Cari

Gempa Bumi Guncang Nusantara: Negeri yang Diazab Tuhan? Negeri Terkutuk?


[Historiana] - Bencana alam yang kerapkali mengguncang nusantara tercatat dalam lembaran sejarah negeri ini. Gempa Bumi, Tsunami, Gunung Meletus, Banjir Longsor dan sebagainya terdokumentasi dalam berbagai media. Kerugian materil hingga jumlah jiwa bahkan ribuan orang tercatat dalam bencana nasional. Bencana Gempa bumi dan tsunami Palu-Donggala, aceh, berbagai gempa, erupsi gunung di Sinabung, erupsi gunung Merapi di jogja dan baru-baru ini gempa Lombok mengundang simpati dan menggugah kemanusiaan kita untuk membantu. Namun demikian, selalu saja ada sekelompok orang yang justru memaki dan menilai bahwa bencana itu sedang mengazab manusia yang berada di lokasi gempa. Azab Tuhan sedang mendera korba. Duh... sangat memprihatinkan! mengapa ungkapan seperti itu bisa ada?

Ada lagi ungkapan yang menyatakan bahwa "Tuhan sedang menguji atau mencoba tingkat keimanan manusia". Benarkah demikian? Mari kita bahas lebih mendalam,

Benarkah Nusantara sedang Diazab Tuhan & Menjadi Negeri terkutuk?
Berbagai ungkapan penuh "keresahan" dari penulisnya mewarnai berbagai media sosial. Hal ini terjadi berdasarkan tingkat kemapanan jiwa dan pengetahun serta berbagai latar belakang pembentuk dirinya. Maka muncul ungkapan-ungkapan bahwa bencana mendera kita sebagai pertanda Tuhan sedang mengazab karena kita telah melakukan kesalahan.

Ada lagi yang menyandarkan ungkapan bahwa peniliannya atas bencana yang terjadi itu berlandaskan agama tertentu, ya silahkan. Tetapi bagaimana dengan pandangan leluhur bangsa kita sendiri?

Bangsa Nusantara yang kini menjadi Indonesia, adalah manusia yang berperadaban tinggi. Pengetahuan leluhur kita sudah sangat maju dibandingkan budaya lain di zamannya. Sistem pemerintahan, pertanian, pertahanan negara hingga teknologi pelayaran dengan kapal Jung yang terkenal di dunia sebagai kapal raksasa yang mampu mengarungi samudra. Jika saja lelihur kita menganggap bahwa gempa bumi, banjir (dan tsunami), tanah longsor, gunung berapi itu sebagai azab dan tidak baik bagi kehidupan mereka, tentu leluhur kita akan mengungsi meninggalkan Nusantara mencari tempat yang lebih baik di belahan dunia lainnya. tetapi tidak mereka lakukan. Padahal teknologi leluhur kita sangat memungkinkan untuk melakukan pengungsian atau eksodus secara besar-besaran.

Kondisi yang terjadi di Nusantara justru bukanlah mengungsi. Buktinya kita adalah anak-cucu keturunan leluhur Nusantara yang bertahan di negeri sendiri. Leluhur kita menganggap justru bencana sebagai anugerah Tuhan kepada hamba-Nya, seluruh makhluknya. Catatan sejarah Sunda, "gempa bumi ketika penobatan Prabu Siliwangi" bahwa ketika pelantikan Prabu Siliwangi menjadi Maharaja Pajajaran diikuti dengan "Lindu" atau gempa bumi dan kejadian tersebut dianggap sebagai berkat dari dewata. Prabu Siliwangi bertahta dari tahun 1482 sampai dengan tahun 1521 M. Dikisahkan dalam "Waosan Babad Galuh" (pupuh XLIII.23 – XLIV.04), ketika penobatan Prabu Siliwangi menjadi raja, terjadi gempa bumi sebagai pertanda baik dari Sanghyang Kersa/Karsa (Tuhan Maha Mengizinkan/Pencipta).

Dalam budaya (kosmologi Sunda), gempa bumi tidak selalu dipandang sebagai pertanda buruk.

Dalam Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, disebutkan adanya ahli gempa. Jika ingin mengetahui bulan grempa (gempa) tanya "Bujangga" -ahli gempa (?). Namun sayang, rincian tanda-tanda gempa masih belum ditemukan dalam Naskah Sunda Kuno.


Bencana sebagai Cobaan atau Ujian bagi Orang Beriman?

Ungkapan bencana sebagai cobaan atau ujian bagi orang beriman kerapkali kita dapati dari berbagai media, baik media mainstream maupun media sosial (social media). Bahkan dalam obrolan sehari-hari kita juga sering mendengarnya dari orang-orang sekitar kita. Lalu bagaimana pandangan leluhur bangsa Nusantara? dalam tulisan ini disampaikan ungkapan luhur, khusunya untuk Urang Sunda.

Menurut luluhur bangsa Sunda, bahwa Sanghyang Wenang -Tuhan yang Maha Kuasa, tentunya telah mengetahui siapa saja yang beriman dan tidak. Sanghyang Wenang adalah Tuhan yang punya kewenangan atau kuasa atau sesutu yang terjadi di alam marcapada (dunia) ini. Selain itu, Sanghyang Kersa sebagai Tuhan yang maha Berkehendaklah yang membuat suatu bencana terjadi. 

Ungkapan bahwa ujian atau cobaan dilakukan Tuhan untuk mengukur tingkat keimanan manusia. Sedangkan dalam pandangan Manusa Sunda, bahwa Sanghyang adalah sosok Pencipta yang serba tahu atas ciptaaanya. Oleh karenanya, "Untuk apa Tuhan mencoba dan menguji manusia sedangkan Dia telah mengetahui keimanan hamba-Nya?". Tuhan pasti tahu siapa saja yang beriman dan siapa saja yang tidak beriman kepadanya.

Lalu seperti apa pandangan Manusa Sunda atas hal ini? Manusia Sunda menilai bahwa bencana adalah bentuk kasih dan sayangnya kepada manusia. Ini dilakukan-Nya untuk menaikkan derajat, keterampilan dan kemampuan manusia dalam menghadapi berbagai perubahan dunia (marcapada). Manusia Sunda memiliki pandangan yang disebut "Rubak amparan" yakni berpandangan luas tanpa ikatan primordial pada hal-hal yang terkait keinginannya (ego dan nafsu pribadi) tetapi mencari tahu apa yang diinginkan Tuhan. Manusia Sunda memiliki kesimpulan bahwa Tuhan menginginkan adanya "Harmoni dengan seluruh alam". Harmoni ini tidak saja dengan sesama manusia, terhadap binatang, terhadap tumbuhan, batuan, langit, air, lautan dan sebagainya mencakup terhadap alam sekitarnya itu tercakup luas, baik terlihat maupun tidak terlihat.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam dalam budaya Sunda adalah "Sampurasun" yang diikuti doa "Mugia Rahayu Sagung Dumadi" artinya "Semoga selamat/sejahtera seluruh alam". Ungkapan doa manusa Sunda mencakup seluruh alam, tidak saja kepada manusia tetapi kepada seluruh alam. Wujud harmoni manusa Sunda terlihat dalam perlakukan mereka terhadap alam sekitarnya. Dalam budaya Sunda kuno, semua hal di alam sekitarnya dianggap "hidup" dan "bernyawa." Pandangan ini melahirkan tata cara menghormatinya dengan cara-cara unik. Setiap Tumbuhan, Tanah, Air, Udara dan Api dianggap "berbakti" dan dalam rangka menjalankan "Dharma" kepada Tuhan sekalian alam, Sanghyang murbeng Alam. 

Adab sopan dan santun Sunda terhadap sesama makhluk diperlakukan dengan sangat hormat. Ibarat kita menerima tamu atau kita bertamu kepada rumah orang lain maka akan dengan penuh sopan-santun kita sowan kepada Sang mpunya rumah. Datang katingal tarang, undur katingal punduk, mipit amit ngala menta. Dalam prakteknya, terlihat perilaku yang unik dengan sikap tubuh serta mulut berguman seraya mengucapkan pamit ketika memasuki suatu kebun, sungai atau danau yang dianggap angker karena ada "penunggunya". Apa yang mereka gumamkan adalah standar sopan santun yang diperibahasakan sebagai mipit amit ngala menta, bila mau mengambil sesuatu baiknya pamit dengan memintanya.

Perilaku demikian itu dipandang oleh manusia Sunda zaman milenial menjadi "aneh" dan bersifat primitif dan bila tega kita menyebutnya perilaku "Musyrik". Sebenarnya, kata Musyrik dalam kamus standar bermakna "menyekutukan Tuhan". Namun kurangnya pemahaman manusia milenial terhadap perilaku adab sopan dan Santun Manusa Sunda inilah yang menimbulkan pandangan itu. Adab mipit amit ngala menta ini bukanlah perilaku mempersekutukan Tuhan, tetapi adab sopan santun Sunda. Manusa Sunda menyamakan cara perhormatan terhadap alam sekitar seolah-olah "itu" adalah manusia. Tak jarang bentuk perilaku menghormati manusia lainnya dengan meberikan jamuan, yang dalam bentuk jamuan terhadap alam sekitar dengan menyediakan air, wewangian (dari dupa atau kemenyan) dan kembang (bunga-bungaan) yang kita sebut segai "Sesajen" -asal kata sesajian.

Begitulan sepintas cara pandangan terhadap fenomena dunia yang dinilai olah Manusa Sunda kuno dan Sunda milenial sebagai sesuatu yang memiliki kesamaan yakni: "Setiap makhluk mengalami perubahan, hanya Sang Khalik yang tidak mengalami perubahan". 

Prasasti Cikapundung Bandung. Foto: incropcircles
Sejalan dengan Prasasti Cikapundung Bandung yang berisi pesan singkat "Unggal Jagat Jalma Hedap" artinya setiap zaman manusia menghadapi sesuatu. Pesan singkat itu memberikan "warning" bagi manusia Sunda untuk selalu siap sedia atas peristiwa yang akan terjadi.

Lihat juga videonya...



Pribahasa Sunda mengungkapkan pentingnya menghormati Orang Tua dan Leluhur kita:
"Burung Palung, Bodo Gelo oge Kolot jeung Karuhun Sorangan"

Penulis tidak berani "mengutuk" leluhur kita atas jasa dan perjuangannya mereka dalam mempertahankan hidup hingga beranak-pinak menjadi kita hari ini. Seratus atau seribu tahun dari sekarang, saya, Anda dan kita akan menjadi leluhur anak-cucu keturunan kita kelak dan kita ingin mereka mencatat dalam "media cyber"-nya kita sebagai manusia berperadaban dan memikirkan serta menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Baca Juga

Sponsor