Cari

Warugan Lemah: Feng Shui Ala Sunda Kuno | Naskah Sunda Kuno

naskah lontar Sunda Kuno, warugan lemah
[Historiana] - Pengetahuan tentang pola pemukiman (kampung, wilayah kota, dan umbul) masyarakat Sunda pada masa lalu ini, tertera dalam tiga lempir daun lontar berukuran 28,5 x 2,8 cm., yang mengandung empat baris tulisan tiap lempirnya. Naskah WL kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan nomor koleksi L 622 Peti 88.







Aksara yang digunakan dalam naskah ini adalah aksara Sunda kuna, jenis aksara yang serupa dengan aksara pada prasasti Kawali dan naskah Sunda kuna yang ditulis di atas daun lontar, bambu, dan daluwang. Ciri khas penulisan yang membedakan naskah WL dengan naskah Sunda kuna lainnya adalah penggunaan tanda vokalisasi ‘u’ (panyuku) yang ditulis dengan tanda (.) di bawah aksara ngalagena, bukan garis sudut ( u) sebagaimana yang biasa ditemukan dalam naskah dengan aksara yang sama.


Hal ini cukup menyulitkan ketika melakukan suntingan teks, karena kondisi naskah yang berlubang membuat aksara ngalagena dengan aksara yang diberi tanda panyuku menjadi sulit untuk dibedakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda kuna, sementara teksnya berbentuk prosa. Naskah WL belum dimikrofilmkan, tetapi sedang diusahakan digitasinya oleh Pusat Studi Sunda (PSS) pada tahun 2010.

Naskah WL sebelumnya belum dideskripsikan dengan baik dalam berbagai katalog yang sudah diterbitkan. Cohen Stuart (1872), kurator di lembaga Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) yang pertama kali memerikan naskah yang disimpan, tidak mendaftarkan naskah ini. Pemerian naskah Sunda kuna yang disimpan dalam peti (atau kropak dalam istilah yang digunakannya), hanya berkisar dari naskah nomor 406–426 saja. Demikian juga dalam katalog yang disusun oleh Edi S. Ekadjati (1988), naskah WL tidak didaftarkan.

Mungkin hal tersebut disebabkan naskah WL disimpan dalam peti 88, yang terpisah dari kelompok naskah Sunda kuna yang lainnya (peti 15 dan 16). Selanjutnya Behrend (ed.,1998) mendaftarkan naskah ini. Hanya saja, keterangan yang diberikannya sangat sederhana dan boleh dikatakan ‘keliru’. Naskah lontar nomor 622 yang tersimpan di peti 88 diberi judul ‘wariga’ (sesuai dengan judul pada label) dan dianggap berbahasa dan beraksara Bali (Behrend, 1998: 383).

Naskah WL berasal dari kelompok ‘kropak Bandung’, yang diperoleh dari Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) kepada Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) sekitar paruh kedua abad ke-19 (Krom, 1914: 41; NBG XIII, 1875). Dalam Laporan Kepurbakalaan tersebut tercatat bahwa kropak no. 620 sampai no. 626 dan kropak no. 633 sampai no. 642 adalah pemberian bupati Bandung.

Pada kolofon naskah hanya tercantum hari penulisan teks, yaitu hari Rabu Manis (poé na buda na manis), tanpa keterangan bulan dan tahun penulisan (atau penyalinan?) teks. Tetapi cukup jelas bahwa suasana yang mendasari teks ini adalah pra-Islam, sehingga dapat membawa kita pada dugaan bahwa teks WL sekurang-kurangnya ditulis atau disalin sebelum abad ke-17, atau bahkan sebelum kerajaan Pajajaran runtuh (±1578 M). Hal tersebut setidaknya ditandai dengan tidak ditemukannya satu kata pun yang dapat dirujuk ke dalam bahasa Arab. Selain itu, isi teks WL juga kental akan anasir agama Hindu, sebagaimana dapat dilihat pada mantra-mantra yang terdapat dalam teks.

Pemberian judul warugan lemah didasarkan pada kalimat pertama yang terdapat dalam teks, yang berbunyi ‘ini warugan lemah’. Warugan merupakan kata bentukan dari kata waruga ‘bentuk’, yang dalam bahasa Jawa kuna berarti ‘jenis bangunan (balai, paviliun)’ (Zoetmulder, 2006: 1395), sedangkan dalam bahasa Sunda Modern berarti ‘badan, tubuh’ dan akhiran –an yang membentuk kata benda, seperti yang terdapat dalam kata Sunda modern ‘caritaan, cariosan’. Sementara lemah berarti ‘tanah’.

Dengan demikian, warugan lemah dapat berarti ‘bentuk tanah’. Keseluruhan isi teks kiranya sesuai dengan judul, yang memaparkan pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya, berikut sarana dan mantra-mantra untuk mensucikannya.

Sejauh penelusuran penulis terhadap naskah Sunda kuna yang ada di PNRI, belum ditemukan salinan dari naskah ini, baik salinan naskah lontar maupun naskah hasil alih-aksara para sarjana Belanda . Sementara hasil digitasi naskah dari Kabuyutan Ciburuy-Garut, sampai tulisan ini dibuat, belum tersedia bagi penulis. Dengan demikian, naskah ini dapat dikatakan sebagai naskah tunggal ‘codex uniqus’.

Dalam teks WL, tercatat ada 18 pola pemukiman, dan masing-masing memiliki istilah berikut karakteristiknya yang khas. Ada yang dianggap berpengaruh baik, dan ada yang dianggap sebaliknya. Gambaran pola pemukiman berdasarkan topografi tanah dan wilayah sebagaimana yang tertuang dalam teks adalah sebagai berikut:

Inilah warugan lemah (bentuk tanah), untuk diingat dalam kesusahan dan keselamatan. Ketika akan mendirikan wilayah, kampung, dan umbul. Ini warugan lemah. Inge(t)keun di halana, di hayuna. Na pidayeuheun, na pirembuleun, na piu(m)buleun.
  1. Talaga Hangsa. Topografi tanah condong ke kiri. Topografi jenis ini tergolong baik, karena mendatangkan kasih sayang orang lain. Lamunna bahé ka ké(n)ca ngara(n)na Talaga Ha(ng)sa, asih wong sajagat. Panyudana pacar pimula di pahoman.
  2. Banyu Metu. Topografi tanah condong ke belakang. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan kanénéh ‘kesayangan, apa yang disayangi’ tidak akan menjadi. Lamu(n)na bahé ka tukangeun na lemah, ngara(n)na Banyu Metu. Hamo jadian kanénéh. Panyudana papatong di sakay, tanem di tengah dalem. Ajina: “Ong debi ma Aji Batara mriwasa sohah!”
  3. Purba Tapa. Topografi tanah condong ke depan. Termasuk topografi yang kurang baik, karena senantiasa kehilangan simpati (rasa suka) orang lain. Lamunna bahé ka hareupeun, ngaranna Purba Tapa. Pamalina gelem kahilangan suka. Panyudana lalay perét tawur kara(n)cang teu(n)deun janari. Ajina: “Ong paksa /1r/ ma guru pun. Pasaduan kami di na liga Si Jaja, liga Si Jantri. Bawa tamah Batara Kala. Tinggalkeun sari ning lemah apan gawé sang pandita.” Anggeus ma leupaskeun na lalay.
  4. Ambek Pataka. Topografi tanah condong ke kanan. Termasuk topografi yang kurang baik karena menyebabkan orang lain menyakiti hati. Lamu(n)na lemah bahé ka katuhu ma A(m)bek Pataka. Pamalina réa nu ngaduhung urang. Panyudana usar tanem di pahoman.
  5. Tanah yang ngalingga manik. Secara harfiah, ngalingga manik berarti ‘membentuk puncak permata’. Mungkin dapat diartikan topografi tanah yang membentuk puncak dengan lahan pemukiman berada di puncaknya. Termasuk topografi tanah yang baik, karena menjadikan penduduknya diperhatikan oleh dewata. Pada tanah seperti inilah Bujangga Manik (BM), seorang peziarah Sunda abad 16, mengakhiri kehidupannya. Dalam teks BM (baris 1404-1406), rahib kelana ini berharap menemukan tanah kabuyutan, yaitu tanah yang menyerupai puncak permata (ngalingga manik). Lamunna ngalingga manik ma na lemah kahaupan ku déwata. Panyudana ha(n)tiga tikukur tulis , tanem di buda hireng di tengah dalem. Ajina: “Ong Sri … Séda sohah!”
  6. Singha Purusa. Topografi tanah (lahan) memotong pasir, berada di antara puncak dan kaki bukit. Termasuk topografi tanah yang baik, karena mendatangkan kemenangan dalam berperang.  La(m)unna motong pasir ma na lemah ngara(n)na Singha Purusa. Awét juritan, pameunangna. Panyudana bubura muliya tane(m) di buruan. Ajina: “Ong /1v/ déwa manusa mrewasa sohah!”
  7. Sri Madayung. Topografi tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil di sebelah kiri dan sungai besar di sebelah kanan. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan dimadu oleh perempuan. Lamu(n)na cai bécét ti ké(n)ca, cai gedé ti katuhu, ngaranna Sri Madayu(ng), pamalina kapiduwa ku wadon. Panyudana haur geulis perelak di pahoman.
  8. Sumara Dadaya. Topografi tanah datar. Mungkin sama dengan istilah topografi Sunda sekarang galudra ngupuk (Ensiklopedi Sunda, 2000:227). Termasuk topografi lahan yang cukup baik, karena menyebabkan rama, sebagai salah satu dari trias penguasa masyarakat Sunda kuna selain rama dan resi, senantiasa datang berkunjung. Lamunna datar ma na lemah ngara(n)na Sumara Dadaya. Pameunangna gelem kadatangan rama. Panglu(ng)surna tamiang nangguh jadi congona na prelak di pahoman. Ajina: “Ong sakabéh aji Betara Sri sohah!”
  9. Luak Maturun. Topografi tanah berceruk karena di tengah wilayah terdapat lembah, mungkin menyerupai luak yang turun dari pohonnya. Termasuk topografi tanah yang tidak baik, karena menjadikan penduduknya banyak mendapat penderitaan. Dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, istilah luak maturun termasuk salah satu formasi perang (SSKK: XVIII). Lamunna lebak di tengah na dayeuh ngara(n)na Luak Maturun. Pamalina gedé kabéngkéng. Panyudana bajra pimula di pahoman. Ajina: “Sri Sada Sohah!”
  10. Wilayah melipat. Tidak disebutkan istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena menyebabkan berkurangnya kekayaan. La(m)un sumalipat ma na dayeuh, pamalina usud kabeungharan. Panyudana po(n)doh perelak di tengah dalem teher ngaroc.
  11. Tunggang Laya. Topografi wilayah pemukiman menghadap laut. Termasuk topografi yang kurang baik, karena menyebabkan penduduknya mati tersambar petir. Lamunna témbong ka laut ma ngara(n)na Tu(ng)gang Laya na dayeuh. Pamalina /2r/ paéh ku bajra dayeuhan dayeuh. Panyudana nyawung di tengah lemah poéna tu(m)pek kaliwon.
  12. Mrega Hideng. Wilayah bekas kuburan. Termasuk wilayah pemukiman yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa. La(m)un na urut seuma na dayeuh ngara(n)na Mrega Hideng . Pamalina pades aweuhan. Panyudana dangdeur pimula u(ng)gal juru dayeuh tawur u(ng)gal juru dayeuh di puhunna. (Ajina): “Ong Pasaduan kami pun. Di sang ratu breco na déwata kayu dangdeur pun. Maka hilang ikang tamah, maka ti(ng)gal suka sohah.”
  13. Jagal Bahu. Tanah menganga (terpisah) sehingga terdapat celah yang memisahkan wilayah pemukiman. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.  Lamunna lemah ngang-ngang ka ké(n)ca ka katuhu ma ngaranna Jagal Bahu. Pamalina pades aweuhan. Panyudana titiran huapan tumaleupaskeun ku wadon reujeung deung lanang.
  14. Talaga Kahudanan. Wilayah pemukiman membelah sungai. Termasuk topografi pemukiman yang kurang baik, karena penduduknya dapat mati karena senjata orang lain dalam peperangan. Motong cai ma na dayeuh ngara(n)na Talaga Kahudanan. Pamalina paéh ku bajra bu ing kalih. Panyudana ngaroc di tenga(h) cai, poéna tu(m)pek wagé.
  15. Wilayah membelakangi bukit atau gunung. Tidak terdapat istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah yang kurang baik, karena akan merusak hubungan keluarga. Lamunna dayeuh nukangkeun bukit, /3r/ pamalina rusak kulakadang. Panyudana gogolang lima tu(m)pang di hulu dayeuh laukna gagak poéna Anggara Manis.
  16. Si Bareubeu. Topografi wilayah berada di bawah aliran sungai (katunjang ku cai). Termasuk topografi lahan yang kurang baik, karena akan dihukum oleh dewata. La(m)unna katu(n)jang ku cai ma na dayeuh ngara(n)na Si Bareubeu. Pamalina dipahala ku déwata. Panyudana gogolang purba désa, di tengah dayeuh. Geus ma prelakkan budi na urut gogolang.
  17. Kampung dikelilingi oleh rumah. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena penduduknya akan menjadi rakyat jelata (budak). La(m)un le(m)bu(r) kakurung ku imah, pamalina hulun dayeuhannana. Panyudana wéra putih pisusupi basa dikuriak.
  18. Bekas tempat kotor (picarian) dikelilingi oleh rumah. Tidak terdapat istilah khusus di dalam teks untuk jenis topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik, mendatangkan kesusahan. La(m)un urut picarian kakurung ku imah, pamalina gelem duka. Panyudana hayam nyileu(ng)leum peu(n)cit dibuang asakan deung telurna, hakan ku tujuhan. Tuak saminggih suji picucu(n)duk aya nu nginum seungseurikeun. Poé na Buda na Manis.
Terjemahan langsungnya:


  1. Jika condong ke kiri dinamakan talaga hangsa, dikasihi semua orang. Untuk mensucikannya menanam pacar di tempat sesaji.
  2. Jika tanah condong ke belakang, dinamakan banyu metu. Tak akan menjadi apa yang disayangi. Untuk mensucikannya capung yang ada pada kayu, disimpan di tengah wilayah dalam. Ajiannya: “Ong debi ma aji batara mriwasa sohah!
  3. Jika condong ke depan, dinamakan purba tapa. Yang menjadikan tabunya adalah selalu kehilangan rasa suka (orang lain). Untuk mensucikannya tunas perét ditebarkan agak rapat, disimpan pada waktu dinihari. Ajiannya: “Ong paksa /1r/ ma guru pun, pasaduan kami di na lingga si Jaja, lingga si Jantri, bawa tamah batara Kala, tinggalkeun sari ning lemah, apan gawé sang Pandita”. Setelah itu mulai tebarkan tunas.
  4. Jika tanah condong ke kanan dinamakan ambek pataka. Yang menjadikan tabunya adalah banyak yang menyakiti hati kita. Untuk mensucikannya tanam usar di tempat sesaji.
  5. Jika tanah ngalingga manik maka akan diperhatikan oleh dewata. Untuk mensucikannya telur burung perkutut tulisi , kemudian tanam pada hari Rabu Wage di tengah wilayah bagian dalam. Ajiannya: “Ong Sri … Séda sohah!”
  6. Jika tanah memotong bukit dinamakan singha purusa. Unggul dalam peperangan bawaannya. Untuk mensucikannya tanam bubura muliya di halaman rumah. Ajiannya: “Ong déwa manusa mrewasa sohah!
  7. Jika sungai kecil dari kiri, sungai besar dari kanan, dinamakan sri madayung, yang menjadikan tabunya adalah dimadu oleh perempuan. Untuk mensucikannya tanam haur geulis di tempat sesaji.

  8. Jika tanah mendatar dinamakan sumara dadaya. Keunggulannya senantiasa kedatangan Rama. Untuk membuatnya turun adalah bambu tamiang nangguh yang mulai muncul cungapnya tanam di tempat sesaji. Ajiannya: “Ong sakabéh aji Betara Sri sohah!”
  9. Jika terdapat lembah di tengah wilayah (berceruk) dinamakan luak maturun. Yang menjadikan tabunya adalah mendapat penderitaan besar. Untuk mensucikannya tanam pohon aren? di tempat sesaji. Ajiannya: “Sri Sada Sohah!”
  10. Jika bentuk wilayah melipat, yang menjadikan kesengsaraannya adalah berkurang kekayaan. Untuk mensucikannya tanam pondoh di tengah wilayah bagian dalam kemudian minum.
  11. Jika wilayah menghadap laut dinamakan tunggang laya. Yang menjadikan tabunya adalah penduduk wilayah mati oleh halilintar. Untuk mensucikannya membangun dangau di tengah tanah pada hari Sabtu Kliwon.
  12. Jika wilayah bekas kuburan dinamakan mrega hideng. Yang menjadikan tabunya adalah kurang wibawa. Untuk mensucikannya menanam dangdeur di setiap pojok daerah, ditabur di setiap pojok wilayah pada sumbernya. Ajiannya: “Ong pasaduan kami pun, di sang Ratu Breco na déwata kayu dangdeur pun, maka hilang ikang tamah, maka tinggal suka sohah.”
  13. Jika tanah menganga (terpisah) ke kiri dan ke kanan dinamakan jagal bahu. Yang menjadikan tabunya adalah kurang wibawa. Untuk mensucikannya burung titiran disuapi kemudian lepaskan oleh gadis bersama dengan jejaka.
  14. Jika wilayah memotong sungai dinamakan talaga kahudanan. Yang menjadikan tabunya adalah mati oleh senjata (bajra) dari tanah orang lain. Untuk mensucikannya minum di tengah sungai, pada hari Sabtu Wage.
  15. Jika daerah membelakangi gunung (bukit), yang menjadikan tabunya adalah rusak hubungan keluarga. Untuk mensucikannya memasak lima susun di hulu wilayah dengan daging gagak pada hari Selasa Manis.
  16. Jika daerah berada di bawah aliran sungai dinamakan si bareubeu. Yang menjadikan tabunya adalah dihukum oleh dewata. Untuk mensucikannya memasak di depan desa di tengah wilayah. Setelah itu tanami budi di bekas tempat memasak tersebut.
  17. Jika kampung dikelilingi oleh rumah, yang menjadikan tabunya adalah penduduknya menjadi budak. Untuk mensucikannya wéra putih disisipi ketika membangun rumah.
  18. Jika bekas tempat kotor dikelilingi oleh rumah, yang menjadikan tabunya adalah senantiasa berduka. Untuk mensucikannya sembelih ayam yang sedang mengeram dibuat masakan beserta telurnya, kemudian makan oleh tujuh orang. Tuak saminggih suji ketika ada yang datang kemudian minum, tertawakanlah. Pada hari Rabu Manis.


Sumber  : artikel Aditia Gunawan dalam naskah-sunda blogspot.com
Baca Juga

Sponsor