Cari

Mandala Kandangwesi: Kerajaan Sunda Kuno yang Luput dari Sejarah

[Historiana] - Dalam pengertian historis, sosial dan politik, istilah "mandala" juga digunakan untuk menunjukkan formasi politik tradisional Asia Tenggara (seperti federasi kerajaan atau negara-negara yang dilecehkan). Ini diadopsi oleh para sejarawan Barat abad ke-20 dari wacana politik India kuno sebagai sarana untuk menghindari istilah 'negara' dalam pengertian konvensional. Tidak hanya negara-negara Asia Tenggara yang tidak sesuai dengan pandangan Cina dan Eropa tentang negara yang ditetapkan secara teritorial dengan perbatasan tetap dan aparatur birokrasi, tetapi mereka berbeda jauh dalam arah yang berlawanan: pemerintahan didefinisikan oleh pusatnya daripada batas-batasnya, dan itu bisa tersusun dari banyak pemerintahan jajahan lainnya tanpa mengalami integrasi administratif. Kerajaan seperti Bagan, Ayutthaya, Champa, Khmer, Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai "mandala" dalam pengertian ini

"Rajamandala" (atau "Raja-mandala"; lingkaran negara) dirumuskan oleh penulis India Kautilya dalam karyanya tentang politik, Arthashastra (ditulis antara abad ke-4 dan abad ke-2 SM). Ini menggambarkan lingkaran negara sahabat dan musuh yang mengelilingi negara raja (Ayatrohaedi, 1986).
Kandang Wefsee (Kandang Wesi)
Peta wilayah Kekuasaan Cirebon 1808, Cary, John, terbitan london, Inggris

Mandala Kandangwesi adalah salah satu dari 73 Mandala yang disebut dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) Carita Parahyangan (Danasasmita, 2004) dan Fragmen Carita Parahyangan (FCP)Mandala seringkali dipersamakan dengan Kabuyutan. Hal ini menjadi pandangan masyarakat awam, karena keduanya memiliki kesamaan yaitu tempat mengaji ilmu pengetahuan agama dan tuntutnan kehidupan (perdikan). Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan.

Dalam FCP, ada sepuluh wilayah yang langsung berada dalam wibawa Tohaan di Sunda dan harus mengirim pamwat (upeti) ke Pakuan, yakni: Sanghyang Talaga Warna, Mandala Cidatar, Gegergadung, Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan Kandangwesi.

Pada bagian lain teks FCP ini disebutkan bahwa Maharaja Trarusbawa sebagai prÄ•bu, atas kesepakatan pihak rama dan resi mengatur persoalan yang berkaitan dengan pangwÄ•rÄ•g ketentuan berupa hak ‘bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan ‘kewajiban mempersembahkan produk potensi alam’ dari penguaa wilayah ke ibukota Pakuan setiap tahun. Produk tersebut adalah berupa hasil pertanian dan peternakan, serta hasil industri masyarakat.

Maharaja Trarusbawa disebutkan dalam teks FCP berkuasa cukup lama. Pemerintahan selanjutnya diteruskan secara bergantian mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyang Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhir kepada Rakean Darmasiksa. Disebutkan bahwa Rakeyan Darmasiksa merupakan penjelmaan dari Patanjala Sakti yang semula menjadi penguasa wilayah di Saunggalah. Berkat kepemimpinannya yang bijak sehingga ngertakeun urang rea ‘menyejahterakan kehidupan rakyat banyak’, Rakeyan Darmasiksa selanjutnya berakhta di keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan Pajajaran mewarisi para pendahulunya.

Di Bagian Garut Selatan juga dikenal ada kerajaan yang pernah berdiri di kawasan tersebut, yaitu Kerajaan Sancang (Masuk kekuasaan Panjalu) dan Kerajaan Kandang Wesi (Bungbulang).

Kandang Wesi sudah lama ada bahkan disebut sebagai daerah tertua dengan sebutan puseur bumi yang memiliki beberapa keunikan sebuah rahasia (nyireupeun). dalam babad atau sejarah lisan menyebutkan bahwa Kandang Wesi telah memiliki para ahli ilmu dibidang najum dan kanuragan serta beberapa empu pembuat perkakas, yang diperkirakan tahun 720 M Wilayahnya dikenal hingga kebeberapa daerah dan sempat menjadi tujuan para raja terlebih dalam mendapatkan pusaka perang sehingga dimasa itu karya para empu berhasil menyebar ke beberapa kerajaan. maka sempat terbentuknya para santana-santana (juru obor) yang berfungsi sebagai penunjuk jalan dalam mengirim persenjataan (cacandrang) dan pasokan perkakas rumah tangga serta alat-alat pertanian. dari perjalanannya sekitar abad IX tidak sedikit para empu yang sengaja berpindah hingga menetap di beberapa daerah sebagai tukang Panday (pembuat besi).

Di ceritakan Pada awal “Nyamune Asekan” terbukanya daerah kandang wesi yang disilokakan sebagai “Buni Nagara Selop Pandan”  diartikan sebuah Negara tersembunyi tanpa kekuasaan atau pada patakonan carita buhun Kandang Wesi terlahirnya dari ”sakureun” (sepasang) yang bernama Aki Banteng Alas dan Nini Banteng Alas. Pada ramalanpun dikenal sebagai “pangeling jaman” menyebutkan jaman yang dibagi menjadi lima bagian diantaranya:
  • Zaman Tirta (ditandai tingginya pepohonan mencapai 100 deupa). Digambarkan awal berdirinya dunia sehingga hamparan bumi banyak digenangi air.
  • Zaman Kerta (ditandai tingginya pepohonan mencapai 80 deupa). Terbentuknya daratan dan terlahirnya manusia pertama yang dikenal sebagai Nabi Adam dan Siti Hawa.
  • Zaman Dupara (ditandai tingginya pepohonan mencapai 50 deupa)
  • Zaman Kadi (ditandai tingginya pepohonan mencapai 30 deupa)
  • Zaman Sanggara (ditandai tingginya pepohonan mencapai 10 deupa) dilakonkan sebagai awal terjadinya kerusakan bumi yang menyudahi kehidupan dalam bumi.


Di Masa Kerajaan Pajajaran

Menjelang berdirinya Kerajaan Pajajaran, Kandang wesi adalah salah satu wilayah yang menjadi bagian kekuasaan Pajajaran terutama andil besar dalam penyediaan perkakas perang serta banyaknya para pemuda yang menjadi prajurit Pajajaran. Diperkirakan pada tahun 1413 Kandang Wesi pun merupakan wilayah pertama yang mengirimkan sejumlah upeti ke Pajajaran dalam bentuk hasil pertanian.

Pada akhir tenggelamnya kekuasaan Pajajaran dimana pada naskah babad diceritakan terhadap sejumlah “Ratu Rujuh” diantaranya Cirebon Hilir, Cirebon Girang, Cirebon Tengah, Mataram, Solo, Mekah, Kandangwesi yang dimotori Prabu Borosngora atau di Kandangwesi dikenal dengan nama Iwung Bitung dan Haur Cengkup melakukan pertemuan yang digelar di Batu Tujuh sebuah tempat hutan belantara yang menjorok kearah laut (tanjung) sebelah selatan. Dalam isi "Babad Kandangwesi" maupun makna silokanya pertemuan itu bertujuan membahas tentang misi ke-Sundaan dan sikap yang akan diambil termasuk dalam merahasiakan beberapa kebendaan. dan isi ketetapan itu adalah :
  • Mengembalikan status wilayah Kandang Wesi sebagai Bumi Nagara Selop Pandan Negara tersebunyi tanpa kekuasaan serta sebuah wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya para penguasa kesundaan termasuk dalam penyelamatan rahasia maupun tujuan akhir pengabdian.
  • Penyamaran dengan cara mengganti nama mereka serta gelar sebagai tokoh yang pernah berkuasa.
  • Menetapakan Panca Kalima sebagai tetekon hukum Kandangwesi
  • Menentukan sepuluh syarat Kesatria Pawestri atau pada ramalan Kandang Wesi sebagai generasi penerus; cikal bakal kemunculan Ratu Sunda (rat nusa jawa kabeh)


Peralihan Ke Zaman Mataram

Tragedi penyusutan kerajaan Padjajaran mengawali beralihnya ke masa kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Sinopati -anak angkat kesultanan Pajang (sultan hadiwijaya), yang diwaktu itu sebagai kerajaan pengganti paska terjadinya gejolak yang melumpuhkan kerajaan Demak. Besar dan berkembangnya kekuasaan Mataram dengan pesat disokong oleh kekuatan Islam yang telah menyebar kebeberapa wilayah Terlebih pengaruh kasunanan Cirebon dapat dirasakan di Jawa Barat.

Maka dalam perluasan wilayahnya sekitar Tahun 1602 sejumlah prajurit dari kesultanan Cirebon masuk ke wilayah Kadang Wesi sehingga berhasil mendirikan Padaleman Kandang Wesi dibawah kepemimpin Prabu Sembah Dalem Drava Yuda yang mengangkat dua kepatihan yaitu Santana Jiwa dan Parana Jiwa. Selama kepemimpinannya Drava Yuda banyak dibantu oleh syekh yang lebih dulu menetap sebagai pandita pertapa yang memiliki julukan Sembah Dalem Sireupeun. Kepemimpinan Drava Yuda memerintah selama 50 Tahun (1603-1650) yang kemudian kadipaten Kandang Wesi dilanjutkan oleh Hyang Jatuna bermula dari konflik perlawanan Mataram ke Batavia, maka terjadi perpindahan pengiriman upeti yang semula ke Cirebon menjadi ke Sukapura dengan maksud untuk memudahkan jalur pengiriman dan dari kesetiaannya, maka tertoreh dua kali Kandang Wesi mendapatkan piagam berupa “Goong” yang dikenal sebagai Goong Bojoeng. Ditengah situasi tersebut ditambah mulai masuknya para saudagar Belanda yang melirik pembangunan perkebunan di Kandang Wesi melumpuhkan pengaruh mataram kebeberapa sektor hingga terputusnya jalur pengiriman upeti ke Sukapura.

Berdasarkan sumber lain, dikatakan pada 24 September 1665 atau bisa juga dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari misi terdahulu Prabu Borosngora, maka terulangnya sebuah pertemuan besar yang kali ini diselenggarakan oleh sejumlah bupati di sekitar Cianjur, Sukabumi dan Garut, mereka mengadakan musyawarah di Gunung Rompang (bagian dari pegunungan Bengbreng), Desa Loji, perbatasan antara Ciemas dan Palabuhanratu. Sejumlah dalem menyempatkan hadir dalam pertemuan tersebut, seperti Sang Hyang Panaitan (Adipati Sukawayana), Adipati Lumaju Gede Nyilih dari Cimapag, Dalem Nalama-ta dari Cipaminglds, Dipati Jayaloka dari Cidamar, Hyang Jatuna dari Kandangwesi Garut, Dipati Krutuwuna dari Parakanulu, dan Hyang Manda Agung dari Kerajaan Sancang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, yaitu mengangkat Dalem Cikundul/ Aria Wiratanu I sebagai pemimpin dengan gelar Raja Gagang (Raja Pegunungan).

Catatan mengenai Raja Gagang ini tercantum dalam buku De Priangan jilid dua dari Degregister Belanda tertanggal 14 September 1666 Masehi. “Dalam buku itu diterangkan bahwa Raja Gagang menyerahkan surat kepada Sersan Scipio, serdadu Belanda yang tengah melakukan pengukuran terhadap daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Isi suratnya menyatakan bahwa kerajaan pegunungan (Raja Gagang) tidak tunduk kepada siapa pun, Sisi lain sikap antinya itu yang ditunjukan melalui gerakan persekutuan secara grilyawan telah menarik simpati sejumlah penguasa yang beberapa diantara kekuasaannya sudah melemah. setelah peristiwa itu, kiprah Raja Gagang tidak terdengar lagi. Akan tetapi, baginya, hal itu merupakan bukti sikap anti dan perlawanan terhadap penjajah.

Akhirnya berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan.

Referensi

  1. Atja & Saleh Danasasmita. 1981, "Sanghyang Siksakanda ng Karesian: Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi". Bandung: Proyek Permusieuman Jawa Barat.
  2. ____________________. 1981, Amanat Dari Galunggung: Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy,Bayongbong-Garut. Bandung: LKUP.
  3. Ayatrohaedi, 1975. “ Masyarakat Sunda Sebelum Islam”, BJ. 86:412-423.
  4. _________. 1986. "Kepribadian budaya bangsa (local genius)." Jakarta: Dunia Pustaka jaya
  5. Ayatrohaedi. 2005. "Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon." JakartaPustaka Jaya.
  6. Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati, 1995 . "Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak-406): Pengantar dan Transliterasi". Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusantara.
  7. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
  8. Danasasmita, Saleh & Anis Djatisunda, 1986. "Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kec Leuwidamar Kabupaten lebak banten: Makalah Universitas Indonesia" 
  9. "Kandangwesi".buwananusantara.blogspot.co.id ditulis Budi Wahana. Diakses 30 April 2018.
Baca Juga

Sponsor