Cari

Prasasti Tulangan 832 Śaka di Rijksmuseum Leiden - Belanda) Menyebut Sri Maharaja Galuh

[Historiana] - Prasasti Tulangan berangka tahun 832 Śaka. Prasasti Tulangan berbahan tembaga. Kini disimpan copy-nya di Rijksmuseum, Leiden - Belanda. Aslinya telah hilang.

Sebagian besar dari prasasti-prasasti tersebut merupakan prasasti sīma, yaitu prasasti yang memperingati penetapan sebidang tanah menjadi daerah perdikan sebagai anugerah raja kepada seseorang yang telah berjasa atau untuk kepentingan suatu bangunan suci, sedangkan prasasti yang paling sedikit ditemui adalah prasasti yang berisi mengenai proses pengadilan atau biasa disebut sebagai jayapatra. (Boechari, 1977: 2-5; Bakker, 1972: 5).

Data prasasti Tulangan

  • Tempat Ditemukan:Jedung, Mojokerto, Jawa Timur.
  • Disimpan: Prasastinya telah hilang, namun kopiannya disimpan di Rijksmuseum, Leiden.
  • No. Inventaris: -
  • Bahan: Tembaga.
  • Jumlah:-
  • Ukuran:-
  • Aksara dan Bahasa:Jawa Kuna.
  • Tahun Dikeluarkan:832 Śaka.
  • Raja: Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.
  • Jenis Prasasti: Sīma(?)
  • Referensi: Alih  aksara  dalam OJO.  XXVIII:  36-37,  terjemahan oleh  Edhie  Wurjantoro  dalam  „Bahan  pekuliahan epigrafi‟

Alih aksara prasasti Tulangan:

  1. // swasti śaka warṣatīta 832, bhadrawāda māsa tīthi pancami śu
  2. kla pakṣa, tu u śu wāra maḍaŋkuṅan rudradewatā harmmaṇa yo
  3. ga. irika siwaśa nyaḥ wurut, manambaḥ i ṣrī mahārāja raka galuḥ dya
  4. garuda muka śri dharmmodaya mahāsambu muaŋ rakryan mahāmantri iŋ
  5. hino, dyaḥ dakṣottama bāhubajrā prapakṣakṣaya, prayojananira ma
  6. tanyan panambaḥ uminta ikanaŋ lmaḥ tulaṅan pin--nikaŋ alas la
  7. mwaŋ kulon ṅaranya iŋ ṅūpasūla hlat katakotanā sambantaya kṛ

Terjemahan:

  1. Selamat tahun Śaka yang  telah berlalu 832 (Wolungatus telungdasa kalih, pen)  (tahun),  hari Jumat  Legi peringkelan Tunglai wuku Maḍaŋkuṅan 
  2. tanggal 5 paroterang bulan Bhadrapāda tahun dewanya Indra yoganya Hārmmaṇa 
  3. ketika Dyaḥ Wurut menghadap Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ 
  4. Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu dan Rakryan Mahāmantri 
  5. Di Hino (bernama) Dyaḥ Dakṣottama Bāhubajrā Prapakṣakṣaya, adapun maksud/ sebabnya 
  6. menghadap yaitu meminta tanah di Tulaṅan ... berupa hutan  
  7. dan  barat  namanya  di  Ūpasūla  berbatasan  yang  menjadikan  sebab ketakutannya.

Kita susun dalam kalimat yang mudah dibaca:
“Swasti śaka warṣatīta 832, bhadrawāda māsa tīthi pancami śukla pakṣa, tu u śu wāra maḍaŋkuṅan rudradewatā harmmaṇa yoga irika siwasa Nyah Wurut, manambah i Sri Maharaja  Rakai  Galuh  Dyah  Garuda  Mukha Sri Dharmmodaya Mahasambhu muang Rakryan Mahamantri ing Hino Dyah Daksottama Bahubajra Prapaksaksaya, prayojananira   ma   tanyan   panambah   uminta ikanang  lmah  Tulanan  pin...  nikang  alas  la mwang    kulon    naranya    ing    Nupasula    hlat katakotana sambantaya kr” 

Terjemahan:
"Selamat tahun Śaka yang telah berlalu 832 tahun (Wolungatus telungdasa kalih tahun, pen), hari Jumat Legi peringkelan Tunglai wuku Maḍaŋkuṅan. Ketika Dyah Wurut menghadap Sri Maharaja Rakai GaluhDyah Garuda Mukha Sri Dharmmodaya Mahasambhu dan Rakryan Mahamantri di Hino bernama Dyah Daksottama Bahubajra Prapaksaksaya, adapun sebabnya menghadap, yaitu meminta tanah di Tulangan.berupa hutan dan barat namanya di   Upasula berbatasan yangmenjadikan sebab ketakutannya”


Sima Tulangan diidentifikasikan sebagai Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto sekarang yang terletak di lereng utara Gunung Penanggungan, tepat di kaki anak Gunung Gajah Mungkur. Dalam Naskah Perjalanan Bujangga Manik, gunung Penanggungan disebut gunung Pawitra.

Setiba di Palintahan,
setelah meninggalkan Majapahit,
aku mendaki Gunung Pawitra,
gunung suci Gajah Mungkur.

Sumber tekstual penting terkait SimaTulangan adalah prasasti Jedong I berangka tahun 832 Saka (910 Masehi) yang   diterbitkan oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu. 

Berdasarkan analisis lebih lanjut terhadap isi prasasti Jedong I tersebut, kemungkinan besar bahwa Sima Tulangan ditetapkan karena alasan keamanan dimana Dyah Wurut memohon kepada Sri Maharaja Rakai Galuh Dyah Mukha Sri Dharmmodaya Mahasambhu dan Rakryan Mahamantri i Hino Dyah Daksottama Bahubajra Prapaksaksaya agar Tulangan yang berupa hutan dianugerahi sebagai simadan diamankan  untuk meredakan  ketakutan  pendudukan  atas berbagai kejahatan yang terjadi. Oleh sebab itu, Tulangan tergolong sebagai sima kamulan

Kerajaan Mataram Kuno di bawah pemerintahan Raja Balitung berlangsung dari tahun 820-832 Ś. Masa Balitung berlangsung selama sekitar 12 tahun. Selama 12 tahun pemerintahan tersebut, Raja Balitung mengeluarkan lebih kurang 50 prasasti. Dari 50 prasasti yang dikeluarkan, 26 di antaranya merupakan prasasti sīma.

Prasasti di zaman Dyah Balitung, Mataram Kuno (Mataram Hindu)  sebanyak  23  buah  prasasti  dapat diidentifikasikan,  sedangkan  satu  sisanya  tidak  jelas  apa  jenisnya.  Prasasti tersebut  adalah  prasasti  Tulangan  (832  Śaka).  Prasasti  Tulangan  tidak menunjukkan  ciri-ciri  satupun  dari  ketiga  prasasti  tersebut.  Pada  prasasti sīma, biasanya  selalu  menyebutkan  kata sīma  di  dalamnya,  begitu  juga  prasasti Tulangan tidak cocok apabila diklasifikasikan ke dalam prasasti jayapatra maupun prasasti  pajak  karena  peristiwa  di  dalamnya  bukan  peristiwa  masalah  pajak maupun  keputusan  hukum.  Akan  tetapi  hal  tersebut  tidak  pasti  karena  prasasti Tulangan diduga merupakan awal dari suatu prasasti yang tidak utuh yang saat ini di  simpan  di  Museum  di  Leiden,  Belanda.  Mungkin  sekali  keterangan  yang memuat mengenai peristiwa yang lebih penting terdapat pada bagian yang telah hilang.


Misteri Dyah Galuh Garuda Mukha

Dalam prasasti Tulangan ini, penyebutan Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu merujuk kepada siapa?

Galuh yang terkenal berlokasi di antara Garut dan Kawali. Disi lain Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan di sekitar lereng Gunung Slamet yang dikenal sebagai Kerajaan Galuh Purba. Ada banyak nama tempat (topinimi di Jawa Tengah menggunakan kata Galuh.  

Baiklah. Pembahasan Kerajaan Galuh tak terlepas dengan kerajaan Sunda dan Kalingga-Mataram kuno. Mengingat sumber naskah menyebutkan bahwa luas wilayah Kerajaan Galuh mencakup bagian barat Propinsi Jawa Tengah dan bagian Timur Propinsi Jawa Barat. Baiknya kita menengok sumber Prasasti yang ada di Jawa tengah.

Nama "Galuh" banyak terdapat di jawa Tengah.Sedangkan di Jawa barat hanya berada di Majalengka, yaitu Kecamatan Rajagaluh. Kalau kita buka peta yang cukup detail akan banyak tempat dengan nama Galuh di sekitar perbatasan Jabar-Jateng : Rajagaluh (Cirebon), Galuh (Purbalingga), Galuhtimur (Bumiayu), Sirahgaluh (Cilacap), bahkan di Kulonprogo dekat perbatasan Kedu ada desa Samigaluh. Bahkan di Jawa Timur ada nama Hujung Galuh. Diduga keras bahwa semua tempat tadi pada masa lampaunya pernah dikuasai Galuh Purba.

Bahkan dalam Prasasti Er Kuwing yang ditulis diatas lempeng tembaga (29,9 cm x 39 cm), menjelaskan pemberian anugerah dari Srī Mahārāja SrīDakşottamabāhubajrapratipakşakşaya yang membebaskan desa di Poh Galuh dan Er Kuwing untuk bhaţāra di Barāhāśrama di Serayu dari pajak-pajak yang membebani desa-desa itu. Serayu adalah nama sungai di daerah Dieng. Konon Sungai Serayu adalah batas Kerajaan Galuh.

Prasasti Er Kuwing dibeli oleh C. van Doorn  pada tahun 1858 dan  diperoleh  dari J.G. von Schmidt auf Altenstadt, sekarang tersimpan di Rijkmuseum  voor  Volkenkunde Leiden, dengan nomor inventaris 2120. Prasasti ini diterbitkan  oleh  Cohen  Stuart  dalam  KO  XVII, 1875:27-29. Sarkar menerbitkan prasasti ini dalam Corpus vol.II, 1972:183-191. 

Dyah Balitung termasuk raja paling banyak mengeluarkan prasasti setelah Rakai Kayuwangi Pu Lokapala (Nastiti, dkk., 1982:3). Dari Prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Dyah Balitung mempunyai 4 gelar, yaitu:
1. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu
2. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarotungga
3. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesaostsawatungga
4. Janardanotungga Dyah Balitung

Dari nama gelar Dyah Balitung di atas, tidak ada gelar lain seperti Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu dalam prasasti Tulangan yang dikeluarkan tahun 832 Śaka atau 910 Masehi. Rakai Watukura Dyah Balitung berkuasa pada tahun 820 hingga 832 Śaka (898-910 Masehi).  Jadi prasasti Tulangan dikeluarkan di akhir masa pemerintahan Dyah Balitung.

Dalam prasasti Tulangan, pihak penerima anugrah adalah Dyah Wurut. Sementara sebelum penganugrahan adanya pengaduan rakyat kepada Śrī Mahārāja Rakai GaluḥDyaḥMukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu dan Rakryan Mahāmantrii Hino Dyaḥ Dakṣottama Bāhubajrā Prapakṣakṣaya. Kemudian anugrah diberikan oleh Srī Mahārāja Rakai GaluḥDyaḥMukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu dan Rakryan Mahāmantri i Hino DyaḥDakṣottama Bāhubajrā Prapakṣakṣaya.

Gelar yang mirip dengan Prapaksaksaya adalah Pratipaksaksaya kita ketahui disandang oleh mPu Daksa, pengganti Dyah Balitung. mPu Daksa bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya. Menurut analisis sejarawan Boechari terhadap berita Tiongkok dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”.

Baca juga: Struktur Birokrasi dan Hierarki Wilayah Administrasi pada Masa Dyah Balitung | Mataram Kuno

Dyah Balitung diperkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih.

Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.

Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.

Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.

Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.

Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.

Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan Medang.

Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan prasasti tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.

Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Berdasarkan prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.

Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).

Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.

Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. Sementara itu hubungan dengan Rakai Limus Dyah Dewendra masih belum dapat diperkirakan.

Sepeninggal Rakai Pikatan, putra yang bungsu ditunjuk menjadi raja, yaitu Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi yang lebih tua merasa cemburu. Pada akhir pemerintahan adiknya, ia pun memisahkan diri dan menjadi maharaja tandingan (prasasti Munggu Antan).

Mungkin perpecahan dalam keluarga tersebut menimbulkan peperangan yang berakibat kematian Rakai Kayuwangi dan putra mahkotanya, yaitu Rakai Hino Mpu Aku. Takhta Kerajaan Medang kemudian jatuh kepada Rakai Watuhumalang yang semula hanya sebagai raja bawahan.

Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watuhumalang.

Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut. 

Namun kembali ke Galuh. Prasasti Tulangan menyebutkan Rakai Galuh berarti Rakai yang memimpin suatu wilayah bernama Galuh. Apakah Galuh yang dimaksud terkait dengan Kerajaan Galuh? Bagaimana hubungan Kerajaan Galuh semenjak awal berdirinya kerajaan ini pada tahun 612 Masehi tidak banyak dicertitakan.

Hanya kisah perang antara Sanjaya dan purbasora (raja Galuh) dan perang Gotrayudha (perang saudara) antara Sanjaya dengan Surotama atau Manarah atau Ciung Wanara dan Hariang Banga. Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).

Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Referensi

  1. Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan  Populer Gramedia.  googlebooks Diakses 27 Februari 2020.
  2. Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS. googlebooks Diakses 27 Februari 2020.
  3. Poesponegoro, Marwati & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  4. Purnamasari, Dewi (2012). "Sambandha Pada Prasasti-Prasasti Masa Balitung (820-832 Śaka)". anzdoc.com. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. hlm. 32-33. Diakses tanggal 27 Februari 2020.

Baca Juga

Sponsor