Foto Naskah Asli Bujangga Manik. Didimpan di bodleian Inggris. Foto: bodleian Library |
[Historiana] - Naskah kuna Bujangga Manik dari Tatar Sunda mendapat tempat cukup istimewa. Ia mengisi ruang-ruang kosong sejarah klasik di antara masa Mataram Kuna hingga beberapa saat sebelum politik Islam menguasai Pulau Jawa.
Seorang Inggris bernama Richard Thomas memboyong dua naskah ke negerinya di akhir abad 16. Tidak jelas bagaimana Richard menemukan naskah kuna Rasacarita dan Bujangga Manik, namun kedua naskah itu diserahkan ke Perpustakaan Bodleian, Oxford pada tahun 1627.
Richard James kemungkinan pernah ikut dalam salah satu ekspedisi pelayaran Inggris ke wilayah timur antara 1579-1611 Masehi.
Dalam rentang periode itu ada setidaknya tiga pelayaran besar oleh armada Inggris. Yaitu ekspedisi Sir Francis Drake (1580), Sir Thomas Cavendish (1587), dan Sir James Lancaster (1601). Kapal pelayaran terakhir ini konon sempat mendarat di Banten. Kedua naskah itu diserahkan bukan oleh Richard, tapi lewat kakaknya, Andrew James. Adik bungsu mereka, Thomas James, merupakan pustakawan pertama di perpustakaan tersebut.
Tahun 1967, atau setelah 340 tahun tersimpan, Bujangga Manik ditemukan dan diteliti J Noorduyn. Filolog yang pernah menjabat Direktur KITLV ini meninggal tahun 1994. Karyanya bersama ahli bahasa A Teeuw, mengejutkan banyak kalangan pemerhati sejarah Nusantara.
Apa sih istimewanya naskah Bujangga Manik? Noorduyn mencatat, cerita yang disyairkan di naskah ini merupakan catatan perjalanan Bujangga Manik, pangeran Kerajaan Pakuan di dekat Bogor sekarang. Ia memiliki nama lain Parebu Jaya Pakuan atau Ameng Layaran. Pangeran ini memilih menjadi resi, yang kemudian melakukan pengelanaan spiritual ke berbagai tempat puja suci di Pulau Jawa dan Bali.
Sebagai catatan perjalanan, isi naskah ini dinilai otentik, mampu menggambarkan situasi dan kondisi sosial politik pada masa pengembaraan Bujangga Manik. Meski tidak ada keterangan angka tahunnya, Noorduyn dan kebanyakan ahli sejarah sepakat naskah itu berasal dari akhir abad 15 atau awal abad 16.
Penyebutan eksisnya Kerajaan Malaka menjadi penanda penting naskah cerita itu ditulis sebelum Portugis merebut bandar Malaka pada tahun 1511. Itulah tahun runtuhnya Malaka.
Dari 1.641 baris syair di naskah Bujangga Manik, tak satupun memuat kata-kata atau bahasa yang mengindikasikan pengaruh Arab atau Islam. Semuanya bahasa Sunda yang terpengaruh kuat bahasa Jawa. Aksara yang dipakai aksara Sunda, yang dipengaruhi aksara dari India. Ketiadaan unsur bahasa Arab itu memberikan petunjuk nasakah ditulis pada masa pra-Islam di Jawa. Demak memang sudah disebut, tapi kemungkinan besar sebelum Raden Patah berkuasa.
Hal menarik berikutnya menurut Noorduyn adalah Bujangga Manik menyebut 450 nama tempat yang disinggahinya, yang semuanya berlokasi di Pulau Jawa. Secara geografi ini sangat menarik. Nama-nama tempat itu masih banyak yang bisa dikenali, tapi juga tak sedikit yang sudah lenyap atau mungkin berganti nama yang sama sekali berbeda.
Bujangga Manik dalam cerita itu menyatakan dua kali melakukan pengembaraan ke timur. Pengembaraan pertama berakhir di Pamalang (Pemalang), sebelum ia kembali ke Pakuan lewat laut. Bujangga Manik menumpang kapal yang hendak ke Malaka dari bandar Pamalang. Nakhodanya seorang India yang anak buahnya dari berbagai bangsa. Perjalanan Pamalang ke bandar Kalapa (Jakarta) ditempuh selama setengah bulan. Ia melanjutkan perjalanan ke Pakuan menemui ibunya yang terkejut melihat putranya tiba-tiba muncul.
Pada pengelanaan pertama ini, Bujangga Manik menempuh rute tengah. Ia mendaki menuju kawasan Puncak (sekarang Puncak Pass) dan menyaksikan alam negerinya yang sangat permai.
Noorduyn dalam buku “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa (Ombak, 2019)” mengatakan, Bujangga Manik secara jelas menunjukkan tapal batas penting antara barat dan timur. Yaitu antara Sunda dan wilayah yang dikuasai Majapahit kala itu. Batasnya adalah Cipamali atau Kali Pamali di Kabupaten Brebes sekarang.
Ia secara khusus menyebut Demak sebagai wilayah yang berbeda dengan Majapahit. Dari sinilah ada dugaan ketika itu Demak sudah berdiri sebagai entitas sendiri, sebelum masa Raden Patah yang Islam.
Dua tempat disebut Bujangga Manik saat ia menjelajahi wilayah di timur Cipamali. Yaitu Jatisari dan Pamalang. Jatisari terlalu umum, sehingga topografinya sulit dikenali lagi.
Seperti diterangkan di muka, sesampainya di Pamalang, Bujangga Manik berubah pikiran dan ingin pulang ke Pakuan.
Cerita berikutnya akan menggambarkan detail perjalanan pertama Bujangga Manik, yang agaknya seorang diri berkelana ke timur.
Referensi
- Ekadjati, Edi S. 2005 (cet. II), Kebudayaan Sunda 1: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta
- ____________ 2005, Kebudayaan Sunda 2: Zaman Padjadjaran, Pustaka Jaya, Jakarta
- Noorduyn, J 1984, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno, terj. Iskandarwassid, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
- Noorduyn, J dan Teeuw, A. 2006, Three Old Sundanese Poems, KITLV, Leiden
- Rosidi, Ajip 1973, “My Experiences in Recording "Pantun Sunda‟” dalam jurnal Indonesia No. 16, hal. 105-111, Cornel University
- Sumardjo, Jakob 2000, Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung
- _____________ 2003, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda, Kelir, Bandung
- _____________ 2004, Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan, Kelir, Bandung.
- ______________ 2006, Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi, Kelir, Bandung
- ______________ 2006, Estetika Paradoks, Sunan Ambu Press, Bandung