Cari

Situs Pasir Angin - Situs Prasejarah 4370 SM

Arca di Pasir Angin Bogor, perbandingan foto.


[Historiana] - Situs Pasir Angin yang terletak di Kabupaten Bogor Jawa Barat banyak menyimpan artefak berasal dari bahan logam  perunggu. Perunggu di situs ini ditemukan dalam konteknya sebagai sarana atau perlengkapan pemujaan arwah leluhur. Konteks tersebut juga menunjukkan bahwa Perunggu pada pada masa itu dianggap sebagai barang mewah, dan diduga komunitas Pasir Angin pertama kalinya mengenal barang dari bahan logam yang merupakan hasil teknologi tinggi.

Di situs ini tidak ditemukan sisa-sisa produksi perunggu, sehingga muncul dugaan bahwa artefak perunggu bukan produksi lokal melainkan di datangkan dari wilayah yang surplus benda tersebut dan bagaimana persebarannya.

Melalui analisis metalografi dapat diketahui bahwa benda perunggu situs Pasir Angin mempunyai persamaan teknik pembuatan dengan benda perunggu Dong Son. Di samping itu adanya jejak-jejak pelayaran dan aktivitas perniagaan yang pernah berlangsung antara Cina dalam hal ini Dong Son dengan Indonesia memperkuat dugaan benda perunggu berasal dari wilayah tersebut.Dengan demikian situs Pasir Angin menjadi wilayah setrategis yang melahirkan peradaban awal pemanfaatan teknologi tinggi. Temuan benda perunggu di situs ini memperkuat dugaan bahwa wilayah Jawa telah masuk jaringan Internasional sejak masa perundagian.

Cadrasa Perunggu. Foto: Disparbud Jabar
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Ditlinbinjarah pada tahun 1971-1975 menemukan data arkeologi berupa artefak hasil teknologi logam perunggu. Adapun artefak perunggu yang dimaksud di antaranya kapak, candrasa, boneka, hiasan, bandul kalung (liontin), mangkuk serta temuansisa logam lain berupaterak besi. Keragaman bentuk artefak tersebut, merupakan sebagian hasil teknologi yang dianggap sebagai mekanisme kultural manusia dalam upaya penyesuaian diri terhadap lingkungan alam.

Kapak perunggu. Foto: Disparbud Jabar

Dengan demikian, maka keragaman bentuk artefak juga merupakan hasil budaya akibat adanya penyesuaian terhadap lingkungan alam. Hal ini sesuai dengan sebutan yang diberikan para ahli kepada komunitas Pasir Angin masa lalu sebagai kelompok manusia yang telah  memiliki tingkat budaya yang tinggi. Kelompok masyarakat ini telah memiliki keahlian untuk mengubah, menyebarkan, dan menggunakan sumberdaya alam khususnya bijih logam besi menjadi sarana hidup sehari-hari, disamping alat-alat dari logam perunggu.

Bandul Kalung Perunggu. Foto: Disparbud Jabar


Sementara itu,perkembangan teknologi logam khususnya perunggu diIndonesia tidak terlepas dari budaya perunggu di Asia Daratan. Di Vietnam budaya perunggu telah berkembang sekitar awal tahun 2000 SM, yaitu pada periode   Go Bang atau Phung Nguyen akhir, yang mana periode ini merupakan  transisi dari Neolitik ke Jaman Perunggu (Kempers 1988:268). Jaman tersebut kemudian berlanjut pada jaman Perunggu tengah (1120 ± 100 SM), yaitu periode Dong Dau. Pada jaman ini alat-alat batu mulai digantikan dengan alat-alat berbahan campuran tembaga dan timah dengan perbandingan 80 % Cudan 20 %Sn. Adapun jaman perunggu akhir di Vietnam pada pertanggalan radiokarbon 1095±120 SM, yaitu tatkala jaman kebudayaan Go Mun. Periode ini juga disebutkan sebagai perkembangan tingkat lanjut dari tradisi pertukangan logam. Tradisi ini ditandaioleh berbagai jenis peralatan perunggu berupa mata pancing, mata lembing, mata panah,kalung,sabit, bejana, nekara, kapak, dan  gelang(Soejono, 1992:243).Perunggu Dong Son mulai muncul saat ini atau disebut pula sebagai jaman permulaan munculnya pertukangan besi, namun perunggu masih digunakan pada jaman-jaman berikutnya.

Golok Besi melengkung. Foto: Disparbud Jabar


Benda-benda perunggu khususnya nekara yang ditemukan di Indonesia menunjukkan persamaan dengan temuan-temuan di Dong Son baik bentuk maupun pola hiasnya. Persebaran nekara perunggu secara geografis di Indonesia sangat luas antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, dan Indonesia Timur (Bintarti, 1987:20-30).

Periode awal logam di Indonesia disebut sebagai masa perundagian. Dalam masa ini teknologi berkembang pesat dimulai dengan penemuan-penemuan baru berupa teknik peleburan, pencampuran, penempaan, pencetakan jenis-jenis logam. Namun sebelumnya juga sudah dikenal adanya logam tembaga dan emas (Soejono, 1992:218-226). Kedua jenis logam ini sangat mudah dilebur. Titik lebur  emas murni 1063 derajat Celsius dan titik lebur tembaga 1083 derajat Celsius keduanya merupakan logam lunak dengan  kekerasan sekitar 2,5-3 skala mohs dan elastisitas dari kedua logam tersebut sekitar 27 kg/cm2  sehingga mudah dibentuk. Sifat lunak logam ini tidak mendukung untuk digunakan sebagai senjata atau perkakas logam yang bersifat keras.




Perkembangan selanjutnya baru beberapa ribu tahun kemudian setelah ditemukan teknik pembakaran, dan penuangan logam. Sekitar tahun 4000 SM   pengrajin logam di Timur Tengah dan Asia Tenggara berhasil memperbaiki sifat tembaga dengan    mencampurkan unsur logam kedua yaitu arsenikum atau timah menjadi perunggu (Hodges, 1968: 69).

Kemahiran teknik atau undagi logam di Indonesia berlangsung beberapa abad sebelum Masehi dan dibuktikan melalui penemuan benda-benda perunggu dan benda logam lainnya yang oleh Van Heekeren (1958: 12-20) dikenal dengan “Masa Perunggu dan Besi” (Bronze-Iron Age). Sejarah perkembangan logam menyebutkan bahwa perunggu merupakan logam campuran tertua yang telah digunakan manusia (Hodges, 1968:70-76).

Campuran logam tembaga dan timah ini ternyata menghasilkan benda-benda yang lebih keras dan kuat. Surdia dan Chiijiwa (1986: 40-43) menyatakan bahwa perunggu adalah paduan logam tembaga timah, dan biasanya kandungan timah kurang dari 15%. Perunggu dengan timah kurang dari 5% berwarna kekuningan, sedangkan kadar timah di atas 15 % menjadi warna kuning-merah.

Salah satu situs prasejarah di Indonesia yang menghasilkan arterfak  logam  kususnya perunggu adalah situs Pasir Angin. Terdapat beberapa penyebutan mengenai situs ini di antaranya berdasarkan pertanggalan radiokarbon yang dihasilkan situs berasal dari periode 4370 ± 1190 SM dan termuda 1050 ± 160 SM  (Soegondo  dan  Aziz, 1988:311).

Selanjutnya R.P Soejono(1992) meletakkan Situs Pasir Angin dalam periode Prasejarah Indonesia sebagai situs masa perundagian. Situs ini telah digunakan oleh komunitas masa perundagian dengan pola hidup menetap (sedenter) dan menggunakan teknologi logam yang lebih maju untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kemudian berdasarkan hasil penelitian terhadap data artefak berupa manik-manik, tempayan  danperiuk dengan pola hias jala, tali, serta duri ikan yang berada pada satu kontek dengan artefak perunggu berupa kapak seriti tipe Soejono IIA dan IIB, candrasa, tongkat disimpulkan bahwa artefak-artefak tersebut merupakan sarana upacara (Anggraeni dan Due Awe, 1988:343). Selanjutnya mengacu pada  monolit yang ada dipuncak bukit dan data artefak dari dalam tanah, yang konteks     keletakan membujur atau menghadap ketimur arah bidang datar utama monolit, maka situs Pasir Angin dikelompokan sebagai tempat pemujaan atau tempat upacara pengagungan arwah leluhur (Sukendar, 1988: 368).

Teknologi logam masa perundagian di Situs Pasir Angin merupakan suatu peningkatan ilmu pengetahuan manusia tentang pemanfaatan teknologi. Hal ini diketahui dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa situs ini memiliki artefak hasil teknologi yang beragam dari jenis logam perunggu, besi, alat batu, keramik, gerabah, dan logam lainnya (emas). Komunitas pendukung situs Pasir Angin menggunakan perkakas logam perunggu, dan besi namun tampaknya hanya artefak  berbahan besi yang diproduksi di situs ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan terak besi. Sedangkan artefak perunggu yang ditemukan diduga bukan produksi lokal.

Pada kondisi demikian masyarakat akan mendatangkan artefak perunggu dari daerah yang surplus komoditi tersebut. Untuk mengetahui sumber komoditi artefak perunggu dapat dilakukan dengan mempelajari teknologi pembuatan yang masih tersimpan di dalam artefak. Dalam hal ini    analisis    metalografi dan komposisi unsur logam dapat menjelaskan mengenai proses produksinya    (Hodges, 1968: 206-218; Prijono, 2006:41).


Analisis Metalografi

Dalam sejarah metalurgi, perunggu merupakan logam campuran tertua yang pernah digunakan oleh  manusia. Gambaran secara menyeluruh dari teknologi dan komposisi logam perunggu situs Pasir   Angin diperoleh dari hasil pengujian metalografi.

Analisis metalografi menurut Thomsons dalam “Science in Archaeology”, seperti dikutip oleh Prijono (2006: 39-54) menjelaskanbahwa, mikroskop dapat digunakan untuk mempelajari struktur   logam purba, dan secara bersamaan dalam mikrostruktur yang sama juga memperlihatkan perlakuan baik pendinginan maupun penempaan benda logam. Metode ini telah dipraktekkan oleh Smith  (1973:21-32) terhadap perunggu dari Situs Non Nok Tha dan Situs Ban Chiang di Thailand. Melalui analisis tersebut jejak-jejak kegiatan proses pembuatan artefak logam dapat diketahui. Jejak-jejak tersebut tersimpan di dalam mikrostruktur dari artefak logam yang dianalisis, di antaranya berupa     jejak proses pemanasan dan perlakuan teknik lainnya seperti penuangan, penempaan, pelunakan (penganilan), penggilasan, dan gabungan dari perlakuan-perlakuan tersebut yang telah digunakan  oleh manusia (Fagan, 1991:301-308; Prijono, 2006:41).

Berdasarkan hasil analisis metalografi diperoleh simpulan bahwa pada dasarnya teknologi pembuatan artefak perunggu situs Pasir Angin dilakukan dengan teknik penuangan pada cetakan. Adapun untuk artefak berupa kapak dilanjutkan dengan teknik penempaan. Untuk artefak nekara perunggu Dongson dihasilkan melalui teknik penuangan pada cetakan tanpa dilanjutkan dengan teknik penempaan.      Adapun jika ditinjau dari komposisi unsurnya perunggu nekara Dongson mempunyai tiga unsur logam penyusun utama, yaitu Cu (tembaga), Sn (timah), dan Pb (timbal), demikian pula perunggu situs Pasir Angin juga tersusun dari tiga unsur utama, tembaga, timah, timbal kecuali kapak IIA yang  hanya tersusun dari dua unsur utama. Besaran komposisi unsur perunggu Pasir Angin mengandung unsur insol SiO2insol yang sangat besar, misalnya pada artefak kapak IIA dengan komposisi, campuran SiO2 untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun jika dilihat dari kandungan SiO2 (insol) dan CuO yang tinggi memberikan gambaran bahwa perkakas perunggu ini sudah mengalami perusakan lanjut.

Berlatar pada temuan tersebut diperoleh gambaran bahwa artefak dibuat dengan cara yang sederhana dengan cetakan yang terbuat dari campuran tanah liat dan pasir, serta artefak terkubur di dalam tanah dengan tingkat keasaman yang tinggi. Namun dapat pula berasal dari bahan baku yang digunakan     bukan berasal dari campuran tembaga, timah, dan timbal siap pakai, melainkan berasal dari batuan    mineral alam yang dicampur dan dilelehkan, atau berasal dari bahan daur ulang untuk dijadikan barang baru (Sudarti, 1998).

Terkait dengan hasil analisis tersebut permasalahan yang muncul adalah mengenai keberadaan artefak perunggu di situs Pasir Angin. Sementara sisa-sisa produksi logam tersebut tidak ditemukan, dan cadangan tembaga di Jawa baru ditemukan setelah PT Aneka Tambang pada tahun 1974 meneliti deposit tembaga dengan kadar 0,34% Cu (tembaga), 1,99% Pb (timbal), dan 4,05% Zn (seng) yang terletak di Gunung Limbung, Kabupaten Sukabumi (Supiyem, 1985:30).

Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa artefak perunggu didatangkan dari daerah yang surplus komoditi  tersebut atau sebagai komoditi yang diperdagangkan, serta dari mana berasal. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui beberapa sumber. Diketahui bahwa sebaran nekara perunggu tipe Heger I di Indonesia sangat luas mulai dari Sumatra hingga Indonesia Bagian Timur. Nekara perunggu yang  ditemukan di Jawa umumnya nekara tipe Heger I, kecuali dua buah yang ditemukan di Banten dan Waleri tipe Heger IV. Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya hubungan budaya yang berkembang di Dong Son dengan di Indonesia (Soejono, 1992: 234)

Sumber-sumber sejarah dan etnografi menggambarkan bukti-bukti arkeologi mengenai mekanisme pelayaran dan perdagangan di laut Jawa, sudah dimulai sekitar awal abad ke-3 SM. Waktu itu Indonesia (Nusantara) telah mengadakan hubungan dengan Asia Tenggara. Ditemukannya artefak  perunggu di situs Pasir Angin juga memberikan gambaran bahwa benda-benda tersebut bukan produksi lokal melainkan telah dibawa dari tempat asalnya ke wilayah situs.  Dalam hal ini apakah    sebagai cinderamata (persembahan) oleh pendatang asing atau merupakan komoditi yang diperdagangkan (barter) dengan barang yang dihasilkan oleh masyarakat lokal.

Untuk membahas permasalahan tersebut diperlukan suatu pendekatan. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekonomi yang pernah berlangsung pada masa prasejarah di situs Pasir Angin.

Mengacu kepada Soni Wibisono (1991: 21-32), bahwa tindakan ekonomi bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan dasar dan problem meraih kepuasan atas keinginan. Apabila pengertian tersebut dijabarkan, akan diperoleh jenis kebutuhan, yaitu untuk memuaskan dorongan biologis yang bersifat material (makan, tempat tinggal), dan kebutuhan yang bersifat psikologis (keagamaan, pengakuan), serta kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini lingkungan menjadi  fisik yang dipandang sebagai sumber pertama untuk memenuhi kebutuhan material (makan,     sandang, papan,dan peralatan). Kecenderungan ini menyebabkan lingkungan akan dipandang    sebagai suatu yang terbatas meskipun menyediakan segalanya, dan sampai pada suatu saat tidak dapat memenuhi keinginannya. Manakala terjadi ketaktersediaan barang yang diinginkan, maka manusia akan berbuat sesuatu yang ekonomis. Di sini akan terlihat bahwa proses ekonomi diikuti    dengan aktivitas manusia, sehingga dapat diartikan cara manusia sebagai individu dalam memecahkan masalah ada batasnya, dan apabila untuk mendapatkan barang tidak terpenuhi di lingkungannya, manusia memerlukan pasokan dari manusia lain baik berasal dari dalam maupun luar  kelompoknya.

Dalam kaitannya dengan pernyataan tersebut kemudian muncul bentuk perekonomian yang saling bergantung satu sama lain. Problem kelangkaan dalam pemenuhan kebutuhan atau keinginan ini menempatkan manusia untuk melakukan tugas-tugas dan kegiatan pokok, yaitu memproduksi   barang dan jasa, dan mengatur pendistribusiannya. Melalui cara-cara tersebutlah manusia memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain ekonomi berhubungan erat dengan aspek-aspek kehidupan manusia memproduksi barang dan jasa, serta pendistribusiannya (Heilbroner, 1982: 16-19)

Santoso Soegondo (1991: 33-42) dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II, jilid 1, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat prasejarah bersangkut paut dengan segala keperluan atau kehidupan sehari-hari, serta tergantung pada keadaan lingkungan, teknologi, dan sistem bertempat tinggal.  Oleh karena itu uraian tentang kehidupan ekonomi masyarakat prasejarah meliputi a) kehidupan ekonomi masyarakat yang masih berada dalam taraf kehidupan berburu dan mengumpulkan makan; b) kehidupan ekonomi masyarakat yang telah mengenal cara-cara bercocok tanam; c) kehidupan ekonomi masyarakat yang berada dalam taraf kemajuan teknologi. Berkaitan dengan pokok bahasan dalam tulisan ini maka hanya butir c) yang akan digunakan untuk menguraikan mengenai hubungan antara artefak perunggu dan perekonomian masyarakat

Pasir Angin pada masa prasejarah.Sebagian besar artefak logam ditemukan pada waktu kegiatan  ekskavasi di situs dengan karakteristik penguburan atau pemujaan, sehingga memberikan gambaran   bahwa pada masa itu perunggu mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan sosial masyarakat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hiduppada masa itu. Sementara lain nekara diketemukan dalam kontek perniagaan. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah nekara di wilayah Maluku yakni di kepulauan Gorom dan wilayah Kei Kecil, yang merupakan komoditi niaga atau mungkin sebagai alat tukar (Handoko, 2010: 69).

Keberadaan nekara di wilayah ini diduga berkaitan dengan perdagangan rempah-rempah. Sejak masa  silam Maluku sudah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan kayu cendana. Komoditi ini menarik bagi pedagang-pedagang asing di antaranya yang datang dari Dong Son. Sementara pendagang dari Dong Son membawa produk budaya mereka, yaitu nekara.Nekara, sebagai barang hasil teknologi tinggi dan dianggap sebagai barang mewah dan tinggi nilainya. Temuan nekara di   pulau ini menegaskan bahwa kontak budaya pernah berlangsung sejak masa itu.Untuk memenuhi kebutuhan hidup alam menyediakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan, tetapi kemudian meluas  menjadi kebutuhan sosial, karena  manusia  tidak pernah puas menikmati hasil produksinya sendiri. Adanya aktivitas tersebut mulailah apa yang disebut produksi kebutuhan barang-barang untuk memenuhi fungsi sosial, sehingga menimbulkan permintaan yang didukung adanya keahlian dan bahan (Prijono, 2013:137).  Apabila cara tersebut tidak terpenuhi, manusia berusaha mendatangkan dari wilayah yang surplus barang tersebut.

Distribusi barang dari tempat produksi ke tempat pemakainya dapat ditelusuri melalui bukti-bukti arkeologi. Berbagai tinggalan budaya bercirikan komoditi ditemukan di Nusantara, baik berasal   dari dalam maupun luar Nusantara. Sejak era prasejarah peradaban telah tumbuh di berbagai belahan  dunia dan seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat peradaban muncul jaringan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan terhadap berbagai komoditi (Olson, 2004:140; Handoko, 2010:70).

Kehadiran nekara dan bejana perunggu Dongson di wilayah Jawa Barat seperti di Kuningan, Bogor,   dan Subang. Sebaran nekara Dongson juga ditemukan di berbagai wilayah Nusantara,ini menegaskan bahwa sejak masa prasejarah terutama pada tingkat perundagian, ribuan tahun lalu telah ada  aktivitas niaga dan benda berbahan perunggu merupakan suatu komoditi yang diperdagangkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi pada masa tersebut. Hal ini diperjelas dengan pernyataan Soejono, bahwa hubungan antara Cina khususnya Vietnam dan kawasan  Nusantara telah terjadi sejak sebelum abad pertama Masehi(Soejono (1992:243).Untuk menjelaskan hal tersebut di antaranya melalui hasil analisis metalografi terhadap artefak perunggu kapak dan tongkat situs Pasir Angin, ternyata diketahui sama dengan teknologi yang digunakan untuk membuat nekara tipe Heger I dari Dong Son, yaitu melalui teknik penuangan dan pencetakan. Perbedaan terletak pada komposisi unsur logam penyusun, yaitu perunggu dari Pasir Angin mempunyai kandungan timah (Sn) dan timbal (Pb) yang tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan fungsi dari benda perunggu tersebut, serta   adanya dugaan sebagai produksi daur ulang.Sehingga memerlukan penambahan timah (Sn) sebagai pengeras, dan timbel untuk mempermudah proses penuangan.

Bukti lainnyaa dalah ditemukannya jejak-jejak pelayaran kuna melalui berbagai bentuk visualisasi   perahu baik pada seni lukis yang diterapkan pada dinding-dinding cadas di pantai maupun pada dinding-dinding gua. Ditemukannya pahatan dan lukisan berbentuk perahu di dinding gua-gua purba   di Sulawesi Tenggara dan Selatan, serta Papua menggambarkan perahu sebagai sarana transportasi (Sukendar, 1998/1999:21-23; Liebner, 2005:53-58). Ini memberikan gambaran, bahwa perahu memegang peranan penting pada masa itu terutama sebagai sarana transportasi, dan tidak tertutup  kemungkinan adanya benda-benda komoditi berupa bahan makanan, hasil pertanian, gerabah, perunggu, dan lain-lain telah dibawa dalam pelayarannnya.

Bukti lain adanya perdagangan antara Indonesia dan Cina juga ditemukan dalam pahatan perahu di sebuah dinding kubur batu dari Dinasti Han abad pertama masehi. Demikian pula pada masa Dinasti Han tampaknya perahu-perahu Cina sudah hilir mudik dari Cina ke Indonesia, yang dibuktikan dengan ditemukanya keramik masa Han di Sumatera.Ini membuktikan bahwa pada masa itu sudah  ada aktivitas perdagangan antara Cina dan Indonesia (Bellwood, 1985:272-289). Peluang ini tidak menutup kemungkinan, bahwa perunggu juga merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan.

KESIMPULAN
Situs Pasir Angin, sejak masa prasejarah khususnya perundagian ribuan tahun lalu, telah menjadi  wilayah setrategis dengan posisi geografisnya melahirkan suatu peradaban awal pemanfaatan teknologi tinggi, di mana hubungan kultural di antara bangsa bertemu.Melalui perantara pelayaran antar pulau di Nusantara (Indonesia) menumbuhkan subsistem yang menopang tumbuhnya   pelabuhan-pelabuhan transito sehingga nekara dan benda perunggu lainnya menyebar dan menjadi   sumber bahan baku perunggu di beberapa pulau di Nusantara.

Adanya penemuan artefak perunggu di situs Pasir Angin dengan teknik pembuatan yang sama dengan perunggu Dong Son memperkuat bukti bahwa sumber artefak perunggu berasal dari wilayah tersebut. Di samping itu juga merupakan sebagian bukti yang memperkuat dugaan bahwa wilayah Jawa telah masuk dalam struktur Jaringan perdagangan Nusantara dan Internasional.

Sumber: "Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor: Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)". Balai Arkeologi Jawa Barat. Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

Referensi

  1. Anggraeni, Nies dan Rokhus Due Awe, 1988. “Unsur Budaya Pasir Angin” dalamRapat  Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 339-355
  2. Aziz, Fadhilla Arifin dan Sudarti. 1997/1998. “Komoditi Pertukaran Bahan Baku ada Awal Masehi di Bali” dalamPertemuan Ilmiah Arkeologi VII. Jilid I. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi. Hlm. 154-169. 
  3. Bassett,  Jet  all, 1979. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis -Beccles and London - Willian Clowea & Sons Limited. 
  4. Bellwood, Peter. 1985. Prehistory of The Indo-Malaysian Archipelago-Australia: Academic Press. 
  5. Bintarti, D. D.  987. Bronze Kattledrums in Burial Contex in Indonesia, XVII Pasific Science Congress, Seoul, Korea.
  6. Fagan, Brian. 1991. In The Begining, An Introduction-New York-R.  R. Dennelley & Sons Company.
  7. Handoko, Wuri. 2010. “Jejak Perdagangan Internasional Maluku Masa Lampau Dalam   Perspektif Ekonomi dan Politik”. Proceeding. Perdagangan, Pertukaran  dan Alat  Tukar  Di  Nusantara dalam Lintasan Masa. Bandung, 22-24 Juni 2010. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hlm. 69-78.
  8. Haryono, Timbul. 1994. Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno abad  XII-X. Disertasi, untuk Memperoleh Derajat Doktor dalam Ilmu Sastra pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  9. Hodges, Henry. 1968. Artifact.An Introduction to Early Materials and Tecnology. Third Impression. Pall Mall London: John Bakar Publishers.
  10. Heekeren, H. R. Van. 1958. The Bronze-Iron Age of  Indonesia,  S. Cravenhage-Martinus, Nijhoff.
  11. Heilbroner, Robert. L. 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi.terjemahan Sutan Dianjung. Jakarta:Ghalia Indonesia.
  12. Kempers, Bernet. A. J. 1988. The Kattledrum of  Southeast Asia. G. J. Barstra (editor). AA Balkena/Rotherdam/Bookfield: Modern Quarternary. 
  13. Liebner, Horst H. 2005. “Perahu-Perahu Tradisional Nusantara Suatu Tinjauan Sejarah  perkapalan dan Pelayaran”. Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim.  Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia bekerja sana dengan Universitas Indonesia.
  14. Olson. Steve. 2004. Mapping Human History: gen, Ras dan Asal-Usul Manusia . Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
  15. Prijono, Sudarti. 2006. Pemaanfaatan Analisis Metalografi Dalam Identifikasi Perunggu Masa perundagian. Dalam Forum Arkeologi No.II/Oktober 2006. Hal 39-54 
  16. Prijono,  Sudarti.  2013.  “Sumberdaya  Alam  Situs  Keramat  Teluk,  Kecamatan Blambangan  Pagar Kaitannya Dengan Aspek Perdagangan”. Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka  100 Tahun Purbakala. Bandung 26-28 Agustus 2013. Jatinangor: Alqaprint. Hlm. 135-146.
  17. Smith, Cyril Stanley. 1973. Bronze Tecnology in the East: Amettalurgical Study of Early    Thai Bronzes with Some Specullations on the Cultural Transformation of Tecnology. In M. Teich and  R. Young  (ed). Changed Perspectives, in the History of  Science. Essay  in  Honor  of  Joseph Needam.
  18. Soegondo,  Santoso  dan  Budi  Santoso  Aziz.  1988.  “Pasir  Angin  dan Hubungannya Dengan Situs Prasejarah di Jawa Barat”. Rapat  Evaluasi Hasil  Penelitian  Arkeologi  III.  Jakarta:  Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan. Hlm. 305-325
  19. Soegondo,  Santoso.  1991.  “Kehidupan  Ekonomi  Masyarakat  Prasejarah  di Indonesia”.  dalam Analisis   Hasil   Penelitian   Arkeologi   II.   Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm: 33-42.
  20. Soejono. R.P  (ed). 1992. Sejarah Nasional Indonesia, jilid I, Jakarta: Balai Pustaka
  21. Sudarti. 1999. Teknik Pembuatan Artefak Perunggu Prasejarah Masa Perundagian di Jawa dan Bali. Tesis S2. Program Pascasarjana.Jakarta: Universitas Indonesia
  22. Sukendar, Haris.1998/1999. Pustaka    Wisata    Budaya    Perahu    Tradsional Nusantara.    Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  23. Supiyem, Ir  (ketua). 1985. Kajian Tembaga, Bandung, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Direktorat Jenderal Petambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi.
  24. Surdia, Tata dan Kenji Chiijiwa.1986. Teknik Pengecoran Logam, Cetakan Kelima.Jakarta: Pt. Pradnya Paramita
  25. Wibisono, Soni.Crh, 1991 “Subyek dan Obyek Studi Arkeologi Ekonomi”.Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II. Jilid 1. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Hlm.21-32 
  26. Widiati, 2007. Ragam Temuan Dari Situs Kapal Tenggelam Perairan Cirebon, Jawa Tengah.Dalam Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air. Vol.1/2007. Hlm. 16-25
Baca Juga

Sponsor