[Historiana] - Raden Ngabehi Rangga Warsita (Ronggowarsito) lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Ronggowarsito berasal dari keluarga bangsawan keraton Surakarta. Dari garis ayahnya, ia adalah keturunan ke -10 dari Sultan Hadiwijoyo, pendiri kerajaan Pajang. Sedangkan dari garis keturunan ibu adalah keturunan ke-13 dari Sultan Trenggono, raja Demak ketiga. Sebenarnya Ronggowarsito adalah sebuah gelar. Ronggowarsito yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah Ronggowarsito III. sedangkan nama aslinya adalah Bagus Burham.
Raden Ngabehi Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham adalah putra dari RM. Ng. Pajangsworo dan Nyai Ajeng Ronggowarsito. Sumber untuk mengenal kehidupan Ronggowarsito yang sebenarnya sukar didapati. Beliau lahir pada pada 14 Maret tahun 1802 bertepatan dengan tahun meninggalnya kakek buyutnya yaitu Yasadipura I dan wafat pada tahun 1873 di desa Palar dimana dia dulu dibesarkan.
Ronggowarsito (Bagus Burham) tumbuh dan besar dari keluarga yang akrab dengan dunia sastra dan tulisan_sesuatu yang dianggap langka pada kala itu. Ayahnya Panjangsworo atau Ronggowarsito II yang menjadi juru tulis kerajaan. Sedangan kakeknya, Sastronagoro atau Ronggowarsito I adalah pujangga kerajaan. Sedangkan kakek buyutnya Yosodipuro I adalah seorang pujangga besar. Namanya tercatat dalam tita emas dalam sejarah kesusastraan Jawa dan bukan hanya di Surkarta, ia adalah penulis yang banyak menghasilkan karya, baik orisinal maupun adaptasi terhadap tulisan-tulisan kuno dari khazanah sastra yang ada di tanah Jawa maupun dari manca negara.
Ronggowarsito III inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito yang sebenarnya merupakan nama pemberian raja, sesuai dengan jabatannya sebagai Kliwon Carik di Istana Surakarta. Tokoh Ronggowarsito dikeramatkan oleh angkatan sesudahnya, dengan berbagai macam cerita yang dihubungkan dengan kehidupannya. Sarjana-sarjana Belanda yang cukup lama bergaul dengan Ronggowarsito, salah satu diantaranya C.F. Winter, tidak ada yang memberi komentar tentang kehidupannya. Boleh dikatakan hanya ada dua sumber yang bisa dipergunakan untuk mengenal kehidupan Ronggowarsito, yang disusun oleh para pengagumnya. Keduanya masih berbentuk cerita yang bersifat deskripsi dan belum merupakan analisis yang bersifat ilmiah. Kedua sumber itu ialah: Pertama : hasil survei Padmawarsito yang masih berbentuk aksara carik, atau tulisan tangan. Karya ini ditulis dalam huruf Latin dengan tulisan yang bagus setebal 76 halaman folio. Candrasengkala (ciri tahun bulan) yang terdapat pada penutup karya ini, berbunyi: Ngesthi katon bujangganing ratu, yang berarti disusun pada tahun 1838 Jawa, atau 1908 Masehi. Tepatnya manuskrip ini disusun 35 tahun sesudah wafatnya Ronggowarsito. Buku ini bisa ditemukan pada Perpustakaan Musium Nasional Jakarta, berkode: Jav. Hs,B.G. No: 614.
Kedua: Serat Babad Lelampahanipun Raden Ngabehi Ronggowarsito, disusun oleh: Padmawidagda dan Honggopradoto, keduanya cucu dan buyut Ronggowarsito. Buku ini telah diterbitkan dalam huruf cetak, berbahasa Jawa krama (halus), menjadi empat jilid, dan masing-masing setebal 135 halaman. Penerbitnya N.V. Budiutama Surakarta pada tahun 1931 Masehi, yakni lebih kurang 58 tahun setelah wafatnya Ronggowarsito. Riwayat keseniman Bagus Burham masih bisa dilacak lebih jauh lagi. Dari pihak ibu ia masih keturunan Sujonopuro atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Karanggayam, pujangga kerajaan Pajang. Ia adalah seorang sastrawan besar penui buku yang terkenal sampai kini, yaitu Serat Niti Suri sebuah buku yang berisi ajaran tentang etika kehidupan. Sehingga sama sekali bukan hal yang aneh jika Bagus Burham tertarik menekuni dunia sastra. Apalagi pada saat itu, yaitu menjelang awal abad XIX adalah masa puncak salah satu genre dalam sejarah kesusastraan Jawa yang dikenal dengan tradisi Islam Kejawen. Adapun silsilah Raden Ngabehi Ronggowarsito yang merupakan masih dalam keturunan Majapahit. Hal ini diterangkan sebagai berikut:
Menurut serat Candra Kantha, karya Raden Ngabehi Candrapadata R. Ng. Ronggowarsito juga merupakan keturunan dari Kerajaan Demak. Yakni, antara lain disebutkan sebagai berikut :
Adapun sumber menurut R.I. Mulyanto (Koordinator) dalam buku Biografi Ronggowarsito (Departemen P & K: Jakarta, 1990),36-37) yang menyebutkan silsilah Ronggowarsito dari jalur ayah (silsilah Pengging), menurut sumber Siswawarsita, ahli waris dan R. Tanaya, pengarang Surakarta, serta hasil penelitian IKIP Surakarta adalah sebagai berikut:
Masih menurut R.T. Mulyanto yang mengutip sumber dari Siswawarsita dan Komite Ranggowarsito, bahwa garis keturunan Ronggowarsito dari ibu atau disebut dengan silsilah Palar disebutkan:
Berdasarkan sumber tersebut, silsilah pujangga Ronggowarsito III dapat ditelusuri dari dua pendekatan, yakni pendekatan melalui jalur ayah dan jalur ibu. Silsilah Ronggowarsito dari jalur ayah menurut sumber Siswawarsita dan R. Tanaya, serta dari hasil penelitian dari IKIP Surakarta adalah sebagai berikut:
Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, berputra Pangeran Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya, Sulan Prabuwijaya berputra Pangeran Mas atau Panembahan radin. Pangeran Mas berputra Pangeran Wiramenggala I yang bertempat tinggal di Kejaroan. Pangeran Wiramenggala I berputra Pangeran Wiraatmaja. Pangeran Wiraatmaja berputra Pangeran Wirasewaya bertempat tinggal di Kajon. Pangeran Wirasewaya berputra Pengeran Danupati bertempat tinggal di Serang. Pengeran Danupati berputra Pangeran Danupaya bertempat tinggal di Cengkalsewu. Pangeran Danupaya berputra R.T. Padmanegara bertempat tingal di Pekalongan. R.T. Padmanegara berputra R.T. Yasadipura I bertempat tinggal di Surakarta. R.T. Yasadipura I berpurta R.T. Sastranegara disebut pula Raden Ngabehi Yasadipura II dan juga disebut Raden Ngabehi Ronggowarsito I ketika masih berpangkat Panewuh. R.Ng. Ronggowarsito I berputra R.Ng. Ronggowarsito II berpangkat Carik. R.Ng. Ronggowarsito II berputra R.Ng. Ronggowarsito III yang ketika masih kanak-kanak bernama Bagus Burham.
Silsilah Ronggowarsito dari jalur ibu menurut sumber Siswawarsito dan Babad Ronggowaristo sebagai berikut:
Sultan Trenggana berputra R.T. Mangkurat yang bertempat tinggal di Demak atau di Bintara. R.T. Mangkurat yang berputra R.T. Sujanapura I, pujangga Pajang. R.T. Sujanapura I berputra R.T. Sujanaputra II, pujangga Pajang. R.T. Sujanaputra II berputra R.T. Wangsabaya I. R.T. Wangsabaya I berputra Kyai Ageng Wangsabaya II. Kyai Ageng Wangsabaya II berputra Kyai Ageng Wangsataruna yang dimakamkan di Palar. Kyai Ageng Wangsataruna berputra Nayamenggala yang juga dimakamkan di Palar. Kyai Ageng Nayawamenggala berputra Kyai Agen Nayataruna yang juga dimakamkan di Palar. Kayai Ageng Nayataruna berputra R.Ng. Sudiradirjka I. R.Ng. Sudiradirja I mempunyai anak perempuan bernama Raden Nganten Ronggowarsito II yang terkenal dengan sebutan Nyai Ajeng Ronggowarsito. Nyai Ajeng Ronggowarsito atau Nyai Ajeng Ronggowarsito berputra R.Ng. Ronggowarsito III atau nama kecilnya Bagus Burham.1
Latar Belakang Pendidikan Ronggowarsito
Ronggowarsito (Bagus Burham) dilahirkan pada masa pemerintahan Paku Bowono IV. Pada masa itu yang menjabat sebagai pujangga istana adalah Yasadipura I, kakek buyutnya. Waktu ibukota Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surkarta (1744), Yasadipura turut pindah dan tinggal di kampung Kedhung Kol. Kampung yang terletak di distrik Pasar Kliwon (sebelah timur benteng istana Surkarta) yang kemudian disebut dengan kampung Yasadipuran.Karena telah menjadi tempat kediaman pujangga Yasadipura I dan putranya Yasadipura II dan Ronggowarsito.Yasadipura II adalah kakek sekaligus guru pengasuh Bagus Burham. Semenjak kanak-kanak Bagus Burham telah dititipkan kakeknya, untuk dididik dalam kesusastraan, karena usia ayahnya lebih pendek (wafat pada waktu Bagus Burham baru berusia 17 tahun).
Kesehariannya Bagus Burham mempunyai seorang pengasuh, bernama Tanujoyo. Ia seorang pegawai kakeknya yang diberi tugas khusus untuk mengawasi dan menjaga Bagus Burham. Pada masa itu masih berlaku tradisi di mana seorang anak memiliki seorang pengasuh yang secara khusus mengawasi dan menjaga. Ia ibarat kepanjangan tangan orangtua si anak. Pengasuh itu berfungsi sekaligus sebagai kawan bermain. Mereka akan menuruti segala permintaan, dan tidak berhak mengatur si anak. Namun dalam kondisi tertentu, demi alasan-alasan keselamatan ia dapat saja memaksa si anak untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu. Karena ia bertanggung jawab penuh terhadap anak asuhnya.
Tanujoyo merupakan figur tipikal para pengasuh di Jawa. Ia orang yang mudah bergaul dan banyak cerita, baik sungguh maupun rekaan. Ia juga memiliki beragam keterampilan, mulai permainan yang bermacam-macam, urusan memasak hingga keterampilan keprajuritan.
Setelah mencapai usia dua belas tahun, kakeknya mengirimnya berguru ke Pesantren Gerbang Tinatar, yang ada di Tegalsari, Ponorogo. Pesantren tersebut diasuh oleh Kiai Kasan Besari, seorang ulama yang dikenal keluasan ilmunya. Kasan Besari adalah menantu Paku Buwono IV, dan pernah menuntut ilmu dengan Satronagoro, kakek Bagus Burham. Karena pemiliknya adalah menantu raja, maka Gerbang Tinatar banyak memiliki santri anak-anak bangsawan.
Semenjak Bagus Burham mengaji di pesantren Tegalsari ini, cerita tentang Wahyu Kepujanggaan telah dihubungkan dengannya. Dalam Serat Babad Lelampahanipun Raden Ngebehi Ronggowarsito susunan Padmawidagda dan Honggopradoto, wahyu kepujanggan dihubungkan dengan makan ikan wader yang dikatakan ajaib. Diceritakan bahwa Bagus Burham adalah pemuda yang nakal, enggan mengaji dan tidak mau belajar, bahkan suka berjudi, hidup semau hatinya. Akhirnya Bagus Burham dimarahi dan dihardik oleh Kiai Kasan Besari. Hukuman secara terbuka ini nampaknya menimbulkan bekas tersendiri bagi Burham. Ia seakan tersinggung oleh perlakuan yang dia terima di hadapan kawan-kawannya.20Lantaran merasa malu kemudian Bagus sadar, dan ia merasa tertantang untuk menunjukkan bahwa ia bisa.
Dalam Babad Ronggowarsito, dia dikisahkan bahwa Bagus Burham melakukan tirakatan di Kedung Watu, sebuah sumber air yang terletak tidak jauh dari pesantren Kiai Ksan Besari.21 Burham berjaga semalaman di atas sebatang bambu yang ia pasang di atas air. Sehingga ketika mengantuk ia akan tercebur ke dalam air. Hal itu dilakukan selama empat puluh hari. Dan selama itu pula ia hanya makan satu buah pisang selama satu hari.
Pada malam terakhir, Tanujaya menanak nasi untuk berbuka bagi Burham. Tiba-tiba Tanujaya terkejut melihat benda bersinar sebesar bola (andaru) masuk dalam periuk.22Sesudah nasinya masak, ternyata di dalamnya terdapat ikan wader yang sudah masak. Ikan itu dimakannya, sedangkan kepala dan ekor disisahkan untuk Tanujoyo. Diyakini, sinar yang berubah wujudmenjadi ikan itulah, merupakan anugerah dari Tuhan kepada Bagus Burham yang nantinya sekaligus sebagai tanda ia akan menjadi orang besar.
Sejalan dengan itu, ia juga mulai rajin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Kiai Kasan Besari. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, Burham tidak sulit mengejar ketinggalannya. Apalagi ia belajar dengan semangat membalas dendam kepada sejarah yang pernah menistakannya. Dalam manuskrip yang disusun oleh Padmawarsito, wahyu kepujanggaan dihubungkan dengan makan ikan lele.23 Diceritakan bahwa sewaktu Bagus Burham melarikan diri dari pesantren Tegalsari, ia bermalam di rumah seorang guru mengaji di desa Pocol. Yakni di rumah Ki Mukitab. Namun ikan lele yang ajaib itu juga masuk dalam periuk nasi Burham ketika makan.24Dengan segera ia mampu menguasai segala ajaran yang diberikan. Beberapa waktu kemudian ia diangkat sebagai badal, wakil Kiai Kasan Besari untuk berdakwah dan berceramah di luar pesantren.
Bagus Burham sangat dikenal dimasyarakat, kalau khotbah atau ceramah suaranya lantang dan penjelasannya mudah diterima. Dalam kurun waktu tersebut Burham banyak keliling ke berbagai pelosok untuk berdakwah, menyebarkan agama. Dan dalam hal inilah ia banyak mendapat inspirasi sebagai cerita, dari keindahan alam serta keanekaragaman kondisi masyarakat yang dialami. Masamasa ini nampaknya memberikan dasar awal perhatikannya kepada nasib dan kesengsaraan rakyat kecil.
Waktu itu rakyat dapat dikatakan dalam kondisi puncak kesengsaraan. Dekade pertama abad itu, sejarah menyaksikan suatu pemerintahan tangan besi Gubenur Jenderal VOC, Herman Willem Daendels (1808-1811). Meskipun hanya tiga tahun, masa pemerintahan Daendels telah mengguratkan luka dalam di tanah Nusantara. Ia menurunkan status para raja lokal, dari sekutu yang sejajar dengan pemerintah VOC menjadi pegawai biasa.26 Tentu saja perlakukan ini tidak diterima oleh para penguasa lokal, dan Daendels pun mengambil tindakan tanpa ampun. Setiap penguasa lokal yang membangkang diserang dan dihancurkan kerajaannya, seperti dalam kasus Kesultanan Banten, atau diturunkan dari tahta dan diganti oleh raja yang ditunjuknya sendiri, seperti dalam penggantian Sultan Hamengku Buwono I oleh Hamengku Buwono II di Yogyakrta.
Sesudah selesai belajar di pesantren Tegalsari, Bagus Burham pergi mengembara dalam usaha memperluas ilmunya. Disamping untuk memperluas ilmu, Bagus Burham juga mencoba mendiskusikan kepandaiannya di berbagai tempat dengan berbagai guru yang kenamaan. Dalam pengembaraan untuk memperluas ilmunya, Bagus Burham berjalan sampai menyeberang ke pulau Bali.
Selain itu, sepulang dari berguru di pesantren Tegalsari, Bagus Burham mulai diperkenalkan dan memperdalam berbagai ilmu di kalangan keluarga istana Surkarta. Salah satu di antaranya adalah Panembahan Buminto, salah seorang adik dari Paku Buwono IV (w.1820), yang banyak memberikan pelajaran kepada Burham. Dari tokoh ini Burham mendapat warisan pelbagai ilmu spiritual yang ada di kalangan keluarga kerajaan. Sebuah warisan tradisi yang sempat berkembang di tanah Jawa. Dari kakeknya, ia mempelajari ilmu sastra dan olah bahasa, bahasa Jawa kuno dan Kawi, serta ilmu sejarah.29 Dalam manuskrip yang ditulis oleh Padmawarsito, diterangkan bahwa Pangeran Wijil dari Kadilangu juga menjadi gurunya.
Jadi secara tidak langsung, pembentukan diri Ronggowarsito yaitu: Pertama, pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Kasan Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua, Pembentukan jiwa seni oleh kakeknya sendiri, Raden Tumenggung Sastronagoro, seorang pujangga berpengetahuan luas. Di samping belajar agama Islam di pesantren, pelajar yang amat digemari dan ditekuni Ronggowarsito adalah kepustakaan Jawa. Dengan bimbingan Yasadipura II dan mempelajari sendiri, Ronggowarsito menekuni kesusastraan Jawa dan ilmu kejawen.31Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu.
Ketiga, Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat, dan siap menghadapi segala macam percobaan dan dinamika kehidupan. Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggembleng pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih Ragajambi tanah Bali. Di samping gemblengan orang-orang tersebut di atas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Pada hari senin Pahing tanggal 28 Oktober 1819, dengan sengkalan atau candrasengkala yang berbunyi, amuji suci panditaning ratu, Bagus Burham ditetapkan secara resmi sebagai abdi dalem (carik atau juru tulis) Kadipaten Anom Keraton Kasunanan Surakarta dengan gelar nama Mas Ronggo Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Ronggo Panjanganom. Ada yang menyebutnya bahwa nama gelar dari raja itu Pujanganom yang berarti penulis muda, seperti ditulis oleh G. Hupoyi dalam buku The Boyhood of Ranggawarsita. Pengangkatan Burham sebagai pegawai juru tulis itu pada saat ia berusia sekitar 20 tahun. Bersamaan dengan itu, Mas Ronggo Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak atau Ayu Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata pada 23 bulan besar tahun Jimawal 1749 atau 9 November 1821. Saat itu usia Bagus Burham 20 tahun.35 Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanujoyo ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudian Bagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822.37 Pada zaman itu suasana politik mulai meninggi. Kebijakan-kebijakan Belanda terasa mengila.
Kesengsaraan rakyat semakin menjadi. Satu tahun setelah Burham menduduki jabatan barunya, terjadi pergantian raja. Paku Buwono V wafat dan diganti oleh Paku Buwono VI yang nama aslinya Supardan, dan bergelar Sinuhun Mbangun Tapa, karena sejak muda ia suka pergi berkelana ke hutan dan gunung untuk melakukan tapa-brata.
Puncak ketegangan dan kemelut politik di tanah Jawa adalah meletusnya Geger Diponegoro (1825-1830). Pada waktu itu, para bangsawan dari kerajaan Yogyakarta di bawah Pangeran Diponegoro, mengadakan perlawanan menentang pemerintah Belanda, dengan berbagai kebijakkanya menyengsaraakan rakyat. Gerakan ini mendapat simpati dan bantuan dari kalangan bangsawan, ulama dan rakyat.38 Pertempuran antara pasukan Belanda dan Diponegoro tidak hanya terjadi di Yogyarta, tetapi sampai ke Surakarta, karena secara personal anggota kedua kerajaan ini masih sekeluarga.
Adapun jenjang-jenjang kepangkatan (jabatan) yang pernah dilalui Ronggowarsito adalah: carik (juru tulis) Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Ronggo Pajanganom (1819), lalu dinaikan menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka pada tahun 1749 (tahun Jawa) dengan sengkalan yang berbunyi Dadi Tinatu Pandhitaning Ratu atau 1822 Masehi. Kemudian menggantikan jabatan ayahnya (Ronggowarsito II) sebagai Kliwon carik dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito pada tahun 1830. Sesudah kakeknya Yasadipura II wafat, Ronggowarsito dinobatkan sebagai pujangga istana Surakata (1845) oleh Paku Buwono VII dan begelar Kliwon Kadipaten Anom. Namun jenjang kepangkatannya tetap sebagai Kliwon carki, suatu jabatan istana setingkat di bawah pangkat Tumenggung.
Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orangorang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ronggowarsito membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi41. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.
Di bawah pemerintahan Paku Buwono IX ini kehidupan Ronggowarsito, terutama karir politiknya, mengalami hambatan. Banyak cacatan yang mengatakan bahwa hubungannya dengan raja yang bertahta kurang serasi. Ada kejadian yang tak mungkin terhapus dalam ingatan Ronggowarsito, peristiwa ketika wajahnya dilempar kotak kecil oleh Baginda raja Paku Buwono IX.
Karya-karyanya Ronggowarsito
Ronggowarsito terbilang penulis produktif. Karya-karyanya sudah ada yang di cetak bahkan dicetak ulang lagi, ada pula yang masih berupa manuskripyang berterbangan berbagai tempat. Karya-karya Ronggowarsito, sudah ada yang diterbitkan, sehingga mudah disebarkan. Di antara karya-karyanya ada juga yang tidak diberi judul. Oleh Karen itu para penerbit memberi judul yang sesuai dengan isi yang terkandumg di dalamnya. Misalnya Wirid Hidayat Jati, ada yang memberi judul Serat Wirid ada pula yang member judul Hidayat Jati. Karena dia adalah seorang pujangga istana, maka karya-karyanya banyak dipersembahkan kepada raja. Ronggowarsito adalah pujangga yang banyak dikagumi para pencinta kepustakaan Jawa, maka banyak pula yang menyebar di tenggah-tenggah masyarakat. Dalam perpustakaan musium Sanabudaya Yogyakarta; banyak terdapat hasil karya Ronggowarsito.
Menurut Karkono Parta Kusuma, jumlah karya-karya Ronggowarsito tidak kurang lebih 50 karangan, antara lain: Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa, Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr, Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr, Sapta dharma, Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Jayengbaya, Serat Kalatidha, Serat Panitisastra, Serat Pandji Jayeng Tilam, Serat Paramasastra, Serat Paramayoga, Serat Pawarsakan, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Wedaraga, Serat Witaradya, Sri Kresna Barata, Wirid Hidayat Jati, Wirid Ma'lumat Jati, Serat Sabda Jati,48dan banyak lagi karya Ronggowarsito yang lain.
1. Karya yang Berkenaan dengan Spiritual (Mistik)
Di antara sekian banyak karya-karya Ronggowarsito, ada beberapa karyanya yang berkenaan dengan spiritual atau mistrik dan bahkan karya ini adalah inti dari ajaran ketuhanan Ronggowarsito yaitu:a. Suluk Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa
Serat; Suluk Jiwa atau Suluk Saloka Jiwa adalah karya Ronggowarsito yang telah diterbitkan oleh percetakan Albert Rusche, Surakarta 1915. Sebuah risalah kecil yang memuat cerita simbolik yang meriwayatkan Tuhan Wisnu menyerupakan diri sebagai seorang tokoh bernama Sulaiman yang berangkat ke Turki untuk memperlajari Tasawuf. Dalam isi suluk ini menceritakan pembicaraan ajaran ma’rifat para wali tentang wujud dan tentang awal penciptaan, serta tiga jenis istana.
Adapun ajaran yang dimusyawarahkan dalam cerita tersebut, ternyata merupakan cuplikan ajaran dari Serat Wirid Hidayat Jati. Dalam Sulok Saloka Jiwa ajaran ketuhanan dalam Wirid Hiayat Jati yang abstrak disajikan dengan cara lebih konkret. Yaitu dalam bentuk soal-jawab dengan sekar macapat. Jadi pokok-pokok ajaran Wirid Hidayat Jati yang dirumuskan dalam sekar macapat, diuraikan kembali dengan bentuk tanya jawab para ahli-ahli makrifat.
b. Serat Pamoring Kawulo Gusti
Isinya berbicara mengenai zikir dan larut dalam kontemplasi dan perenungan kepada Allah SWT. dengan hati penuh rindu. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di alam terpancar dari kehendak Allah SWT. Mereka yang mendapat anugerah rahmat dan hidaya-Nya, maka kelak akan bersatu denganNya, dalam arti bersama-Nya dan tentu yang demikian halnya memperoleh citacitanya dan selalu bersama dalam menjalankan tugas.
Dalam Serat Pamong Kawulo Gusti juga diutarakan pokok ajaran Wirid Hidayat Jati, bahwa manusia tersusun atas tujuh martabat manusia: jasad (badan), budi (akal), nafsu (jiwa), ruh (suksma), sir (rahsa), nur, dan hayu (kehidupan).
c. Suluk Lukma Lelana
Sebuah risalah ini memuat motivasi untuk membentuk budi perketi luhur. Terdapat pula uraian mengenai pengorbanan Imam Ali Zain Al-Abidin Ibnu Husain r.a.54 Suluk Sukma Lelana ini isinya menceritakan perjalanan seorang santri bernama Sukma Lelana. Tujuanya berguru ilmu sangkan-paran (ketuhanan) kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di Arga (bukit) Sinai. Cerita ini melambangkan perjalanan jiwa manusia dalam menuju makrifat kepada Tuhan.
d. Serat Paramayoga
Serat Paramayoga adalah karya Ronggowarsito yang berbentuk jarwo atau prosa, berhuruf dan berbahasa Jawa Krama. Di samping itu Ronggowarsito menyusun Serat Jitapsara, isinya sama dengan Paramayoga.
Serat ini juga bisa dikatan sebuah risalah historis yang berupaya menyesuaikan antara legenda Tuhan-Tuhan dalam Hinduisme dengan nabi-nabi dalam Islam. Risalah ini juga menyinggung martabat wujud dengan menetapkan adanya dualisme antara wujud Tuhan pencipta dengan makhluk.57 Paham ini pun tidak lepas dari ajaran Ibnu Arabi yang menurut Al-‘Affi menganut paham wujud tunggal sehingga apapun yang terjadi di dunia hanyalah manifestasi Tuhan.
Di dalam Paramayoga adanya tiga alam. Diterangkan bahwa Bathara Guru menjadi raja triloka atau tiga alam. Yakni alam tengah (dunia), alam bawah dan alam atas. Alam atas dan alam bawah dinamakan alam adam-makdum, yaitu alam kajiman tempat makhluk rohani.
e. Serat Wirid Hidayat Jati atau Serat Hidayat Jati
Risalah ini sebagaimana pengakuan pengarangnya merupakan sari pati ilmu makrifat yang diajarkan delapan wali di Jawa. Keistimewaan lainnya, Wirid Hidayat Jati ini disusun dalam bentuk jarwa atau prosa. Isi kandungannya diusahakan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap, padat dan bulat.59Serat Wirid Hidayat Jati yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, yang isinya meliputi:
- Upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu mistik dan uraian bab guru dan murid.
- Ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, sifat, asma dan af'al Tuhan.
- Uraian tentang cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan.
- Jalan untuk mencapai penghayatan ghaib dan kesatuan denganTuhan.
- Tingkat-tingkat penghayatan ghaib beserta godaan-godaan yang terdapat dalam tingkatan-tingkatan tersebut.
- Uraian tentang penciptaan manusia dan hakikat manusia.
- Aspek budi luhur beserta pelbagai ajaran yang berkaitan dengan mistik.
2. Sekilas tentang Penulisan Serat Wirid Hidayat Jati
Kata hidayat berasal dari bahasa Arab, berarti petunjuk. Sedangkan kata jati dalam bahasa Jawa berarti temen atau yektos, artinya benar atau nyata. Dalam hal ini H.M Rasyidi menerangkan: “Buku tersebut berjudul Hidayat Jati, yang berarti petunjuk yang sebenarnya” Sedangkan kata wirid berasal dari bahasa Arab, berarti datang atau tiba.
Kata wirid dalam tasawuf dipergunakan untuk menunjukkan amal-amal yang harus dilalukan secara terus menerus, pada waktu yang telah ditentukan oleh seorang guru tarekat. Amal yang biasa dijadikan wiridan, seperti; salat, puasa, membaca ayat-ayat suci, terutama dzikir dan sebagainya.62 Dalam kepustaan Jawa, kata wirid mendapat arti yang khusus, sesuai dengan tanggapan dan pemahaman para penulis Jawa. Dalam kepustakaan Jawa wirid adalah ajaran ilmu makrifat atau mistik, pada umumnya dituangkan dalam bentuk prosa. Sedangkan ajaran ilmu makrifat dalam serat (puisi), dinamakan suluk.
Jika dilihat dari dalam catatan pembukaan Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito menulisnya pada masa Keraton Kasunanan Surakrta di bawah kekuasaan Paku Buwono VII,64 yaitu pada 1779 tahun Jawa atau 1850 masehi. Namun, pada masa kekuasaan Paku Buwono IX karier politiknya mulai menurun dan bahkan dikatakan meredup. Terjadi ketegangan antara Ronggowarsito dengan Paku Buwono IX. Hubungan yang kurang harmonis itu disebabkan karena Paku Buwono IX merasa bahwa gara-gara ulah ayah Ronggowarasito sehingga ayahanda Paku Bowono IX yaitu Paku Bowono VI dibuang ke Ambon inilah yang membuat Paku Buwono IX balas dengan kepada Ronggowarsito.
Banyak peristiwa-peristiwa yang menunjukkan ketegangan keduanya. Yang di awali pencopotannya sebagai dewan redaktur majalah Bramartani sebagai redaktur. Kemudian pada suatu saat, Ronggowarsito dipanggil untuk menghadap Paku Buwono IX. Ia disuruh meramal kelak anak yang dikandung istrinya itu prempuan atau laki-laki. Namun, Paku Buwono IX merasa kecewa karena ramalan Ronggowarsito dianggap meleset, pada hal kenyataannya ramalan tersebut tidak meleset tapi Paku Buwono IX salah menafsirkan perkataan Ronggowarsio.
Ronggowarsito menyadari bahwa bagaiman pun juga raja merasa kecewa terhadapnya. Namun demikian Ronggowarsito masih bersemangat untuk memulihkan hubungannya dengan raja. Usaha yang dilakukannya untuk menyenangkan raja dengan membuat karya sastra yang dikhususkan untuk Paku Buwono IX yang kemudian karya tersbut diberi judul Serat Cemporet. Akan tetapi usaha Ronggo untuk memperbaiki hubungannya dengan Sinuhun tidak membuahkan hasil. Ditambah lagi kejadian yang seumur hidup Ronggo tidak dapat dilupukannya dan sebagai cambuk bagi Ronggo untuk semakin berani, hilang rasa khawatir dan yakin bahwa Sang Khaliq selalu menyertainnya adalah ketika wajah Ronggowarsito dilempar kotak kecil oleh Paku Buwono IX dihadapan para punggawa raja.
Ronggowarsito sadar, dirinya memang dalam posisi terjepit. Di mata raja ia tidak mendapatkan tempat, sedangkan Belanda selalu mengawasi gerakgeriknya. Jika sudah seperti itu seakan ia tinggal menghitung hari saja untuk menantikan takdir. Tetapi, dirinya juga sudah siap untuk menjawab takdir.
Dalam posisi itu banyak sahabat dan murid-muridnya yang mulai menjauh. Mereka takut dituduh bersekongkol dengan Ronggowarsito, dan akhirnya terkucil. Untung saja ada sahabat dan bekas muridnya yang setia, ia adalah raja Keraton Kadipaten Pura Mangkunegara yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV.
Dalam situasi seperti itu bagi Ronggowarsito ternyata membuahkan hikmah. Ia dapat mengeksplorasi diri untuk membuahkan karya-karya religius yang bersifat sufisme, tasawuf, dan mistik. Sekaligus lewat ekspresi karyanya itu dapat menjadi peringatan dan respon zaman yang menurutnya sudah gila. Para petinggi negara dinilai tidak lagi konsisten memegang barekade moralitas. Aturan-aturan agama langit dan adab Jawa hanya dipakai lipstik semata.
Tingkat kesadarannya yang tinggi membuat Ronggowarsito berhasil menyusun pemahamannya tentang ketuhanan dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Bagi Ronggo, karyanya ini sebenarnya sekadar lanjutan dari rangkaian panjang mengenai mistik Islam yang beradonan dengan paham-paham Jawa__seperti dalam tulisan-tulisan sebelumnya yang telah di singung di atas. Antara lain Suluk Suksma Lelana yang mengungkapkan mengenai pokok-pokok ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Tetapi juga ia menekankan jalinan empat pokok dalam menjalankan agama (Islam), yaitu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Lalu serat Pamoring Kawula Gusti yang mengajarkan adanya pencapaian tingkat kesatun manusia dengan Tuhan. Keadaan itu dikalimatkan dengan istilah Satu Mungging Rimbagan dan Curiga Manjing Warangka yang artinya antara manusia dengan Tuhan tidak dapat dipisahkan, menjadi dwitunggal. Kemudian karyakarya pendahuluan lainnya yang berisi tentang ajaran ketuhanan dan mistik Islam, seperti dalam Suluk Saloka Jiwa, Serat Jitapsara, dan Serat Paramayoga. Dan kesemua karya mistik di atas sebenarnya menjelaskan atau menjabarkan isi dari Serat Wirid Hidayat Jati yang menjadi babon nya Mistik Islam Kejawen.
Tentang penulisan Serat Wirid Hidayat Jati agaknya Ronggowarsito meninggalkan teka-teki. Ada yang berpendapat bahwa karya ini dituntaskan menjelang masa-masa akhir kehidupannya. Boleh jadi pendapat ini didukung dengan banyaknya karya-karya Ronggo yag didominasi dengan fokus tema-tema spiritual dan mistis_yang ditulisnya setelah ia berhenti atau dicopot dari pekerjannya di dunia jurnalistik, majalah Bramartani.
Referensi
- Any, Anjar. 1980. "Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawrsita dan Sabdo Palon". Semarang: Aneka Ilmu.
- Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. "Filsafat Jawa". Jakarta: Pustaka Pelajar.
- Poerbatjaraka. 1954. "Kepustakan Djawi". Jakarta: Djambatan.
- Norma, Ahmad. 1998. "Zaman Edan Ronggowarsito". Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya
- Simuh, 1988. "Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito". Jakarta: UI-Press.
- Sujamto. 1992. "Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa". Semarang: Dahara Prize.
- Yasasusastra, Syahban. 1966. "Ronggowarsito Menjawab Takdir" Sebuah Biografi Spiritual. Yogyakarta: Beranda Publishing