Semua raja bawahan dari kerajaan kecil tanah Jawa barat ada di situ, beberapa utusan dari negara sahabat, pemimpin bawahan raja, yakni Sang perdana menteri, beberapa petinggi kerajaan Tarumanagara ada di situ, lalu Sang brahmana, sang pendeta, kapwajti, Panglima angkatan laut, sang pemimpin angkatan perang beberapa pemimpin pasukan wilayah, lalu istri raja, dan banyak lainnya lagi.
Dan mereka semua dijamu dan menyantap berbagai makanan lezat. Sebab berbagai hidangan dan wesaleh yamadhupanadi ada di situ termasuk juga, membuat acara pesta besar ada gending dan penari berparas cantik. Melihat penarinya cantik, semua lelaki mabuk asmara bersamaan dengan itu berbagai makanan dan wesalehya madhupānādi dihantarkan oleh pembantu (dayang) istana dengan rupa yang cantik. Sangatlah meriah pesta itu. Lalu mereka semua mendoakan kepada Sang Maharaja Tarumanagara,
Lalu pada dua paruh terang, bulan Magha tiga ratus lima puluh tujuh di tahun Saka (357 S/435 M). Maharaja Tarumanagara mengutus dutanya di negeri Cina, negeri Bharata, negeri Syangka, negeri Campa, negeri Yawana, Swarnabhumi, Bakulapura, negeri Singa, negeri Dhamma dan semuanya negara sahabat. Juga semuanya raja yang ada di Dwipantara.
Adapun kedatangan para utusan diperintahkan untuk memberi tahu jika Maharaja Wisnuwarman menjadi raja di Tarumanagara menggantikan Sang Purnawarman termasuk juga persahabatan yang telah berlangsung tidak terputus.
Tiga tahun kemudian setelah ia Sang Wisnuwarman menjadi raja Tarumanagara, ada peristiwa gempa bumi, namun kecil dan tidak lama. setahun setelah itu, ada kejadian gerhana bulan, tetapi tak lama kemudian selesai. Kedua kejadian itu, oleh Sang Maharaja dianggap sebagai pertanda bahaya. Agar selamat dan terhindar dari mara bahaya terhadap negaranya Maharaja mengikuti nasehat sang Brahmana Siddhimantra (yang memiliki mantra gaib) berjalanlah Maharaja mengikuti aliran sungai Gangga, yang ada di wilalayah Indraprahasta, Cirebon.
Dua bulan kemudian Sang Wisnuwarman di kala sedang tidur bermimpi melihat harimau tua, celeng (babi hutan), garuda, beruang dan beberapa ekor satwa lainnya, semua hewan liar hendak menyerang Sang Maharaja yang sedang menaiki gajah maniwa. Sang Maharaja nyaris jatuh ke tanah tetapi sang gajah maniwa dan menghindarkan dari marabahaya.
Tiba-tiba datanglah brahmana menaiki Sang Gajah Erawata (Gajah yang dinaiki Purnawarman), lalu menyerang semua hewan buas tersebut, sehingga matilah mereka menjadi bangkai. Tetapi sang garuda bermuka jahat tak dapat ditundukkan, sebab bolak-balik ke angkasa. Kemudian sang garuda terus menerus membuntuti sang raja berupaya seluruh daya menyerang putra Sang Purnawarman.
Di kala sang garuda dan hewan buas hingga sekian lama berkelahi, lantas Sang Erawata kemudian melawan, saat bersamaan sang brahmana naik menyerang sang garuda kalah oleh sang raja, jatuhlah ia lantas mati. Karena mimpi itu, Sang Wisnuwarman gelisah batinnya.
Oleh karenanya sejumlah inundesa serta petuah sang brahmana pendeta dikedepankan dan dilaksanakan. Tiga hari kemudian Sang Wisnuwarman dengan pengiringnya juga brahmana-brahmana, kapwajti berangkat ke arah timur, ke Kerajaan Indraprahasta. Di sini Sang Maharaja disambut gembira oleh Raja Indraprahasta yakni Sang Wiryabanyu.
Di kala pagi merambang saat mentari belum ada di atas Kedaton Indraprahasta Sri Raja bersama-sama Sang Wiryabanyu dengan sang brahmana, kapwajti serta pengikutnya telah berada di tepian sungai Gangga, Sri Raja dan Sang Wiryabanyu, sang brahmana, kapwajti serta petinggi kerajaan dan beberapa orang raja bawahan Sang Tanda, Sang Juru, sang raja wilayah, semuanya lantas mandi di pemandian di tepi Sungai Gangga, sepanjang tepian sungai di jaga oleh bala tentara membawa berbagai senjata bersiaga lengkap, yakni tombak, gada, panah (dan) pedang, cis, belati (keris?) dan sebagainya.
Tampak dari kejauhan pasukan menggenggam senjata dan baju zirah. Setelah Sri Raja berjalan menuju pertapaan lalu menyembah kepada tempat suci Bhatara Wisnu dan Bahtara Sangkara (Siwa) yang ada di situ.
Setahun kemudian setelah Sang Wisnuwarman mandi di sungai Gangga, adalah suatu peristiwa di dalam Kedaton yaitu di kala Sri Raja dan permaisuri sedang tidur, di malam hari ada orang (Sang Marabahaya) bersembunyi (menyusup) lalu berjalan menuju peraduan Sri Baginda, dengan membawa pedang aiksana dan belati. Lantas orang itu angayati pedangnya pada Sang Raja. Namun, jemarinya gemetaran, berkeringat tangannya, pedang itu terjatuh!! Sri Baginda kaget bangun juga Sang permaisuri. Dengan gerakan cepat, Sang Raja menjatuhkan orang itu, kemudian diikat dengan tali, Sang Raja sangat murka. Para pengawal istana dipanggil. Bala tentara semuanya datang ke situ.
Sang Marabahaya tangan jemarinya gemetar berkeringat ketika di peraduan itu ia melihat Sang Permaisuri tak memakai busana, tak terbalut pakaian satupun. Karena melihat Sang Permaisuri tidur tak memakai pakaian jadi ia ingin menggauli. Karenanya ia gemetaran.
Disebutkan bahwa permaisuri, sangatlah mengagumkan rupa beliau, tiada duanya, di pulau Jawa. Beliau adalah adik perempuan raja Bhakulapura. Sang permaisuri bernama Suklawarman Dewi. Bercahaya indah istimewa wajah Beliau, dia wanita sempurna kecantikannya, bagai bidadari turun ke bumi, siapa pun melihat Sang Ayu tertarik dan senang hatinya.
Sedangkan sang suami yakni Sang Wisnuwarman adalah raja yang sangat baik perilakunya serta lembut dan saleh. Beliau amat pandai bermain sejenis permainan catur, berbeda perilaku ayahandanya, sangat pemarah, galak menakutkan dan suka berperang dengan musuhnya. Beberapa orang istri Sang Purnawarman dahulu, semua istrinya masing-masing berputra. Dari permaisuri Sang Purnawarman beranak ia Sang Wisnuwarman. Raja yang senantiasa memiliki, belas kasih dan cinta kepada sesama manusia.
Kemudian hari baru pagi di kala matahari ada di atas kedaton, pada saat itu, di empat belas paruh gelap, bulan Asuji, tiga ratus lima puluh sembilan, di tahun Saka (359 S/437 M). Sang Maharaja Wisnuwarman duduk di tengah balairung, beberapa orang petingi kerajaan, Sang Jaksa, Sang brahmana, Sang tanda, Sang juru saat itu mereka sedang berbincang-bincang (mengenai) perintah menghadap oleh Sang Maharaja.
Bheda sangke Sri Baginda Wisnuwarman menghadapkan sang pembunuh. Tangan kakinya diikat tali dan dijaga oleh pasukan pengawal raja. Kemudian berkata Sri Baginda kepada sang pembunuh, “apa sebabnya kamu mau membunuhku, dan siapa yang menyuruhmu?” Sang pembunuh tak mampu bicara karena perbuatan rendahnya, bercucuran air matanya. Kemudian sang salah jatuh menyembah, dan menangis. Sri Baginda berkata lagi kepada sang salah, “begitu banyak dan teganya kehendakmu, aku ingin berkata kepadamu. hai kamu, betul-betul sangat hina perbuatan dan ulahmu. Ada tinggal kebaikan keberhasilan (?) sesuai tingkah laku yang baik dan tingkah lakumu, tak ada perbedaan itu seperti hewan liar, lebih besar dosamu dari dosa sang bajak.”
Menangislah sang salah karena rasa malunya, air matanya senantiasa merembes. Kemudian Sri Baginda berkata lagi kepada sang salah, “jika kamu menyebutkan nama orang yang menyuruhmu membunuhku aku berjanji menghindarkanmu dan kamu diberi hadiah istimewa dariku, seberapa gembira hatiku, jika kata-kataku dituruti olehmu. Tetapi jika membantah dan tak patuhi keinginanku, kamu dihukum mati.” Mendengarkan perkataanya Sri Baginda, pucat pasilah tubuh sang salah, lantas tubuhnya dingin dan gemetaran. Ia besujud, sang kalah lalu melihat manatyatham (Para pendeta Waisnawa). Lalu ia mengatakah bahwa dia ingin membunuh Sri Maharaja Wisnuwarman itu, adalah disuruh oleh Sang Cakrawarman, yakni paman Sang Wisnuwarman.
Sang Cakrawarman adiknya Sang Purnawarman, semenjak kakaknya meninggal Sang Cakrawarman ingin menjadi raja di Tarumanagara. Anak buah Sang Cakrawarman yaitu tiada lain pemimpin pasukan Tarumanagara yakni Sang Dhewaraja namanya, lalu pemimpin pasukan pengawal raja yakni Sang Hastabahu namanya, lantas wakil panglima angkatan laut yakni sang Kudasindu namanya, lalu sang juru kedaton yakni sang Bhayatala namanya, serta banyak lagi pengikutnya kelompok bala tentara Tarumanagara. Mendengar ucapan sang salah demikian, Sang Maharaja Wisnuwarman terkejut, demikian juga semua petinggi kerajaan dan semua yang hadir dalam diskusi di balairung. Pada saat itu Sang Cakrawarman tak datang di balairung. Beliau dan semua pengikutnya lari menyembunyikan diri ke hutan, berjalan ke timur hingga di tepian sungai Taruma.
Sang Cakrawarman bersama-sama pengikutnya maningkes-ningkes hangas (?) di kerajaan Cepu, di sungai Cupunagara wilayahnya. Dia raja Cupu yakni sang Satyaguna namanya tak mau melindunginya. Dan mereka disuruh pergi dari Cupunagara. Karena sang raja Cupu dikuasai oleh Maharaja Taruma. Sang Cakrawarman terdiamlah batinnya disuruh segera pergi, tak boleh tinggal di kota besar kerajaan Cupu.
Meskipun telah sekian lama telah mengadakan perjanjian dan persahabatan antara Sang Cakrawarman dengan raja Cupu, tetapi kali ini Raja Cupunagara tidak dapat menolong Cakrawarman. Konon, tetap saja Raja Cupunagara membrikan bantuan untuk bekal di perjalanan. Selanjutnya Sang Cakrawarman beserta pengikutny pergi ke timur terlunta-lunta kian jauh mengasingkan diri ke hutan-hutan di pegunungan, semuanya telah disinggahi. Hingga pengembaraan berhenti di tengah hutan lebat. Mereka menetap di sana sementara.
Mereka semua berharap hidup damai sejahtera, tanpa diketahui pihak Kerajaan Tarumanagara. oleh karena itu mereka bersembunyi tinggal di hutan. Di saat yang bersamaan sejumlah raja, yang ada di seluruh tatar Jawa barat dikerahkan Sri Maharaja Wisnuwarman majnān untuk membunuh Sang Cakrawarman beserta pengikutnya. Raja-raja bawahan tarumanagara di tanah Jawa barat masing-masing mencari jejak Sang Cakrawarman beserta pengikutnya.
Tak lama diantaranya raja Indraprahasta mengetaui jejak keberadaan Sang Cakrawarman yang sedang bersembunyi di wilayah hutan sebelah selatannya kerajaan Indraprahasta. Karenanya sang raja Indraprahasta memerintahkan pasukannya pergi ke hutan. Semuanya bala tentara kerajaan Indraprahasta memakai baju zirah dan semua menggenggam berbagai senjata. Tampaklah mereka, ada yang naik gajah ada yang mengendarai kereta dan juga banyak pasukan pedati, banyak pasukan pejalan kaki yang menyertainya.
Di sisi lain, Sang Cakrawarman sekarang memiliki banyak bala tentara. Bala tentara itu, diperoleh dari desa-desa. Karenanya tidak takut dengan bala tentara kerajaan Indraprahasta. Tampaklah sepasukan besar berangkatlah ke selatan beriringan membawa senjata lengkap semua logistik termasuk juga nasi beserta lauknya, air minum dan berbagai makanan lezat, ada di dalam kendaraan.
Di sisi lain, Sang Cakrawarman sekarang memiliki banyak bala tentara. Bala tentara itu, diperoleh dari desa-desa. Karenanya tidak takut dengan bala tentara kerajaan Indraprahasta. Tampaklah sepasukan besar berangkatlah ke selatan beriringan membawa senjata lengkap semua logistik termasuk juga nasi beserta lauknya, air minum dan berbagai makanan lezat, ada di dalam kendaraan.
Berjalan di depan prajurit yang membawa bendera kerajaan Indraprahasta, yaitu bendera bergambar singa tampak berkibaran dari kejauhan. Adapun semua bala tentara oleh sang pemimpin pasukan yakni sang panglima Rababelawa namanya, menaiki gajah Sang Dhungkul namanya. Itu gajah hadiah dari sang Maharaja Bhanggala. Sedangkan sang panglima pasukan pedati bernama Sang Bhonggolbumi. Ia kepala penduduk desa Sindang Jero.
Selama perjalanan bala tentara menyusup ke hutan lebat dan hutan di gunung yang ada di wilayah selatan lantas ke barat kemudian berhenti sebentar sebab senja telah tiba di situ ande semua satwa liar lari ketakutan. Pada malam hari tampaklah gelap hutan belantara, hanya terdengar suara katak, satwa liar dari kejauhan suara anjing hutan melolong suara monyet. Ada juga suara harimau, dan suara hantu mengikik. Kemudian di ambang fajar ketika matahari telah nampak di timur. Semua senapati bala tentara bersiap kemungkinan itu. Saat itu (ada) kesepakatan yakni mengendap mendekati memukul dan menyerang bertubi-tubi sang musuh. Tak lama antaranya sepasukan besar berangkat serempak mendatangi dan memerangi musuh. Karena daerahnya sang musuh tak jauh dari situ. Bala tentara kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh sang panglima perang, senapati perang sang Ragabelawa, menggelandang ini seperti babi hutan yang mengamuk.
Sedangkan bala tentara sang salah dipimpin oleh senapati sang Dhewaraja, sang Kudasindu, sang Hastabahu dan sang Bhagutala, menyongsong musuh yang datang menyerang itu, menyeranglah bala tentara yang menyerbu, berhadap-hadapanlah yang bertempur, tampak bala tentara saling menikam, ada yang bergumul, saling menendang saling meninju. Kemudian api dilemparkan dengan Cakra ke rumah terbakar kemudian, api berkobar di seluruh rumah yang ada di desa baru itu dan terbakar, karena besarnya api jika aghāsa tak putus-putus. Bala tentaranya Cakrawarman berlarian ke sana kemari (tercerai berai), tentara Indraprahasta terua menyerang kepada pasukan Cakrawarman yang berlarian, ada yang saling bergumul saling pukul keduanya mati, ada yang terpeleset. Jarak pertempuran semakin berdekatan. Jika pun ada yang berlari akan dibuntuti dan dibasmi.
Di medan peperangan terlihat kegemparan di kedua pihak yang berperang. Ada korban yang dipenuhi darah, terluka dan mati. Banyaklah bangkai yang ada di medan peperangan, ramai suara senjata dan pasukan dengan kemarahan besar mereka. Ada yang menjerit-jerit karena merana kesakitan, sedangkan darahnya menyembur. Saat itu medan peperangan telah berubah menjadi lautan darah dan lautan bangkai. Pada akhirnya angkatan perang kerajaan Indraprahasta memperoleh kemenangan dalam peperangan.
Ada pun bala tentara Sang Cakrawarman kalah. Pasukannya banyak yang mati, beberapa puluh orang sisanya terluka. Akhirnya Sang Cakrawarman dengan sejumlah panglima bala tentaranya tewas di dalam pertempuran itu. Pasukan yang masih hidup ditangkap lantas dibawa ke pusat kota Tarumanagara di Sundapura. Di sana semuanya yang bersalah dihukum mati.
Pasca pertempuran itu, semuanya panglima dan bala tentara Indraprahasta mendapat hadiah kemenangan perang. Demikian juga dia Raja Indraprahasta, yakni Sang Wirya Banyu, diberi anugerah emas, perak, intan dan banyak lagi hadiah pemberian raja.
Dikisahkan, Sang Wisnuwarman kemudian memperistri putri raja Indraprahasta, yakni Suklawati Dewi. Dari Permaisuri, Sang Wisnuwarman tak mempunyai anak, sebab Sang Permaisuri wafat di kala usia muda karena sakit perut nonjok (Maagh akut?) Oleh karena itu istrinya Suklawati Dewi dijadikan Permaisuri, dari istri inilah Sang Wisnuwarman berputra 3 orang, lelaki dan perempuan. Putra tertua yakni Sang Indrawarman. Anak kedua perempuan yakni Dewi Komalasari, dan anak ketiga Sang Brahmana Resi Santawarman.
Wisnuwarman wafat tahun 455 M, dengan gelar Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati. Anak teruan Wisnuwarman, yakni Sang Indrawarman menggantikan Wisnuwarman menjadi Maharaja Tarumanagara.
Pasca pertempuran itu, semuanya panglima dan bala tentara Indraprahasta mendapat hadiah kemenangan perang. Demikian juga dia Raja Indraprahasta, yakni Sang Wirya Banyu, diberi anugerah emas, perak, intan dan banyak lagi hadiah pemberian raja.
Dikisahkan, Sang Wisnuwarman kemudian memperistri putri raja Indraprahasta, yakni Suklawati Dewi. Dari Permaisuri, Sang Wisnuwarman tak mempunyai anak, sebab Sang Permaisuri wafat di kala usia muda karena sakit perut nonjok (Maagh akut?) Oleh karena itu istrinya Suklawati Dewi dijadikan Permaisuri, dari istri inilah Sang Wisnuwarman berputra 3 orang, lelaki dan perempuan. Putra tertua yakni Sang Indrawarman. Anak kedua perempuan yakni Dewi Komalasari, dan anak ketiga Sang Brahmana Resi Santawarman.
Wisnuwarman wafat tahun 455 M, dengan gelar Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati. Anak teruan Wisnuwarman, yakni Sang Indrawarman menggantikan Wisnuwarman menjadi Maharaja Tarumanagara.