Cari

Candi Batujaya Salakanagara-Tarumanagara diantara Kerajaan kalingga, Sunda dan Sriwijaya

Candrabhaga yang sekarang dikenal dengan nama Bekasi diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanegara. Dugaan ini diperkuat dengan adanya temuan arkeologis. Salah satunya Candi Blandongan di Kawasan Percandian Batujaya di pantai utara Karawang. Foto: kemendikbud.go.id

[Historiana] - Jawa Barat dan Sunda tidak saja hanya memiliki Candi Cangkuang di Garut. Di Karawang gugusan candi-candi tak tanggung-tanggung 11 candi telah diteliti yang tersebar di Batujaya. Secara administratif, Situs Batujaya terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakis jaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar 5 km2. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara atau Kerajaan Salakanagara dan Kerajaan Sagarapasir.

Situs ini benar-benar terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang).

Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.

Candi Blandongan Karawang

Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan.

Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada. Suasana di sekitar candi cukup sepi.

Menurut cerita, di dalam Candi Blandongan ditemukan banyak benda-benda bersejarah. Diantaranya Amulet dan Gerabah Buni Amulet (Sagarapasir) merupakan Jimat. Amulet tersebut memuat tulisan  zaman Sebelum Masehi (SM). Sekaligus menggambarkan cerita tentang Sarasvati, yaitu ketika Budha mendapat ilham mengenai masalah kedunia.

Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.

Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.

Zaman Kerajaan Sunda-Galuh dan Kalingga

Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 di atas bahwa candi-candi Batujaya dibuat pada abad ke-2 Masehi hingga yang paling muda berasal dari abad ke-12. Seperti kita ketahui, setelah berakhirnya Tarumanagara, dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda yang didirikan Tarusbawa pada tahun 670 Masehi dan memindahkan Ibukota ke Pakuan Pajajaran (Bogor sekarrang). Sebelumnya, pada tahun 612 Masehi Kerajaan Tarumanagara bagian timur memisahkan diri dan memproklamasikan kerajaan Galuh oleh Sang Wretikandayun.

Di dalam perkembangan selanjutnya, Rakyan Sanjaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Medang (Mataram kuno di Jawa Tengah) adalah cucu dari Ratu Simo/Sima dari Kalingga (Jepara, Jateng sekarang).

Dapunta syailendra/Kertikeya Singha adalah Raja Kalingga (648 - 674 M) dan Dapunta Hyang/Sri Jayanasa adalah Raja Sriwijaya (669 - 692 M). Jadi, Dapunta Syailendra lebih dulu menjadi Raja, mungkin lebih tepatnya jika Dapunta Syailendra adalah saudara dari Dapunta Hyang. Dapunta Syailendra mewarisi tahta Kerajaan Kalingga dari ayahnya yaitu Raja Santanu/Kiratha Singha. yang pada saat itu pusat kerajaannya masih berada di daerah Tamwlan (Kediri - Jawa). dan Dapunta Hyang mendirikan Kerajaan baru di sumatera/swarnadwipa bernama Sriwijaya. oleh sebab itu didalam prasasti kedukan bukit pun tertulis bahwa Dapunta Hyang pendiri Sriwijaya berasal dari minanga Tamwlan.

Setelah Dapunta syailendra wafat, Istrinya( Ratu Shima) meneruskan tahta Kalingga dan memindah pusat pemerintahan ke daerah sekitar Jepara (674 - 695 M).

Dapunta Hyang (Raja Sriwijaya) dalam Expansi kerajaannya tidak menginginkan terjadi bentrok dengan Kerajaan Jawadwipa (termasuk sunda) karena mereka adalah kerabatnya. Oleh karena itu Dapunta Hyang melakukan langkah diplomatik dengan meminang putri ke-2 Raja Tarumanegara. Karena putri pertama Raja Tarumanegara telah dipinang oleh Raja Tarusbawa (Raja Tarusbawa mewarisi tahta Tarumanegara dan kemudian mengganti nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda).

Untuk langkah Diplomatik ke Kerajaan Kalingga, Dapunta Hyang pun meminang Ratu Shima karena  Putri dari Ratu Shima yang bernama Parwati telah diperistri oleh Putra Mahkota Kerajaan Galuh. Namun Pinangan itu ditolak oleh Ratu Shima, Sehingga Dapunta Hyang merasa tersinggung dan berencana menyerang Kalingga, Rencana Penyerangan itu tertulis dalam prasasti kota kapur. Namun dalam perjalanan, penyerangan itu dicegah oleh Raja Tarusbawa karena jika diteruskan akan terjadi perang saudara yang sangat besar, yang mungkin akan melibatkan kerajaan Galuh dan Sunda juga. Sehingga penyerangan itu pun dibatalkan.

Sriwijaya selanjutnya melakukan expansi  kerajaannya ke Negeri sebrang sampai ke semenanjung melayu/Thailand Selatan, dan  menguasai kawasan  perdagangan  asia tenggara/pantai timur indocina, oleh sebab itu untuk memudahkan mengontrol daerah2 pelabuhan tersebut Dapunta Hyang menjadikan chaiya (semenanjung melayu/Thailand selatan) sebagai pusat pemerintahan.

Beberapa generasi setelah Dapunta Hyang wafat, ketika Sriwijaya dipimpin oleh Sri Maharaja Dharmasetu terjadi banyak perlawanan dari kerajaan sekitar untuk menguasai jalur perdagangan, sampai akhirnya pusat pemerintahan (Chaiya) berhasil dikuasai musuh. Sri Maharaja Dharmasetu pun memindah kembali pusat pemerintahan  ke Swarnadwipa(Palembang/Jambi).

Sementara itu Kerajaan Kalingga di Jawadwipa, setelah Ratu Shima wafat, Kalingga dibagi dua menjadi Kalingga Utara (anak pertama bernama Parwati) dan Kalingga Selatan (anak kedua bernama Narayana).
Pada Era Raja Sanjaya (Cucu Parwati), Kalingga disatukan kembali dan di ubah namanya menjadi Kerajaan Medang (Mataram) (732 - 746 M).

Banyak yang keliru dan menganggap bahwa ada dua wangsa di Kerajaan Mataram(Medang), yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra, Padahal hanya ada satu Wangsa yaitu Wangsa Syailendra karena  Sanjaya sendiri juga keturunan Syailendra. Namun karena ada dua keturunan yang berbeda keyakinan(Hindu shiwa dan Buddha) sehingga seolah-olah terdapat dua Wangsa. Saat itu Agama Buddha berkembang pesat di Kalingga.

Dari catatan I-tsing (negeri china), bahwa tahun 664 -665 M di Kalingga ada seorang Pendeta Buddha dari china yang datang untuk menterjemahkan Kitab Buddha ke dalam bahasa Tionghoa dengan bantuan Pendeta Jawa yang bernama Janabadra. Jadi bisa dikatakan bahwa Kalingga adalah salah satu pusat Agama Buddha.
Raja Sanjaya masih menganut agama Hindu Siwa, Karena Sanjaya berdarah campuran dan juga pewaris Kerajaan Galuh Sunda yang juga menganut Agama Hindu Siwa.  Sedangkan Saudara-saudaranya banyak yang menganut Agama Buddha.

Setelah Sanjaya wafat (746 M), tahta kerajaan Medang(Mataram) digantikan oleh Rakai Panangkaran/Dharanindra (Keponakan Sanjaya), Karena pada waktu itu anak dari Sanjaya yang bernama Rakai Panunggalan/Panaraban masih terlalu muda.

Pada masa Pemerintahan Maharaja Panangkaran ini Medang(Mataram) mencapai Jaman Keemasan. Ia berhasil menjadi penguasa Sriwijaya dengan menikahi Putri Mahkota Sriwijaya yaitu Dewi Tara, Anak Maharaja Dharmasetu. Pada waktu itu Sriwijaya sedang terdesak oleh musuh, Ibukota Chaiya telah dikuasai oleh musuh, Maharaja Dharmasetu menyingkir kembali ke Palembang. Kemudian Maharaja Panangkaran meminang Dewi Tara dan menawarkan bantuan untuk merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai musuh.

Maharaja Panankaran/Dharanindra berhasil merebut kembali daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya dan bahkan berhasil menaklukan Kamboja dan daerah sekitar sampai ke pilipina dan pengaruhnya sampai ke India (Prasasti Ligor) (775 M).
Dengan kerberhasilan tersebut, dan sebagai menantu Maharaja Dharmasetu maka beberapa tahun kemudian Maharaja Panangkaran dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya. Dengan demikian Ia menjadi Penguasa dua Kerajaan besar sekaligus.

Beberapa tahun kemudian (782 M) Tahta Sriwijaya diwariskan kepada anaknya yaitu Rakai Warak (Samaragrawira) dan Tahta Medang (Mataram) diserahkan kepada Rakai Panunggalan/Panaraban  (Anak Sanjaya)

Setelah Rakai Panunggalan wafat, sekitar tahun 803 M, Rakai Warak/Samaragrawira mengambil alih tahta Medang(Mataram), sedangkan tahta Sriwijaya diserahkan kepada anaknya yaitu Rakai Garung/Samaratungga.

Rakai Garung/Samaratungga hanya mempunyai putri mahkota yaitu Pramordawardani. maka ketika Rakai Warak/Samaragrawira (ayahnya) wafat, Rakai Garung mengambil alih tahta Medang(Mataram) sampai saatnya Putri mahkota Pramordawardani berjodoh dengan Rakai Pikatan, maka Rakai Garung kemudian menyerahkan tahta Medang(Mataram ) kepada Menantunya (Rakai Pikatan).

Rakai Garung mencium rasa ketidak puasan dari Adiknya (Balaputradewa) atas penobatan Rakai Pikatan sebagai Maharaja Medang(Mataram), Balaputradewa merasa lebih berhak karena Ia juga keturunan dari maharaja Medang dan Maharaja Sriwijaya.  Maka untuk menghindari pertumpahan darah/perang saudara, Rakai Garung/Samaratungga kemudian menyerahkan tahta Sriwijaya kepada adiknya (Balaputradewa).

Prasasti Nalanda(India) berangka tahun 860, berbunyi "Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari Śailendravamsatilaka (mustika keluarga Śyailendra) dengan julukan Śrīviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), Raja Jawa yang kawin dengan Tārā, anak Dharmasetu."

Dalam Prasasti Nalanda tersebut jelas bahwa Balaputradewa Raja  Sriwijaya adalah  anak dari Samaragrawira (itu artinya Balaputradewa adalah adik Samaratungga/rakai Garung), dan Cucu dari Śailendravamsatilaka (mustika keluarga Śyailendra) atau Rakai Panangkaran (Dhananindra), Rakai  Panangkaran adalah Raja Jawa yang Kawin dengan Dewi Tara, anak Maharaja Dharmasetu.

Kemudian Mulai Saat itu Kerajaan Medang/Mataram dan Kerajaan Sriwijaya berdiri sendiri-sendiri. Kerajaan Medang(Mataram) dipimpin oleh anak keturunan Rakai Pikatan. dan Kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh anak keturunan dari Balaputradewa.

**dikutip dari berbagai sumber, semoga menambah wawasan sejarah. Kebenaran sejati hanya Tuhan yang tahu.
Baca Juga

Sponsor