[Historiana] - Bila Anda searching dengan google dengan kata kunci "Merong Mahawangsa" akan didapatkan link ke youtube. ya, memang benar telah banyak filmnya didasarkan pada hikayat ini.
Banyak versi berkaitan dengan hikayat ini. Setidaknya ada delapan manuskrip yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Mungkin tidak banyak masyarakat Indonesia yang tahu Hikayat Merong Mahawangsa. Ini adalah karya sastra Melayu klasik yang mengisahkan sejarah masuknya Islam di kawasan Kedah, Malaysia, dan kehidupan para sultan di sana. Disusun secara tradisional dengan mencantumkan banyak mitos dan cerita fiktif.
Penulisannya menggunakan huruf Arab Melayu, yang mengindikasikan bahwa pada masa itu pengaruh Islam sudah cukup kuat. Beberapa kata dan kalimat Arab dapat dijumpai di sana-sini. Ada kata sultan, kitab, fakir, hadzir, dan alim yang dalam bahasa Melayu berarti orang berilmu. Ada juga kata muta'alim yang artinya pencari ilmu. Bahkan, dalam beberapa bait, ceritanya mengisahkan Raja Sulaiman (Nabi Sulaiman As) sedang berbincang dengan burung garuda.
Akan tetapi, judulnya sendiri tidak berasal dari bahasa Arab atau Melayu. Kata 'merong mahawangsa' berasal dari bahasa Siam, yang berarti 'naga pembesar bangsa harimau'. Merong Mahawangsa adalah pendiri dan raja pertama Kerajaan Kedah.
Keturunan Raja Merong yang ketujuh, yaitu Raja Phra Ong Mahawangsa kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Muzalfal Syah. Mulai periode ini, agama Islam berpengaruh kuat dalam semua lini kehidupan kesultanan.
Tampaknya, perubahan agama memengaruhi masa depan hubungan Kesultanan Kedah dengan Kerajaan Siam. Konon, dahulu Kesultanan Kedah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Siam. Namun, termaktub dalam Hikayat Merong Mahawangsa, yakni raja-raja Siam merupakan keturunan dari sultan-sultan Kedah.
Pencitraan ini membuat pihak Siam tidak senang. Kerajaan Siam pun menyerang Kedah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1821 M. Pasukan Siam yang merangsek ke jantung pertahanan Kesultanan Kedah berhasil menemukan buku Merong Mahawangsa dan membakarnya.
Merujuk pada peristiwa tersebut, seorang peneliti sastra Melayu dari Univertisi Kebangsaan Malaysia (UKM), Siti Hawa Salleh, memperkirakan penulisan Hikayat Merong Mahawangsa antara tahun 1800 hingga 1820 M. Pendapat lain mengatakan penulisannya pada tahun 1860-an. Hal ini didasarkan pada bukti sejarah bahwa masyarakat Melayu Kedah telah mengenal tulisan sejak tahun 1625 M.
Buku Hikayat Merong Mahawangsa yang pertama telah musnah terbakar. Namun, cerita di dalamnya tidak berhenti beredar. Kuatnya tradisi lisan dan tulisan dalam masyarakat Melayu memicu penulisan hikayat itu dalam berbagai versi baru.
Ahli sastra Melayu asal Malaysia, Prof Dr Ding Choo Ming, mengatakan, akibat pembakaran manuskrip ini, muncullah salinan-salinan naskah baru yang ditulis oleh banyak orang menurut kepentingan dan tujuannya masing-masing. Ada yang menulis sesuai salinan aslinya dengan sedikit tambahan. Ada pula, yang menampilkannya dalam bentuk cerita mitos dan tambahan kisah lainnya.
Isi Hikayat
Menurut Siti Hawa Salleh, Hikayat Merong Mahawangsa merupakan sebuah karya sejarah beraroma fiksi atau sastra sejarah. Genre sastra serupa juga dapat ditemukan dalam hikayat-hikayat Melayu lainnya, seperti Hikayat Aceh, Hikayat Raja Pasai, Misa Melayu, dan Hikayat Patani.
Hikayat Merong Mahawangsa terdiri atas lima bab. Bab pertama mengisahkan kesaktian Raja Merong Mahawangsa. Dalam bab ini, juga disinggung percakapan Nabi Sulaiman As dengan burung garuda. Dalam percakapan itu, Nabi Sulaiman berkata ada empat perkara yang tidak dapat dielakkan manusia, yaitu rejeki, maut, jodoh, dan perceraian.
Bab kedua tentang kisah pendirian Kerajaan Kedah oleh Raja Merong Mahawangsa dan perluasan wilayahnya ke negeri-negeri sekitarnya, seperti Siam, Perak, dan Patani. Di bab inilah, disebutkan bahwa raja-raja Siam adalah keturunan raja Kedah yang menimbulkan peperangan itu.
Bab ketiga mengisahkan Raja Phra Ong Mahawangsa yang suka minum arak hingga mabuk berat. Kemudian, di bab keempat disebutkan Raja Phra Ong Mahawangsa memeluk Islam setelah bertemu dengan Syekh Abdullah Yamani dari Baghdad. Sedangkan bab kelima, menuturkan silsilah sultan Kedah setelah keislaman negeri itu.
Ding Choo Ming berpendapat, untuk memahami isi Hikayat Merong Mahawangsa tidaklah tepat jika memakai analisis sejarah. Hikayat sengaja diceritakan kepada khalayak ramai sebagai bagian dari tradisi lisan yang secara terus-menerus dilestarikan. Dengan demikian, hikayat haruslah dipahami sebagai cerminan alam pemikiran dan cara hidup masyarakat di zaman itu.
Jika merujuk kepada pendapat Ding Choo Ming itu, kiranya menarik membaca kisah masuknya agama Islam melalui alam pikiran masyarakat Melayu pada zaman itu. Pada bagian empat versi R.J. Wilkinson, diceritakan bagaimana awal mula Islam diterima oleh kesultanan dan rakyat Kedah.
Alkisah, suatu ketika Syekh Abdullah Yamani, seorang penghafal Alquran yang alim, tertarik dengan iblis. Ia pun menghadap gurunya dan memohon untuk bertemu dengan iblis serta menjadi muridnya. Gurunya memperingatkan, segala amal ibadahnya akan sia-sia jika ia berada di atas jalan yang sesat. Oleh karena Syekh Abdullah Yamani tetap bersikeras, gurunya mengabulkan permintaannya. Jadilah ia murid iblis itu.
Oleh sang iblis, ia diberi tongkat yang mampu menghilangkan wujudnya dari pandangan mata. Ikutlah ia dengan iblis itu berkeliling dunia. Ia melihat bagaimana sang iblis merusak dunia dan menyesatkan manusia.
Akhirnya, Syekh Abdullah tidak senang dengan perbuatan iblis itu. Dibuanglah tongkat saktinya tatkala berada di Negeri Kedah. Maka, tampaklah ia oleh Raja Phra Ong Mahawangsa. Keduanya kemudian bercakap-cakap. Syekh Abdullah mulai mengenalkan agama Islam dan berhasil mengislamkan sang raja dan rakyatnya. Sejak saat itu, Raja Phra Ong Mahawangsa berganti nama menjadi Sultan Muzalfal Syah.
Syekh Abdullah kemudian mengajak raja dan rakyatnya melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, serta membayar zakat. Sejak saat itu, dibangunlah masjid-masjid. Sang raja menyuruh semua rakyatnya berguru kepada Syekh Abdullah, hingga hampir semuanya menganut Islam dan menjalankan syariat agama Islam sepenuhnya. rid/berbagai sumber
Banyak Penulis Banyak Versi
Hikayat Merong Mahawangsa punya banyak versi. Delapan di antaranya masih dapat ditemukan di beberapa kota besar di dunia, seperti Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, dan London. Dikatakan oleh Prof Dr Ding Choo Ming, ahli sastra Melayu asal Malaysia, banyaknya versi itu disebabkan naskah yang asli dibakar oleh tentara Kerajaan Siam. Kemudian, banyak orang yang menulis ulang sesuai dengan daya ingat dan kepentingan masing-masing.
- Hikayat Merong Mahawangsa versi W Maxwell atau yang dikenal dengan Ms Maxwell 16, tersimpan di Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Naskah ini disalin oleh Muhammad Nuruddin bin Ahmad Rajti pada 2 September 1889 M di Pulau Pinang, sepanjang 207 halaman.
- Hikayat Merong Mahawangsa versi Ms Maxwell 21. Naskah ini sepanjang 149 halaman tanpa penomoran angka di setiap halamannya. Telah diserahkan ke Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Di dalamnya terdapat tanda tangan Maxwell dan catatan Singapore, 1884 M.
- Hikayat Merong Mahawangsa atau Sejarah Negeri Kedah. Naskah ini ditulis di Kampung Sungai Kallang, Singapura. Di dalamnya tercatat tahun 1876 M. Saat ini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, Inggris.
- Sjadjarah Negeri Kedah atau Hikayat Merong Mahawangsa, yang dikenal dengan versi von de Wall, Nomor 201. Naskah salinan ini ditemukan oleh von de Wall di Riau. Naskahnya konon disimpan di Perpustakaan Museum Pusat, Jakarta. Namun, telah dinyatakan hilang. Tidak banyak data tentang versi ini.
- Hikayat Merong Mahawangsa versi RJ Wilkinson, dicetak dalam tulisan Arab-Melayu oleh Kim Sik Hian Press, Nomor 78, Penang Street. Versi ini disalin pada 2 Rajab 1316 H bertepatan dengan 16 November 1898 M oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin di Pulau Pinang. Panjang naskah 113 halaman dengan ukuran 13 cm x 8,4 cm. Saat ini masih tersimpan dengan baik di Muzium Negeri Kedah.
- Hikayat Merong Mahawangsa versi Sturrock yang diterbitkan dalam Journal of The Royal Asiatic Society, Straits Branch (JRASSB) No. 72, Mei 1916 M di halaman 37-123, yang dicetak menggunakan tulisan latin.
- Hikayat Merong Mahawangsa versi Logan yang merupakan koleksi JR Logan. Kini, tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura dengan nomor arsip MR 8999, 2302 HR. Tidak ada keterangan mengenai siapa penyalin manuskrip versi ini dan di mana disalin. Naskah ini ditulis dengan tinta hitam, berhuruf romawi, di atas kertas buatan Inggris berukuran 29 cm x 18 cm.
- Hikayat Merong Mahawangsa koleksi Thomson. Menurut JT Thomson, ia memperolehnya di Pulau Pinang. Naskah ini muncul tahun 1984 yang disimpan oleh cicitnya di London. Namun, tidak banyak diketahui perihal manuskrip ini karena belum terbuka untuk umum.
Di antara delapan versi tersebut, manuskrip versi Wilkinson dinilai para peneliti paling dekat dengan versi aslinya. Naskahnya tidak panjang dan tidak bertele-tele. Berbeda dengan naskah-naskah lain yang cenderung bertele-tele akibat banyaknya tambahan cerita di dalamnya.
Sumber: Republika.co.id