![]() |
Tari buyung pada Upacara Seren taun. Foto: infobudaya.net |
Sejumlah naskah Sunda kuno dan berbahasa Sunda kuno menyebutkan nama Patanjala. Popularitasnya kalang dengan Sangkuriang. Padahal sosok Sangkuring hanya muncul dalam naskah perjalanan Bujangga Manik, naskah Sunda kuno lainnya tidak ada yang menyebutkan sosok Sangkuriang.
Filosofi Patanjala
Patanjala adalah landas pemikiran (konsep) mengenai pengelolaan air yang mucul dari sumber mata-air menuju sungai hingga bermuara di samudra. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan persoalan 4 inti kehidupan mahluk di bumi (khususnya bagi manusia): Api, Angin, Air, Tanah.Pemikiran dalam Pikukuh Sunda (Jati Sunda) mengenai “Ibu Agung atau Ibu Pertiwi” bukan hanya slogan semata, kenyataannya ibu atau bumi ini benar-benar dianggap “hidup” (bernapas, bergerak dan tubuhnya dialiri berbagai unsur). Prinsipnya bahwa sistem kerja tubuh bumi mirip dengan tubuh manusia. Kondisi bumi ditentukan oleh manusia dan juga sebaliknya kondisi manusia ditentukan oleh bumi (jagat alit – jagat agung).
![]() |
Upacara Seren taun. Foto: infobudaya.net |
Patanjala secara mendasar terbagi dalam 3 kewilayahan yang sangat erat berkaitan dengan “gunung dan hutannya”:
- Wilayah Larangan – Hutan Larangan.
- Wilayah Tutupan – Hutan Tutupan.
- Wilayah Baladaheun – Hutan Baladaheun / Hutan Olahan (Perkebunan dan Pertanian).
Ketiga wilayah ini dijaga dengan baik dan terjaga “kesuciannya”. Oleh karena itu sering disebut sebagai “tanah suci” atau wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai “kabuyutan” yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja.
Patanjala pada tubuh manusia setara dengan “aliran darah” yang mengalir dari sirah (kepala) hingga dampal suku (telapak kaki). Bila ada sumbatan aliran darah karena kotor atau rusak, akan mengakibatkan masalah pada kesehatan tubuh. Demikian analoginya. Demikian pula pada aliran sungai tubuh bumi. Adanya “kerusakan” akan berdampak seperti halnya pada tubuh manusia yang bermasalah pada saluran darahnya.
Manusia dan bumi merupakan dua unsur yang tidak terpisahkan. Kerusaknya lingkungan hidup (tanah dan Air) akan menimbulkan dampak terhadap manusianya.
Runayat Natadipura atau biasa dipanggil "Uwa Bandung', Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Sunda) memiliki motto sekaligus falsafah 'Patanjala', satu falsafah yang mengambil konteks sungai sebagai sumber kehidupan.
"Kami moal ngelehan, kami moal ngelehkeun, tapi pasti nepi ka tujuan. Ngan hampura, bisi aya nu kalabrak kasered kabawa palid, kabanjiran jeung kakeueum, da bongan ngahalangan jeung aya dina jajalaneun kami," arti harfiahnya, "Kami tidak akan mengalah, kami tidak akan mengalahkan, tapi pasti sampai kepada tujuan. Cuma minta maaf sebelumnya, jika ada yang tertabrak terbawa arus, kebanjiran dan tenggelam, suruh siapa menghalangi dan ada di jalan kami."Kearifan lokal ini menyadarkan pada konsep filosofis Patanjala.
Sumber Naskah Kuno
Mari kita cermati kutipan Naskah Perjalanan Bujangga Manik (tokoh pertapa yang berkeliling Jawa-Bali dalam aktivitas perjalanan religi dalam naskah tersebut) ketika tiba di salah satu tempat suci (kabuyutan) di “Bukit Pategeng”:“meu(n)tas di Cisaunggalah / leu(m)pang aing ka baratkeun / datang ka bukit Pategeng / sakakala Sang Kuriang / masa dek nyitu Citarum / burung te(m)bey kasiangan” (menyeberangi Sungai Cisaunggalah / aku berjalan ke barat / tiba di Gunung Pategeng / peninggalan Sang Kuriang / ketika akan membendung Citarum / tetapi gagal karena matahari keburu terbit.)Dari kutipan di atas jelas, nama Sangkuriang saat itu (abad ke-16) telah menjadi cerita yang dikenal. Sekilas akan terdapat kesan bahwa tokoh Bujangga Manik sepenuhnya memercayai Sangkuriang sebagai tokoh yang benar-benar pernah ada.
Seperti pada lempir (lembar lontar) lain, Bujangga Manik menceritakan tentang sasakala Nusia Larang di Gunung Wanakusumah (mungkin Gunung Papandayan sekarang), yang diidentifikasi oleh para sejarawan sebagai tokoh sejarah bernama Niskala Wastukancana, seorang raja Sunda yang memerintah di Galuh pada abad ke-14.
Tak hanya Nusia Larang, Bujangga Manik pun bercerita dirinya tiba di Jalatunda, sebuah sasakala Silihwangi:
“Sadatang ka tungtung Su(n)da / nepi ka Arega Jati / sacu(n)duk ka Jalatunda / sakakala Silih Wangi” (Setelah tiba di ujung Sunda / sampailah di Arga Jati / dan tiba di Jalatunta / kenang-kenangan Silih Wangi).Kembali pada Patanjala. Naskah Perjalanan Bujangga Manik menuturkan "si tokoh" tiba di Bukit Bulitsir di mana terdapat sasakala Patanjala. Di sana si tokoh tinggal selama setahun lebih. Berikut kutipannya:
“Awaki(ng) ka Hujung Kulan / ja rea hadanganana / Leu(m)pang aing nyangkidulkeun / ngahusir Bukit Bulistir / Eta hulu Cimari(n)jung / sakakala Patanjala / ma(n)ten burung ngadeg ratu.”
(Aku pergi ke Hujung Kulan / karena di sana banyak hal yang menunggu / Aku berjalan menyelatan / melanjutkan perjalananku ke Gunung Bulistir / Itu hulu Sungai Cimarinjung, peninggalan Patanjala, ketika ia gagal menjadi raja).Bila kita membaca naskah ini, terkesan bahwa tokoh "Patanjala" adalah tokoh yang benar-benar pernah hidup jauh pada masa hidup Bujangga Manik.
Ada naskah kuno lain yang menyebutkan nama Patanjala, yaitu Carita Parahyangan (Kropak 406). Dalam naskah ini tercatat bahwa Patanjala sebagai sosok dewa yang menitis pada diri Wretikandayun, raja pertama Galuh.
Berikut kutipannya:
Basa angkat sabumi jadi sakurungan (maksudnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Dewaradja, ed.), nu miseuweukeun pancaputra, apatiyan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Patanjala, inya: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.
(Setelah menikah, lahirlah lima orang putra yang merupakan titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Patanjala, yaitu: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun).
Bila melihat teks Carita Parahyangan, maka diperoleh data bahwa sosok Patanjala merupakan sosok dewata, bukan tokoh sejarah. Hal serupa terdapat dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang menyebutkan nama Sang Wretikandayun sejajar dengan nama Patanjala.
Wretikandayun disebut sebagai salah satu panca putra (lima orang putra Sang Kandiawan yang dianggap penjelmaan panca kusika). Sementara Sang Patanjala di Panjulan merupakan salah satu dari panca kusika (lima orang resi murid Siwa dalam ajaran Hindu).
Patanjala dalam Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesyan:
Ini panca putra: pretiwi Sang Mangukuhan, apah Sang Katung-maralah, teja Sang Karungkalah, bayu Sang Sandanggreba, akasa Sang Wretikandayun. Ini panca kusika: Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan.
(Ini panca putra: pretiwi adalah Sang Mangukuhan, air adalah Sang Katungmaralah, cahaya adalah Sang Karungkalah, angin adalah Sang Sandanggreba, angkasa adalah Sang Wretikandayun.Ini panca kusika: Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan.)Tak berbeda dengan Carita Parahyangan, naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian menulis bahwa Patanjala merupakan sosok dewa yang menitis pada Wretikandayun. Namun di naskah tersebut ada tambahan informasi bahwa Patanjala berkediaman di Panjulan.
Keterangan bahwa Patanjala merupakan salah seorang anak dari lima bersaudara berkesesuaian dengan teks Carita Parahyangan dan Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Dapat diambil kesimpulan bahwa Patanjala adalah tokoh yang namanya cukup melegenda dan diagungkan pada masa silam di kawasan Priangan dan Banten.
Kita mengerti bahwa masyarakat zaman dulu menganggap bahwa tokoh-tokoh yang tercantun dalam naskah atau tampil dalam cerita, dongeng atau wawacan memang pernah ada dan berpengaruh dalam peradaban masyarakat.
Kita tak bisa melacak pasti di mana letak Gunung Bulitsir yang diberitakan di wilayah Kanekes (termasuk Kabupaten Lebak sekarang) atau di mana letak pasti Panjulan atau mungkin juga sekarang telah berganti nama. Apa yang diceritakan oleh Bujangga Manik. Boleh jadi bahwa Patanjala sebetulnya tokoh historis yang dilegendakan sebagaimana Siliwangi.
Wretikandayun dan Darmasiksa
Penelusuran sejaran budaya Sunda, bisa kita amati dari keberadaan uparacara Seren taun di situs Mandala dan Kerajaan Kendan. Situs Kendan di Nagreg merupakan salah satu dari Kamandalaan atau Kabuyutan di tatar Sunda. Upacara budaya yang disebut “Nuras”, sebuah ritual “ruwatan” di sumber mata air yang berada di Kp. Nenggeng, sebelah utara Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Istilah“Nuras” sesungguhnya erat kaitannya dan tumbuh sebagai bagian kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.Dalam Carita Parahyangan (kropak 406) dan Sanghyang Siksakanda ng Karesian (kropak 630), tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh dan jala=air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan (pendiri Galuh) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya (Pendiri Kerajaan Sunda Sunda). Lihat: Sunda Sambawa.
Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri.
Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama. Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara Nuras sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala (air) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Padi).
Referensi
- Wacana.co.,. 2018. "Patanjala, Tokoh Legenda atau Sejarah?"
- Noorduyn, J.,. 2006. "Three Old Sundanese poems". KITLV Press
- Ahmadsamantho. 2018. "Sanghyang Patanjala" ahmadsamantho.wordpress.com
- Infobudaya.net. 2018 "Seren Taun: Upacara Adata Panen masyarakat Sunda" infobudaya.net