Kita juga mendengar atau membaca bahwa pusat kerajaan Galuh dipindahkan ke Kawali (Ciamis sekarang). Lalu kita bisa "kejar" dengan pertanyaan lanjutan: dipindahkan darimana?
Baiklah, kita mulai menelusuri dari asal-usul kata "Galuh" dan pengertian atau arti harfiah dari "Galuh".
Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya
Mengutip buddynataatmadja.wordpress.com, bahwa di Tasikmalaya Jawa Barat diselenggarakan Seminar pada tanggal 16-19 Mei 2014 yaitu Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh. Seminar yang diselenggarakan oleh Unsil bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh itu membahas sejarah Galuh ditinjau dari berbagai kajian, antara lain epigrafi, filologi, arkeologi, numismatik dan sebagainya.Untuk membuka pemahaman pembaca terhadap “Galuh”, “PR” menurunkan tulisan ahli sejarah, Drs. Atja. Tulisan ini berupa makalah yang juga disampaikan pada seminar di Tasikmalaya itu.
Toponim suatu tempat sering sangat penting bagi suatu kajian sejarah, karena di dalamnya terkandung nilai sejarah, baik yang berhubungan dengan lingkungan alam maupun dengan kehidupan manusia yang menempatinya. Di samping itu penamaan suatu tempat merupakan ciptaan manusia yang sengaja dengan mempertimbangkan unsur-unsur lingkungan, mitologi, legenda, sejarah dan lain-lain. Itulah sebabnya di sini akan mencoba menelusuri nama tempat dalam pasang surutnya sejarah kehidupan manusia, yang menjadi sorotan kini ialah “Galuh”, dan tempat lainnya yang diperkirakan ada kaitannya.
Seorang pakar yang telah memperhatikan dengan saksama perihal nama “Galuh” ialah mendiang Prof. Dr. R. Ng Poerbatjaraka (baca: Purbocoroko). Beliau menulis sebuah makalah secara khusus tentang Galuh dalam majalah “Bahasa dan Budaya”. Tahun III, No.2, December 1954, halaman 6-10, berjudul: “3 Galuh” juaga dalam bukunya "Kepustakaan Djawi".
Untuk mencari arti leksikal, Poerbatjaraka membuka kamus Jawa (Gericke & Roorda 1901, II), galuh, Kw. zva. putri orang bangsawan dan dewi (Skt. galu, sejenis batu permata). KN nama kabupaten di dalam Keresidenan Cerbon, zaman dulu kota kerajaan. Di dalam kamus Purwodarminto; galuh kl. (kesusastraan lama) ratna (intan); putri (anak raja). Di dalam Kw. Bal. Ned. Wdb Van den Tuuk, kata galuh diterangkan dengan panjang lebar, tetapi artinya:
Lihat juga videonya
I. antara lain juga cuma mengelilingi arti putri dan permata (emas),
II. Nama kerajaan di tanah Jawa (zaman Kuna).
Galuh sebagai nama sebuah kerajaan di Tanah Jawa zaman kuno, Poerbatjaraka menyebutkan :
Terdapat hampir di tiap-tiap Serat Babad yang menceritakan “zaman itu”. Ia memberi contoh di dalam Serat Babad No. 1 yang disimpan di Lembaga Bahasa dan Budaya (kini: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), hlm. 257, tentang perangnya Raja Banjaransari yang bermusuhan dengan raja (jin) perempuan di Galuh.
Di dalam Babad Tanah Jawi, sebagai negara Arya Bangah (ed. Meinsma-Olthof 1941).
III. Di dalam Serat Aji Saka, sebagai Raja Sindula, ayah Sang Dewata-cengkar, Negara Galuh ini diceritakan ketika diserang perang oleh Dewata-cengkar, sekonyong-konyong ilangmenjadi utan. (Serat Aji Saka oleh CF Winter 1857).
Di dalam Carita Parahiyangan, sebagai negara Raja Sanjaya. Sungguhpun cerita no. I, II, III itu cuma cerita sebagai dongeng pula, tetapi dongeng yang sangat mendekati cerita riwayat (Riwayat Indonesia I 1952: 61).
Galuh ditambah Ujung, jadi Ujung-Galuh, nama tempat, yang dikatakan bula mengasingkan sang Jayakatwang, raja di Kediri oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit yang pertama (Pararaton1920).
Ada nama Galuh pula yang ditambah awalan pra-, jadi Pragaluh, ialah nama desa atau daerah, yang terdapat pada batu tulis, yang terdapat di Desa Gandasuli (Kedu), yang masih terletak di tempatnya (De Casparis 1950: 62). Kabar inilah yang mempunyai derajat bahan epigrafi, yang di dalam ilmu pengetahuan sejarah sangat pentingnya.
VII. Galuh sebagai betul-betul nama ilmu bumi di Tanah Jawa, terdapat di dalam karangan CM Pleyte, seorang yang boleh dianggap ahli dalam ilmu Kesundaan, yang mengatakan bahwa Galuh sekarang ialah (ongeveer) Ciamis. (Pleyte 1913: (282).
Poerbatjaraka selanjutnya menunjuk kepada sebuah nama kampung: Begalon di sekitar Keraton Surakarta, menurut tradisi kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang menggosok intan berlian. Katanya, asal-mulanya nama kampung itu tentu: Pegalon, dari Pegaluan dari pegaluhan dari galuh pula. Barangkali keterangan “tempat pegawai tukang menggosok intan-berlian” itu, setelah galuh diberi arti “permata”. Karena itu Prof. Poerbatjaraka mengajukan pertanyaan; mungkinkah bahwa kampung itu dulu ditempati oleh pegawai tukang membuat barang perak, barang perak upacara yang besar-besar seperti lancang, sumbul, bokor dan lain-lainnya, karena kampung itu sangat berdekatan dengan Kawatan. Sayangan dan “kemasan”.
Poerbatjaraka berpendapat, bahwa Galuh sebagai nama tempat, yang letaknya di Tanah Jawa tulen ada di arah barat, maka artinya tanah -, daerah -, atau Negara Galuh itu ialah tanah-, daerah -, atau Negara Perak.
Dalam karangan no. 4, berjudul Bagelen. Perihal kata itu, beliau menunjuk kepada rangkaian bentuk dari kata: Pegalon dari dari Pegaluan dari Pegaluhan, dari Galuh. Demikian juga nama Bagelen itu dari Pagelen, dari Pegalian, dari Pegalihan, dari Galih. Adapun kata Galih itu bentuk krama dari Galuh. Poerbatjaraka memperingatkan, katanya, jangan dicampur bentuk krama dengan kata krama. Yang dimaksud dengan kata krama oleh beliau, ialah: putra, krama, anak ngoko; griya krama, omah ngoko. Sebagai temannya beliau menunjukkan beberapa rangkaian contoh: pangguh; panggih; lungguh; linggih; sungguh; singgih; suruh; sirih. Maka bendasarkan beberapa contoh, Poerbatjaraka berkeyakinan, bahwa Pegalihan itu bentuk krama dari Pegaluhan, seperti juga Galih dari Galuh; dan Galih itu di dalam cerita “rakyat” Sunda memang nama negara zaman kuno, cuma saja ditambah "Pakuan", menjadi "Galuh Pakuan".
Dalam pada itu kesimpulan yang ditarik oleh Poerbatjaraka, bila keterangan tentang Galuh dan Bagelen digabung, maka sejarah daerah aliran Sungai Bagawanta – Serayu – Citanduy, zaman dulu ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang pusatnya ada di daerah Ciamis sekarang.
Bahwa untuk menelusuri perkembangan sejarah Galuh sebagai sebuah pusat kekuasaan raja-raja pada zaman dahulu, hampir dapat dikatakan tidak mungkin mendapat dukungan prasasti-prasasti atau peninggalan purba lainnya, demikian juga berita-berita asing, yang ada hanyalah beberapa naskah, yang tertua sampai kepada kita hanya beberapa buah berasal dari akhir abad ke-16 Masehi dan beberapa buah dari abad ke-17 Masehi. Berbeda dengan sistem penyalinan di daerah kebudayaan Bali, karena mereka masih sangat terikat kepada agama yang sama dengan isi naskah yang disalinnya, mereka berusaha menyalin naskah sepatuh mungkin, biarpun kesalahan kecil-kecil yang tidak mungkin mereka lakukan secara sadar. Sedangkan para penyalin di Jawa Barat menganut agama yang berbeda dengan isi naskah tentang kepercayaan yang lama, mereka merasa lebih bebas melakukan penyalinan kreatif, disesuaikan dengan kepentingan orang atau pembesar yang membiayainya.
Dalam kesempatan berbicara seputar Galuh kali ini, diketengahkan, beberapa naskah, baik yang telah diterbitkan maupun yang belum, yang dianggap berisi semacam “sejarah”, dalam pengertian masa naskah itu ditulis, yang isinya sudah barang tentu terikat kepada “kode budaya” masyarakatnya.
Pengertian “sejarah” (atau “sajarah”) pada masa itu ialah stamboom, bukan geschiedenis atau history. Tetapi “sejarah” pada waktu pendudukan Jepang dipakai pengganti istilah geschiedenis, yang dilarang dipakai di dunia persekolahan pada masa itu, padahal yang lebih dekat artinya, ialah “tarikh”.
Dalam pemakaiannya zaman dulu istilah “sejarah”, dipertukarkan secara bebas dengan kata “silsilah”, yang di Filipina Selatan, disebut “tarsilah” (Majul 1977, 1989).
Istilah “sejarah” pada dasarnya merupakan semacam “catatan”, tentang baris keturunan yang tertulis. Salah satu fungsi yang utama, adalah untuk menelusuri leluhur seseorang atau keluarga hingga pada seorang tokoh yang terkenal pada masa yang lampau, mungkin seorang tokoh politik atau seorang guru agama. Kenyataan ini memberi kesan, bahwa karya “sejarah” demikian tidak dimaksudkan untuk tetap sebagai dokumen sejarah saja. Tetapi sebaliknya catatan garis keturunan itu berfungsi untuk mendukung pengakuan individu-individu dan sesuatu keluarga untuk memperoleh kekuasan politik atau menikmati hak-hak istimewa tertentu yang bersifat tradisional, atau paling tidak menikmati martabat yang lebih tinggi di antara sesama anggota masyarakatnya.
Dengan demikian untuk melayani tujuan-tujuan itu, maka “sejarah” harus dipelihara agar tidak ketinggalan zaman. Bila ditulis pada bahan-bahan yang dapat rusak, seperti kertas, maka isinya harus dilestarikan dengan menyalinnya pada kertas baru. Dengan demikian, usia bahan yang digunakan bukan merupakan petunjuk usia atau keotentikan catatan-catatan itu (Majul 1989: 98-9).
Kalau kita nanti menelaah beberapa jenis naskah yang dianggap berisi “sejarah”, yang tampaknya bervariasi, maka janganlah dengan serta-merta beranggapan, sebagai dokumen yang berisi silsilah yang memperlihatkan suatu kesalahan. Sesungguhnya silsilah itu bisa berisi pemberian mengenai sebagian tokoh, nama-nama tempat dan data sebenarnya dari peristiwa masa lampau, tetapi juga dimasukkan unsur-unsur mitologis, karena dimaksudkan untuk memenuhi beberapa tujuan di luar fungsi genealogis yang bersangkutan. Mungkin saja untuk sesuatu tujuan beberapa nama disingkirkan, misalnya guna mencegah agar keturunan-keturunan tertentu tidak dapat menuntut haknya atas tahta.
Kerajaan Galuh di Jawa Tengah
Mengutip pendapat Hasan Kurniawan yang dimuat Sindonews.com, "Gunung Slamet dan sejarah Kerajaan Galuh Purba".Gunung Slamet merupakan gunung api tertinggi kedua di Pulau Jawa, dan terbesar di Jawa Tengah. Gunung ini berada di daerah perbatasan lima wilayah, terdiri dari Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan catatan sejarawan Belanda Van der Meulen, pada abad ke-1 Masehi, terbentuklah Kerajaan Galuh Purba, di Gunung Slamet. Inilah kerajaan pertama dan terbesar di Jawa Tengah.
Para pendiri Kerajaan Galuh Purba itu merupakan pendatang yang berasal dari Kutai Kalimantan Timur, sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu dan zaman pra Hindu. Para pendatang itu pertama menginjakkan kakinya di Cirebon, lalu masuk ke pedalaman, dan berpencar.
Sebagian dari mereka ada yang menetap di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu. Mereka yang menetap di sekitar Gunung Cermai mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet, mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Dari kerajaan inilah, para penguasa raja-raja di Jawa terlahir.
Kerajaan Galuh Purba bertahan hingga abad ke-6 M dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Situs Candi Bumiayu Diduga Peninggalan Kerajaan Galuh pada Abad Kesembilan. Foto: jateng.tribunnews.com |
Sejarawan Brebes, Wijanarto mengatakan dengan kajian dan ekskavasi dari Balai Arkeologi Yogyakarta, akan membuktikan keterpengaruhan Kerajaan Galuh yang terletak di Sunda atau Jawa Barat dengan wilayah di sekitarnya yang mencapai Banyumas dan Brebes.
Kerajaan Galuh merupakan kerajanan Hindu di Pulau Jawa, yang wilayahnya terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Serayu dan Cipamali (Pemali) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.
Berdasarkan prasasti Bogor, pamor kerajaan Galuh Purba sempat mengalami penurunan saat Dynasti Syilendra, di Jawa Tengah, mulai berkembang. Pusat kota Kerajaan Galuh Purba sempat dipindah ke Kawali (dekat Garut). Di sini, kerajaan pertama di Jawa Tengah itu mengganti namanya menjadi Kerajaan Galuh Kawali. Inilah zaman kemunduran Kerajaan Galuh Purba.
Pada saat itu, di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga, sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanegara. Pada saat Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali berada di bawah Kerajaan Tarumanegara.
Masa kejayaan Kerajaan Galuh Purba mulai beranjak naik, saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman. Saat itu, kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali, termasuk Galuh Kawali.
Pada masa Tarumanegara, Pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga. Lalu kerajaan ini mengubah kembali namanya menjadi Kerajaan Galuh, dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman.
Kerajaan Galuh inilah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran, di Jawa Barat. Untuk melestarikan keturunannya, masing-masing keturunan Kerajaan Galuh melangsungkan perkawinan. Hasil perkawinan itulah yang melahirkan raja-raja Jawa.
Jejak kebesaran Kerajaan Galuh ini bisa dilihat dari kajian bahasa E.M. Uhlenbeck tahun 1964, dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” yang menyatakan, bahasa keturunan Galuh Purba masuk ke dalam rumpun basa Jawa bagian kulon atau Bahasa Jawa Ngapak-ngapak (atau Banyumasan).
Wilayah yang menggunakan bahasa Banyumasan adalah sub dialek Banten lor, sub dialek Cirebon/Indramayu, sub dialek Tegalan, sub dialek Banyumas, dan sub dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas).
Kerajaan Galuh Purba yang didirikan di Gunung Slamet ini disebut-sebut merupakan kerajaan yang pertama di Jawa Tengah dan keturunannya bakal menjadi penguasa dari kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa.
Kerajaan Galuh Purba didirikan pada sekitar abad Ke-1 M di Gunung Slamet berkembang sampai dengan abad ke-6 M dengan kerajaan-kerajaan kecil dengan nama Galuh didepannya. Antara lain kerajaan :
- Kerajaan Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di Medang Kamulan
- Kerajaan Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di Bagolo
- Kerajaan Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di Medangkamulyan
- Kerajaan Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah, ibukota di Pataka
- Kerajaan Galuh Nagara Tengah lokasi di Cineam,ibukota di Bojonglopang
- Kerajaan Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran), ibukota di Imbanagara
- Kerajaan Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di Karangkamulyan
Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, karena pamor kerajaan Galuh Purba menurun kalah pamor dinasti Syilendra di Jawa Tengah yang mulai berkembang, kemudian ibukota kerajaan Galuh Purba pindah ke Kawali (dekat garut) kemudian disebut Kerajaan Galuh Kawali. Pada saat itu di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Salakanegara.
Pada masa Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh Kawali. Pada masa Tarumanegara Pemerintahan Raja Tarusbawa, Wretikandayun Raja Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh ini yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.
Meskipun dalam perkembangannya Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi Kerajaan besar yaitu Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa Barat, hubungan keturunan Galuh Purba tetap terjalin dengan baik dan terjadi perkawinan antar Kerajaan sehingga muncul Dinasti Sanjaya yang kemudian mempunyai keturunan raja-raja di Jawa.
Wilayah Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah ke Kawali mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan kajian bahasa yang dilakukan oleh seorang Filolog: E.M. Uhlenbeck, 1964, dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba” masuk ke dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon yang meliputi
- Sub Dialek Banten Lor
- Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
- Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Istilah Banyumas sendiri itu muncul jauh setelah Kerajaan Galuh Purba yaitu pada saat R. Jaka Kaiman membangun Pusat Kadipaten di Hutan Mangli Kejawar tepatnya pada masa akhir Kerajaan Pajang sebelum muncul Kerajaan Mataram Islam.
Medang Jati adalah Mataram Kuno?
Bila kita mencermati Naskah Carita Parahyangan, terdapat kata Medang Jati. Dikisahkan Sang Resi mengadu pada seorang Resi, Sang Kandiawan di Medang Jati. Sementara itu, Mataram Kuno adalah metamorfosis Kerajaan Medang. Rakai Sanjaya dari Medang (Mataram) adalah turunan (Cucu) Sang Wretikandayun Ratu Galuh.Kisah Sanjaya dapat dibaca pada: Tatar Sunda Masa Silam - Sejarah Lengkap, Carita Parahyangan, Mandala Purwanagara: Kabuyutan Sunda Di Jawa Tengah
Kerajaan ini disebut-sebut berdiri pada 597-612 M. Raja pertamanya bernama Maharajaresi Kandiawan. Tak ada bukti ada raja lain setelah dia. Sebagaimana rakyatnya, Kandiawan juga menganut agama Hindu (Waisnawa).
Kerajaan Medang Jati saat itu tidak bisa kita bayangkan sebagai entitas suku Sunda sebagai Etnis (suku bangsa). Sunda juga sebagai ageman atau agama dan label sebuah budaya kelompok manusia. Pada saat Wangsa Sanjaya (cucu Wretikandayun), agama Sunda beralih ke Hindu Bhairawa (penyembah Shiwa) yang berbeda dengan leluhurnya yang menganut Hindu Waisnawa (penyembah Wisnu). Sanjaya berperilaku buruk karena bertindak sebagai "Sang Penakluk" dengan menyerang kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Kerajaan Galuh tidak dibatasi secara administratif sebagai wilayah Jawa barat sekarang ini. Ibukota Galuh tercatat berkali-kali berubah posisi atau berpindah-pindah hingga yang terakhir ke arah barat yaitu di Kawali (Ciamis Jabar sekarang). Sebelum Taruma Negara terpecah menjadi Sunda dan Galuh, wilayah kekuasannya mencakup 1/2 Pulau Jawa. Sementara ahli lain menyebutnya 1/3 ditambah 1/8 Pulau Jawa. Namun catatan peziarah asing ke Nusantara itu, menyebutkan sebagai Kerajaan Sunda saja.
Pada kala itu, kemungkinan pusat atau tempat suci keagamaan Wangsa Sanjaya berada di daerah Dieng Jawa Tengah. Oleh karena itu Ibukota Kerajaan Galuh pindah karena terjadi peperangan dengan Wangsa Sanjaya. Kemungkinan lain diakibatkan bencana alam .
Mandala-mandala yang berada di Jawa Tengah juga tercatat sebagai bawahan Tarumanagara (sebelum pecah menjadi Galuh dan Sunda). Diantaranya Mandala Purwalingga dan Mandala Purwanagara.
Di Jawa Tengah terdapat bahasa Jawa Dialek Banyumasan, adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Bumiayu.
Peta Kerajaan Galuh |
Kembali ke kerajaan Medang Jati yang juga sebagai Mandala atau tempat suci. Kerajaan ini lebih bersifat wilayah keagamaan. Kerajaannya dipimpin seorang Rajaresi, yaitu jabatan raja yang selain menangani masalah pemerintahan, juga menangani masalah keagamaan.
Berikut ini catatan raja- raja yang berkuasa di kerajaan Medang Jati :
-Maharajaresi Kandiawan (597 – 612)
Maharajaresi Kandiawan adalah putra dari Rajatapura Suraliman Sakti, raja ke-2 Kerajaan Kendan, dan merupakan cucu dari Resiguru Manikmaya (pendiri Kerajaan Kendan) serta cicit dari Maharaja Suryawarman (Raja Tarumanegara ke-7).
Setelah menjadi penguasa Medang Jati, beliau dinobatkan dengan gelar Rajaresi Dewaraja. Sebutan lainnya untuk Kandiawan adalah Rahiyangta ri Medangjati.
Kandiawan merupakan seorang ahli yang membuat, mengajarkan, dan melaksanakan Sanghiyang Watangageung, sebuah naskah undang-undang. Sanghiyang Watangageung tersebut diyakini sebagai Undang-undang pemerintahan pertama di tanah Sunda yang merupakan himpunan peraturan yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat, juga mencakup pengaturan kehidupan beragama, antara lain tentang kehidupan para wiku (ulama).
Dari pengembangan Sanghiyang Watangageung, lahirlah Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian dan Séwaka Darma, yang kelak kemudian menjadi sumber hukum Kerajaan Pajajaran.
Kandiawan memiliki lima orang putra, antara lain :
- Sang Mangukuhan, penguasa daerah Kuli-Kuli.
- Sang Karungkalah, penguasa daerah Surawulan.
- Sang Katungmaralah, penguasa daerah Peles Awi.
- Sang Sandangreba, penguasa daerah Rawung Langit.
- Sang Wretikandayun, penguasa daerah sekaligus rajaresi di daerah Menir.
Raja yang berasal dari putera bungsu merupakan suatu kejanggalan untuk tradisi di saat itu. Biasanya putera sulung yang dipilih menjadi penerus tahta. Namun Kandiawan telah mempertimbangkan matang-matang keputusan itu. Pemilihan itu berdasarkan sikap yang dimiliki Wretikandayun yang dianggap lebih baik daripada keempat kakaknya.
Wretikandayun yang menjabat sebagai rajaresi di Menir, dilihat oleh ayahnya sebagai orang yang tidak terlalu mementingkan urusan duniawi. Jabatan rangkap (raja dan rajaresi), telah merupakan tradisi di keluarga tersebut sejak masa periode pemerintahan buyutnya di Kendan (Resiguru Manikmaya).
Setelah Wretikandayun naik tahta, pusat kerajaannya berpindah ke ibu kota baru yang dinamakan Galuh. Mulai periode ini, nama Kerajaan Medang Jati telah berubah menjadi Kerajaan Galuh.
Referensi
- Ekadjati, Edi S. 1980. "Babad Cirebon: Tinjauan Sastra. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia" 9:1 1 (Jun 1980/1981): 1-32.
- Ekadjati, Edi S. 1988. "Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan". Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan Toyota Foundation.
- Ekadjati, Edi S. 1996. "Cultural Plurality: The Sundanese of West Java. Dlm. lluminations: The Writing Traditions of Indonesia", edited by Ann Kumar & John H. McGlynn. 101-128. Jakarta [etc.]: The Lontar Foundation & Weatherhill.
- Gericke, Johann Friedrich Carl & Taco Roorda. 1901. "Javaansch-Nederlandsch handwoordenboek, Parts 1-2". Amsterdam: Bij Yohannes Müller
- Kurniawan, Hasan. "Gunung Slamet dan sejarah Kerajaan Galuh Purba". Sindonews.com Diakses 28 April 2018
- Majul, Cesar Adib., P.Hd. 1989. "Islam And Philippine Society". asj.upd.edu.ph Diakses 28 April 2018
- Meinsma, Johannes Jacobus. 1941. "Babad tanah Djawi". Editors, Johannes Jacobus Meinsma, W. L. Olthof. Publisher, M. Nijhof
- Poerbatjaraka, Prof. Dr. R. M. Ng.. "Kapustakaan Djawi" ; Jakarta ; Djambatan ; 1964 = cetakan ke 4 ( Agustus 1957 = catakan ke 3 , Desember 1953 = cetakan ke 2 , Desember 1952 = cetakan pertama. Edisi ebook: bahasa Jawa Wayangpustaka.wordpress
- Pleyte, C. M. 1913. "De Patapan Adjar Soeka Resi, Andersgezegd; Kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede Bijdrage tot de Kenis van het Oude Soenda." Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 55: 321-428.
- Noorduyn, J. 1982. Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source. Bijdragen tot de Taal,- Land- en Volkenkunde 138: 413-442
- Iskandar, Drs. Yoseph. 1997. "Sejarah Jawa Barat(Yuganing Rajakawasa)". Bandung: Penerbit: Geger Sunten
- Uhlenbeck, E. M., 1964. "A critical survey of studies on the languages of Java and Madura". Volume 7 of Bibliographical series Volume 7 of Kroninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde ; Bibliographical series. Publisher: Martinus Nijhoff.
- "Situs Candi Bumiayu Diduga Peninggalan Kerajaan Galuh pada Abad Kesembilan" jateng.tribunnews.com Diakses 29 Arpil 2018