis terakhir pertahanan Tentara Belanda yang ditaklukan oleh Tentara Jepangdi wilayah Jawa Barat. Pada waktu penaklukan, serangan laut tentara jepang tidak bisa mendarat di Pesisir Datarlega tepatnya muara sungai Cidahon dikarenakan kuatnya bungker pertahanan Belanda disepanjang benteng alam Cibintaro.

Keberadaan Mandala disinggung dalam naskah jatiniskala. Teks naskah ini pertama kali ditransliterasikan atau dikonversikan dari aksara Sunda Kuno ke aksara Latin oleh Ayatrohaedi dkk[4]. Kata jatiniskala sendiri sering muncul dalam teks, dan nampak selaras dengan isinya yang menguraikan tentang dunia kosmologis orang Sunda dulu, masa pra-Islam. Ringkasnya, naskah ini berisi wejangan yang disampaikan oleh sejumlah sosok dewata tentang “bagaimana caranya manusia mencapai kelanggengan yang sejati atau jatiniskala”, dengan menekankan renungan tentang bayu, sabda, dan hdap (hidep) yang juga ditemukan dalam naskah Sunda Kuno sejenis seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Sewa ka Darma[5].

Berikut kutipan Transliterasi Naskah jatiniskala:

Ditapa kyarasa nge (nyi nyu) casah, lungguh asa di mega, hum(e)neng nu tan papolah, awak diya mandala ni(ng) ratna sa(ma)di, teka tumwangtan sira mari adoh purek.

(Dikatakan sedang bertapa di perbatasan langit, berada berhimpitan dengan awan, diam bagaikan yang tidak bergerak, tubuh dia adalah tempat )Mandala) permata doa, sehingga pandangan dia begitu jauh juga dekat..

Kerajaan Agrabintapura

Keberadaan kerajaan kuno di Jawa Barat atau Tatar Pasundan, menurut Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi terdapat 46 Kerajaan. Sementara menurut Wikipedia terdapat 48 Kerajaan Kuno di tatar Pasundan.

Kerajaan Agrabintapura atau dikenal juga dengan nama Kerajaan Tanjung Kidul, adalah salah satu dari kerajaan kecil bawahan Salakanagara yang didirikan oleh orang-orang Salakanagara. Monarki yang pernah ada dalam sejarah kerajaan di Tatar Pasundan ini didirikan pada abad ke 2 Masehi oleh Prabu Sweta Limansakti, adik kandung kedua dari Prabu Dewawarman I (Salakanagara). Raja ini memiliki istri yang berasal dari negeri Singala (Sri Lanka).

Kerajaan ini terletak di wilayah yang saat ini adalah Kecamatan Agrabinta, Cianjur Selatan.

Kerajaan ini sejaman dengan Aki Sugiwanca dari Kerajaan Jampang Manggung yang tak lain adalah adik kandung Aki Tirem leluhur raja-raja Sunda yang pertama kali mendirikan kerajaan Sunda di Pulosari Banten abad ke 2 masehi.

Agrabintapura termasuk kerajaan tertua di Jawa Barat bahkan di Nusantara

Versi Panaitan

Menurut Swarnaistitute.org. Kerajaan Agrabintapura berlokasi di Pulau panaitan. Kerajaan Mandala Aghra Binta adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Pulau Panaitan, yang berada di Selat Sunda.  Nama ibukotanya adalah Aghrabintapura.

Pulau ini berada di bagian selatan Selat Sunda yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pesisir Ujung Kulon, Pulau Jawa. Memiliki panjang sekitar 19 km dengan lebar sekitar 12 km dan menjadikannya sebagai pulau yang terbesar di Selat Sunda.

Dari data arkeologi dari Pulau Panaitan ditemukan arca Siwa, Ganesha dan Lingga Semu/Lingga Patok. Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan.

Sekarang arca itu disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Panaitan yang berada di Selat Sunda dekat lepas pantai Ujung Kulon ini.

Referensi


  1. Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5
  2. Saleh Danasasmita. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Kiblat Buku Utama, Bandung. ISBN
  3. Yoseph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
  4. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
  5. Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
  6. Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
  7. Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
  8. Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vol. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
  9. Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
  10. "Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., "Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius" - Universitas Padjadjaran". Universitas Padjadjaran. 
  11. "www.inilah.com - Telinga, Mata, dan Hati Rakyat". archive.is. 2015-10-04. 
  12. Kompasiana.com. "Menggali Agrabintapura oleh Kang Yo Cakrabumi - Kompasiana.com". www.kompasiana.com.
  13. Ayatrohaedi. 2001. “Nganjang ka Kalanggengan, Agama Orang Sunda Pra-Islam Menurut Naskah”, dalam Rosidi, Ajip. 2003. Tulak Bala, Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  14. Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
  15. "Naskah Rontal Jatiniskala atau Jatiraga". www.wacana.co (dalam bahasa Inggris). 
  16. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2004. Jatiraga Suntingan Naskah Lontar (Kropak 422), dalam Ekadjati, Edi S. dan Hawe Setiawan (ed.). 2006. Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pustaka Kiblat Utama.
  17. Swarnaistitue.org,. "Leluhur Suku Sunda dan “Salakanagara”, Kerajaan Tertua di Nusantara"


Baca Juga

Sponsor