Cari

Manunggaling Kaula Gusti Dalam Wawacan Batara Rama

[Historiana] - Berikut karya Kulsum, Dosen Universitas Padjadjaran Bandung. Kisah Rama tertua di Nusantara yakni Kakawin Ramayana yang digubah dalam Bahasa Jawa Kuna pada abad ke-9 (Ikram, 1980). Kakawin Ramayana kemudian mendapat sambutan dari masa ke masa. Pada pergantian abad ke-18 ke abad 19, Yasadipura menggubah kembali Kakawin Ramayana ke dalam Serat Rama (Teuuw, 1984: 216). Karena adanya tradisi penyalinan ini kemudian “pada khasanah naskah Jawa terdapat sejumlah judul yang mengisahkan tokoh Rama” (Girardet., Cs, 1983; Behrend (ed), 1990: 382 - 396).

Kemudian RAA Martanagara menggubah Wawacan Batara Rama (disingkat WBR)  dalam bahasa Sunda yang bersumber pada salah satu Serat Rama yang berbahasa Jawa tersebut. RAA Martanagara (1845 – 1926), seorang  bangsawan ternama, keturunan  Sumedang yang menjadi bupati Bandung (1893 – 1918), beliau seorang terpelajar pada masanya, mampu berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa (Martanagara, 1921; bdk Lubis, 1990: 52 – 54). Awal penulisan WBR diperkirakan ketika pengarang diangkat menjadi bupati Bandung, yang pengangkatannya pada tanggal 29 Juni tahun 1893, adapun WBR selesai ditulis pada tanggal 4 Oktober tahun 1897.

WBR tergolong wawacan mite,  yang dieksplisitkan pada judul dengan disebutnya kata batara ‘dewa’,  Sri Rama sebagai tokoh utama dan tokoh sentral adalah titisan Wisnu yang membawa dirinya ke dalam pengembaraan yang panjang dalam rangka menghancurkan   kezaliman dan kemurkaan yang ditokohi oleh Raja Dasamuka. Kisah yang berasal dari India ini sudah tentu  dilatarbelakangi oleh agama atau keagamaan pra-Islam Hindu Budha. Adapun WBR diciptakan oleh  RAA Martanagara pada  akhir abad ke-19, pada waktu masyarakat Sunda sudah memeluk agama Islam selama kurang lebih 3 abad, dan bentuk wawacan itu pun, sebuah genre pada zaman Islam. WBR sebagai bentuk wawacan, dibangun oleh sejumlah runtuyan pada ‘untaian bait’ dari jenis-jenis pupuh. Pupuh adalah bentuk puisi yang kebahasaan dan isinya dibatasi oleh matra pupuh   yaitu dangding. Matra dangding meliputi, guru wilangan yakni jumlah suku kata pada setiap larik, guru lagu yakni vokal tertentu pada setiap larik, guru gatra yakni jumlah larik dalam setiap pada/bait, dan pemilihan pupuh yang merupakan wahana dari perilaku dan karakter emosi.

Pendekatan Intertekstualitas       
Teks WBR sebagai karya sastra dengan sarana primer bahasa, merupakan sistem tanda. “Konsep tanda menurut Peirce sebagai berikut, tanda merujuk pada sesuatu atau mewakili sesuatu, tanda mempunyai sifat representatif, yaitu mewakili sesuatu. Hasil penafsiran terhadap suatu tanda oleh si penafsir, menghasilkan tanda baru bagi penafsir yakni sifat interpretatif. Jadi sebuah tanda selain memiliki sifat representatif dan interpretatif. Hasil representasi disebut denotatum dan hasil interpretasi disebut interpretant. Serat Rama dijadikan sumber penulisan WBR oleh RAA Martanegara adalah sebuah tanda yang terletak di antara denotatum dan interpretant. Kode baru hasil dekoding RAA Martanegara dituliskan kembali menjadi WBR melalui proses enkoding.

Dilihat dari seputar kehidupan karya sastra tersebut, pembacalah yang memiliki peranan penting dalam menerima, menginterpretasi, merekonstruksi, memberikan makna terhadap sebuah karya. “Pendekatan-pendekatan yang berorientasi terhadap peranan pembaca menggunakan landasan berpikir Reader Theory/Teori Pembaca” (Eagleton, 1985: 73).

Pernyataan-pernyataan berlandaskan pemikiran Reader Theory di antaranya sebagai berikut: Phenomenologist aestheticiant  Ingarden mengemukakan bahwa   ...  the text as a potential structure which is ‘concretisized’ by the reader. ‘teks merupakan struktur yang potensial dikonkretisasi oleh pembaca’ (Eagleton, 1985: 73). Iser (dalam Eagleton, 1985: 76) menjelaskan tentang estetika bahwa  ...the literary work has two poles, which we might call the artistis and the aesthetic ... the artistic refers to the text created by the author, and the aesthetic to the realization accomplished by the reader. ‘karya sastra memiliki dua sisi, yang dinamakan artistik dan estetik ... artistik dimiliki oleh teks yang diciptakan oleh pengarang, dan estetik yakni kenyataan yang disempurnakan pembaca.’                  Arti tergantung pada situasi kesejarahan penafsir (Selden, 1993: 117).

Menurut Karl Mannheim, penafsir atau penulis berada dalam Kulturgebundenheit (keterikatan budaya) dan Zeitgeist (semangat zaman) (Lubis b, 2000: 10). Menurut Iser teks bukanlah penyajian sempurna namun terdiri dari bagian-bagian kosong. Pembaca mengisi bagian-bagian kosong yang mengandung makna ambigu dalam teks, ia mengisinya secara bebas sesuai dengan pengalamannya. Dilihat dari segi pembaca, pemaknaan sebuah karya sastra tidak stabil secara essensial (Eagleton, 1985: 76-81).” Derrida seorang penganut sebuah aliran filsafat menampik adanya kestabilan makna. Makna senantiasa berada dalam proses, dengan demikian tidak ada makna baku dan permanen (Sim, 1999: V). Salah satu pendekatan karya sastra dengan berlandaskan Reader Theory yakni pendekatan intertekstualitas.

Kristeva mengemukakan hubungan interteks sebagai berikut: every text take shape as a mosaic of citations, every text is the absorption and transformation of other text. ‘setiap teks mengambil bentuk seperti mosaik cuplikan-cuplikan, setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari teks-teks lain’ (Culler, 1975: 139). Pemikiran Kristeva yang mendukung munculnya pemikiran intertekstualitas yakni, bahwa bahasa bisa direduksi ke dimensi-dimensi yang bisa diterima oleh kesadaran. Kesadaran bukanlah subjek yang statis namun berada dalam bentuk imajiner (Lechte, 1994 terjemahan 2001: 221). Foucoult (1971 terjemahan 2003: 30) mengemukakan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak memiliki narasi-narasi besar (major naratives) yang kemudian dikatakan ulang dan beraneka ragam, formula-formula teks-teks biasa, teks-teks ritual yang diucapkan dalam keadaan tertentu; hal-hal yang pernah dikatakan kemudian diperbincangkan kembali karena masyarakat menduga adanya sesuatu rahasia dan “kemegahan” tersembunyi di dalam yang dikatakan tersebut. Kenyataan tersebut memunculkan ide pemahaman terhadap karya sastra.

Menurut Culler: A work can only be read in connection with or against other texts ...’Sebuah karya hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan teks-teks lain’ (Culler, 1975: 139; bdk Riffatere, 1978; bdk Teeuw, 1984; bdk Pradotokusomo, 1991: 162). Teks-teks sastra yang menjadi dasar penciptaan sebuah-karya-kemudian disebut hypogram ‘hipogram’ (Riffatere, 1978: 23). Mitos pengukuhan disebut myth of freedom. Kedua  hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesusastraan ...  Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, mungkin disadari mungkin juga tidak disadari oleh pengarang (Nugiyantoro, 1998: 52).
    Kisah Rama sebagai mite ceriteranya tidak boleh menyimpangi dari konvensi masyarakat. Dalam segi ceritera, WBR sama dengan kisah sumbernya, namun kemudian pengarang mengisi celah-celah yang kosong dengan konsep-konsep teosofi tasawuf.

Tanda-Tanda Keislaman dalam WBR dan Kehidupan Keagamaan Seputar Kepengarangan
       Pengarang WBR mengkonkretisasi kisah Rama, dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ke-Islam-an tasawuf.  Unsur-unsur serapan tersebut sangat sulit ditelusuri karena halusnya penyisipan. Namun untuk keyakinan ini, ada kata-kata kunci pada bagian awal dan  bagian akhir. Kata kunci di bagian awal adalah penggunaan lambang Islam yang sangat significant  yakni adanya kata masjid dalam lukisan keindahan Istana Ayodya, istana Raja Dasarata ayah tokoh Sri Rama. Di bagian akhir pengarang menyatakan secara eksplisit dalam 10 pada bahwa ada konsep-konsep yang tidak diambil dari sumbernya yang dilandasi Hindu Budha namun dari pemahaman Tasawuf yakni Ilmu Dakik, seperti di antaranya terdapat pada bacaan berikut:

...Sang Sri Rama muruk Ilmu Dakik

patekadan jalma jaman Buda
ti hirup tepi ka maot
kasebut ilmu lembut
narawicu bangsa nu suci
nyembah ka pangeranna
Yang Batara Guru
sarupa agama Islam
nyembahna teh ka Gusti Robul Alamin
ari buda ka Dewa

Tatapina teu disalin
tina tembang anu basa Jawa
lain tina sabab hese
ngan katimbang teu perlu
mungguh jalma jaman kiwari
nu geus ganti agama
nyembah ka Yang Agung
Gusti Allah Maha Mulya
jeung kawatir dipikir ku nu teu harti
mangkena salah tampa

Ditimbangkeun reujeung Ilmu Dakik
patekadan nya iman ka Allah
lamun ku jalma bodo

jadi matak nalapung
eta kitu pang teu disalin...

Sang Sri Rama mengajarkan Ilmu Dakik
(Adapun) orang-orang Buda
ketika hidup sampai mati
Ilmu Kebatinan
para biksu yaitu orang suci
menyembah tuhannya
Hyang Batara Guru.
Dalam Agama Islam
menyembah Gusti Robul Alamin.
Orang Buda (menyembah) kepada Dewa
(Hal itu) tidak disalin
dari tembang yang berbahasa Jawa.
Bukan karena sulit
namun merasa tak perlu.
Adapun orang-orang sekarang
yang sudah berganti agama,
menyembah kepada Yang Agung
Gusti Allah Maha Mulya
dan ada kekhawatiran
yang akhirnya akan salah pengertian.

Dimasukkan Ilmu Dakik
keyakinan beriman kepada Allah.
Apabila (ilmu Agama Buda) diterima orang awam
akan menjadikannya menyimpang
begitulah alasannya tidak disalin
RAA Martanagara
     Bagaimana pun pemikiran keislaman seperti disebut sebelumnya tidak hadir dengan sendirinya namun sesuatu yang tumbuh di seputar pengarang. Adapun perhatian dan lingkungan RAA Martanagara sebagai pengarang WBR, sebagai berikut:  “Pada waktu RAA Martanagara menjadi Bupati Bandung, terdapat dua golongan elite agama Islam pertama, elite agama yang tergabung ke dalam birokrasi kolonial dalam jajaran pribumi, kedua elite agama Islam yang tidak termasuk dalam birokrasi yang biasanya mempunyai kewibawaan sosial yang sangat tinggi di kalangan rakyat. Banyak pejabat pribumi yang bersifat acuh tak acuh terhadap agama Islam,  RAA Martanagara tidak termasuk kelompok pejabat pribumi seperti itu. Sikap hidupnya agamis, hubungan dengan elite agama Islam non-birokrasi dipelihara dengan baik, begitu pula dengan elite agama Islam yang ada dalam birokrasi.

Adapun yang menjadi hoofd penghulu Bandung semasa ia menjadi bupati adalah Raden Haji Hasan Mustapa seorang sufi besar yang sangat banyak karyanya, tentang teosofi tasawuf. Hubungan antara RAA Martanagara dengan Haji Hasan Mustapa terbina baik” (Lubis, 2001: 74-77). Salah satu aliran tasawuf adalah “tarekat naksabandiyah, pada tahun 1886 hampir seluruh bangsawan di Priangan mengikuti tarekat tersebut” (Bruinessen, 1992: 23).     Konsep tasawuf yang diselipkan di dalam WBR memperjelas arah yang diungkapkan oleh tema tentang ajal mulia. Istilah yang digunakan di dalam teks    paling banyak yakni pati mulya, istilah lainnya pati patitis ‘ajal tenang ?’, pati luhung ‘ajal mulia’, pati sinelir ‘ajal terpilih’, dilawankan dengan pati buta murka dan pati dursila. Pengertian pati mulya ini berasal dari hipogram utama Serat Rama  di dalam pupuh VII  Maskumambang nomor : 20 sebagai berikut:

Ing tegese Yayi ing urip puniku
Yen ora amriha
salamet sajroning pati
yeku seta nunggang gajah.
Jelasnya Adinda, hidup itu
Apabila tidak berharap
Selamat dalam ajal,
Sia-sia (?)

 Ajal mulia (salamet sajroning pati), di dalam Serat Rama sebagai hipogram utama sumber penggubahan WBR, tidak diintikan menjadi tema seperti di dalam WBR. 

Tasawuf dan Teosofi Tasawuf.
Peristilahan seputar tasawuf  bermacam-macam, tumpang tindih antara pemahaman Ketuhanan dan peribadatan. Fathurahman membedakan tasawuf falsafi dan tasawuf amali (1999: 24). Istilah tasawuf falsafi dipakai pula dengan istilah teosofi tasawuf  dan tasawuf amali  istilah lainnya adalah tarikat. Teosofi Tasawuf ”ajaran dan pengetahuan kebatinan (semacam filsafat dan tasawuf), yang sebagian besar berdasar pada ajaran-ajaran agama Buddha dan Hindu (Poerwadarminta, 1985: 1055). Istilah yang dipilih dalam penelitian ini adalah teosofi tasawuf, dengan pertimbangan pembahasan-pembahasan mengarah kepada Ke- Tuhan –an. Namun istilah ini digunakan dengan melepaskan acuan ke  ajaran agama Budha dan Hindu, yang dimaksud teosofi tasawuf dalam pembahasan ini, murni ajaran Islam. Adapun tarikah atau tarikat adalah amalan/peribadatan yang dilakukan oleh salik (pencari jalan) menuju Allah.

Karya-karya naskah yang dianggap berisi tasawuf memiliki ciri-ciri pokok tasawuf. “Karya-karya tasawuf walau berbeda-beda namun memiliki kesamaan aspek pokok ialah ajaran kebajikan rohani. Kebajikan rohani al ihsan, menurut Nabi sebagai berikut, kamu harus mencintai Tuhan seakan-akan kamu melihatnya dan jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.  Persoalan paling utama bagi manusia yakni ma’rifah  atau gnosis. Sesuai dengan intensitas dan lamanya, terdapat keadaan-keadaan yang disebut ‘cahaya yang redup (lawa’ih) dan ‘cahaya yang menyilaukan (lawami), dan “penyinaran” (tajalli). Kebajikan lain dari semua adalah diri merasakan miskin (fakir)  keikhlasan (al-ikhlas) atau kejujuran (as-sidq). Mengingat Tuhan dengan (adz-dzikr)” (Burckhardt, 1984: 127 – 134).

Dzikir menurut Syekh Yusuf dalam Al- Barakāt al – Sailaniyyah (Berkat dari Sailan) bermacam-macam, zikir Lā Ilāha Illā Allāh zikir orang awam, Allah – Allah, zikir hati atau zikir al-khawās, Hu – Hu zikir rahasia atau zikir akhas al-khawās (manusia paling istimewa)(Dalam Lubis, 1996: 30). Allah memperlihatkan diri-Nya dengan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan tempat sehingga tempat itu menjadi arsy-Nya. Maka engkau menjadi orang mukmin yang benar, seperti yang dimaksud dalam hadis. Hadis mengatakan bahwa: Hati seorang mukmin sebahagian dari arsy Allah (Dalam Lubis, 1996: 31). Di dalam Tahsīl al-Ināyah wa al-Hidāyah (Memperoleh Pertolongan dan Petunjuk) disebutkan bahwa, Allah memuliakan mereka yang memperbanyak zikir dengan bermacam-macam ilmu dan rahasia-Nya. Allah berfirman: Tanyakan kepada ahli zikir jika kamu tidak tahu (Yusuf, dalam Lubis 1996: 44).

Pengertian manusia yang selalu menghadirkan Allah dengan zikir hati adalah mukmin yang benar, dan hati seorang mukmin sebahagian dari arsy Allah memiliki kesejajaran makna dengan manunggaling kaula-Gusti.Manunggaling kaula-Gusti memiliki pengertian, abdi/manusia – yang selalu menghubungkan batinnya dengan Allah.  

”Allah memiliki sifat yang berlawanan, Allah ”al-Dzahir al-Bathin” Dia tersembunyi (Batin) di dalam kenyataan-Nya, Dia nampak (Dzahir) di dalam ketersembunyian-Nya. Allah ”al-Qarib al-Baid” Dia Nyata di dalam Ketidaknyataan-Nya, Dia sangat Dekat di dalam Kejauhan-Nya” (Kalabadzi, 1995: 15). Manusia diberi rahmat-Nya untuk bisa merasakan Kehadiran-Nya, namun Allah Dzat Laisa Kamistlihi (Tidak bisa diumpamakan oleh apa pun) (Naskah Wawacan Buwana Wisesa dan Wawacan Jaka Ula jaka Uli). Tujuan manusia  selalu menghadirkan Allah di dalam batinnya, untuk mencapai insan kamil. Manusia dibebani untuk menuju insan kamil, peringkat selanjutnya kamil mukamil (manusia mencapai tarap kesempurnaan pada martabat manusia) (di dalam Wawacan Jaka Ula jaka Uli al-khawās - (istimewa) peringkat selanjutnya khawāsul khawās (paling istimewa (dalam Wawacan Jaka Ula jaka Uli  dan istilah dari Syekh Yusuf). Di dalam WBR terdapat istilah Elmu Kasampurnaan, hal  ini kiranya ada hubungan pemaknaan dengan pengertian insan kamil -  kamil mukamil  atau  al-khawās -   khawāsul - khawās. Di dalam WBR Elmu Kasampurnaan disebut juga Elmu Rahasiah atau Elmu Agal Repit.

Pembahasan   
    A  Manunggaling kaula Gusti dalam Teks WBR
     Pada ini memperkenalkan nama Dasarata, Raja Ayodya yang berbudi luhur.
I    Kasampurnanning pati patitis,        Dalam menuju kesempurnaan ajal,
tatas awas tékad Anu Nyata,                penglihatannya selalu tertuju kepada
                                                                     Yang Maha Ada,
pernah Kamulyan Yang Manon,           di tempat (Badan Rohani) Kemuliaan
                                                                      Yang Maha Melihat,
ngadalitkeun cipta jeung ati,                menyatukan pikiran dan hati,
nunggalkeun salirana,                          menunggalkan diri.
jeung Sanghiyang Guru,                       dengan Sanghiyang Guru,
desek rapet rasa Tunggal,                    me-nunggalkan rasa,
dalit rapih tunggalna kawula-Gusti,    menyatu dan tunggal antara
                                                                       abdi-dan Tuhan.
dumawa ka Kamulyan.                         membagi, mengalirkan (rasa menuju)
                                                                       ke Kemuliaan,

II Henteu pegat mumuja semédi,         Tak putus-putusnya (ia)memuja
                                                                       dan bertafakur
ngaasorkeun tingkah salirana,             merendahkan diri (di hadapan Tuhan)
nanggalkeun ciptana baé,                     mengatur cipta batinnya
tansah meleng jro kalbu,                       terus-menerus hatinya menghadap
mamrih nyata Dewa nu Asih,                kepada yang Maha Ada,  Dewa Pengasih.
taya rasa rumasa                                   (Beliau) tak mengakui dirinya
sampurna panemu                                (memiliki) pengetahuan sempurna
                                                                       
 Dasarata mengadakan selamatan untuk memperoleh putra yang mulia, tampan, dan dititisi Batara Wisnu. Dalam penyelenggaraan selamatan ini, resi mengajak raja beserta permaisuri untuk mengikuti selamatan secara khidmat seperti berikut:
III... pihaturna wiku:                                         kata wiku:
Mangga urang limaan sami                               Marilah kita bersama-sama
manteng nyembah mumuja                                khusu menyembah
sing suhud tapakur                                             bertafakur.
nyatakeun di jero cipta                                       Nyatakan di dalam batin
badan urang leungitkeun sing tanpa jinis           raga kita dihilangkan
ngan Déwa anu nyata                                          hanya Dewa yang Ada

IV Junggerengna Sangyang Utipati                    Sangyang Utipati Yang
                                                                                       Maha Ada
henteu pisah jeung rasa rumasa                          tak berpisah dengan rasa

Bacaan ini senada dengan ungkapan Dewa Rama ketika di hutan dalam melindungi para pertapa untuk melaksanakan titah ayahnya Prabu Dasarata. Sri Rama bercampur gaul dengan kehidupan para pandita yang membuatnya lupa terhadap kehidupan negara. Ungkapan Dewa Rama tersebut seperti berikut: 

 V   Tapi geuning ari mungguh para resi    Namun terhadap para resi
setan téh bet taak                                         setan-setan itu jera
mun tembong mah tayoh ngacir                  apabila menampakkan diri
                                                                                 langsung lari
sabab dibawa perkosa    (338)                    sebab dilayani dengan
                                                                                 keperkasaan (jiwa)

 Badan badag dicipta pan aleungit           Badan kasar dicipta hilang
ngan Alus  Nu Aya                                  hanya Yang Gaib, Yang Maha   Ada                                                                        
ciptana geus jadi hiji                                 batinnya menyatukan diri
tunggal jeung Hing Jagatnata  (339)      menunggal dengan
                                                                   Penguasa  Jagat (Jagatnata)

       Lamun jalma enggeus kitu nya pamilih             Apabila manusia sudah

                                                                                          memilih jalan itu

geus moal karasa                                                tak akan ada lagi
aral ria peurih nyeri                                            keluh-kesah tekebur sakit hati
ngan wungkul nimat nu aya (340)                       hanya kenikmatan yang terasa

Deskripsi berikut, ketika Sri Rama menempuh puncak gunung Raksamuka yang sangat sulit, namun atas pertolongan Dewagung, ingat-ingat ia sudah sampai di puncak. Setelah tiba di puncak lalu ia bersemedi.
...
VI ti dinya tuluy mumuja                                     Kemudian dia bersemedi
 ngening cipta nganyatakeun Sang Déwasih       mengheningkan cipta, hanya
                                                                                    Dewa Pengasih Yang Ada 
 nyirnakeun salirana  (653)                                   menghilangkan kesadaran
                                                                                     akan ragawi

Rama nyipta mati jroning hurip               Rama menghadirkan rasa

                                                               kematian dalam     hidup 

                                                                                    

geus teu nyipta daya jeung upaya                               tak memiliki daya upaya
tumurah cara nu maot                                                 berserah seperti raga mati                  
salirana menekung (654)                                             duduk menunduk


Dewi Sinta memohon supaya Dasamuka dilenyapkan karena telah menyengsarakan orang sedunia, penggambarannya di dalam WBR sebagai berikut:


VII Campleng cengeng tékadna putri Mantili        Bulat, kuat tekad Putri Mantili  

ngayuh sihing Déwa                                                mendatangkan kasih  dari Dewa
badanna dicipta leungit                                           badan lahir dicipta lenyap
ngan cipta Déwa Nu Nyata (2383)                          yang hadir Dewa Yang
                                                                                           Maha Ada    

Dalam ungkapan-ungkapan yang dicuplik dari WBR pada bacaan di atas, mengandung arti pokok yang sejajar dengan istilah yang terkenal manunggaling kaula-Gusti. Sebelum mengkaji Hp dari WBR tentang manunggaling kaula-Gusti yang terdapat di dalam naskah-naskah lebih dulu atau sezaman, dirasakan perlu dibahas konsep ini relatif “utuh” supaya tergambarkan pengertian lebih jelas.

Konsep ini berasal dari konsep ke-Islaman-an yang biasa dibahas dalam naskah-naskah teosofi tasawuf. Artinya kurang lebih menghadirkan Allah di dalam “rasa batiniah” diri manusia. “Kehadiran Allah” di dalam batiniah manusia tidak serta-merta “bersinar” (karena ada hubungannya dengan Nurullah), namun harus diupayakan oleh pribadinya masing-masing, apabila tidak diusahakan oleh pribadi masing-masing, Nurullah yang Kudrati itu “suram”. Di dalam peribadatan tarikat, salik (pencari jalan) mencari upaya untuk selalu menghadirkan Allah di dalam “rasa”nya. Untuk bisa menghadirkan Allah di dalam “rasa” salik tersebut, melalui  baiat  seorang Guru Mursid

Menghadirkan-Allah-selalu, di dalam “rasa” manusia, bisa dipersamakan seperti tuturan Ajengan Gaos seorang guru Tarikat Kadariyah Naksabandiyah dari Suralaya bahwa harus bisa berkhalwat di tempat ramai, artinya harus selalu menghadirkan Allah di tempat ramai, terlebih lagi dalam kesendirian.

Kehadiran Allah “Yang Maha Ada”/ “Yang Maha Gaib” /“Dzat Laisa Kamistlihi”/ ‘yang tidak bisa diumpamakan oleh apa pun’, apabila selalu ada dalam “rasa” kemudian, sinar Dzat Yang Maha Ada akan mengalir pada hembusan nafas, detak jantung, dan pada seluruh butir-butir darah. Keadaan ini dinamakan bermakrifat. Upaya mencapai batin yang bermakrifat di antaranya dengan menghilangkan hijab ‘alangan’  perkara duniawi dalam batiniah, yang dihadirkan hanyalah Allah, Yang Maha Ada/Yang Gaib. Ciri naskah-naskah teosofi tasawuf selalu disebut-sebut istilah syariat hakikat tarikat marifat.

Apabila salik sudah mampu menghilangkan alam kasar/alam fana dalam batiniahnya, dan selalu mengisinya dengan kehadiran Allah - Pemilik dari jagat raya ini, maka tak ada kekhawatiran apa pun karena segalanya berserah kepada-Nya. Pegangan bermakrifat dari Guru Tarikat Kadiriyah Naksabandiyah Almarhum Abubakar Fakih, lamun poho gancang éling, susah senang rata baé, susah lain nu urang senang lain nu urang kira-kira dalam pemaknaan bebas: “apabila lupa segera Allah hadirkan kembali di dalam batiniah, jalani kehidupan yang sulit dengan kebahagiaan secara datar, karena kehidupan ini bukan milik manusia”.

Menghilangkan badan kasar dan hanya mengadakan Yang Maha Ada di dalam diri, berarti “kematian” dari sifat fana “sedang berlangsung proses kematian” “sudah berpisah antara nyawa dan badan”. Dalam proses ini batin manusia menghadap Yang Maha Ada. Di dalam teks naskah teosofi tasawuf disebut “belajar mati sebelum wafat”. Di dalam Wawacan Pulan Palin disebutkan bahwa “manusia tidak mati” namun “hayun baqin” “hidup kekal”, yang hancur adalah badan kasar /hawadis/yang bersifat barua
B Penerapan Teks Hp  Manunggaling kaula-Gusti terhadap Teks WBR
Data WBR I  Intinya menunggalkan dengan Sanghiyang Guru, tunggal kaula-Gusti yang akan membawa kepada Kemuliaan. 

Hp adalah semua yang dicantumkan pada data hipogram tentang manunggaling kaula-Gusti. Konsepnya sama namun dengan bahasa yang berbeda. Penerapan Hp ke teks WBR melalui adaptasi (adaptation) dari Asma Allah eksplisit atau implisit dengan penyebutan Penguasa Alam Hindu Budha. Pada WBR manunggaling kaula – Gusti sudah merupakan berlangsungnya proses peribadatan, pada Hp baru merupakan pembelajaran.  
Data WBR II Menanggalkan cipta (keduniawian), menghadirkan Dewa Penyayang, tak merasa memiliki daya
HP WJU: kedah kanyahokeun heula Dzatna         terlebih dahulu, ketahuilah
                                                                                  Dzat Allah
naha saha nu kedah tingali                               siapa yang harus mengetahui
lamun urang teu kudu nyaho ka Allah (48)       bila kita tidak harus tahu Allah

Kapan parantos kapegat                                   Bukankah sudah terputuskan      
kapiheulaan ku dalil                                          didahului oleh dalil
Laa hawla wala kuwwata téa                            Laa hawla wala kuwwata tea                 
ila bilahi aliyul adziim                                       ila bilahi aliyul Adziim                            
cenah geuning Sundana dalil                             adapun artinya
henteu daya henteu upaya kitu                          (manusia) tak memiliki daya upaya
nyasat lahawla kawas rokrak                            seolah-olah sebilah potongan
                                                                                    bambu kecil
lebah dinya tacan kaharti                                  nah, itulah masalah yang
                                                                                    tak kupahami
bet aya rokrak kudu kawasa ningal (49)           mengapa sebilah bambu harus
                                                                                    mampu melihat

WJU  ini intinya  mengetahui  Allah (menghadirkan/merasakan ada-Nya Allah)  dalam Badan Rohani. Kehadiran Allah dalam Badan Rohani,  pada hakikatnya manusia tak memiliki daya upaya apa pun, karena sarana untuk merasakan ada-Nya Allah sekali pun, atas anugrah-Nya. Serta atas kehendak-Nya Allah ber-tajalli kepada manusia yang dipilih-Nya, yaitu manusia yang mencari-Nya

Penerapan Hp WPP kepada WBR dengan pengadaptasian (Adaptation) Penguasa Alam, WBR Penguasa alamnya Dewa, adapun Hp walaupun tidak disebut secara eksplisit, yang dihadirkan Ada-Nya di dalam Badan Rohani adalah Allah.

Data WBR III Raga dihilangkan, yang dihadirkan dalam batin hanya Dewa
Hp Lihat keterangan Data I

Data WBR IV Sangyang Utipati berada di dalam “rasa”.
Hp WPP  Naha Allah téh Akang di mana ayana       Di manakah ada-Nya Allah Kanda
naha marukana Allah téh di luhur langit            Apakah Allah itu di atas langit
kapan kaula-Gusti tunggal (74)                          bukankah abdi dengan Tuhan
                                                                                    menunggalkan (diri)
Sabab mungguhing Pangéran                             Sesungguhnya Tuhan,
teu aya antarana saeutik                                     tak ada antaranya sedikit pun 
                                                                                     (dengan kita),
jeung manusa teh deukeut pisan                         dengan manusia, sangat dekat
tapi teu antel jeung diri                                       tetapi tak bersentuhan
lamun anu tacan ngarti                                       orang yang belum mengerti,
enggeus tangtu éta jauh                                      disangka (keberadaan Allah) jauh
tah éta téh mangga manahan                             nah, silahkan pikirkan 
rasakeun di jero galih                                         rasakan di dalam batin
mun geus kapiraos éta  téh  Wujud Allah (195)  apabila dirasakan Ada-Nya,
                                                                                     itulah  Wujud Allah
Hp WPP  baru merupakan pemberitahuan bahwa menghadirkan Allah pada Badan Rohani yakni pada “rasa”, sedangkan pada WBR sudah merupakan proses peribadatan, yakni Sang Utipati berada pada rasa. Penerapan HP terhadap WBR melalui proses pengadaptasian nama Tuhan yang diseru (Adaptation).
Data WBR V Raga kasar dihilangkan, cipta menyatu kepada Hing Jagat Nata, rasa sakit hati, seperti tidak menerima keadaan/keluh kesah, takabur, pedih hati, sakit, musnah, yang ada rasa nikmat.
HP. HMM. Kuring ngawula ka kurung       Aku (Nurullah dalam diri manusia)
                                                                         selalu mengabdi pada raga
kurunganana Sim Kuring                     yang menjadi kurungan Aku
                                                                        (Nurullah dalam diri manusia)
Kuring darma dipiwarang                     Aku sekedar diperintahkan
dipiwarang ku KURING                       oleh AKU (ALLAH)
kuringna rumingkang kurang                Aku (dalam kurungan raga manusia)
                                                                         jadi bersifat kurang
kurangna puguh gé kuring                    kurang karena sifat aku (yang
                                                                         sedang mengembara di dunia).
HPHMM
Kuring ngawula ka kurung                 Aku mengabdi pada kurungan,
kurungan pangeusi kuring                    kurungan yang diisi olehKu
kuring sagalana kurang                        aku (yang sedang mengembara di
                                                                         dunia ini) segalanya
                                                                         bersifat kekurangan
kurang da puguh gé kuring                   kurang karena memang sifat aku
                                                                         (sedang mengembara  di dunia
Kuring sagala teu kurang                     namun, Aku (Nurullah) tak
                                                                          kekurangan apa pun
sakur nu aya di Kuring                         segala ada padaKu,

HPHMM

 Kuring ngalantung di kurung            Aku dalam kurungan
kurung Kuring eusi Kuring                  kurungKu yang berisi Aku   
kuring kurang batur kurang                  aku (yang sedang mengembara
                                                                         di dunia) bersifat kekurangan
                                                                          begitu pun manusia lainnya
rasaning pa-Kuring-Kuring                namun di dalam rasa masing-masing 
                                                                          sama-sama ada Aku (Nurullah)
Teu kurang pada Teu Kurang          tidak memiliki sifat Kurang
batur-batur cara kuring                       semua manusia (yang
                                                                          dalam pengembaraan) seperti aku

( Keterangan tanda aksara: aku manusia biasa, Aku Nulullah, AKU Tuhan)

Hp HHM, terdapat tiga jenis “aku”. Pertama “AKU”, Tuhan, kedua  “Aku” Nurullah yang berada di dalam diri manusia yang tidak memiliki kekurangan karena diemanasi oleh Tuhan, ketiga “aku” manusia biasa yang sedang mengembara di dunia, yang terdiri dari lahir/raga kasar dan batin yaitu Badan Rohani/Nurullah. AKU, Tuhan tak akan dibahas, yang akan dibahas “Aku” (Nurullah) dan “aku” manusia yang terdiri dari raga dan batin.   

Aku tidak membutuhkan apa pun, Aku ini ikut dengan raga/jasad kemana pun raga itu pergi, namun Aku tidak dipengaruhi hukum dunia. Dalam WBR dikatakan, hukum dunia ada rasa enak tak enak, menang kalah, gembira dan sedih. Aku ini tidak dipengaruhi, oleh karena itu dikatakan Aku tak kekurangan apa pun. Dikatakan oleh sufi  susah senang rata baé, susah lain boga urang senang lain boga urang “susah senang rasakan secara rata karena keduanya bukan milik manusia. Susah senang dibagikan secara adil oleh Tuhan kepada manusia”, dengan kata lain susah dan senang hanya cobaan hidup.

Kedua, “aku” yakni Aku Nurullah/Badan Rohani yang terbungkus oleh Muhamad Majaji (istilah dalam WJU) yakni raga yang bersifat hawadis, baruan, indrawi, dikatakan oleh Sufi Abubakar Fakih Almarhum Kaadaman adalah manusia, yang terdiri dari raga kasar yang bersifat fana dan Badan Rohani yang hayun baqin “hidup kekal” “aku” ini, manusia yang meliputi raga kasar dan Badan Rohani, dalam menjalani hidup di dunia selalu bersifat kurang, kata HHP kuring kurang batur kurang, seluruh manusia dihinggapi oleh perasaan kurang.

WBR mengedepankan suasana batin yakni aral “tidak menerima keadaan/berkeluh kesah,” tekebur, pedih hati, sakit, musnah, yang ada rasa nikmat, apabila selalu menghadirkan Tuhan pada batiniah. Tentang lenyapnya suasana batin antara lain sedih, dengan hadirnya Rasa Allah dalam diri manusia disebut dalam Hp 11 sebagai berikut:
HP WBB Tah kitu éta mah Engkang           Begitulah Kanda
nu matak kudu kapanggih                       oleh sebab itu harus
                                                                          bertemu/mengenal/mengetahui
eujeung nu bogana Sukma                      dengan Pemilik Sukma
di kuburan bisi heurin                             (supaya kelak) di kuburan tak sempit
candak Jagat Gedé deui                         masukanlah Jagat Luas 
                                                                          (Pemilik Jagat Raya)
nagara gé meureun asup                        negara pun masuk  
diteundeun di jero ati                                       letakkan di dalam hati
tah téangan dina badan Jagat Lega (121)        hadirkanlah di badan Pemilik
                                                                                 Jagat Yang Maha Luas.

Dari Hp WBB dikatakan hadirkan Pemilik Jagat Yang Maha Luas, yang menguasai seluruh rasa, maka bila Pemilik Jagat Luas hadir dalam diri manusia maka lenyap rasa was-was, khawatir, tidak menerima keadaan, tekebur, pedih hati, sakit, musnah yang tinggal rasa nikmat. Jadi penerapan Hp ke dalam  WBR V, merupakan  penggabungan dari sejumlah Hp yang berarti pengluasan (expansion), konsep ini ditemukan dalam penelitian Rifatterre (1978: 50 – 63).
Data WBR VI  Menciptakan mati dalam hidup
HP WPP.
 Paéh nu teu usik malik mah                       Mati yang tidak bergerak
nyaéta paéh bag-bagan jasmani                  yaitu mati urusan jasmani
da teu nyaturkeun paéh kitu                        (kini) tidak mempersoalkan masalah itu
paéhna Nu Sajati-na                                    (yang menjadi persoalan) adalah
                                                                              mati Kesejatian   
éta mah gaib teu katénjo ku batur                yang tidak terlihat oleh orang lain
ngan urang sorangan nu ngarasa                 hanya kita yang merasa
paéh bisa usik malik (68)                              mati, namun raga  bergerak ke
                                                                               sama ke mari
Hp WPP Ada dua kematian yang dikemukakan,  pertama mati jasmani yakni mati biasa atau ajal yaitu raga tak bisa lagi bergerak. Yang menjadi pembicaraan bukan mati ini, namun  mati Badan Rohani, mati yang raganya berjalan ke sana ke mari.

Mati Badan Rohani yang dimaksudkan, seperti keterangan berikut. Allah dengan Rahim-Nya membagikan Nurullah/Sajatining Iman kepada manusia dalam porsi yang sama,  namun manusia itu sendiri tidak membukakan jalan, tidak mempotensikan anugrah  dirinya, untuk mengetahui Ada-Nya, tidak mencari tahu, tentang bagaimana menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani. Keberadaan Allah di dalam dirinya diacuhkan, maka Badan Rohani tidak bersinar. Pada teks Wawacan Pulan Palin dikatakan, Allah néangan anu néangan, ‘Allah mencari manusia yang mencari-Nya’

Pengertian tersebut seperti berikut. Dalam WJU tentang tajalli diterangkan bahwa, Allah menampakkan diri kepada “manusia yang dikehendaki” (bukan berdasarkan nasib, namun upaya dari manusia untuk membuka hijab, membuka alangan, hal-hal yang tidak dikehendaki-Nya, tidak menyimpan perkara duniawi di dalam Badan Rohani, apabila menempatkan perkara duniawi/indrawi dalam Badan Rohani, itu yang dinamakan kufur, kafir (di dalam WJU).

Dalam Hp paéh Nu Sajatina   yang dimaksud manusia itu sendiri yang memalingkan muka pada kehadiran Tuhan di dalam dirinya,  dalam WPP dikatakan juga bahwa kapanggih gé moal tepang, kaula sarawuh Yang Widi “bertemu pun tak kenal,  abdi dengan Tuhannya”

WBR mengungkapkan kebalikannya menjalankan mati di dalam hidup. Dalam WJU diungkapkan Ruyatillahi Ta’ala fiddunya  biainil golbi, ruyatullahi Ta’ala bilakhiroti biainil Arsi, artinya ‘di dunia (manusia) melihat Allah dengan ‘mata hati’, di akhirat Allah tak terhalang apa pun, sebab sudah menyatu’. Melaksanakan mati dalam hidup adalah bertafakur, melepaskan duniawi di dalam batin dan menghadirkan Allah dalam Badan Rohani, seperti melihat Allah di akhirat. Jadi  penerapan Hp 1 dalam WBR menyatakan yang sebaliknya atau pemutarbalikan (conversion) konsep ini ditemukan dalam penelitian Riffatere (1978 – 63)               
HP WPP Geuning dina Kuran dalilna                      Di dalam al Quran  
antal maoti                                                           antal maoti
koblal maotu                                                        qoblal maotu
kudu diajar maot méméh wapat                           harus belajar mati sebelum wafat
kudu diajar wapat saméméhna pupus                  harus belajar wafat sebelum
                                                                                     meninggal
tah kitu sundana                                                   nah begitulah artinya
kudu nyaho paéh saméméhna mati (69)               harus mengetahui mati
                                                                                    sebelum mati
Hp WPP merupakan myth concern WBR. Yang dimaksud belajar mati dalam hidup adalah menghidupkan Badan Rohani/Nurullah, menghadirkan Allah dalam diri.

Kesimpulan
Dalam penggubahan WBR terdapat proses  rekonstruksi yakni proses penciptaan kembali kisah Rama dari Serat Rama berbahasa Jawa ke dalam WBR berbahasa Sunda, dipengaruhi oleh individu pengarang, tuntutan zaman, dan ikatan budaya, yang dijalin secara halus terefleksikan dalam pemikiran-pemikiran teosofi tasawuf. Manunggaling kaula-Gusti di dalam WBR, menghilangkan raga kasar di dalam batiniah, yang hadir hanya Yang Gaib / Yang Maha Ada. Apabila hati sudah menyatu dengan Yang Jagat Nata (Penguasa Jagat/Semesta), perasaan susah, tekebur, sakit, dan nyeri akan hilang, yang tertinggal hanya rasa nikmat. Gambaran ini, memperlihatkan telah terjadi myth concern atas karya terdahulu dalam segi konsep, namun terjadi penyesuaian nama terhadap Penguasa Alam yaitu dengan menempatkan nama-nama Penguasa Alam pra-Islam, Sangyang Guru, Dewa, dan Sangyang Utipati sesuai latar belakang kisah Sri Rama.

Walau terdapat kejanggalan dalam pandangan masa kini, pada zamannya penyisipan ini bukan merupakan kejanggalan, namun merupakan bagian dari rangkaian semantik yang memiliki fungsi semiotik terhadap rangkaian kesatuan semantik tersebut, yang mengusung  dukungan semiotik ke dalam teks secara keseluruhan. Tema WBR dari segi struktural yakni pati mulia ’ajal mulia’. Tentang ajal mulia ini dipermasalahkan baik oleh tokoh protagonis dengan kelompoknya yakni tokoh Sri Rama dan yang berpihak kepadanya maupun tokoh antagonis yakni Raja Dasamuka. Adapun  konsep yang diserap oleh WBR dari Hp adalah manunggaling kaula-Gusti.  Makna WBR menginti pada satu kalimat berupa matriks, ajal mulia dengan jalan manunggaling kaula-Gusti.

Dalam bahasa yang lebih luas sebagai berikut, meraih ajal mulia untuk menuju kebahagiaan yang kekal di Alam Keabadian, yaitu dengan jalan menghadirkan selalu Allah di dalam Badan Rohani. Dengan selalu hadirnya Allah di dalam Badan Rohani, akan selalu melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya, dan seluruh perbuatan yang dilakukan raga dan jiwa didasarkan kepada-Nya. Menjalani kehidupan di alam fana ini dengan manunggaling kaula-Gusti, baik bahagia, maupun derita diterima dengan rasa yang rata/lega sebagaimana dikemukakan oleh HHM bagja cilaka cék saha, untung rugi ngan panuding, mun ieu Kalangkang Rasa tandaning Sirun Ilahi. ‘Bahagia atau musibah kata siapa (kata siapa bahagia, kata siapa musibah, sebab hanya fana), untung dengan rugi hanya sebutan,  kalau Yang Ini (Badan Rohani)  Bayang-Bayang, tanda dari Sirun Ilahi (Rasa Ilahi, Hakikat bukan hanya sifat fana).’ Seperti disebut pula dalam WBR, orang yang menghadirkan selalu Tuhan di dalam dirinya, rasa was-was, khawatir, keluh kesah, tekebur, pedih hati, sakit, musnah yang ada rasa nikmat karena Ada Dia Yang Menghuni Batin, dengan kata lain, tak selayaknya menangis dan berbahagia  secara berlebihan hanya menangisi dan membahagiakan “yang bersifat sementara.”

DAFTAR PUSTAKA    
Behrend, T.E. (Ed). 1990  Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, Jilid I, Museum
          Sonobudyo   YogyakartaJakarta: Kerjasama Penerbit Jembatan dan Ford
           Foundation.
Buckhardt, Titus  1984  Mengenal  Ajaran Kaum Sufi, diterjemahkan oleh Azyumardi   
         dan Bachtiar Effendi dari buku: An Introduction to Sufi Doctrine edisi kedua 1981,
           Great Britain, Willington : The Aquarian Press. Jakarta: PT Dunia Pustaka  Jaya.
Culler, Jonathan.  1975 Strukturalism and Linguistic Models (Part One). Great Britain:
Derrida, Jaques.  2002 Dekonstruksi Spiritual, Merayakan Ragam Wajah Spritual. Alih  
           Bahasa oleh Firmansyah Argus dari buku: Off Spirit: Heidegger and the Question
            Yogyakarta: Jalasutra Yogyakarta.
Eagleton,  Terry.  1983 Literary Theory, An Introduction, OxfordEngland: Basil
            Blackwell Publisher Limited.
Eagleton, Terry (Ed)  1985  Modern Literary Theory.
Fathurahman, Oman. 1997. Tanbih Al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud. Kasus
           Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Kerjasama dengan ÉFEO. Bandung:
           Penerbit Mizan.
Hadisucipto, Sudibjo Z. 1983 Caretana Rama,  Alih Aksara.  Jakarta: Proyek Penerbitan   
            Buku SastraIndonesia dan Daerah,  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  
Hollub, Robert C.  1989 Reception Theory, A  Critical Introduction, General Editor:
            Terence Hawkes,  Great Britain: Methuen & Co.Ltd.
Ikram,  Achadiati.  1980 Hikayat  Sri  Rama,  Suntingan  dan Naskah,  Disertai  Telaah, 
             Amanat dan  Struktur. Disertasi..  Jakarta:  Penerbit  Universitas  Indonesia.
Jauss, Hans Robert,  1955 Aesthetic Experience and Literary Hermeneutics, diterjemakan
             ke dalam bahasa  Inggeris oleh Michael Shaw, Minneapolis: University  of   
            Minnesota
             Press.
       19..      Toward an Aesthetic of Reception,  diterjemahkan ke dalam bahasa   
       Inggeris   oleh   Timothy Bahtiintroduction oleh Paul de Man, Theory and History
       of Literature, volume 2.  Minneapolis: University of Minnesota Press.
Lechte, John.  2000.  50 Filsuf Kontemporer. Dari Strukturalisme sampai
          Postmodernitas.  Alih  bahasa oleh A. Gunawan Admiranto dari buku: Fifty  
          Key Contemporary Thinkers, 1994. London and New York: Routledge.
          Yogyakarta:   Kanisius.  
Lubis,  Nabilah.  1996  NaskahTeks  dan  Metode  Penelitian  FilologiJakarta: Forum
          Kajian &  Sastra  Arab Fakultas Adab  Syarif  Hidayatullah.
      1995   Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makasari Menyingkap Intisari Segala Rahasia.
             Edisi  Pertama. Fakultas sastra Universitas Indonesia dan Ecole Francaise
             d’Extreme-Orient. Bandung: Mizan.
Lubis, Nina Herlina.  1990  Bupati  R.A.A..  Martanegara study Kasus Elite
           Birokrasi Pribumi di Kabupaten Bandung  1893 – 1918. Tesis.
           Yogyakarta: Fakultas Pasca  Sarjana Universitas Gajah Mada.
     1997   Historiografi Barat: dari Herodotus hingga James Harvey Robinson,
          Edisi Pertama. Bandung: Alqaprint, 2000.
Martanagara.  1921     Babad Raden Adipati Aria Martanagara
Nikolaus Girardet & Cs.  1983  Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and   
          Printed Books   in   the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
         Wiesbaden: Franz Steiner Verlag GMBH.
Nurgiyantoro,  Burhan.  1998   Teori  Pengkajian  Fiksi,  Edisi kedua. Yogyakarta:         
          Gadjah Mada     University  Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono.  1984  Kakawin  Gajah  Mada,  Sebuah Karya Sastra
         Kakawin Abad ke-20   Suntingan Naskah Serta Telaah Struktur, Tokoh Dan
        Hubungan Antarteks. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia        
Purwadarminta, W.J.S.  1985  Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN
              Balai Pustaka.
Riffaterre, Michael.  1978  Semiotics of Poetry. Library of Congress Cataloging in
             Publication Data. Bloomington & London: Indiana University Press.
Rivkin, Julie &  Michael Ryan (Ed).  1998   Literary TheoryAn  Anthology
            Massachusetts:   Blackwell Publisher Inc.
Rosidi, Ajip.  1966    Kesusastran  Sunda  Dewasa  Ini,  Edisi Pertama,  Serii
             Tjupumanik.Bandung:  Pinda  Grafika  Unit II.
                 1989  Haji Hasan Mustapa jeung Karya-Karyana, Citakan I.Bandung:
                 Pustaka.
Selden,  Raman.  1993  Panduan Pembaca  Teori  Sastra Masa Kini,  Edisi ketiga
               diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo  dari buku:  “A Reader  Guide  To 
                Contemporary Literary  Theory”,  1985. Harvester – Wheatsheaf.
Sim, Stuart.  2000  Derida dan Akhir Sejarah, Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh Sigit
             Djatmiko dari buku: Derida and the End History. UK: icon Books dan
             USA: Totem BOOks, 1999. Yogyakarta: Penerbit Jendela.        
Stutterheim, Willem.  1989.  Rama-Legends and Rama-Reliefs in Indonesia. First
         Published Wazirpur-Delhi: Ajanta Offset &Packingings Ltd. Madras: Kapur
         Graphics Inc. Janpath-New Delhi: Indra Gandhi National.  
Suropranoto, Kyai Sadrah.  1989  Serat Rama , Naskah Jawa tulisan tangan koleksi. Desa
               Karangjoso    Kecamatan  Butuh, Kabupaten Purworejo, disalin oleh Soetomo
               dkk. Semarang: Yayasan  Studi Bahasa Jawa “Kanthil.”  
Teeuw,  A.  1984       Sastra  dan  Ilmu  Sastra,    Pengantar  Teori  Sastra.    Jakarta
               P.T.  Dunia  Pustaka 
               Jaya.
Zoest,  Aart  van.  1990  Fiksi  dan  Nonfiksi  dalam  Kajian  Semiotik.   Seri  ILDEP.
              Jakarta:  Intermasa. 

Sumber: unpad.ac.id
Baca Juga

Sponsor