Reformasi 1998 telah berlalu 20 tahun. Saya adalah bagian dari saksi sejarah hilangnya teman-teman aktivis dan kerusuhan yang mengerikan di bulan Mei tahun itu.
Jauh-jauh hari sebelum reformasi terjadi, forum-forum diskusi mahasiswa kerapkali mendapat tekanan dari rezim penguasa dengan kaki-tangannya yang tersebar di mana-mana. Bahka dalam diskusi diruangan tertutup pun ternyata "dinding-dinding bertelinga". Tak ayal, aparat akan menangkap kami, mahasiswa yang membahas tentang penguasa Orde Baru saat itu.
Di Bandung, diawal orasi-orasi mahasiswa di kampus Universitas Padjadjaran tempat saya bernaung. "Kampus Biru kampus pembebasan". Demikian tulisan yang terpampang di gerbang Unpad saat itu. Semua bergerak dengan tujuan yang sama Presiden Soeharto harus turun!
Di sela-sela orasi ilmiah. Kami dari mahasiswa yakin dalam hitungan minggu, Soeharto akan jatuh. Oleh karena itu, saya mengusulkan tema diskusi dalam berbagai kesempatan aktivitis mahasiswa Bandung untuk menyampaikan siapakah sebaiknya pengganti Soeharto. Diantaranya ada yang mengajukan Amin Rais, Megawati, Gus Dur dan tokoh-tokoh lainnya. Suasana menjadi tegang. Perdebatan muncul menjadi tak terarah. Padahal saat itu Soeharto belum jatuh.
Sekarang kondisinya lebih buruk lagi. Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru seperti tidak hadir untuk menguatkan keutuhan bangsa dengan public relation yang positif. Pemerintahan yang tidak utuh. Pun demikian rakyatnya. Negara dan bangsa ini telah membuat definisi yang justru patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegara hilang oleh keangkuhan masing-masing.
Kondisi yang sama dengan tahun 1998? Tidak. Ini menunjukkan bahwa reformasi BUKAN berjalan di tempat, tetapi MUDUR jauh ke Belakang!
Cag***