Cari

Sang Purnawarman Maharaja Tarumanagara ke-3 | Jejak Kerajaan Tarumanagara


[Historiana] - Purnawarman, juga dieja Purnavarmman  dilahirkan tanggal 8 paro gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi).. Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba). Ia raja Kerajaan Tarumanagara yang ketiga.

Purnawarman diberi gelar Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala.Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa.

Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaat-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).

Purnawarman memiliki permaisuri yang bernama Sri Prameswari Indukirana namanya, putri Raja Agrabinta, keturunan Raja Salakanagara putri dari raja bawahannya. Memiliki 2 orang anak yaitu: Wisnuwarman dan Dewi Tarumawati. Istri Purnawarman yang ke-2adalah Dewi Jwalita, putri dari Bakulapura. Dari istri ke-2 berputra Sang Karabhawarman, beristri putri pembesar kerajaan Pulau Sumatra.

Lambang Kerajaan Tarumanagara

Lambang atau dhwaja (panji) berbentuk padma (bunga teratai) di atas kepala gajah Erawata, rajatanda daun bunga dari emas berbentuk lebah. Kemudian disebut sebagai dhwaja tanda, yang digunakan sebagai lambang kebesaran para pembesar kerajaan.

Baju perang (Zirah)

Semua musuhnya dapat dikalahkan, karena Purnawarman orangnya pemberani, dan menguasai berbagai ilmu serta siasat perang, yang menjadikan dirinya menjadi raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Waktu berperang selalu memakai baju besi dari kepala sampai ke kaki.

Mengenai baju perang ini disebutkan dalam prasasti "Prasasti Koleangkak" atau "Prasasti Jambu".

Prasasti tidak menyebutkan pertanggalan tetapi dari paleografinya dapat diperkirakan ditulis pada abad ke-5 M.. Prasasti terbuat dari batu yang berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
 •    criman data krtajnyo narapatir asamo yah purl tarumayan namma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyatavarmmo
 •    tasyedam padavimbad'iyamarinagarotsadanenityadaksham bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutam ripunam 

Terjemahan:
Ia membuat dan menyusun Nitipustaka Rājya Tarumanagara, Nitipustaka ning Aksohini, Nitipustaka Yuddhawarnana, Nitipustaka Desāntara i Bhumi Jawa Kulwan, Pustaka Warmanwamsatilakā kemudian Pustaka Ghosanājñārājya dan banyak lagi lainnya.

Pemindahan Ibukota Tarumanagara

Pada tahun 397, Purnawarman memaklumatkan ibu kotanya yang baru yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura", secara harfiahnya berarti "Kota Suci". Pada tahun 417, ia menitahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6,112 tombak (sekitar 11 kilometer) dan selepas penggalian tersebut, mengadakan penyembahan dengan pengorbanan 1,000 ekor lembu. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari banjir yang sering berlaku pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang berlaku pada musim kemarau.


Pelabuhan

Kira kira tiga tahun setelah ia dinobatkan, Purnawarman membuat pelabuhan di tepi pantai. Pembuatannya, dimulai tanggal 7 paro terang bulan Margasira (15 Desember 398 Masehi) dan selesai pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya (11 November 399 Masehi). Pelabuhan ini, segera menjadi ramai, oleh kapal-kapal perang kerajaan Tarumanagara.

Bangunan suci

Purnawarman mendirikan beberapa bangunan suci pada tanggal 9 paro bulan terang bulan Posya, sampai dengan tanggal 2 paro bulan gelap bulan Magha tahun 319 Caka, [9s – 3 sampai dengan 2 k – 4 – 319 Caka = 13 Juli - 20 Agustus 431 Masehi) = 38 hari

Sebanyak 48 Kerajaan Bawahan Tarumanagara

Naskah Wangsakerta menyatakan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman, terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sehingga ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Sungai Brebes) memang dianggap sebagai sempadan kekuasaan raja-raja Jawa Barat pada masa silam.

Adapun 48 kerajaan bawahan Tarumanagara ialah :

  1. Salakanagara (di Pandeglang)
  2. Cupunagara (di Subang)
  3. Nusa Sabey (di ?)
  4. Purwanagara (di ?)
  5. Ujung Kulon (di Pandeglang)
  6. Gunung Kidul (di ?)
  7. Purbolingga (di Pubalingga)
  8. Agrabinta (di Cianjur)
  9. Sabara (di ?)
  10. Bumi Sagandu (di Majalengka)
  11. Paladu (di ?)
  12. Kosala (di ?)
  13. Legon (di Serang)
  14. Indraprahasta (di Cirebon)
  15. Manukrawa (di Indramayu)
  16. Malabar (di Kabupaten Bandung)
  17. Sindangjero (di Cirebon)
  18. Purwakerta (di Purwokerto)
  19. Wanagiri (di Cirebon)
  20. Purwagaluh (di Banyumas)
  21. Cangkuwang (di Garut atau Ciamis)
  22. Sagara (di ?)
  23. Kubang Giri (di Tegal)
  24. Cupugiri atau Gunung Cupu (di Sumedang)
  25. Alengka (di Kabupaten Bandung)
  26. Manik Parwata atau Gunung Manik (?)
  27. Salaka Gadang (di ?)
  28. Pasir Batang (di Banyumas)
  29. Karang Sindulang (di Kab. Bandung)
  30. Bitung Giri (di Talaga, Majalengka)
  31. Tanjung Kalapa (di ?)
  32. Pakuwan Sumurwangi (di Kuningan-Cirebon)
  33. Kalapa Girang (di ?)
  34. Tanjung Camara (di Kuningan)
  35. Sagara Pasir (di Bekasi)
  36. Rangkas (di Pandeglang)
  37. Pura Dalem (di Karawang)
  38. Linggadewa (di ?)
  39. Wanadatar (di ?)
  40. Jati Ageung (di Kuningan)
  41. Setyaraja (si ?)
  42. Wanajati (di ?)
  43. Sundapura (di Bekasi)
  44. Rajatapura (di Pandeglang)
  45. Dua Kalapa (di ?)
  46. Pasir Muara (di Bogor)
  47. Pasir Sanggarung (di Kab. Cirebon)
  48. Indihiyang (di Tasikmalaya)

Prasasti dan Tugu Peringatan

Pada masa Purnawarman ini dibuatkan prasasti atau tugu-tugu peringatan bagi persemayaman para pendahulunya. Mengutip Naskah Wangsakerta: Nagara Kertabhumi Sarga I bahwa Sang Purnawarman kemudian membuat peringatan pada tugu batu, dan dibangunlah persemayaman Rāja-rsi atau Yang Bersemayam di Candrabhagā menurut wujudnya (untuk Dharmayawarman, pen). Demikian pula di tepi Sungai Ghomati, sebagai tugu peringatan bagi Sang Mahāpurusa Rājādhirājaghuru, atau yang bersemayam di tepi sungai tersebut (untuk Jayasinghawarman, pen).

Menumpas Perompak

Sejak tanggal 3 bagian gelap bulan Maga (Januari/Februari) tahun 321 Saka (399 Masehi) sampai tahun 325 Saka (403 Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut, yang merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan terhadap kaum perompak ini, dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma bersama 7 orang pengiringnya, ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang pertama dengan kaum perompak ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan Laut Tarumanagara, dipimpin langsung oleh Sang Purnawarman:

Puluhan kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampuni seorang pun, di antara mereka.

Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung junrlah perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.

Pada bagian ini, kemungkinan besar ada hubungannya dengan temuan prasasti Cidangiang, di Desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang, yang tertulis dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta, antara lain sebagai berikut:
vikrantayam vanipateh
 prabbhuh satyaparakramah
 narendraddhvajabutena crimatah
 pumnavarmmanah
Terjemahannya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman (Danasasmita, 1984: 3 1).
Prasasti ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman.

Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci Dang Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem religi Sunda.


Kesejahteraan Rakyat

Untuk kesejahteraan kehidupan rakyatnya, maka  banyak sungai yang diperkokoh tepiannya, juga sehubungan dengan keperluan agama.

Pemeliharaan

Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, ia sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tahun 410 Masehi, ia memperbaiki alur kali Gangga di daerah Cirebon, yang waktu itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya, disebut Cisuba, ini mulai diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya, pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332 Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang Purnawarrnan, mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya, ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang Purnawarman.

Dua tahun kemudian, Sang Purnawarman, memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di (kerajaan) Cupunagara Sungai tersebut, mengalir sampai di istana kerajaan. Pengerjaan, dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tanggal 13 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 Masehi). Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya, ialah: sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap orang, yang ikut serta mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan kata kata berbunga (sarwa bhasana). Mengenai kebesarannya dan sifat sifatnya, yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di burni dan di akhir kelak. Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa perahu, dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.

Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang Purnawarman, memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri, disertai beberapa orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda, Sang Juru, Sang Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau (mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Tarumaragara, sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang, yang ikut serta dalam pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja Purnawarman.

Para petani menjadi senang hatinya, karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya, dengan mendapat pengairan (kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian, tidak akan menderita kekeringan dalarn musim kemarau.

Kemudian, Sang Purnawarman, memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga. Ada pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Sang Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya.

Pengerjaan kali Gomati dan Candrabaga ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna, sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 Masehi). Ribuan penduduk, laki laki dan perempuan, dari desa desa sekitarnya, berkarya bakti siang malam, dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu, berjajar memanjang di tepi sungai, sambung menyambung tidak terputus, tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.

Selanjutnya, Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para Brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat. Sedangkan para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada yang diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan bermacam macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti yang ditulis pada batu.

Demikian pula di tempat tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya.

Di tempat tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Sernua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.

Pada tangal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman, memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma (di Jawa Barat). Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah hadiah lainnya. Kemudian, para Brahmana memberkati Maharaja Tarumanagara.

Begitu juga, pada tanggal sebelas paro‑gelap bulan Karthika sampai dengan empat belas paro ­terang bulan Margasira, tahun tiga ratus tiga puluh lima Caka (335 Caka = 446 Masehi) , yaitu melakukan pekerjaan berupa perbaikan dengan memperkuat sepanjang tepi pada setiap sungai, atau lembah Manukrawa namanya sekarang. Pada waktu itu Sri Maha­raja sedang menderita, sakit.

Wafat

Purnawarman wafat pada usia 62 tahun dan disebut Sang Lumah ing Taruma (yang wafat di sungai Taruma). Konon abu jenazahnya dilarung di Sungai Citarum. Setelah Sang Purnawarman wafat, kemudian Sang putra raja tertua yakni Sang Wisnuwarman (atau mungkinkah ia di-candi-kan?). Purnawarman mangkat pada tahun 434 dan diwariskan oleh puteranya, Sang Wisnuwarman.


Referensi

  1. Ayatroahedi & Atja. 1991. "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara: Parwa 2 Sargah 4: Sebuah Naskah Sastra-Sejarah Karya Kelompok Kerja di Bawah Tanggungjawab pangeran Wangsakerta". Depdikbud versi online kemdikbud.go.id pdf Diakses 14 Juni 2019.
  2. Wangsakerta, Pangeran Muhamad Mukhtar Zaedin. "Dwipantara Parwa / Pangeran Wangsakerta ; alih aksara dan bahasa, Muhamad Mukhtar Zaedin ... [et.al]." Cirebon : [s.n.], 2016.
Baca Juga

Sponsor