Kemudian RAA Martanagara menggubah Wawacan Batara Rama (disingkat WBR) dalam bahasa Sunda yang bersumber pada salah satu Serat Rama yang berbahasa Jawa tersebut. RAA Martanagara (1845 – 1926), seorang bangsawan ternama, keturunan Sumedang yang menjadi bupati Bandung (1893 – 1918), beliau seorang terpelajar pada masanya, mampu berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa (Martanagara, 1921; bdk Lubis, 1990: 52 – 54). Awal penulisan WBR diperkirakan ketika pengarang diangkat menjadi bupati Bandung, yang pengangkatannya pada tanggal 29 Juni tahun 1893, adapun WBR selesai ditulis pada tanggal 4 Oktober tahun 1897.
WBR tergolong wawacan mite, yang dieksplisitkan pada judul dengan disebutnya kata batara ‘dewa’, Sri Rama sebagai tokoh utama dan tokoh sentral adalah titisan Wisnu yang membawa dirinya ke dalam pengembaraan yang panjang dalam rangka menghancurkan kezaliman dan kemurkaan yang ditokohi oleh Raja Dasamuka. Kisah yang berasal dari
Pendekatan Intertekstualitas
Teks WBR sebagai karya sastra dengan sarana primer bahasa, merupakan
sistem tanda. “Konsep tanda menurut Peirce sebagai berikut, tanda merujuk pada
sesuatu atau mewakili sesuatu, tanda mempunyai sifat representatif, yaitu
mewakili sesuatu. Hasil penafsiran terhadap suatu tanda oleh si penafsir,
menghasilkan tanda baru bagi penafsir yakni sifat interpretatif. Jadi sebuah
tanda selain memiliki sifat representatif dan interpretatif. Hasil representasi
disebut denotatum dan hasil interpretasi disebut interpretant. Serat Rama dijadikan sumber penulisan
WBR oleh RAA Martanegara adalah sebuah tanda yang terletak di antara denotatum
dan interpretant. Kode baru hasil dekoding RAA Martanegara
dituliskan kembali menjadi WBR melalui proses enkoding.
Dilihat dari seputar kehidupan karya sastra tersebut, pembacalah yang
memiliki peranan penting dalam menerima, menginterpretasi, merekonstruksi,
memberikan makna terhadap sebuah karya. “Pendekatan-pendekatan yang
berorientasi terhadap peranan pembaca menggunakan landasan berpikir Reader
Theory/Teori Pembaca” (Eagleton, 1985: 73).
Pernyataan-pernyataan berlandaskan pemikiran Reader Theory di
antaranya sebagai berikut: Phenomenologist aestheticiant Ingarden mengemukakan bahwa ... the text as a potential structure which is
‘concretisized’ by the reader. ‘teks merupakan struktur yang potensial dikonkretisasi oleh pembaca’
(Eagleton, 1985: 73). Iser (dalam Eagleton, 1985: 76) menjelaskan tentang
estetika bahwa ...the literary work
has two poles, which we might call the artistis and the aesthetic ... the
artistic refers to the text created by the author, and the aesthetic to the
realization accomplished by the reader. ‘karya sastra memiliki dua sisi,
yang dinamakan artistik dan estetik ... artistik dimiliki oleh teks yang
diciptakan oleh pengarang, dan estetik yakni kenyataan yang disempurnakan
pembaca.’ Arti tergantung pada situasi
kesejarahan penafsir (Selden, 1993: 117).
Menurut Karl
Mannheim, penafsir atau penulis berada dalam Kulturgebundenheit (keterikatan
budaya) dan Zeitgeist (semangat zaman) (Lubis b, 2000: 10). Menurut Iser
teks bukanlah penyajian sempurna namun terdiri dari bagian-bagian kosong.
Pembaca mengisi bagian-bagian kosong yang mengandung makna ambigu dalam teks,
ia mengisinya secara bebas sesuai dengan pengalamannya. Dilihat dari segi
pembaca, pemaknaan sebuah karya sastra tidak stabil secara essensial (Eagleton,
1985: 76-81).” Derrida seorang penganut sebuah aliran filsafat menampik adanya
kestabilan makna. Makna senantiasa berada dalam proses, dengan demikian tidak
ada makna baku
dan permanen (Sim, 1999: V). Salah satu pendekatan karya sastra dengan
berlandaskan Reader Theory yakni pendekatan intertekstualitas.
Kristeva
mengemukakan hubungan interteks sebagai berikut: every text take shape as a
mosaic of citations, every text is the absorption and transformation of other
text. ‘setiap teks mengambil bentuk seperti mosaik cuplikan-cuplikan, setiap
teks merupakan serapan dan transformasi dari teks-teks lain’ (Culler, 1975:
139). Pemikiran Kristeva yang mendukung munculnya pemikiran intertekstualitas
yakni, bahwa bahasa bisa direduksi ke dimensi-dimensi yang bisa diterima oleh
kesadaran. Kesadaran bukanlah subjek yang statis namun berada dalam bentuk
imajiner (Lechte, 1994 terjemahan 2001: 221). Foucoult (1971 terjemahan 2003:
30) mengemukakan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak memiliki narasi-narasi
besar (major naratives) yang kemudian dikatakan ulang dan beraneka
ragam, formula-formula teks-teks biasa, teks-teks ritual yang diucapkan dalam
keadaan tertentu; hal-hal yang pernah dikatakan kemudian diperbincangkan
kembali karena masyarakat menduga adanya sesuatu rahasia dan “kemegahan”
tersembunyi di dalam yang dikatakan tersebut. Kenyataan tersebut memunculkan
ide pemahaman terhadap karya sastra.
Menurut Culler: A work can only be read in connection with or against
other texts ...’Sebuah karya hanya dapat dipahami
dalam hubungan dengan teks-teks lain’ (Culler, 1975: 139; bdk
Riffatere, 1978; bdk Teeuw, 1984; bdk Pradotokusomo, 1991: 162). Teks-teks sastra
yang menjadi dasar penciptaan sebuah-karya-kemudian disebut hypogram ‘hipogram’
(Riffatere, 1978: 23). Mitos pengukuhan disebut myth of freedom. Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu
yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesusastraan ... Adanya unsur hipogram dalam suatu karya,
mungkin disadari mungkin juga tidak disadari oleh pengarang (Nugiyantoro, 1998:
52).
Kisah Rama sebagai mite
ceriteranya tidak boleh menyimpangi dari konvensi masyarakat. Dalam segi
ceritera, WBR sama dengan kisah sumbernya, namun kemudian pengarang mengisi
celah-celah yang kosong dengan konsep-konsep teosofi tasawuf.
Tanda-Tanda Keislaman dalam WBR dan Kehidupan Keagamaan Seputar Kepengarangan
Pengarang WBR mengkonkretisasi kisah
Rama, dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ke-Islam-an tasawuf. Unsur-unsur serapan tersebut sangat
sulit ditelusuri karena halusnya penyisipan. Namun untuk keyakinan ini, ada
kata-kata kunci pada bagian awal dan
bagian akhir. Kata kunci di bagian awal adalah penggunaan lambang Islam
yang sangat significant yakni
adanya kata masjid dalam lukisan keindahan Istana Ayodya, istana Raja
Dasarata ayah tokoh Sri Rama. Di bagian akhir pengarang menyatakan secara
eksplisit dalam 10 pada bahwa ada konsep-konsep
yang tidak diambil dari sumbernya yang dilandasi Hindu Budha namun dari
pemahaman Tasawuf yakni Ilmu Dakik, seperti di antaranya terdapat pada bacaan
berikut:
...Sang Sri Rama
muruk Ilmu Dakik
patekadan jalma
jaman Buda
ti hirup tepi ka
maot
kasebut ilmu
lembut
narawicu bangsa nu
suci
nyembah ka
pangeranna
Yang Batara Guru
sarupa agama Islam
nyembahna teh ka
Gusti Robul Alamin
ari buda ka Dewa
Tatapina teu
disalin
tina tembang anu
basa Jawa
lain tina sabab
hese
ngan katimbang teu
perlu
mungguh jalma
jaman kiwari
nu geus ganti
agama
nyembah ka Yang
Agung
Gusti Allah Maha
Mulya
jeung kawatir
dipikir ku nu teu harti
mangkena salah
Ditimbangkeun
reujeung Ilmu Dakik
patekadan nya iman
ka Allah
lamun ku jalma
bodo
jadi matak
nalapung
eta kitu pang teu
disalin...
|
Sang Sri Rama mengajarkan Ilmu Dakik
(Adapun) orang-orang Buda
ketika hidup sampai mati
Ilmu Kebatinan
para biksu yaitu orang suci
menyembah tuhannya
Hyang Batara Guru.
Dalam Agama Islam
menyembah Gusti
Robul Alamin.
Orang Buda (menyembah) kepada Dewa
(Hal itu) tidak disalin
dari tembang yang berbahasa Jawa.
Bukan karena sulit
namun merasa tak perlu.
Adapun orang-orang sekarang
yang sudah berganti agama,
menyembah kepada
Yang Agung
Gusti Allah Maha
Mulya
dan ada kekhawatiran
yang akhirnya akan salah pengertian.
Dimasukkan Ilmu Dakik
keyakinan beriman kepada Allah.
Apabila (ilmu Agama Buda) diterima orang awam
akan menjadikannya menyimpang
begitulah alasannya tidak disalin
|
RAA Martanagara |
Adapun yang menjadi hoofd penghulu Bandung semasa ia menjadi bupati adalah Raden Haji Hasan Mustapa seorang sufi besar yang sangat banyak karyanya, tentang teosofi tasawuf. Hubungan antara RAA Martanagara dengan Haji Hasan Mustapa terbina baik” (Lubis, 2001: 74-77). Salah satu aliran tasawuf adalah “tarekat naksabandiyah, pada tahun 1886 hampir seluruh bangsawan di Priangan mengikuti tarekat tersebut” (Bruinessen, 1992: 23). Konsep tasawuf yang diselipkan di dalam WBR memperjelas arah yang diungkapkan oleh tema tentang ajal mulia. Istilah yang digunakan di dalam teks paling banyak yakni pati mulya, istilah lainnya pati patitis ‘ajal tenang ?’, pati luhung ‘ajal mulia’, pati sinelir ‘ajal terpilih’, dilawankan dengan pati buta murka dan pati dursila. Pengertian pati mulya ini berasal dari hipogram utama Serat Rama di dalam pupuh VII Maskumambang nomor : 20 sebagai berikut:
Ing tegese
Yayi ing urip puniku
Yen ora
amriha
salamet
sajroning pati
yeku seta
nunggang gajah.
|
Jelasnya
Adinda, hidup itu
Apabila tidak
berharap
Selamat dalam
ajal,
Sia-sia (?)
|
Ajal mulia (salamet
sajroning pati), di dalam Serat
Rama sebagai hipogram utama sumber penggubahan WBR, tidak diintikan menjadi
tema seperti di dalam WBR.
Tasawuf dan Teosofi Tasawuf.
Peristilahan seputar tasawuf
bermacam-macam, tumpang tindih antara pemahaman Ketuhanan dan
peribadatan. Fathurahman membedakan tasawuf falsafi dan tasawuf amali
(1999: 24). Istilah tasawuf falsafi dipakai pula dengan istilah teosofi
tasawuf dan tasawuf amali istilah lainnya adalah tarikat. Teosofi Tasawuf ”ajaran dan
pengetahuan kebatinan (semacam filsafat dan tasawuf), yang sebagian besar
berdasar pada ajaran-ajaran agama Buddha dan Hindu (Poerwadarminta, 1985:
1055). Istilah yang dipilih dalam penelitian ini adalah teosofi tasawuf, dengan
pertimbangan pembahasan-pembahasan mengarah kepada Ke- Tuhan –an. Namun istilah
ini digunakan dengan melepaskan acuan ke
ajaran agama Budha dan Hindu, yang dimaksud teosofi tasawuf dalam
pembahasan ini, murni ajaran Islam. Adapun tarikah atau tarikat adalah
amalan/peribadatan yang dilakukan oleh salik (pencari jalan) menuju
Allah.
Karya-karya naskah yang dianggap berisi tasawuf memiliki ciri-ciri pokok
tasawuf. “Karya-karya tasawuf walau berbeda-beda namun memiliki kesamaan aspek
pokok ialah ajaran kebajikan rohani. Kebajikan rohani al ihsan, menurut
Nabi sebagai berikut, kamu harus mencintai Tuhan seakan-akan kamu melihatnya
dan jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu. Persoalan paling utama bagi manusia yakni ma’rifah atau gnosis. Sesuai dengan
intensitas dan lamanya, terdapat keadaan-keadaan yang disebut ‘cahaya yang
redup (lawa’ih) dan ‘cahaya yang menyilaukan (lawami), dan “penyinaran”
(tajalli). Kebajikan lain dari semua adalah diri merasakan miskin (fakir)
keikhlasan (al-ikhlas) atau
kejujuran (as-sidq). Mengingat Tuhan dengan (adz-dzikr)” (Burckhardt,
1984: 127 – 134).
Dzikir menurut Syekh Yusuf dalam Al- Barakāt al – Sailaniyyah
(Berkat dari Sailan) bermacam-macam, zikir Lā Ilāha Illā Allāh zikir orang
awam, Allah – Allah, zikir hati atau zikir al-khawās, Hu – Hu zikir
rahasia atau zikir akhas al-khawās (manusia paling
istimewa)(Dalam Lubis, 1996: 30). Allah memperlihatkan diri-Nya dengan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan tempat sehingga tempat itu menjadi arsy-Nya.
Maka engkau menjadi orang mukmin yang benar, seperti yang dimaksud dalam hadis.
Hadis mengatakan bahwa: Hati seorang mukmin sebahagian dari arsy Allah
(Dalam Lubis, 1996: 31). Di dalam Tahsīl al-Ināyah wa al-Hidāyah (Memperoleh
Pertolongan dan Petunjuk) disebutkan bahwa, Allah memuliakan mereka yang
memperbanyak zikir dengan bermacam-macam ilmu dan rahasia-Nya. Allah berfirman:
Tanyakan kepada ahli zikir jika kamu tidak tahu (Yusuf, dalam Lubis 1996: 44).
Pengertian manusia yang selalu menghadirkan Allah dengan zikir hati
adalah mukmin yang benar, dan hati seorang mukmin sebahagian dari arsy
Allah memiliki kesejajaran makna dengan manunggaling kaula-Gusti.” Manunggaling
kaula-Gusti memiliki pengertian, abdi/manusia – yang selalu menghubungkan
batinnya dengan Allah.
”Allah memiliki sifat yang berlawanan, Allah ”al-Dzahir al-Bathin” Dia
tersembunyi (Batin) di dalam kenyataan-Nya, Dia nampak (Dzahir) di dalam
ketersembunyian-Nya. Allah ”al-Qarib al-Baid” Dia Nyata di dalam
Ketidaknyataan-Nya, Dia sangat Dekat di dalam Kejauhan-Nya” (Kalabadzi, 1995:
15). Manusia diberi rahmat-Nya untuk bisa merasakan Kehadiran-Nya, namun Allah Dzat
Laisa Kamistlihi (Tidak bisa diumpamakan oleh apa pun) (Naskah Wawacan
Buwana Wisesa dan Wawacan Jaka Ula
jaka Uli). Tujuan manusia
selalu menghadirkan Allah di dalam batinnya, untuk mencapai insan
kamil. Manusia dibebani untuk menuju insan kamil, peringkat
selanjutnya kamil mukamil (manusia mencapai tarap kesempurnaan pada
martabat manusia) (di dalam Wawacan Jaka Ula jaka Uli al-khawās
- (istimewa) peringkat selanjutnya khawāsul khawās (paling istimewa
(dalam Wawacan
Jaka Ula jaka Uli dan istilah
dari Syekh Yusuf). Di dalam WBR terdapat istilah Elmu Kasampurnaan, hal ini kiranya ada hubungan pemaknaan
dengan pengertian insan kamil - kamil
mukamil atau al-khawās - khawāsul - khawās. Di dalam WBR Elmu
Kasampurnaan disebut juga Elmu Rahasiah atau Elmu Agal Repit.
Pembahasan
A Manunggaling kaula –
Gusti dalam Teks WBR
Pada ini memperkenalkan nama Dasarata, Raja Ayodya yang berbudi luhur.
I Kasampurnanning pati patitis, Dalam menuju kesempurnaan ajal,
tatas awas tékad Anu Nyata, penglihatannya selalu tertuju kepada
Yang Maha Ada,
pernah Kamulyan Yang Manon, di tempat (Badan Rohani) Kemuliaan
Yang Maha Melihat,
ngadalitkeun cipta jeung ati, menyatukan pikiran dan hati,
nunggalkeun salirana, menunggalkan diri.
jeung
Sanghiyang Guru, dengan
Sanghiyang Guru,
desek rapet rasa Tunggal, me-nunggalkan rasa,
dalit rapih tunggalna kawula-Gusti, menyatu dan tunggal antara
abdi-dan Tuhan.
dumawa ka Kamulyan. membagi, mengalirkan (rasa
menuju)
ke Kemuliaan,
II Henteu pegat
mumuja semédi, Tak putus-putusnya (ia)memuja
dan
bertafakur
ngaasorkeun
tingkah salirana, merendahkan diri (di hadapan Tuhan)
nanggalkeun
ciptana baé, mengatur cipta batinnya
tansah meleng jro
kalbu, terus-menerus hatinya menghadap
mamrih nyata Dewa nu Asih, kepada yang Maha Ada, Dewa Pengasih.
taya rasa
rumasa
(Beliau) tak mengakui dirinya
sampurna panemu (memiliki) pengetahuan
sempurna
Dasarata mengadakan selamatan untuk
memperoleh putra yang mulia, tampan, dan dititisi Batara Wisnu. Dalam
penyelenggaraan selamatan ini, resi mengajak raja beserta permaisuri untuk
mengikuti selamatan secara khidmat seperti berikut:
III... pihaturna wiku: kata wiku:
Mangga urang limaan sami Marilah kita bersama-sama
manteng nyembah mumuja khusu menyembah
sing suhud tapakur bertafakur.
nyatakeun di jero
cipta
Nyatakan di dalam batin
badan urang leungitkeun
sing tanpa jinis raga kita dihilangkan
ngan Déwa anu nyata hanya Dewa yang Ada
IV Junggerengna Sangyang Utipati Sangyang Utipati Yang
Maha Ada
henteu pisah jeung rasa
rumasa tak berpisah dengan rasa
Bacaan ini senada dengan ungkapan Dewa
Rama ketika di hutan dalam melindungi para pertapa untuk melaksanakan titah
ayahnya Prabu Dasarata. Sri Rama bercampur gaul dengan kehidupan para pandita
yang membuatnya lupa terhadap kehidupan negara. Ungkapan Dewa Rama tersebut
seperti berikut:
V Tapi
geuning ari mungguh para resi Namun terhadap para resi
setan téh bet taak setan-setan
itu jera
mun tembong mah tayoh ngacir apabila menampakkan diri
langsung lari
sabab dibawa perkosa (338) sebab
dilayani dengan
keperkasaan (jiwa)
Badan badag dicipta pan aleungit
Badan kasar dicipta hilang
ngan Alus Nu Aya
hanya Yang Gaib, Yang Maha Ada
ciptana geus jadi
hiji batinnya menyatukan diri
tunggal jeung Hing
Jagatnata (339) menunggal dengan
Penguasa Jagat (Jagatnata)
Lamun jalma enggeus kitu nya pamilih Apabila manusia sudah
memilih jalan itu
geus moal karasa
tak akan ada lagi
aral ria peurih nyeri keluh-kesah tekebur sakit hati
ngan wungkul nimat nu aya (340) hanya kenikmatan yang
terasa
Deskripsi berikut, ketika Sri
Rama menempuh puncak gunung Raksamuka yang sangat sulit, namun atas pertolongan
Dewagung, ingat-ingat ia sudah sampai di puncak. Setelah tiba di puncak lalu ia
bersemedi.
...
VI ti dinya tuluy mumuja Kemudian dia bersemedi
ngening cipta
nganyatakeun Sang Déwasih
mengheningkan cipta, hanya
Dewa Pengasih Yang
Ada
nyirnakeun salirana (653)
menghilangkan kesadaran
akan ragawi
Rama nyipta mati jroning hurip Rama menghadirkan rasa
kematian dalam hidup
geus teu nyipta daya jeung upaya tak memiliki
daya upaya
tumurah cara
nu maot berserah seperti raga mati
salirana
menekung (654) duduk
menunduk
Dewi Sinta memohon supaya
Dasamuka dilenyapkan karena telah menyengsarakan orang sedunia, penggambarannya
di dalam WBR sebagai berikut:
VII Campleng cengeng tékadna putri Mantili Bulat,
kuat tekad Putri Mantili
ngayuh sihing
Déwa
mendatangkan kasih
dari Dewa
badanna dicipta leungit badan lahir dicipta lenyap
ngan cipta Déwa Nu Nyata (2383) yang
hadir Dewa Yang
Maha Ada
Dalam ungkapan-ungkapan yang
dicuplik dari WBR pada bacaan di atas, mengandung arti pokok yang sejajar
dengan istilah yang terkenal manunggaling kaula-Gusti. Sebelum mengkaji
Hp dari WBR tentang manunggaling kaula-Gusti yang terdapat di dalam
naskah-naskah lebih dulu atau sezaman, dirasakan perlu dibahas konsep ini
relatif “utuh” supaya tergambarkan pengertian lebih jelas.
Konsep ini berasal dari konsep
ke-Islaman-an yang biasa dibahas dalam naskah-naskah teosofi tasawuf. Artinya
kurang lebih menghadirkan Allah di dalam “rasa batiniah” diri manusia.
“Kehadiran Allah” di dalam batiniah manusia tidak serta-merta “bersinar” (karena
ada hubungannya dengan Nurullah), namun harus diupayakan oleh pribadinya
masing-masing, apabila tidak diusahakan oleh pribadi masing-masing, Nurullah
yang Kudrati itu “suram”. Di dalam peribadatan tarikat, salik (pencari
jalan) mencari upaya untuk selalu menghadirkan Allah di dalam “rasa”nya. Untuk
bisa menghadirkan Allah di dalam “rasa” salik tersebut, melalui baiat
seorang Guru Mursid
Menghadirkan-Allah-selalu, di
dalam “rasa” manusia, bisa dipersamakan seperti tuturan Ajengan Gaos seorang
guru Tarikat Kadariyah Naksabandiyah dari Suralaya bahwa harus bisa berkhalwat
di tempat ramai, artinya harus selalu menghadirkan Allah di tempat ramai,
terlebih lagi dalam kesendirian.
Kehadiran Allah “Yang Maha Ada”/
“Yang Maha Gaib” /“Dzat Laisa Kamistlihi”/ ‘yang tidak bisa diumpamakan
oleh apa pun’, apabila selalu ada dalam “rasa” kemudian, sinar Dzat Yang Maha Ada
akan mengalir pada hembusan nafas, detak jantung, dan pada seluruh butir-butir
darah. Keadaan ini dinamakan bermakrifat. Upaya mencapai batin yang bermakrifat
di antaranya dengan menghilangkan hijab ‘alangan’ perkara duniawi dalam batiniah, yang dihadirkan
hanyalah Allah, Yang Maha Ada/Yang Gaib. Ciri naskah-naskah teosofi tasawuf
selalu disebut-sebut istilah syariat hakikat tarikat marifat.
Apabila salik sudah mampu
menghilangkan alam kasar/alam fana dalam batiniahnya, dan selalu mengisinya
dengan kehadiran Allah - Pemilik dari jagat raya ini, maka tak ada kekhawatiran
apa pun karena segalanya berserah kepada-Nya. Pegangan bermakrifat dari Guru
Tarikat Kadiriyah Naksabandiyah Almarhum Abubakar Fakih, lamun poho gancang
éling, susah senang rata baé, susah lain nu urang senang lain nu urang kira-kira
dalam pemaknaan bebas: “apabila lupa segera Allah hadirkan kembali di dalam
batiniah, jalani kehidupan yang sulit dengan kebahagiaan secara datar, karena
kehidupan ini bukan milik manusia”.
Menghilangkan badan kasar dan hanya
mengadakan Yang Maha Ada di dalam diri, berarti “kematian” dari sifat fana
“sedang berlangsung proses kematian” “sudah berpisah antara nyawa dan badan”.
Dalam proses ini batin manusia menghadap Yang Maha Ada. Di dalam teks naskah
teosofi tasawuf disebut “belajar mati sebelum wafat”. Di dalam Wawacan Pulan
Palin disebutkan bahwa “manusia tidak mati” namun “hayun baqin” “hidup
kekal”, yang hancur adalah badan kasar /hawadis/yang bersifat barua
B Penerapan Teks Hp Manunggaling kaula-Gusti terhadap Teks
WBR
Data WBR I Intinya menunggalkan dengan Sanghiyang Guru,
tunggal kaula-Gusti yang akan membawa kepada Kemuliaan.
Hp adalah semua
yang dicantumkan pada data hipogram tentang manunggaling kaula-Gusti. Konsepnya sama namun dengan bahasa
yang berbeda. Penerapan Hp ke teks WBR melalui adaptasi (adaptation) dari
Asma Allah eksplisit atau implisit dengan penyebutan Penguasa Alam Hindu Budha.
Pada WBR manunggaling kaula – Gusti
sudah merupakan berlangsungnya proses peribadatan, pada Hp baru merupakan
pembelajaran.
Data WBR II Menanggalkan
cipta (keduniawian), menghadirkan Dewa Penyayang, tak merasa memiliki daya
HP WJU: kedah kanyahokeun
heula Dzatna terlebih dahulu, ketahuilah
Dzat Allah
naha saha nu kedah tingali siapa yang harus mengetahui
lamun urang teu kudu nyaho ka Allah (48)
bila kita tidak harus tahu Allah
Kapan parantos kapegat Bukankah sudah terputuskan
kapiheulaan ku dalil didahului oleh dalil
Laa hawla wala kuwwata téa Laa
hawla wala kuwwata tea
ila bilahi aliyul adziim ila
bilahi aliyul Adziim
cenah geuning Sundana
dalil adapun artinya
henteu daya henteu upaya
kitu (manusia) tak memiliki daya upaya
nyasat lahawla kawas
rokrak seolah-olah sebilah potongan
bambu kecil
lebah dinya tacan kaharti nah, itulah masalah yang
tak kupahami
bet aya rokrak kudu kawasa
ningal (49) mengapa sebilah
bambu harus
mampu melihat
WJU ini
intinya mengetahui Allah (menghadirkan/merasakan ada-Nya
Allah) dalam Badan Rohani. Kehadiran
Allah dalam Badan Rohani, pada
hakikatnya manusia tak memiliki daya upaya apa pun, karena sarana untuk
merasakan ada-Nya Allah sekali pun, atas anugrah-Nya. Serta atas kehendak-Nya
Allah ber-tajalli kepada manusia yang dipilih-Nya, yaitu manusia yang
mencari-Nya
Penerapan Hp WPP kepada WBR dengan
pengadaptasian (Adaptation) Penguasa Alam, WBR Penguasa alamnya Dewa,
adapun Hp walaupun tidak disebut secara eksplisit, yang dihadirkan Ada-Nya di
dalam Badan Rohani adalah Allah.
Data WBR III Raga dihilangkan, yang dihadirkan dalam batin
hanya Dewa
Hp Lihat keterangan Data I
Hp WPP Naha Allah téh Akang di mana ayana Di manakah ada-Nya Allah Kanda
naha marukana
Allah téh di luhur langit Apakah Allah itu di atas langit
kapan
kaula-Gusti tunggal (74) bukankah abdi dengan
Tuhan
menunggalkan
(diri)
Sabab
mungguhing Pangéran
Sesungguhnya
Tuhan,
teu aya
antarana saeutik tak ada antaranya sedikit pun
(dengan kita),
jeung manusa
teh deukeut pisan dengan manusia, sangat dekat
tapi teu
antel jeung diri tetapi tak bersentuhan
lamun anu
tacan ngarti orang
yang belum mengerti,
enggeus
tangtu éta jauh disangka (keberadaan Allah) jauh
tah éta téh
mangga manahan nah, silahkan pikirkan
rasakeun di
jero galih rasakan di dalam batin
mun geus
kapiraos éta téh Wujud Allah (195)
apabila dirasakan Ada-Nya,
itulah Wujud Allah
Hp WPP baru merupakan pemberitahuan bahwa
menghadirkan Allah pada Badan Rohani yakni pada “rasa”, sedangkan pada WBR
sudah merupakan proses peribadatan, yakni Sang Utipati berada pada rasa. Penerapan
HP terhadap WBR melalui proses pengadaptasian nama Tuhan yang diseru (Adaptation).
Data WBR V Raga kasar
dihilangkan, cipta menyatu kepada Hing Jagat Nata, rasa sakit hati, seperti
tidak menerima keadaan/keluh kesah, takabur, pedih hati, sakit, musnah, yang
ada rasa nikmat.
HP. HMM. Kuring ngawula ka
kurung Aku (Nurullah dalam
diri manusia)
selalu mengabdi
pada raga
kurunganana Sim
Kuring yang menjadi kurungan Aku
(Nurullah dalam diri manusia)
Kuring darma
dipiwarang Aku sekedar diperintahkan
dipiwarang ku KURING oleh AKU
(ALLAH)
kuringna
rumingkang kurang Aku (dalam kurungan raga manusia)
jadi bersifat kurang
kurangna puguh
gé kuring kurang karena sifat aku (yang
sedang
mengembara di dunia).
HPHMM
Kuring ngawula ka kurung Aku mengabdi pada kurungan,
kurungan pangeusi kuring kurungan yang diisi olehKu
kuring sagalana kurang aku (yang sedang mengembara di
dunia ini) segalanya
bersifat kekurangan
kurang da puguh gé kuring kurang karena memang
sifat aku
(sedang mengembara di dunia
Kuring sagala teu kurang namun, Aku (Nurullah) tak
kekurangan apa
pun
sakur nu aya di Kuring segala ada padaKu,
HPHMM
Kuring ngalantung di
kurung Aku dalam kurungan
kurung Kuring eusi Kuring kurungKu yang berisi Aku
kuring kurang batur kurang
aku (yang sedang mengembara
di dunia) bersifat kekurangan
begitu pun manusia lainnya
rasaning pa-Kuring-Kuring namun di dalam rasa
masing-masing
sama-sama ada Aku (Nurullah)
Teu
kurang pada Teu Kurang tidak memiliki sifat Kurang
batur-batur cara
kuring semua manusia (yang
dalam pengembaraan) seperti aku
( Keterangan tanda aksara: aku manusia biasa, Aku Nulullah, AKU
Tuhan)
Hp HHM, terdapat tiga jenis
“aku”. Pertama “AKU”, Tuhan, kedua “Aku”
Nurullah yang berada di dalam diri manusia yang tidak memiliki kekurangan
karena diemanasi oleh Tuhan, ketiga “aku” manusia biasa yang sedang mengembara
di dunia, yang terdiri dari lahir/raga kasar dan batin yaitu Badan
Rohani/Nurullah. AKU, Tuhan tak akan dibahas, yang akan dibahas “Aku”
(Nurullah) dan “aku” manusia yang terdiri dari raga dan batin.
Aku tidak membutuhkan apa pun, Aku ini
ikut dengan raga/jasad kemana pun raga itu pergi, namun Aku tidak dipengaruhi
hukum dunia. Dalam WBR dikatakan,
hukum dunia ada rasa enak tak enak, menang kalah, gembira dan sedih. Aku ini
tidak dipengaruhi, oleh karena itu dikatakan Aku tak kekurangan apa pun.
Dikatakan oleh sufi susah senang rata
baé, susah lain boga urang senang lain boga urang “susah senang rasakan
secara rata karena keduanya bukan milik manusia. Susah senang dibagikan secara
adil oleh Tuhan kepada manusia”, dengan kata lain susah dan senang hanya cobaan
hidup.
Kedua, “aku” yakni Aku
Nurullah/Badan Rohani yang terbungkus oleh Muhamad Majaji (istilah dalam WJU)
yakni raga yang bersifat hawadis, baruan, indrawi, dikatakan oleh Sufi Abubakar
Fakih Almarhum Kaadaman adalah manusia, yang terdiri dari raga kasar yang bersifat
fana dan Badan Rohani yang hayun baqin “hidup kekal” “aku” ini, manusia
yang meliputi raga kasar dan Badan Rohani, dalam menjalani hidup di dunia
selalu bersifat kurang, kata HHP kuring kurang batur kurang, seluruh
manusia dihinggapi oleh perasaan kurang.
WBR mengedepankan suasana batin yakni aral
“tidak menerima keadaan/berkeluh kesah,” tekebur, pedih hati, sakit, musnah,
yang ada rasa nikmat, apabila selalu menghadirkan Tuhan pada batiniah. Tentang
lenyapnya suasana batin antara lain sedih, dengan hadirnya Rasa Allah dalam
diri manusia disebut dalam Hp 11 sebagai berikut:
HP WBB Tah kitu éta mah Engkang Begitulah Kanda
nu matak kudu
kapanggih oleh sebab itu harus
bertemu/mengenal/mengetahui
eujeung nu
bogana Sukma dengan Pemilik Sukma
di kuburan
bisi heurin (supaya kelak) di kuburan tak sempit
candak Jagat
Gedé deui masukanlah Jagat Luas
(Pemilik Jagat Raya)
nagara gé
meureun asup negara pun masuk
diteundeun di
jero ati
letakkan di dalam
hati
tah téangan
dina badan Jagat Lega
(121) hadirkanlah di badan Pemilik
Jagat Yang Maha Luas.
Dari Hp WBB
dikatakan hadirkan Pemilik Jagat Yang Maha Luas, yang menguasai seluruh rasa,
maka bila Pemilik Jagat Luas hadir dalam diri manusia maka lenyap rasa was-was,
khawatir, tidak menerima keadaan, tekebur, pedih hati, sakit, musnah yang
tinggal rasa nikmat. Jadi penerapan Hp ke dalam
WBR V, merupakan penggabungan dari
sejumlah Hp yang berarti pengluasan (expansion), konsep ini ditemukan
dalam penelitian Rifatterre (1978: 50 – 63).
Data WBR VI Menciptakan mati dalam hidup
HP WPP.
Paéh nu teu
usik malik mah Mati yang tidak bergerak
nyaéta paéh bag-bagan jasmani yaitu mati urusan
jasmani
da teu nyaturkeun paéh kitu (kini) tidak mempersoalkan masalah itu
paéhna Nu Sajati-na (yang menjadi persoalan) adalah
mati
Kesejatian
éta mah gaib teu katénjo ku batur yang tidak terlihat oleh orang lain
ngan urang sorangan nu ngarasa hanya kita
yang merasa
paéh bisa usik malik (68) mati, namun
raga bergerak ke
sama ke mari
Hp WPP Ada dua kematian yang dikemukakan, pertama mati jasmani yakni mati biasa atau
ajal yaitu raga tak bisa lagi bergerak. Yang menjadi pembicaraan bukan mati
ini, namun mati Badan Rohani, mati yang
raganya berjalan ke sana ke mari.
Mati Badan Rohani yang dimaksudkan,
seperti keterangan berikut. Allah dengan Rahim-Nya membagikan Nurullah/Sajatining
Iman kepada manusia dalam porsi yang sama,
namun manusia itu sendiri tidak membukakan jalan, tidak mempotensikan
anugrah dirinya, untuk mengetahui
Ada-Nya, tidak mencari tahu, tentang bagaimana menghadirkan Allah di dalam
Badan Rohani. Keberadaan Allah di dalam dirinya diacuhkan, maka Badan Rohani
tidak bersinar. Pada teks Wawacan Pulan Palin dikatakan, Allah
néangan anu néangan, ‘Allah mencari manusia yang mencari-Nya’
Pengertian tersebut seperti berikut. Dalam
WJU tentang tajalli diterangkan bahwa, Allah menampakkan diri
kepada “manusia yang dikehendaki” (bukan berdasarkan nasib, namun upaya dari
manusia untuk membuka hijab, membuka alangan, hal-hal yang tidak
dikehendaki-Nya, tidak menyimpan perkara duniawi di dalam Badan Rohani, apabila
menempatkan perkara duniawi/indrawi dalam Badan Rohani, itu yang dinamakan
kufur, kafir (di dalam WJU).
Dalam Hp paéh Nu Sajatina yang dimaksud manusia itu sendiri yang
memalingkan muka pada kehadiran Tuhan di dalam dirinya, dalam WPP dikatakan juga bahwa kapanggih
gé moal tepang, kaula sarawuh Yang Widi “bertemu pun tak kenal, abdi dengan Tuhannya”
WBR mengungkapkan kebalikannya menjalankan
mati di dalam hidup. Dalam WJU diungkapkan Ruyatillahi Ta’ala fiddunya biainil golbi, ruyatullahi Ta’ala bilakhiroti
biainil Arsi, artinya ‘di dunia (manusia) melihat Allah dengan ‘mata hati’,
di akhirat Allah tak terhalang apa pun, sebab sudah menyatu’. Melaksanakan mati
dalam hidup adalah bertafakur, melepaskan duniawi di dalam batin dan
menghadirkan Allah dalam Badan Rohani, seperti melihat Allah di akhirat.
Jadi penerapan Hp 1 dalam WBR menyatakan
yang sebaliknya atau pemutarbalikan (conversion) konsep ini ditemukan
dalam penelitian Riffatere (1978 – 63)
HP WPP Geuning dina Kuran dalilna Di dalam al Quran
antal
maoti
antal maoti
koblal
maotu
qoblal
maotu
kudu diajar
maot méméh wapat harus belajar mati sebelum wafat
kudu diajar wapat saméméhna pupus harus belajar wafat sebelum
meninggal
tah kitu sundana nah begitulah artinya
kudu nyaho paéh saméméhna mati (69) harus mengetahui mati
sebelum mati
Hp WPP merupakan myth concern WBR. Yang
dimaksud belajar mati dalam hidup adalah menghidupkan Badan Rohani/Nurullah,
menghadirkan Allah dalam diri.
Kesimpulan
Dalam penggubahan
WBR terdapat proses rekonstruksi yakni proses penciptaan
kembali kisah Rama dari Serat Rama berbahasa
Jawa ke dalam WBR berbahasa Sunda, dipengaruhi oleh individu pengarang,
tuntutan zaman, dan ikatan budaya, yang dijalin secara halus terefleksikan
dalam pemikiran-pemikiran teosofi tasawuf. Manunggaling kaula-Gusti di
dalam WBR, menghilangkan raga kasar di dalam batiniah, yang hadir hanya
Yang Gaib / Yang Maha Ada. Apabila hati sudah menyatu dengan Yang Jagat Nata
(Penguasa Jagat/Semesta), perasaan susah, tekebur, sakit, dan nyeri akan
hilang, yang tertinggal hanya rasa nikmat. Gambaran ini, memperlihatkan telah
terjadi myth concern atas karya terdahulu dalam segi konsep, namun
terjadi penyesuaian nama terhadap Penguasa Alam yaitu dengan menempatkan
nama-nama Penguasa Alam pra-Islam, Sangyang Guru, Dewa, dan Sangyang Utipati
sesuai latar belakang kisah Sri Rama.
Walau terdapat kejanggalan dalam
pandangan masa kini, pada zamannya penyisipan ini bukan merupakan kejanggalan, namun
merupakan bagian dari rangkaian semantik yang memiliki fungsi semiotik terhadap
rangkaian kesatuan semantik tersebut, yang mengusung dukungan semiotik ke dalam teks secara
keseluruhan. Tema WBR dari segi struktural yakni pati mulia ’ajal mulia’. Tentang ajal mulia ini dipermasalahkan
baik oleh tokoh protagonis dengan kelompoknya yakni tokoh Sri Rama dan yang
berpihak kepadanya maupun tokoh antagonis yakni Raja Dasamuka. Adapun konsep yang diserap oleh WBR dari Hp adalah manunggaling
kaula-Gusti. Makna WBR menginti pada
satu kalimat berupa matriks, ajal mulia dengan jalan manunggaling
kaula-Gusti.
Dalam bahasa yang lebih luas sebagai
berikut, meraih ajal mulia untuk
menuju kebahagiaan yang kekal di Alam Keabadian, yaitu dengan jalan
menghadirkan selalu Allah di dalam Badan Rohani. Dengan selalu hadirnya Allah
di dalam Badan Rohani, akan selalu melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya,
dan seluruh perbuatan yang dilakukan raga dan jiwa didasarkan kepada-Nya.
Menjalani kehidupan di alam fana ini dengan manunggaling kaula-Gusti,
baik bahagia, maupun derita diterima dengan rasa yang rata/lega sebagaimana
dikemukakan oleh HHM bagja cilaka cék saha, untung rugi ngan panuding, mun
ieu Kalangkang Rasa tandaning Sirun Ilahi. ‘Bahagia atau musibah kata siapa
(kata siapa bahagia, kata siapa musibah, sebab hanya fana), untung dengan rugi
hanya sebutan, kalau Yang Ini (Badan
Rohani) Bayang-Bayang, tanda dari Sirun
Ilahi (Rasa Ilahi, Hakikat bukan hanya sifat fana).’ Seperti disebut pula
dalam WBR, orang yang menghadirkan selalu Tuhan di dalam dirinya, rasa was-was,
khawatir, keluh kesah, tekebur, pedih hati, sakit, musnah yang ada rasa nikmat
karena Ada Dia Yang Menghuni Batin, dengan kata lain, tak selayaknya menangis
dan berbahagia secara berlebihan hanya
menangisi dan membahagiakan “yang bersifat sementara.”
DAFTAR PUSTAKA
Behrend, T.E. (Ed).
1990 Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, Jilid I, Museum
Sonobudyo Yogyakarta . Jakarta :
Kerjasama Penerbit Jembatan dan Ford
Foundation.
Buckhardt, Titus
1984 Mengenal Ajaran Kaum Sufi,
diterjemahkan oleh Azyumardi
dan Bachtiar Effendi dari buku: An Introduction to Sufi
Doctrine edisi kedua 1981,
Culler,
Jonathan. 1975 Strukturalism and
Linguistic Models (Part One). Great Britain :
Derrida,
Jaques. 2002 Dekonstruksi Spiritual,
Merayakan Ragam Wajah Spritual. Alih
Bahasa oleh Firmansyah Argus dari
buku: Off Spirit: Heidegger and the Question
Eagleton, Terry. 1983 Literary Theory, An
Introduction, Oxford – England : Basil
Blackwell Publisher
Limited.
Eagleton, Terry (Ed) 1985 Modern Literary Theory.
Abdurrauf Singkel di
Aceh Abad 17. Kerjasama dengan ÉFEO. Bandung:
Penerbit Mizan.
Hadisucipto, Sudibjo Z. 1983 Caretana Rama, Alih Aksara.
Jakarta :
Proyek Penerbitan
Buku SastraIndonesia
dan Daerah, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Hollub, Robert
C. 1989 Reception Theory, A
Critical Introduction,
General Editor:
Terence Hawkes, Great Britain : Methuen &
Co.Ltd.
Ikram, Achadiati.
1980 Hikayat Sri Rama,
Suntingan dan Naskah, Disertai
Telaah,
Amanat dan Struktur. Disertasi.. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia .
Jauss, Hans
Robert, 1955 Aesthetic Experience
and Literary Hermeneutics, diterjemakan
ke dalam bahasa Inggeris oleh Michael Shaw, Minneapolis : University of
Press.
19..
Toward an Aesthetic of Reception, diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggeris oleh
Timothy Bahtiintroduction oleh Paul de Man, Theory and History
of Literature, volume 2. Minneapolis : University of Minnesota Press.
Lubis, Nabilah. 1996 Naskah, Teks
dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta :
Forum
Kajian & Sastra
Arab Fakultas Adab Syarif Hidayatullah.
1995 Syekh Yusuf Al-Taj
Al-Makasari Menyingkap Intisari Segala
Rahasia.
Edisi
Pertama. Fakultas sastra Universitas Indonesia dan Ecole Francaise
d’Extreme-Orient. Bandung : Mizan.
Lubis, Nina Herlina. 1990 Bupati
R.A.A.. Martanegara
study Kasus Elite
Birokrasi Pribumi
di Kabupaten Bandung
1893 – 1918. Tesis.
1997 Historiografi Barat: dari Herodotus
hingga James Harvey Robinson,
Edisi Pertama. Bandung : Alqaprint, 2000.
Martanagara. 1921 Babad Raden Adipati Aria Martanagara
Nikolaus Girardet
& Cs. 1983 Descriptive Catalogue of the
Javanese Manuscripts and
Printed Books in
the Main Libraries
of Surakarta and Yogyakarta .
Nurgiyantoro,
Burhan. 1998 Teori
Pengkajian Fiksi, Edisi kedua. Yogyakarta :
Gadjah
Mada University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono.
1984 Kakawin Gajah
Mada, Sebuah Karya
Sastra
Kakawin Abad ke-20 Suntingan Naskah Serta Telaah Struktur,
Tokoh Dan
Hubungan Antarteks.
Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia
Purwadarminta, W.J.S. 1985 Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Riffaterre, Michael. 1978 Semiotics of Poetry. Library
of Congress Cataloging in
Publication Data. Bloomington & London : Indiana University Press.
Rivkin, Julie
& Michael Ryan (Ed). 1998 Literary
Theory: An Anthology.
Rosidi, Ajip. 1966 Kesusastran Sunda
Dewasa Ini, Edisi Pertama, Serii
Tjupumanik.Bandung: Pinda
Grafika Unit II.
1989 Haji Hasan Mustapa jeung
Karya-Karyana, Citakan I.Bandung:
Pustaka.
Selden, Raman. 1993 Panduan
Pembaca Teori Sastra Masa Kini, Edisi ketiga
diterjemahkan oleh
Rachmat Djoko Pradopo dari buku: “A Reader
Guide To
Contemporary Literary Theory”,
1985. Harvester – Wheatsheaf.
Sim, Stuart. 2000 Derida dan Akhir Sejarah,
Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh Sigit
Djatmiko dari buku: Derida
and the End History. UK : icon Books dan
Stutterheim,
Willem. 1989. Rama-Legends
and Rama-Reliefs in Indonesia .
First
Published Wazirpur-Delhi: Ajanta
Offset &Packingings Ltd. Madras :
Kapur
Graphics Inc. Janpath-New Delhi : Indra Gandhi
National.
Suropranoto, Kyai
Sadrah. 1989 Serat Rama , Naskah Jawa tulisan
tangan koleksi. Desa
Karangjoso Kecamatan
Butuh, Kabupaten Purworejo, disalin oleh Soetomo
dkk. Semarang : Yayasan Studi Bahasa Jawa “Kanthil.”
Teeuw, A. 1984
Sastra dan Ilmu
Sastra, Pengantar Teori
Sastra. Jakarta :
P.T. Dunia
Pustaka
Jaya.
Zoest, Aart van.
1990 Fiksi dan
Nonfiksi dalam Kajian
Semiotik. Seri ILDEP.
Sumber: unpad.ac.id