Wilhelm Heitmeyer, seorang ilmuwan sosial Jerman sebagai orang yang memperkenalkan istilah masyarakat paralel dalam 'Parallelgesellschaften' pada tahun 1996. Dia melakukannya untuk menggambarkan skenario di mana kelompok-kelompok fundamentalis Islam dikatakan mendapatkan kekuatan di komunitas Turki di Jerman, terutama di kalangan pemuda, dan bahwa kelompok-kelompok ini menyebarkan bentuk pemisahan budaya tersendiri dari masyarakat Jerman mainstream. Dia menulis bahwa "ada bahaya bahwa kelompok-kelompok agama-politik dapat membentuk" masyarakat paralel "di pinggiran masyarakat mayoritas." Dengan demikian, 'masyarakat paralel fundamentalis Islam' ini menimbulkan "bahaya yang semakin besar" dan menyebabkan "masyarakat yang terpecah-pecah".
Meyer (2002: 343-346) menyarankan lima indikator untuk mengkategorikan pembentukan masyarakat paralel:
- homogenitas etnokultural atau agama-budaya dari kelompok imigran
- segregasi ekonomi dan segregasi masyarakat sipil
- duplikasi institusi mayoritas
- (Secara teknis) isolasi yang disebabkan oleh diri sendiri sebagai akibat dari diskriminasi
- jika keempat kriteria berlaku, maka segregasi spasial juga merupakan indikator, misalnya isolasi dalam area spesifik kota.
Analisis konotasi istilah ‘masyarakat paralel’ menunjukkan bahwa ia memiliki sinonim dari "anti-integrasi" terhadap elemen-elemen dalam masyarakat, pelanggaran hukum terhadap orang asing, dan pada umumnya, pemikiran radikal.
Kecenderungan "kepatuhan" masyarakat paralel pada aturan yang ada pada negara asal imigran menjadikan adanya bentrokan di masyarakat tempatan. Contohnya di Jerman, Prancis, Belanda dan Austria. Para imigram cenderung tidak mau patuh pada aturan negara yang dianggapnya tidak sesuai syariat islam.
Para peneliti Eropa berkesimpulan bahwa negara-negara mereka tidak cocok bagi budaya multikultural. Seperti kita ketahui bahwa negara eropa yang kecil-kecil secara wilayah karena adanya perbedaan kultur, bahasa dan etnis sehingga menjadi negara sendiri-sendiri. Akibatnya ketika kedatangan imigran yang mencari penghidupan dan juga pengungsi karena adanya perang, menghadirkan situasi yang tidak mereka pahami.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah lama sejak masa lampau memiliki keragaman budaya, etnis, bahasa dan agama. Namun kebersamaan terbentuk dengan adanya konsepsi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Tapi stop....! itu dulu
Situasi terkini bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Adanya kecenderungan "masyarakat paralel" dimana ditandai adanya "kesetiaan" total pada orang-orang yang dikultuskan dengan budaya non-lokal. Ditambah lagi solidaritas keagamaan yang membabi buta. Beberapa waktu terakhir kita dihadapkan pada situasi teror baik psikologis, sosiologis dalam bentuk persekusi hingga tindakan nyata pengeboman.
Uniknya di Indonesia, ketidakpatuhan pada aturan dan hukum negara tempatan, justru dilakukan oleh penduduk asli negeri sendiri. Jadi istilah negara tempatan yang digunakan di sini menjadi kacau. Kita adalah penghuni dan pemilik tanah air Indonesia, jadi semestinya tidak berperilaku seolah-olah kita adalah Imigran. Apakah mungkin, kita sebagai penghuni asli negeri ini merusak negeri sendiri lalu menerapkan cara hidup orang dengan kultur berbeda di negeri lain ke Indonesia?
Ini terjadi karena adanya Masyarakat Paralel.
Referensi
- Hiscott, William. 2005. "‘Parallel Societies’ – A Neologism gone Bad" www.migrationonline.cz, Multicultural Center Prague, [pdf]