Cari

Struktur Birokrasi dan Hierarki Wilayah Administrasi pada Masa Dyah Balitung | Mataram Kuno

Struktur pra-State

[Historiana] - Masyarakat Jawa Kuno pra-state seperti pada gambar di atas adalah ikatan pemerintahan pedesaan. Struktur demikian pada masa Pra-Kerajaan (Pre State Society).Hierarki pemerintahan ini kemudian berkembang seiring perkembangan peradaban. Kronologi sejarahnya tidak dapat ditelusuri hingga ditemukan teks yang menceritakannya dari sumber otentik berupa prasasti.

Meskipun aksara dalam teks tertua yang ditemukan di Indonesia berawal dari abad ke-4 dari Kerajaan Kutai Kartanagara dan Tarumanagara, namun kita belum mendapatkan gambaran utuh sistem pemerintahan di zaman itu. Prasasti tinggalan kerajaan Medang atau biasa disebut Mataram Kuno abad ke-8 banyak meninggalkan informasi tentang sistem pemerintahan di zamannya.

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.

Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh rakai Sanjaya. Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M.

Dyah Balitung adalah salah satu raja besar bertahta pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun Balitung adalah raja Mataram yang terkenal namun sebenarnya dia bukanlah pewaris tahta yang sah (Schrieke, 1975; Nastiti, 1982:3). Dyah Balitung naik tahta karena perkawinannya dengan dengan anak Rakai Watuhumalang, penguasa Mataram sebelumnya. Prasasti Mantyasih menyebutkan bahwa pada saat menikah, ia masih bergelar haji atau raja bawahan. Menurut Poerbatjaraka, seorang raja yang memakai kata dhamma dalam gelarnya - Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambu - adalah raja yang naik tahta karena perkawinan (Poerbatjaraka, 1930:171-183).

Dyah Balitung termasuk raja paling banyak mengeluarkan prasasti setelah Rakai Kayuwangi Pu Lokapala (Nastiti, dkk., 1982:3). Dari Prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui bahwa Dyah Balitung mempunyai 4 gelar, yaitu:
1. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu
2. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarotungga
3. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesaostsawatungga
4. Janardanotungga Dyah Balitung

Struktur pemerintahan

Berdasarkan prasasti, Kerajaan Mataram Kuna terbagi ke dalam tiga satuan wilayah yaitu wanua, watak, dan pusat kerajaan. Wanua adalah satuan wilayah terkecil yang biasanya dipimpin oleh rāma. Satuan wilayah kedua adalah watak yang dipimpin oleh seorang pejabat  tinggi yang disebut rakai.  Beberapa wanua (desa) bersekutu membentuk suatu kelompok yang disebut watak tadi dan bergantung kepada pejabat tinggi yaitu rakai. Akan tetapi wanua-wanua tersebut tidak membentuk  suatu kesatuan wilayah, lebih tepatnya hanya dalam hal "cakupan wewenang‟. (Susanti, 1986: 305).

Dalam kinerja birokrasinya, pejabat-pejabat wanua mengurusi hal-hal keseharian penduduk desanya. Watak sebagai wilayah otonom memiliki birokrasi pemerintahannya sendiri yang mengakomodir  kebutuhan beberapa wanua bawahannya. Pemerintah pusat yang berada di lingkungan kerajaan terdiri atas raja yang dibantu oleh para pejabat tinggi kerajaan. Menurut berita Cina, di ibukota kerajaan  berdiam raja dan keluarganya yaitu permaisuri dan anak-anaknya yang belum dewasa serta para hamba istana (hulun haji, watek i jro). Di luar istana namun masih dalam lingkungan dinding kota,  terdapat kediaman putera mahkota (rake hino), dan tiga orang saudara mudanya (rakai halu, rakai sirikan, rakai wka), dan kediaman pejabat tinggi kerajaan.Merekalah yang merupakan kelompok elit birokrasi tertinggi atau yang disebut sebagai pejabat eselon I. Di dalam lingkungan tembok kota tersebut jga tinggal para pejabat sipil yang lebih  rendah, yaitu mangilala drwya haji yang jumlahnya sekitar 300 orang, bersaama-sama  dengan keluarga mereka. Mereka disebut juga sebagai kelompok non elit birkrasi, diantaranya adalah termasuk abdi dalem keraton, pengawal istana, para pandai, dan lain-lain. (Soemadio, ed, 2009: 214)

Sementara itu dalam hal birokrasi, hubungan raja secara langsung dengan kelompok non elit  birokrasi sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elit birokrasi saja hubungan tersebut hanya  terjadi secara formal. Setiap hari raja mengadakan pertemuan dengan putera mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan, serta penasehat raja. Dalam pertemuan tersebut perintah raja biasanya diturunkan melalui putera mahkota yang kemudian meneruskannya kepada para pejabat tinggi kerajaan. Lalu kemudian mereka menyampaikan perintah tersebut kepada utusan daerah yang telah  datang menghadap, atau pun memerintahakan petugasnya untuk menyampaikan perintah raja itu ke daerah yang bersangkutan. (Soemadio, ed., 2009: 215)

Hierarki wilayah administrasi pada masa Dyah Balitung dimulai dengan satuan yang terkecil yaitu wanua yang dapat disamakan dengan desa di masa modern. Penduduk wanua disebut dengan anak wanua dan mereka dipimpin oleh sekelompok dewan desa yang disebut dengan rāma. Wanua merupakan bagian dari wilayah administrasi yang lebih besar lagi yaitu watak atau watĕk yang  terdiri  dari  beberapa wanua. Kumpulan watak nantinya akan membentuk kerajaan. Watak dipimpin oleh seseorang yang berjabatan rakai, rake, rakarayān i atau rakryān i. Kerajaan yang terdiri dari  beberapa watak, dipimpin oleh seseorang yang bergelar Sri Mahārāja (Sedyawati, 1994: 265-267).



Watak (wilayah) adalah jenjang administrasi pemerinrahan masa Mataram Kuno di bawah kerajaan (rajya) dan di atas desa (wanua) (Christie, 1989:4; Rangkuti, 1994:10). Watak terdiri dari kumpulan beberapa wanua membentuk federasi. Daerah Watak dipimpin oleh Raka atau Rakai, sedangan wanua dipimpin rama. Rajya dipimpin oleh seorang raja atau Haji (raja daerah). Federasi beberapa kerajaan dipimpin oleh Maharaja.

Contoh nama-nama wanua pada Prasasti Rongkab. Wanua yang disebutkan pertama kali dalam Prasasti Rongkab  adalah wanua Rongkab itu sendiri. Nama wanua lainnya yang tercantum dalam Prasasti Rongkab yaitu wanua Kukap, Turai, Sḍĕh, Waryang, Tĕrĕnĕḥ, Rahawu, Suli, Pangdamuan, Mirah mirah, serta Turayun.



Istilah Jabatan pada Masa Mataram Kuno

Raja
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Rakryan Mahamantri i Hino
Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini tertinggi di setelah raja. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang. 

Rāma 

Rāma adalah pemimpin yang memerintah dalam kesatuan wilayah yang terkecil yaitu wanua atau desa. Rāma merupakan sekumpulan orang yang dipilih untuk menjabat selama periode tertentu, sehingga istilah rāma pun dapat dibagi lagi menjadi rāma magĕman dan rāma maratā. Rāma magĕman adalah istilah untuk rāma yang masih menjabat pada periode tersebut, sedangkan rāma maratā merujuk kepada mereka yang sudah tidak menjabat menjadi pemimpin desa namun masih diikutsertakan dalam rapat pemerintahan desa.

Karamān merupakan kata turunan dari rāma setelah diberi imbuhan ka-an yang kira-kira memiliki arti ‘para pejabat desa’. 

Sirikan
Sirikan termasuk istilah jabatan tinggi di tingkat kerajaan, biasanya didahului oleh kata Rakai dan memiliki daerah lungguhnya sendiri.  Pada masa pemerintahan Balitung, prasasti yang memuat  kata Sirikan sebagai nama wilayah watak dan bukan jabatan adalah  Prasasti  Panggumulan A 824 Ś,  Prasasti  Poh 827 Ś, dan Prasasti Kasugihan 829 Ś.

Wadihati
Wadihati adalah nama salah satu jabatan berstatus tinggi yang memiliki daerah lungguhnya sendiri. Mungkin jabatan ini ada di tingkat Watak. Prasasti yang memuat nama Wadihati sebagai nama tempat yaitu Prasasti Kayu Ara Hiwang 823 Ś, Prasasti Panggumulan A 824 Ś, Prasasti Poh 827 Ś, Prasasti Kubu-kubu 827 Ś, Prasasti Mantyāsih I 829 Ś, Prasasti Mantyāsih III 829 Ś, serta Prasasti Turu Mangambil 830 Ś. Watak Sigaran muncul di prasasti masa sebelum Balitung yaitu Prasasti Kaduluran 807 Ś namun dengan wanua yang berbeda yaitu Wirun (Damais, 1970).

Sang Pamĕgat
Sang pamĕgat adalah salah satu jabatan pada tingkat pemerintahan di atas wanua yaitu watak. Selain urusan pemerintahan, sang pamĕgat juga bertanggung jawab mengenai urusan keagamaan dan pengadilan (Boechari,  2012:33). Penulisan jabatan sang pamĕgat seperti jabatan rakai, setelah penyebutan nama jabatannya diikuti oleh nama wilayahnya. pun demikian Sang Pamegat diikuti nama watak yang dipimpinnya lalu baru diikuti oleh nama asli tokoh pemegang jabatan tersebut. 
Dalam Prasasti Kasugihan 829 Ś, nama Pu Ḍapit juga muncul namun dengan nama jabatan yang bersinonim dengan kata wadihati yaitu sang pamagat ayam tĕas. Pejabat  setingkat watak lainnya  yang disebut dalam Prasasti Rongkab adalah Sang Pamĕgat Wadihati bernama Pu Ḍapit.

Katik
Kaṭik diartikan  sebagai  pelayan  dalam  Kamus  Jawa Kuna  –  Indonesia  (Zoetmulder,  2006:  472),  namun eringkali  penempatan  kata kaṭik pada  prasasti  masa Balitung berada pada konteks pertanian seperti dalam Prasasti Luītan 823 Ś baris 4-5:
“...tŋaḥ iŋ satampaḥ muaŋ tan wnaŋnya makaṭik 6 inaṭaan sambaḥ nikanaŋ rāma magawaha lamwit 1 tampaḥ 7 muaŋ makaṭika 4 apan samaṅkana kirakiranyan sampun inukur...” 
Terjemahan:
“...setiap  satu tampaḥ-nya,  dan  tidak  sanggup mempunyai   enam   budak.   Maka   dikabulkan permohonan  dari  kepala  desa  itu  untuk  mengerjakan sawah seluas 1 lamwit 7 tampaḥ dan dapat mempunyai empat   budak.   Karena   memang   demikianlah perkiraannya  setelah  diukur  kembali.”  (Nastiti,  dkk. 1982: 12). 
Selain memiliki arti sebagai pelayan, kaṭik digunakan sebagai istilah satuan dalam menghitung sawah, namun kaṭik bukan ukuran yang dapat mewakili panjang atau lebar,  melainkan  besaran  sawah  yang  kira-kira  dapat dikerjakan  secara  optimal  oleh  satuan  tenaga  kerja manusia.  Maka  penyebutan kaṭik pada  Prasasti Rongkab menjadi menarik akibat adanya fakta bahwa tidak  semua  pajak  dibayarkan  karena  kepemilikan tanah, namun juga akibat kepemilikan kaṭik.


Para Raja Mataram kuno

Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu, adalah prasasti berangka tahun 907 M. yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno (Kusen, 1994:92).

Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing).

Kata "Mantyasih" sendiri dapat diartikan "beriman dalam cinta kasih".

Daftar silsilah raja-raja Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih menurut Bosch, adalah:
  1.     Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
  2.     Sri Maharaja Rakai Panangkaran,
  3.     Sri Maharaja Rakai Panunggalan,
  4.     Sri Maharaja Rakai Warak,
  5.     Sri Maharaja Rakai Garung,
  6.     Sri Maharaja Rakai Pikatan,
  7.     Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
  8.     Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan
  9.     Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Dharmmodaya Mahasambhu.

Daftar ini berbeda dengan yang tercantum pada prasasti Wanua Tengah III. Para raja Mataram dan tahun pemerintahannya menurut prasasti Wanua Tengah III adalah sebagai berikut:
  1.     Rakai Panangkaran anak Rahyangta i Hara (adik Rahyangta ri Mdang) (7-10-746 M - ...)
  2.     Rakai Panaraban (1-4-784 M - ...)
  3.     Rakai Warak Dyah Manara (28-3-803 M - ...)
  4.     Dyah Gula (5-8-827 M - ...)
  5.     Rake Garung anak Sang Lumah i Tluk (24-1-828 - 5-8-847 M)
  6.     Rake Pikatan Dyah Saladu (22-2-847 - 27-5-855 M)
  7.     Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (27-5-855 - 5-2-885 M)
  8.     Dyah Tagwas (5-2-885 - 27-9-885 M)
  9.     Rake Panumwangan Dyah Dewendra (27-9-885 - 27-1-887 M)
  10.     Rake Gurunwangi Dyah Bhadra (27-1-887 - 24-2-887 M)
  11.     Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang (27-11-894 - 23-5-898 M)
  12.     Sri Maharaja Rake Watukara Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawattungga Rudramurti (23-5-898 M - ...)
Perbedaan daftar nama-nama raja dari dua prasasti itu adalah tidak dicantumkannya nama raja Dyah Gula, Dyah Tagwas, Rake Panumwangan Dyah Dawendra dan Rake Gurunwangi Dyah Badra pada prasastri Mantyasih. Perbedaan ini menurut Kusen, disebabkan perbedaan latar belakang dikeluarkannya prasasti tersebut. Prasasti Mantyasih diterbitkan dalam rangka legitimasi Dyah Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga raja-raja yang diacntumkan dalam prasasti mantyasih hanyalah para raja yang berdaulat penuh atas seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Rake Panumwangan Dyah Dawendra dan Rake Gurunwangi Dyah Badra tidak pernah berdaulat penuh, terlihat dari singkatnya masa pemerintahan mereka (Kusen, 1994:91).

Mari kita soroti nama Raja pertama Mataram Kuno yaitu Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dalam gelarnya, Sanjaya tidak menggunakan gelar "Sri Maharaja" seperti raja-raja Mataram Kuno berikutnya.

Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Balitung pada tahun 908 menceritakan tentang para penguasa dan tindakan mereka berkaitan dengan sima, yaitu, wilayah yang dibebaskan dari pajak, atau memiliki hak imunitas (Barrett Jones 1984: 59-90; lih. Wisseman Christie 1985) dari Wanua Tengah (Wisseman Christie 2001: 51–2). Balitung juga menyebut delapan penguasa adalah "pangeran Matarām" dalam prasasti Mantyasih I, termasuk Sañjaya (907, B, 8 —rakai; Sarkar 1972: 68). Tetapi pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa Sanjaya menguasai seluruh Kerajaan Matarām: ia dimasukkan secara setara dalam daftar “Para-pemimpin suci Mĕdang” (rahyangta rumuhun ri mḍang) sebagai pahlawan legendaris di masa lalu atau leluhur atau raja ideal.

Sañjaya sendiri menyatakan dalam prasasti Canggal, bertanggal dari 732, bahwa ia memerintah di pulau Jawa (āsīddvīpavaraṁ yavākhyam, baris 13). Istilah Matarām muncul untuk pertama kalinya dalam prasasti Wuatan III (Sarkar 1971: 253, 257 - “bhūmi i mataram”, Fragment-Resink, Verso 6). Teks ini dikeluarkan pada masa pemerintahan lokapāla Kayuwangi, kemungkinan besar, pada tahun 880 M.



Referensi

  1. Bakker, J. W. M. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Jogjakarta: Jurusan Sejarah Budaya IKIP Sanata Dharma. 
  2. Barrett Jones, Antoinette M.. 1984. Early Tenth Century Java from the Inscriptions. Dordrecht: Foris Publication Holland. 
  3. Boechari.  1977.  “Epigrafi  dan  Sejarah  Indonesia” dalam Majalah Arkeologi 1 (2) Tahun 1977 hal. 1-40. 
  4. _______.  1985/1986. Prasasti  Koleksi  Museum Nasional Jilid I. Jakarta: Museum Nasional.
  5. _______.  2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan  Populer Gramedia. 
  6. Damais,   Louis-Charles.   1968.   “Bibliographie Indonésienne  XI;  Les  Publications  Épigraphiques du  Service  Archéologique  de  l’Indonésie”  dalam BEFEO 54 hal. 295-521. 
  7. ------------.  1970.   Répertoire   Onomastique   de l’Epigraphie  Javanaise  (jusqu’a  Pu  Siṇḍok  Śri Iṡanawikrama Dharmmotuṅgadewa). Paris: EFEO. 
  8. ------------. 1990. Etudes d’ Epigraphie Indonésienne. Paris: EFEO. ------------.  1995. Epigrafi  dan  Sejarah  Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 
  9. De  Casparis,  J.  G.  1950. Prasasti  Indonesia  I: Inscripties  uit  de  Çailendra-tijd. Bandung:  A.  C. Nix. 
  10. _______________. 1956. Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru. ------------. 1975. Indonesian Palaeography. Leiden: E. J. Brill. 
  11. _______________. 1978. Indonesian Chronology. Leiden/Köln: E. J. Brill 
  12. Deetz,  James.  1967. Invitation  to  Archaeology. New York: The Natural History Press. 
  13. Eade,  J. C. dan Lars Gislén. 2000. Early  Javanese Inscription:  A  New  Dating  Method. Leiden: Koninklijke Brill. 
  14. Gottschalk, Louis. 1969. Mengerti Sejarah.Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. 
  15. Griffiths,  Arlo. 2011. “Imagine Laṅkapura at Prambanan” dalam From Laṅkā Eastwards; The Rāmāyaṇa in the Literature and Visual Arts of Indonesia hal. 133-251. Leiden: KITLV Press. 
  16. ____________.  (2013,  11  Juli).  Saran  mengenai  skripsi. arlo.griffiths@efeo.net.  
  17. Hardiati,  Endang  Sri  (ed.).  2008. Sejarah  Nasional Indonesia  II;  Zaman  Kuno  Edisi  Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. 
  18. Kusen, Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994.
  19. Magetsari, Noerhadi. 2012. Epigrafi = Sejarah Kuno?. Makalah   dipresentasikan   dalam   Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia pada  tanggal  5  Desember  2012  di  Fakultas  Ilmu Pengetahuan  Budaya,  Universitas  Indonesia, Depok.  
  20. Nakada,  Kozo.  1982. An Inventory of the Dated Inscriptions in Java. Tokyo: The Toyo Bunko. 
  21. Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 
  22. Purnamasari, Dewi. 2012. Sambandha pada Prasasti-prasasti Masa Balitung (820-832  Ś). Skripsi Fakultas  Ilmu  Pengetahuan  Budaya,  Universitas Indonesia.
  23. Renou, Louis dan Jean Filliozat. 2001. L’Inde Classique; Manuel des Études Indiennes.Paris: EFEO. 
  24. Sarkar, H.B. 1971. Corpus of the Inscriptions of Java (Corpus Inscriptionum Javanicarum) (up to 928 A.D.), vol. I. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhay.
  25. _________________. 1972. Corpus of the Inscriptions of Java (Corpus Inscriptionum Javanicarum) (up to 928 A.D.), vol. II. Calcutta: FirmaFirma K.L. Mukhopadhay.
  26. Sedyawati,  Edi.  1994. Pengarcaan  Gaṇeśa  Masa Kaḍiri  dan  Siŋhasāri;  Sebuah  Tinjauan  Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI, RUL, dan EFEO. 
  27. Sharer,  Robert  J.  dan  Wendy  Ashmore.  2003. Archaeology:  Discovering  Our  Past. New  York: McGraw-Hill. 
  28. Shaw, Rajib dan Anshu Sharma (ed.).  2011. Community, Environment, and Disaster Risk Management Volume 6: Climate and DisasterResilience in Cities. Bingley Emerald Group Publishing. 
  29. Soesanti, Ninie. 1981. Struktur Birokrasi Masa Balitung: Data Prasasti.Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 
  30. ------------. 1997. “Analisis Prasasti” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Cipanas, 12-16 Maret 1996, Jilid  I  hal.171-182.  Jakarta:  Pusat  Penelitian Arkeologi Nasional. 
  31. Soemadio, Bambang, ed. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.
  32. Stutterheim, W. F. 1941. Oudheidkundig Verslag 1940. Batavia: Kon. Drukkerij de Unie. 
  33. Suhadi,  Machi.  2003.  “Interpretasi  Epigrafi”  dalam Cakrawala  Arkeologi;  Persembahan  untuk  Prof. Dr.  Mundardjito hal.  127-134.  Depok:  Jurusan Arkeologi  Fakultas  Ilmu  Pengetahuan  Budaya Universitas Indonesia.
  34. Wisseman Christie, Jan. 2004. “Weight and Values in the  Javanese  States  of  the  Ninth  to  Thirteenth Centuries  A.D.”  dalam Weights  and  Measures  in Southeast Asia Metrological Systems and Societies Volume I hal. 89-96. Paris: EFEO. 
  35. Wurjantoro,  Edhie.  Tanpa  tahun. Bahan  Perkuliahan Epigrafi. Tidak diterbitkan. 
  36. Zoetmulder,  P.  J.  2006. Kamus  Jawa  Kuna  – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Baca Juga

Sponsor