Cari

Konsep Figur Pemimpin dan kepemimpinan Menurut Naskah Sunda Kuno

Melengkung bekas nyalahan
[Historiana] - Andai kita simak dengan saksama, kearifan lokal yang terungkap dalam naskah-naskah Sunda buhun‘kuno’berbahan lontar, beraksara dan berbahasa Sunda buhun, yang dalam naskah Sunda koleksi Kabuyutan Ciburuy Bayongbong Garut,  menyiratkan ‘konsep’ serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin.

Dalam teks Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, seseorang digelari pemimpin, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap  untuk mempunyai kharisma/pamor, yakni
  1. Emét (tidak konsumtif).  Seorang pemimpin yang terbiasa untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya. Pemimpin demikian akan terhindar dari perilaku korup yang tentu saja harus dihindari oleh seorang pemimpin.
  2. Imeut (teliti,  cermat).  Jika seorang pemimpin ceroboh dan kurang teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang untuk memperbaiki kekeliruannya karena  ketidakcermatan yang telah diperbuatnya.
  3. Rajeun (rajin). Leukeun (tekun). Selama hidupnya tetap berkarya, pemimpin yang demikian  mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan yang ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang terbuang secara percuma. 
  4. Paka Pradana (beretika). Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran. Seorang pemimpin  yang  tanpa  berbekal etika dalam  pergaulan,  perasaan  simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan.
  5. Morogol-rogol (beretos kerja tinggi). Keinginannya  untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang   pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.
  6. Purusa ning Sa (berjiwa pahlawan, jujur, berani). Kreasi dan inovasi serta  pembaharuan yang  berkualitas prima hanya terlahir dari pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang  berani menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan jarum kompas penunjuk arah yang benar.
  7. Widagda  (bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa). Kesombongan rasio  yang  kadang-kadang  sangat  mendominasi  pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan.
  8. Gapitan (berani berkorban). Keyakinan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang pemimpin.
  9. Karawaléya (dermawan). Hidup adalah kebersamaan dengan orang lain. Kesalehan sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin.
  10. Cangcingan (terampil). Hanya pemimpin yang cekatan yang mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan tidak datang dua kali 
  11. Langsitan ‘rapekan (cekatan).  Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses
Selain pangimbuhning twah, seorang pemimpin dituntut memiliki sifat Dasa prasanta,  yakni:
  1. Guna (bijaksana). Perintah yang diberikan oleh seorang pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.  
  2. Ramah  (bijak, atau bestari). Keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman  dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan mengesankan adanya keramahtamahan akan menjadi ‘habitat’ yang sangat baik dan menyenangkan. 
  3. Hook (kagum). Perintah seorang pemimpin dianggap sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya 
  4. Pésok (memikat  hati). Seorang pemimpin harus mampu memikat hati bawahannya serta merupakan ‘kareueus’ kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh seorang  pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah.  Hal demikian akan mampu mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah. 
  5. Asih (sayang,  cinta  kasih). Perintah pemimpin harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
  6. Karunya (iba/belas  kasih). Hampir  sama  dengan asih, namun dalam karunya, perintah  pemimpin harus terasa sebagai suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya  
  7. Mupreruk (membujuk dan menentramkan hati).  Seorang pemimpin seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati  yang dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya. 
  8. Ngulas (memuji dan mengoreksi). Seorang pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan  yang dipimpinnya sebagaipenghargaan dan pendorong ke arah yang lebih baik. 
  9. Nyecep (membesarkan hati dan memberikan kata-kata  yang menyejukkan), bisa juga diartikan  memberi perhatian berupa moril maupun materiil meskipun hanya berupa ucapan terima kasih  atau  pemberian alakadarnya sebagai penyejuk hati juga dikala yang dipimpinnya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan.
  10. Ngala angen (mengambil hati). Pemimpin yang mampu menarik hati dan simpati bawahannya  atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan ikatan bathin yang erat dan harmonis.

Di samping itu, seorang pemimpin harus mampu menjauhi empat  karakter  yang  negatif,  yang  dikenal  dengan  sebutan ‘opat  panyaraman’   atau empat  hal  yang  diharamkan,  yakni  sifat
  1. babarian, ‘mudah tersinggung’. Pemimpin yang demikian berpikiran sempit, arogan, cepat marah, dan selalu ingin menang sendiri serta mudah dipengaruhi orang lain
  2. pundungan, ‘mudah merajuk’, pemimpin yang demikian akan kehilangan kesempatan dalam segala hal. Karena tidak bisa bekerja sama.
  3. humandeuar, ‘berkeluh  kesah’, pemimpin  yang  berperangai  demikian akan kehilangan etos kerja, tidak disenangi dan tidak bisa bekerja sama.
  4. kukulutus ‘menggerutu’, Pemimpin yang demikian menandakan berkarakter rendah, karena selalu berfikir negatif, tidak bertanggungjawab. Pemimpin seperti ini memiliki sifat ‘munafik’
serta  menjauhi  watak  manusia  yang  membuat  kerusakan  di  dunia,  yang dikenal Catur Buta, yaitu BurangkakMariris, Maréndé, dan WirangCatur  Buta, yaitu  empat  watak  manusia  yang  berkarakter  raksara perusak kehidupan:
  1. Burangkak, dikenal sebagai mahluk maha gila yang sangat mengerikan, tidak  ramah, sering  membentak. Burangkak berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering melanggar aturan. Merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain. 
  2. Mariris, orang yang menjijikan lebih dari bangkai binatang yang membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang lain, korup, menipu, berdusta.
  3. Maréndé, dalam SSK adalah sebangsa raksasa bermuka api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa  pemimpin tersebut berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup damai dan tentram, namun  setelah  menjadi  pemimpin  ternyata  malah  membawa  panas  dan menimbulkan bencana di masyarakat. 
  4. Wirang, dalam SSK ditampilkan sebagai binatang yang menakutkan, yaitu orang yang tidak mau jujur, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang, serta selalu menyalahkan orang lain.
Seorang   pemimpin,   menurut   teks   naskah Sanghyang   Hayu,adalah  pemimpin yang menjiwai konsep ‘tiga rahasia’, terdiri atas lima bagian, yakni lima belas  karakter  yang harus  mendarah  daging  dalam  diri  seorang  pemimpin, yaitu:
  1. Budi-Guna-Pradana (bijak-arif–saleh), 
  2. Kaya-Wak-Cita  (sehat/kuat-bersabda-hati), 
  3. Pratiwi-Akasa-Antara (bumi–angkasa-antara), 
  4. Mata-Tutuk-Talinga (penglihatan-ucapan-pendengaran), 
  5. Bayu-Sabda-Hedap (energi–ucapan/sabda-itikad/kalbu  dan pikiran).  

Tiga  rahasia  itu  harus  berpegang  teguh  kepada  prinsip astaguna  ‘delapan kearifan’, terdiri atas:
  1. Animan (lemah lembut). Seorang  pemimpin  harus  memiliki  sifat  yang lemah   lembut,   dalam   arti   tidak   berperilaku   kasar,   agar   orang   yang dipimpinnya merasa diperhatikan.  
  2. Ahiman (tegas/panceg hate). Seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam pengertian tidak plin plan (panceg hate)
  3. Mahiman (berwawasan luas). Seorang pemimpin tentu saja harus memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari bawahannya. 
  4. Lagiman (gesit/cekatan/trampil). Seorang pemimpin pun dituntut agar Dia trampil dan gesit  serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan 
  5. Prapti (tepat sasaran). Seorang pemimpin harus memiliki ketajaman berpikir serta tepat  sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi  hal  itu akan menghambat suatu pekerjaan 
  6. Prakamya (ulet/tekun). Seorang  pemimpin  juga  tentu  saja  harus  memiliki keuletan  dan  ketekunan  yang sangat tinggi.Pemimpin tidak boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik dan berhasil guna. 
  7. Isitwa (jujur). Seorang  pemimpin  dituntut  memiliki  kejujuran,  baik  dalam perkataan,  pemikiran,  maupun  perbuatan  agar  dipercaya  oleh  orang  lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis 
  8. Wasitwa (terbuka untuk dikritik). Seorang pemimpin harus memiliki sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau menyimpang dari aturan yang ditetapkan.
Konsep  figur  pemimpin  dan  kepemimpinan  Sunda  menurut Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, koleksi skriptorium Kabuyutan Ciburuy. Naskah telah memaparkan setidaknya kepemimpinan harus mampu berperan sebagai:
  1. leader (adanya  kesepahaman  dalam  satu  pikiran,  perkataan, dan perbuatan dengan benar), 
  2. manajer (kemampuan dalam hal manajerial), 
  3. entertainer (kaitannya dengan 
  4. human relations/bernegosiasi), 
  5. entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan), 
  6. commander (menjadi  pendorong atau motivator), 
  7. designer (sebagai perancang ideal), 
  8. father (bertindak kebapakan), 
  9. servicer (pelayan yang baik dan bertanggung jawab), dan  
  10. teacher (guru, pendidik, dan pengajar serta menjadi ‘teladan’ bagi masyarakat/bawahannya). 
Kriteria tersebut selayaknya harus  mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, yang akhirnya menuju kepada pemimpin ideal yang mampu bertindak sebagai “master/tokoh” yang dicintai, dikagumi, dan disegani  masyarakatnya,    serta mampu memerdayakan dan menyejahterakan orang banyak.

Dengan demikian, tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang  sejahtera, bermatabat dan penuh dengan  rahmat dan  ridha  Sang  Pencipta, Tuhan yang Maha Kuasa. Fungsi Pemimpin dalam SSK berkaitan dengan beberapa kelompok pemimpin berdasarkan fungsi  dan kedudukannya yang disebut Tri Tangtu di Buana, yakni tiga ketentuan (yang menentukan) di dunia (sama sebagaimana terungkap  dalam  naskah Fragment  Carita  Parahiyangan).  Tiga fungsi  yang menentukan kesejahteraan kehidupan di dunia yang masing-masing memiliki tanggung jawab, yang terdiri atas: 
  1. Sang Prabu, sama   dengan   pemimpin   formal,   birokrat,   pemerintah (presiden),  para  pengambil  kebijakan  serta  seluruh unsur Trias  Politica. Siapa  pun  pemimpinnya  yang  sedang  berfungsi  sebagaiPrabu, harus berfilosofi Ngagurat  Batu 'berwatak  teguh', yakni  taat  dan  patuh  dalam menjalankan  hukum  serta  apa  adanya  tanpa    rekayasa.  Jika  dilaksanakan secara  taat  asas,  maka  komunitas  yang  dipimpinnya  akan  selalu  berjalan dalam koridor yang benar dan terarah
  2. Sang  Rama, termasuk ke dalamnya keluarga dan pemuka masyarakat Keluarga sebagai unsur terkecil dalam   struktur   masyarakat   sangat menentukan terwujudnya kesejahteraan bangsa.Daya    tahan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kekuatan dan kesejahteraan di tataran  masyarakat.  Dalam  naskah Fragment Carita Parahiyangan, SangRama harus berfilosofi Ngagurat Lemah ‘'berwatak menentukan hal yang mesti dipijak'. 
  3. Sang  Resi, diartikan sebagai orang yang berilmu, cerdik cendekiawan, ulama, para pendidik dan  pengajar, serta orang-orang yang mampu mencerdaskan bangsa yang harus Ngagurat Cai 'berwatak  menyejukkan dalam peradilan'. Mengandung pengertian bahwa para cerdik cendekiawanlah yang harus mampu mendorong daya hidup untuk tumbuh-kembangnya kualitas Sumber Daya Manusia agar bermanfaat. Tugas  Sang Resi menuntut dan mengarahkan perjalanan masyarakat ke arah yang lebih baik dan sejahtera lahir batin.

Referensi

  1. Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda ng Karesian (Naskah Sunda  Kuno. Bandung:  Proyek Pengembangan Permuseumam Jawa Barat. 
  2. Charliyan, Anton. 2009. Pemimpin Sebagai Master.Garut: Polwil Priangan. 
  3. Danasasmita,   Saleh,   dkk.   1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian,  Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi 
  4. Darsa,   Undang   A.   1998. Sanghyang Hayu. Naskah Jawa Kuno di Sunda. Bandung: Program Pascasarjana Unpad (Tesis) 
  5. Darsa, Undang A. 2011. “Apa dan Siapa”. Bandung: Pikiran Rakyat. 
  6. Darsa, Undang   A.   2011. “Serpihan   Warta   Terpendam”. Bandung:   Pikiran Rakyat. 
  7. Darsa, Undang A. 2011. “Prebu-Rama- Resi”. Bandung: Pikiran Rakyat. 
  8. Ekadjati, Edi  Suhardi. 2007. Nu  Maranggung  Dina  Sajarah  Sunda. Bandung: Pusat Studi  Sunda. 
  9. Purwadi.  2007. Sejarah Raja-raja Jawa.Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. 
  10. Rosidi, Ajip. 2011.“Prabu Siliwangi: Sejarah atau Mitos”. Bandung:Pikiran Rakyat.

Disadur dari: Konsep figur pemimpin dan kepemimpinan yang terungkap dalam skriptorium naskah sunda buhun kabuyutan ciburuy karya Suryani NS Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Masyarakat Pernaskahan Nusantara Yogyakarta September, 2012 docplayer.info diakses 10 April 2019.

Baca Juga

Sponsor