Cari

Luas Wilayah Kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh)

Mandala Purwakerta di Purwokerto, Banyumas Jawa Tengah
[Historiana] - Beberapa kali netizen mengajukan request untuk membahas tentang luas wilayah kerajaan Pajajaran dalam video Youtube, channel Insights & Inspirative. Sebelum membahas luas wilayahnya, kita harus membuat dahulu batasan pembahasan. Batasannya yang dimaksud kerajaan Pajajaran adalah gabungan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Sejarah mencatat bahwa kerajaan kembar ini berpisah dan bergabung dalam kurun waktu tertentu. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galu telah 3 kali dipersatukan. Pertama, Kerajaan Sunda dan Galuh dipersatukan kembali oleh Raja Sanjaya pada tahun 723 M. Kemudian Sunda-Galuh terpecah lagi. 759 M - Raja Banga (Sanghyang Banga) memerdekakan Sunda dari kekuasaan Galuh.

Kedua, tahun 819 M - Rakyan Wuwus naik tahta di Sunda bergelar Prabu Gajah Kulon. Ia menyatukan kembali kerajaan Sunda dan Galuh dalam satu pemerintahan. 1382 M - Wastukancana membagi Tatar Sunda kepada kedua putranya. Sunda pun kembali terpecah menjadi Sunda dan Galuh.

1482 M - Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi naik tahta di Sunda. Ia kembali menyatukan Sunda dan Galuh ke dalam satu pemerintahan, serta merebut Lampung dari Majapahit. Kerajaan Sunda kemudian berganti nama menjadi Pajajaran. Di tahun yang sama, Sunan Gunung Jati memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dari Pajajaran.

Kembali ke Raja Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Dan ini kedua kalinya Sunda-Galuh terpisah.

Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sibaduga ini disebut-sebut sebagai Raja yang bergelar Prabu Siliwangi.

Nama “Pajajaran” sebelum abad ke-15 tak pernah tertulis dalam sumber sejarah mana pun. Sumber-sumber seperti Pararaton dan Nagarakretagama menyebutnya sebagai Kerajaan “Sunda” yang merupakan negara merdeka di Jawa bagian barat.

Begitu pula Prasasti Cibadak dan Kawali “masih” menyebut Kerajaan Sunda. Baru pada abad ke-16 dan seterusnya nama Pajajaran tertulis dalam beberapa prasasti dan naskah-naskah seperti Carita Parahyangan yang disusun tahun 1580.

Nama Pajajaran makin terabadikan melalui pantun-pantun Sunda serta babad-babad yang ditulis beberapa abad kemudian di mana eksistensi politik Pajajaran tinggal nama.

Wilayah Kerajaan Pajajaran

Sebelum memaparkan tentang wilayah Kerajaan Pajajaran. Kita memerlukan penyamaan persepsi terlebih dahulu. Kerajaan Pajajaran adalah Gabungan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Sunda dalam pengertian nama sebuah kerajan dan bukan sebutan bagi etnis Sunda di zaman modern ini. Artinya, apa yang disebut Jawa adalah selain Jawa bagian Barat, sementara Sunda adalah Jawa bagian Barat. Ini penting, karena kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh) tidak identik dengan nama satu etnis tertentu saja yaitu Sunda. Selain itu nanti kita dapat menentukan batas wilayahnya dengan teapat tanpa 'prasangka'. Ukuran terhadap "yang lama" tidak dapat menggunakan "ukuran baru". Batas teritorial dalam konsep wilayah "Kemandalaan" berbeda dengan sisten negara atau state.

Menarik  untuk  membicarakan  dua  etnis yang  berada  dalam  satu Pulau  Jawa  –Sunda  dan  Jawa.  Pertama,  dalam  kasus Pasundan  Bubat,  dua etnis  selalu  dibayangkan dengan  mencari  pijakan kerajaan masa lalu –yang teritorialnya bisa  melebihi territorial yang ditunjuknya sekarang. Kedua,  pada  saat  yang  sama,  dua  etnis juga  dibayangkan  dalam batas  territorial tertentu  –dan  tidak  akan  melebihi  territorial  tersebut.  Bagaimana  hal  ini  bisa terjadi?

Etnis  dan  wilayah  etnis, dalam  pandangan  saya,  selalu  dibangun  atas pengetahuan tertentu, sedang pengetahuan selalu ditemukan alias tidak asali. Oleh karenanya wilayah etnis Jawa-Sunda tidaklah alamiah. Tidak  alamiah  ini  kurang lebih  mempunyai  dua  arti.  Pertama,  konsep wilayah dan etnis itu sendiri digunakan sebagai sebuah cara pengaturan, sehingga berhubungan  dengan  kekuasaan.  Ia  adalah  wujud ‘ketegangan  cara  pandang” antara mode kekuasaan yang lama dan mode kekuasaan yang baru. Dalam hal ini, cara pandang manusia Pulau Jawa bertemu cara pandang kolonial Eropa.

Mengandaikan ‘yang lama’ dengan ‘yang  baru’ hanya sebatas prakolonial dan  kolonial  Eropa  tentu  saja problematis.  Misalnya  di  pulau  Jawa  ada  masa kerajaan  (Brahmanism-Buddhism)  dan  masa kesultanan Islam.  Penyeragaman perbedaan masa kerajaan (Brahmanism-Buddhism) dan masa Islam sebagai ‘yang lama’  memang  problematis, namun  memisahkan  keduanya  secara  total  berdasar pada kepercayaan (agama) bagi saya adalah epistemic judgement, sementara tugas tulisan ini sendiri adalah terus bersitegang dengan permasalahan yang timbul dari konstruk epistemik.

Kedua, ‘yang baru’ tidak mempunyai basis dalam pengetahuan masyarakat Jawa/Sunda tetapi mempunyai kemampuan menghubungkan dirinya dengan ‘yang lama’. Dengan begitu yang baru dan yang lama tidak melulu saling menggantikan dalam  kerangka  temporalitas,  melainkan  selalu  membangun  hubungan  dan membentuk hybrid yakni: ‘margin . . . where cultural differences contingently and conflictually touch’ (Bhabha, 1994: 206).

Masalahnya, adakah batas berupa teritorial dalam pengaturan masa lampau di  Pulau  Jawa?  Apakah space di  Jawa  masa  lampau  adalah  wilayah/territorial seperti pada umumnya sekarang?

Teritorial itu sendiri tidak dikenali di Jawa (dan umumnya Asia Tenggara) masa  lampau.  Sebagaimana keyakinan  OW Wolters (1982)  terhadap  Mandala sebagai  bentuk  pengaturan  lama  di  Asia  Tenggara. Mandala  yang diyakini Wolters  menurut  Christie  adalah  “…an  unstable  circle  of  kings  in  a territory without fixed border” (dalam Marr & Millner.  1986; 68, bandingkan dengan Hok Ham 2002: 235).

Akibat  ketiadaan konsep territorial  yang  fix  itu,  seperti  ditulis  George Coedes  misalnya,  “daftar negeri-negeri  bawahan dari Ayutthya  (kerajan  di Thailand  di  bawah Ramadhipati)  dan Majapahit (di bawah Hayam Wuruk)  sebagian  saling  tumpang  tindih  di  bagian  selatan  Semenanjung  Tanah Melayu” (2010 (1964); 315).

Sementara Atja &  Danasasmita (1981: 62) juga mencatat bahwa kesatuan politis  di  Sunda  tidak mempertimbangkan  teritorial.  Menurut  mereka,  kesatuan politis lebih mengutamakan manarekha yang diambil  dari  kata  Sanskrit (mana = memikirkan, menduga, menghitung;   dan rekha = catat, gores). Istilah Manarekha ini menurut mereka adalah sama dengan cacah.

Robert  Heine  Geldern  (1963)  menulis bahwa  dalam  konsep  Mandala kerajaan di Asia Tenggara, raja menjadi titik pusat/tengah dari empat sudut dalam mandala.  Raja  (juga  kraton/pusat  kota)  kadang dianggap  merepresentasikan Gunung  Meru sebagai  pusat  kosmos  dalam  sistem  pengetahuan Brahmanism-Buddhism. Titik tengah itu, menurut Lombard (dalam Alfan et all (ed); 1987; 327) dikatakan “merupakan golongan yang istimewa”.

Wilayah Pajajaran sejak masa Sanjaya hingga berakhirnya kerajaan ini pada 1579, rupanya tak mengalami perubahan berarti. Berdasarkan kisah Bujangga Manik yang menyusuri Pulau Jawa pada abad ke-16 dapat diketahui bahwa batas wilayah Kerajaan Sunda di sisi timur adalah Sungai Cipamali (kini Kali Pemali).

Batas wilayah Kerajaan Sunda di sisi barat kiranya adalah Selat Sunda, sedangkan batas sisi utara adalah pantai utara Jawa Barat hingga Brebes. Di pantai utara, seperti yang diceritakan Pires, berjejer enam buah pelabuhan milik Kerajaan Sunda, yaitu Banten (Bantam), Pontang, Cigede, Tamgara (Tanggerang), Kalapa (Jakarta), dan Cimanuk. Batas di sisi selatan adalah Laut Selatan (Samudra Hindia).

Dalam sejarahnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda adalah kelanjutan dari kerajaan Tarumanagara. Oleh karena itu pembahasan mengenai luas wlayah Kerajaan Pajajaran mengacu pada hal tersebut. Kerajaan Sunda adalah Kerajaan yang berdiri di Jawa bagian Barat. Batas timurnya adalah Sungai Citarum. Semenara di sebelah timur Citarum adalah kerajaan Galuh. Batas timur dari kerajaan Galuh adalah Sungai Cipamali (Kali Pamali) di Brebes di Jawa Tengah.

Dengan demikian, batas wilayah negara Sunda-Galuh yang kemudian disebut sebagai Pajajaran tidak terkait dengan etnis Sunda saja. Di Pulau Jawa bagian Barat terdapat suku Sunda, kanekes dan Betawi. Di Jawa tengah terdapat suku Jawa dan Kalang. Suku kalang sebarannya berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Besar kemungkinan, Suku kalang tidak termasuk wilayah Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran.

Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa (669/670 M) dan Kerajaan Galuh didirikan oleh Wretikandayun (612 M). Keduanya sering disebut sebagai kerajaan kembar. Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.

Baca juga: Eksistensi Kerajaan Pajajaran

Dengan demikian kita bisa membahas bahwa Kerajaan Sunda-Galuh atau pajajaran bukanlah ditentukan oleh etnis Sunda saja. Sumber sejarah dapat kita jadikan rujukan adalah catatan penjelajah Eropa. adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:

"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa 
Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."

Dengan keterangan dari Tome Pires di atasm bahwa seluruh jawa Barat sekarang ini adalah bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh (Pajajaran). Dengan demikian mencakup suku Sunda, betawi dan Urang Kanekes.

Untuk wilayah di Jawa tengah ada beragam pendapat. Menurut Tome Pires ada yang menyebutkan setengah pulau Jawa, maka setengah dari Jawa Tengah adalah bagian dari Kerajaan pajajaran. Namun demikian ada lagi yang menyebutkan ditambah lagi seperdelapannya. untuk itu kita telusuri dari peninggalannya.

Luas Wilayah Kerajaan Sunda-Galuh (Pajajaran)
Pilihan moderat adalah seperti tampak pada peta di atas. Cakupannya meliputi sebagian Jawa Tengah dan cenderung di bagian selatan. Di bagian utara sudah ada kerajaan Kalingga. Serta bagian selatan tidak sampai ke Mataram (kini wilayah Yogyakarta).

Wilayah teritorial Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah)

Mandala Sunda di Jawa Tengah

Untuk menelusuri peninggalan sejarah yang mendukung pendapat luas wilayah pajajaran salah satunya adalah adanya tempat suci yaitu Mandala atau Kabuyutan sekaligus kawasan pendidikan (perdikan atau Wiyata Mandala). Menurut pendapat Undang A Darsam bahwa terdapat 73 Mandala yang disebutkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK). Anda bisa membacanya: Kamandalaan di Tatar Pasundan.

Kabuyutan di tatar Sunda mengalami akulturasi budaya dengan masuknya agama Budha. Tempat Suci Kabuyutan sering disebut sebagai Kamandalaan atau Mandala. Mandala dari Bahasa Sanskerta yang secara harafiah bermakna "lingkaran" adalah sebuah konsep Hindu, tetapi juga dipakai dalam konteks agama Buddha, untuk merujuk pada berbagai benda nyata.

Dalam praktiknya, mandala sudah menjadi nama umum untuk rencana yang mana pun, grafik, atau geometris pola yang mewakili kosmos secara metafisik atau simbolik, mikrokosmos semesta dari perspektif manusiawi. Di bagian pusat Kabuyutan atau kamandalaan tempat memusatkan pikiran,sehingga bisa dipakai selama meditasi. Biasanya dipusat kabuyutan ditempatkan sebuah batu utama sebagai benda untuk memusatkan perhatian.

Diantara Mandala yang disebutkan adalah Mandala Puwalingga di Purbalingga an Mandala Puwakerta di Purwokerto, Banyumas yang kini berada di propinsi Jawa Tengah. Termasuk temuan-temuan artefak candi kuno di Bumi Ayu Brebes dan lainnya.


Situs Candi Bumiayu Diduga Peninggalan Kerajaan Galuh pada Abad Kesembilan

Lokasi Candi di Kec Bumi Ayu Brebes Jateng

Candi peninggalan Kerajaan Galuh
di Kec Bumi Ayu Kab Brebes Jawa Tengah

Bahwa untuk menelusuri per­kembangan sejarah Galuh sebagai sebuah pusat kekuasaan raja-raja pada zaman dahulu, hampir dapat dikatakan tidak mungkin menda­pat dukungan prasasti-prasasti atau peninggalan purba lainnya, demikian juga berita-berita asing, yang ada hanyalah beberapa nas­kah, yang tertua sampai kepada ki­ta hanya beberapa buah berasal da­ri akhir abad ke-16 Masehi dan beberapa buah dari abad ke-17 Masehi.

Baca juga:  Menelusuri Pusat Kerajaan Galuh di Jawa Tengah | Tapak Lacak Karuhun

Berbeda dengan sistem penyalinan di daerah kebudayaan Bali, karena mereka masih sangat terikat kepada agama yang sama dengan isi naskah yang disalinnya, mereka berusaha menyalin naskah sepatuh mungkin, biarpun kesa­lahan kecil-kecil yang tidak mung­kin mereka lakukan secara sadar. Sedangkan para penyalin di Jawa Barat menganut agama yang ber­beda dengan isi naskah tentang ke­percayaan yang lama, mereka me­rasa lebih bebas melakukan penyalinan kreatif, disesuaikan de­ngan kepentingan orang atau pem­besar yang membiayainya.


Kerajaan Galuh di Jawa Tengah

Mengutip pendapat Hasan Kurniawan yang dimuat Sindonews.com,  "Gunung Slamet dan sejarah Kerajaan Galuh Purba".

Gunung Slamet merupakan gunung api tertinggi kedua di Pulau Jawa, dan terbesar di Jawa Tengah. Gunung ini berada di daerah perbatasan lima wilayah, terdiri dari Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan catatan sejarawan Belanda Van der Meulen, pada abad ke-1 Masehi, terbentuklah Kerajaan Galuh Purba, di Gunung Slamet. Inilah kerajaan pertama dan terbesar di Jawa Tengah.

Para pendiri Kerajaan Galuh Purba itu merupakan pendatang yang berasal dari Kutai Kalimantan Timur, sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu dan zaman pra Hindu. Para pendatang itu pertama menginjakkan kakinya di Cirebon, lalu masuk ke pedalaman, dan berpencar.

Sebagian dari mereka ada yang menetap di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu. Mereka yang menetap di sekitar Gunung Cermai mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet, mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Dari kerajaan inilah, para penguasa raja-raja di Jawa terlahir.

Kerajaan Galuh Purba bertahan hingga abad ke-6 M dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.

Lihat video ringkasannya:


Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Referensi

  1. Alfian,  T  Ibrahim  et  All  (ed).  1987.  "Dari  Babad  dan  Hikayat  Sampai  Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan Kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo". Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
  2. Bhabha, H. 1994. "The Location of Culture". London: Routledge.
  3. Kurniawan, Hasan. "Gunung Slamet dan sejarah Kerajaan Galuh Purba". Sindonews.com Diakses 26 Mei 2018
  4. Majul, Cesar Adib., P.Hd. 1989. "Islam And Philippine Society". asj.upd.edu.ph Diakses 28 April 2018
  5. Marr, David G &  Millner, AC. 1986. "Southeast Asia  In  the 9th to 14th  Centuries". ISAS Singapore & RSPS Australian National University.
  6. Meinsma, Johannes Jacobus. 1941. "Babad tanah Djawi". Editors, Johannes Jacobus Meinsma, W. L. Olthof. Publisher, M. Nijhof
  7. Poerbatjaraka, Prof. Dr. R. M. Ng.. "Kapustakaan Djawi".  Jakarta: Djambatan, 1964 = cetakan ke 4 ( Agustus 1957 = catakan ke 3 , Desember 1953 = cetakan ke 2 , Desember 1952 = cetakan pertama. Edisi ebook: bahasa Jawa Wayangpustaka.wordpress
  8. Pleyte, C. M. 1913. "De Patapan Adjar Soeka Resi, Andersgezegd; Kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede Bijdrage tot de Kenis van het Oude Soenda." Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 55: 321-428.
  9. Noorduyn, J. 1982. "Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source". Bijdragen tot de Taal,- Land- en Volkenkunde 138: 413-442
  10. Iskandar, Drs. Yoseph. 1997. "Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa)". Bandung: Penerbit: Geger Sunten
  11. "Situs Candi Bumiayu Diduga Peninggalan Kerajaan Galuh pada Abad Kesembilan" jateng.tribunnews.com Diakses 26 Mei 2018
Baca Juga

Sponsor