Snapshot video "Kingdom of War" Thiland |
Dalam Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian disebutkan, hanya panglima peranglah (Hulu Jurit) yang tahu 20 strategi ini. (Saleh Danasasmita, dkk., 1987)
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, ada bahasan mengenai panglima perang dan strategi perang kerajaan Pajajaran. Berikut ini kutipan dari Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian:
"Sugan hayang nyaho di tingkah prang ma: makarabihwa, katra-bihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka. braja panjara. asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik. lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik; sang hulujurit tanya."
(Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik. lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik; tanyalah panglima perang.)Sanghyang Siksakanda ng Karesyan memang menyebutkan keduapuluh bihwa (pergeseran bunyi dari byuha -sanskrit Majapahit) namun tak merinci definisinya. Ia hanya menyarankan bahwa pembaca harus menanyai hulujurit (panglima/senapati) bila ingin mengetahui seluk beluk keduapuluh bihwa ini.
Naskah Carita Parahyangan mengisahkan sejumlah peperangan yang dilancarkan oleh Rahyang Sanjaya dalam memperluas hegemoni kekuasaan Galuh pada abad ke-8. Bersama pasukan Galuh, selain memerangi tritunggal penguasa Kuningan yakni Sang Wulan-Sang Tumanggal-Sang Pandawa, Sanjaya menyerang Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, hingga menyeberang ke Malayu, Kemir (Khmer), Keling, Barus, hingga Cina; dan semua penguasa bersangkutan berhasil dikalahkan Sanjaya.
Menurut Carita Parahyangan, melalui ratu ing bala sarewu yang penuh dengan ilmu kesaktian itulah, Sanjaya bisa mengalahkan Rahiyang Purbasora penguasa Galuh tahun 723 M. Dikatakan bahwa pustaka tersebut pemberian Rabuyut Sawal (Penguasa Gunung Sawal) yang dulu diberikan Sang Resi Guru Demunawan kepadanya.
Bachtiar dalam HU Pikiran Rakyat mencoba memerikan definisi keduapuluh bihwa ini, namun tanpa menyertakan sumbernya. Bila membaca uraian Bachtiar, rupanya keduapuluh bihwa dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesyan cenderung untuk diperagakan dalam perang gerilya. Hal ini sangat logis mengingat tekstur tanah Jawa Barat yang berhutan dan berbukit-bukit serta terbentuk dari pegunungan yang sangat cocok untuk perang gerilya, bukan perang frontal menuntut dilaksanakan di dataran luas.
Ketiadaan sumber dalam tulisan tentunya harus diakali agar diperoleh pemahaman yang memuaskan dengan cara menggali data-data lain sebagai perbandingan. Dalam hal ini kita bisa mengambil Kakawin Bharatayudha dan Arthasastra yang umurnya jauh lebih tua dari Sanghyang Siksakanda ng Karesyan sebagai perbandingan. Akan kita lihat bahwa wyuha/byuha dalam Bharatayudha dan Arthasastra cenderung diperuntukkan bagi perang terbuka yang membutuhkan lapangan atau tegal yang sangat luas, seperti Kuruksetra—walau dalam hal-hal tertentu bisa dipraktikkan untuk perang gerilya. Pun akan kita ketahui bahwa bihwa dalam Sanghyang Siksa kanda ng Karesian lebih merupakan strategi dan filsafat berperang, sedangkan wyuha dalam Bharatayuddha lebih berbentuk formasi pasukan.
Makarabihwa. Bihwa ini merupakan strategi mengalahkan musuh dengan tidak berperang, yakni mengalahkan musuh dari dalam. Praktiknya adalah mempengaruhi mereka agar merasa telah kalah bahkan sebelum perang dimulai. Bharatayudha menggambarkan bahwa makarawyuha adalah strategi di mana susunan pasukan berbentuk makara (udang). Jelas, uraian yang diutarakan Bachtiar berbeda dengan apa yang diutarakan Bharatayudha, karena dalam Bharatayudha ada pengerahan pasukan untuk bertempur.
Katrabihwa. Bihwa ini menitikberatkan pada posisi prajurit ketika akan menyerang musuh, di mana sebagian prajurit akan ditempatkan di bagian atas (menggunakan senjata panah) dan sebagian lagi ditempatkan di bawah (prajurit yang menggunakan tombak dan berkuda). Sementara itu sumber-sumber lain tak ada yang menyebutkan bihwa ini. Namun dalam Bharatayudha ada karkattakacrenggi wyuha, yang bunyinya mirip katrabihwa, yakni strategi di mana susunan tentara membentuk kepala (srengga) udang (karkattaka).
Lisangbihwa. Bihwa ini menonjolkan peran hulujurit atau panglima perang dalam menyusun atau menempatkan pasukan tempurnya hingga mereka menjadi pasukan yang gagah berani dan berteguh hati serta bersemangat untuk mengalahkan musuh walau kekuatan lebih kecil. Mengenai arti dari lisang, kami belum menemukan artinya namun kita bisa berspekulasi bahwa lisang ini mengacu kepada nama binatang dalam bahasa Sunda. Begitu pula mengenai data lain sebagai perbandingan, kami tidak menemukannya dalam Bharatayuddha maupun Arthasastra.
Singhabihwa. Bihwa ini merupakan strategi atau cara mengalahkan musuh melalui penyusupan. Para penyusup ini adalah tim kecil yang biasanya terdiri dari ahli strategi, ahli memengaruhi musuh dan ahli perang. Musuh diusakan terpengaruh oleh strategi yang dilancarkan sehingga pada tahap ini musuh dapat hancur oleh pikirannya sendiri yang telah dipengaruhi. Waktu yang diperlukan agar bihwa ini berjalan lancar, sangat lama. Dalam Bharatayudha dijelaskan bahwa singha wyuha adalah susunan tentara berbentuk singa.
Garudabihwa. Bihwa ini memusatkan kekuatan pasukan dengan menyebarnya pada beberapa posisi atau di beberapa titik penting yang telah ditentukan untuk pertempuran. Kekuatan pada setiap titik atau posisi jumlahnya dapat mencapai 20 orang. Dengan menggunakan sandi atau simbol-simbol khusus, para prajurit yang telah tersebar ini akan menyerang secara bersamaan dan sekaligus kemudian mereka akan menyebar kembali untuk persiapkan penyerangan berikutnya. Dalam Bharatayudha, garudawyūha merupakan susunan pasukan berbentuk garuda.
Cakrabihwa. Bihwa ini merupakan strategi menyusupan yang dilakukan beberapa orang prajurit ke dalam benteng pertahanan musuh yang bertujuan untuk menyusupkan berbagai jenis persenjataan yang nantinya akan digunakan saat bertempur. Mereka yang menyusup harus lah prajurit yang sangat terlatih dan juga telah mengetahui medan serta mengetahui cara-cara penyusupan. Dalam Bharatayudha, cakrawyūha adalah susunan tentara berbentuk cakra (cakram).
Sucimuka. Strategi pembersihan musuh setelah perang berakhir karena biasanya ada musuh yang masih berdiam di tempat persembunyian. Prajurit yang diperintahkan harus dapat mengetahui daerah yang pantas digunakan sebagai tempat persembunyian dan jalan-jalan yang digunakan untuk meloloskan diri. Stategi pembersihan ini penting agar musuh tidak dapat menghimpun kekuatan kembali. Dalam Bharatayudha, sūcimukha adalah susunan pasukan yang ujungnya seperti jarum.
Brajapanjara. Strategi ini bertujuan mendidik beberapa orang musuh agar bekerja atau mengabdi kepada pihak kita untuk dijadikan mata-mata. Mereka nantinya akan memberi informasi tentang kekuatan musuh, jenis dan jumlah senjata yang akan digunakan atau dimiliki, serta strategi perang apa yang mungkin akan digunakan. Dalam Bharatayudha istilah ini tak ditemukan, namun di dalamnya terdapat wajratikśna wyūha, yakni susunan pasukan berbentuk wajra (kata braja merupakan bunyi lain dari wajra atau bajra, yang berarti petir atau halilintar).
Asumaliput. Strategi ini menempatkan setiap prajurit yang harus mengetahui tempat berlindung atau bersembunyi yang tidak akan diketahui oleh musuh. Prajurit juga harus pandai melihat situasi, layaknya anjing (asu) pelacak. Kita tak menemukan istilah ini dalam Bharatayudha atau Arthasastra, begitu pun istilah yang mendekatinya.
Meraksimpir. Strategi ini diperagakan saat prajurit telah berada di daerah yang lebih rendah dari musuh. Dalam strategi ini, pasukan akan dipersenjatai dengan tombak dan menggunakan kuda. Kita tidak menemukan istilah ini dalam Bharatayudha atau Arthasastra, begitu pun istilah yang mendekatinya.
Gagaksangkur. Strategi ini kebalikan dari meraksimpir, dipakai ketika prajurit berada di daerah yang lebih tinggi dari pada posisi musuh. Mungkin anda dapat membayangkan saat seekor gagak yang akan memangsa buruannya. Strategi mengalahkan musuh dari atas ini dilakukan dengan cara meloncat dan menghadangnya. Baik dalam Bharatayudha maupun Arthasastra, istilah ini tidak dikenal, begitu pun istilah yang mendekatinya.
Luwakmaturut. Strategi ini dilakukan untuk memburu dan mengejar musuh yang mencoba kabur dari lapangan atau arena pertempuran. Para prajurit yang diserahi tugas harus mengetahui cara pengejaran yang paling efektif di berbagai medan yang berbeda menuruti tingkah luwak yang pandai lari dan menghilang. Bharatayudha maupun Arthasastra tidak mencantumkan istilah ini, begitu pun istilah yang mendekatinya.
Kidangsumeka. Strategi ini dilakukan bila prajurit menyusup ke wilayah musuh, di mana ia harus mengetahui cara-cara menggunakan pedang kecil dan menyembunyikan senjata itu agar tidak diketahui musuh. Ia harus gesit seperti seekor kijang/kidang. Baik Bharatayudha maupun Arthasastra tidak mencantumkan istilah ini, begitu juga istilah yang mendekatinya.
Babahbuhaya. Strategi ini bertujuan menghimpun kekuatan prajurit pada saat pasukan telah tertekan dan terjepit serangan musuh. Meliputi cara atau upaya untuk memulihkan mental, semangat bertarung, dan kekuatan mereka. Prajurit dilatih mengenai arah ke mana ia harus berlari saat ada musuh yang menghadang atau terus mengejar, termasuk bagaimana cara memilih tempat perlindungan bagaikan buaya yang bisa berlindung di darat dan di air. Bila sudah terlihat aman, para prajurit kemudian dapat merundingkan upaya penyelamatan lebih lanjut dan merencanakan upaya penyerangan balik. Istilah ini, juga istilah yang mendekatinya, tidak tercatat dalam Bharatayudha maupun Arthasastra.
Ngalinggamanik. Strategi ini dilalukan oleh prajurit yang sudah terlatih dipersenjatai dengan senjata “rahasia” atau senjata keramat dari kerajaan seperti tombak di mana ia dilatih untuk menggunakan dan mengendalikan senjata keramat tersebut yang memiliki kekuatan besar, karena jika tidak bisa menguasanyai bisa-bisa prajurit lah yang akan terluka. Dalam Bharatayudha maupun Arthasastra Istilah tidak tercatat, juga istilah yang mendekatinya.
Lemahmrewasa. Strategi ini dilaksanakan di hutan-hutan belantara atau di beberapa tempat yang rimbun oleh pepohonan, terutama saat pasukan dalam keadaan terdesak oleh persenjataan yang digunakan pihak lawan. Berbagai potensi dari hutan bisa digunakan sebagai senjata. Lemah sendiri berarti alas atau hutan. Dalam Bharatayudha maupun Arthasastra Istilah tidak tercatat, juga istilah yang mendekatinya.
Adipati. Strategi ini bertujuan untuk melatih atau mendidik seorang prajurit menjadi prajurit khusus yang memunyai kemampuan di atas rata-rata prajurit lainnya. Bharatayudha maupun Arthasastra tak mencatat istilah ini, maupun istilah yang mendekatinya.
Prebusakti. Strategi ini merupakan pembekalan prajurit dalam menggunakan keahlian khusus seperti tenaga dalam agar senjata “lebih berisi”, lebih sakti, dan mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengalahkan dan menghancurkan musuh, seperti seorang raja (prebu) yang sakti. Juga istilah ini tak tertulis dalam Bharatayudha maupun Arthasastra.
Pakeprajurit. Taktik ini dipergunakan apabila raja telah menitahkan agar tidak lagi berperang. Prajurit yang sudah terlatih untuk berunding kemudian mengadakan serangkaian perundingan. Istilah ini pun tak tertulis dalam Bharatayudha maupun Arthasastra.
Tapaksawetrik. Strategi ini dipakai saat berperang di wilayah berair, bagaimana cara bergerak agar musuh terkelabui, serta bagaimana cara menggunakan senjata. Prajurit juga harus terlatih saat mendekati musuh. Dalam Bharatayudha maupun Arthasastra, istilah ini tak tertulis, namun dalam Bharatayudha tercantum wukirsagarawyūha yakni susunan pasukan berbentuk bukit dan samudra.
Strategi Lokal Genius
Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagian bihwa dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesyan tidak dikenal dalam Bharatayudha maupun Arthasastra yang merupakan tradisi perang India. Istilah-istilah yang mempergunakan kata bihwa rupanya memang diambil dari tradisi perang bangsa India yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Sunda (dan Jawa) yang menganut tradisi Hindu. Akan tetapi, sebagian besar strategi dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang tak memakai embel-embel bihwa (dan menggunakan nama-nama binatang) rupanya merupakan teknik perang asli masyarakat Sunda (juga Jawa dam Nusantara umumnya) yang telah dipraktikkan sebelum agama Hindu-Buddha tiba ke Nusantara.
Teknik-teknik perang itu sendiri menggambarkan masyarakat yang mendukungnya, yakni masyarakat yang berdiam di wilayah-wilayah berbukit dan berair lembab sebagaimana yang terdapat dalam alam tropis dan berdataran tinggi. Bila sebagian menggunakan bahasa Sansekerta, hal itu dilakukan atas dorongan “prestise” di mana Sansekerta dipandang lebih “unggul” dibanding bahasa ibu mereka. Terlepas dari itu semua, terang bahwa nenek moyang Nusantara, dalam hal ini Sunda, melakukan penyaringan dalam menyerap teknik atau strategi perang bangsa lain dengan menyesuaikannya dengan kondisi alam dan cuaca setempat.