Penanganan wabah pes (sampar) dengan pembersihan sarang tikus di Jawa Era Kolonial Beland. |
[Historiana] - Indonesia kini berhadapan dengan wabah penyakit yang disebabkan oleh virus Covit-19 atau Corona. Hingga hari ini, tercatat 4 orang positif Corona. Banyak orang khawatir. Kejadian ini menimbulkan kontroversi. Alih-alih memercayakan penanganannya pada pemerintah, masyarakat malah melakukan 'panic buying' baik untuk kebutuhan masker ataupun sembako.
Wabah penyakit pernah menyerang penduduk pulau Jawa di Zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Wabah itu ialah penyakit cacar. kolera dan Sampar atau pes.
Di tahun 1871, sebaran wabah cacar meluas. Ternate, Ambon, dan Bali jadi wilayah yang terdampak paling parah. Di Bali, misalnya, di mana 18 ribu orang dilaporkan meninggal akibat cacar. Catatan tersebut jadi modal penting bagi penanganan cacar kala itu, sebelum akhirnya Belanda membawa vaksin untuk disebar ke pelosok negeri.
Penyakit epidemi yang ditandai gejala peradangan saluran pernafasan dan demam pernah terjadi di Jakarta kala masih bernama Batavia. Pembunuhnya bernama bakteri kolera (cholera asiatica). Orang awam lebih mengenalnya dengan sebutan “muntaber” (muntah berak).
Menurut buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia yang diterbitkan Departemen Kesehatan, penyakit kolera mulai dikenal pada 1821. Penyakit yang menyerang usus besar ini ditandai dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Penderita kolera dapat mengalami kematian dalam beberapa jam apabila tak mendapat penanganan secara serius.
Di Indonesia, wabah pes terakhir kali terdeteksi pada 2007 ketika ditemukan 82 kasus di wilayah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta), Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), dan Ciwidey (Jawa Barat). Pes masih tetap eksis kendati sedikit. Badan kesehatan dunia WHO mencatat, sepanjang 2010-2015 lalu ada 3.248 kasus Pes di dunia dengan 584 kematian. Epidemi paling parah terjadi di Kongo, Madagaskar, dan Peru.
Penyakit dibawa Setan?
Anda mungkin pernah mendengar agamawan yang mengatakan bahwa "tidak ada penyakit menular" ya, penulis yakin Anda pernah mendengarnya. Uraian lebih lanjutnya bahwa, penyakit tiu berpindah dari satu orang ke orang lainnya melalui perantaraan setan. Wah.. jadi unik ya. Sepengetahun penulis, setan itu memiliki kemampuan "membisikan" pada setiap hati. Apakah Virus Corona juga pernah membisikan sesuatu pada hati atau pikiran kita? Anda tahu jawabannya. Yang jelas jawaban seperti itu tidak menenangkan malah bisa membuat masyarakat semakin panik.Kondisi itu mirip seperti paniknya negara-negara dahulu dalam mengobati wabah variola atau yang biasa disebut penyakit cacar. Kala itu, cacar mewabah selama ribuan tahun. Cacar jadi penyakit yang sukar disembuhkan. Cacar bahkan dikaitkan dengan perkara magis. Diyakini sebagai wabah yang datang dari kutukan dan dibawa oleh roh halus.
Segala anggapan itu dibantah oleh temuan dokter berkebangsaan Inggris, Edward Jenner. Pada tahun 1796, ia menemukan vaksin cacar. Penemuan itu didasari pengamatan Jenner terhadap seorang pemerah susu bernama Sarah Nelms yang terserang cacar sapi dengan ciri bintil-bintil di tangan dan lengan.
Ia yang saat itu merawat Sarah tak tinggal diam. Kemudian, ia menguji teorinya sendiri dengan mengambil nanah cacar sapi di lengan Sarah dan memindahkannya (inokulasi) ke tubuh James Phipps, anak tukang kebunnya yang baru berumur delapan tahun. Setelah beberapa hari, anak itu pulih. Dua bulan kemudian Jenner kembali menginokulasi kedua lengan James dengan sampel cacar yang sama.
Dari situ, Jenner menyimpulkan bahwa cacar hanya dapat menyerang seseorang satu kali. James terbukti kebal terhadap cacar yang sempat menyerangnya. Saat itu lah laju pembuatan vaksin digalakkan.
Begitupun ketika Pes mewabah di Eropa. Dikutip dari Tirto, warga London akhirnya mulai mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas kematian massal ini. Mereka mulai mengaitkan wabah mematikan tersebut dengan Perang Sipil Inggris (1642-1651) hingga melintasnya komet di langit London pada Desember 1664. Namun, setelah ditelusuri secara mendalam, sumber masalahnya ternyata ada di sekeliling mereka: fasilitas sanitasi yang jadi sarang tikus got untuk berkembang biak dan berkeliaran. Tikus itu membawa kutu yang ditunggangi bakteri Pestis Yersinia. Akibat gigitan kutu pada manusia inilah penyakit pes bubo atau sampar menjadi wabah mematikan.
Penyakit Menular di Zaman hindia-Belanda
Berikut kita ulang daftar penyakit menular di Era Kolonial atau di zaman Hindia-Belanda.Tahun 1655 : Penyakit Kusta. Tidak diketahui asal mula penyakit ini. Yang pasti tahun 1655 Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan tempat penampungan (pengasingan) bagi para penderita kusta. Namun, 200 tahun kemudian pemerintah Hindia Belanda menyatakan penyakit kusta tidak menular dan para penderitanya tidak perlu diasingkan.
Tahun 1804: Penyakit Cacar. Virus berasal dari Prancis, berkembang di Batavia dibawa oleh para anak budak belian.
Tahun 1821: Penyakit Kolera. Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun 1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan. Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan penyuluhan higiene akan diadakan. Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927 tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1927.
Tahun 1882: Penyakit Malaria. Pemerintah Hindia Belanda baru menemukan bahwa penyakit malaria di Indonesia menular melalui nyamuk. Sebelum itu penyakit malaria dianggap gangguan roh jahat semacam orang kesurupan.
Tahun 1911: Penyakit Pes/Sampar. Pertama ditemukan di daerah Malang Jawa Timur, dan terus menyebar ke Kediri, Blitar dan Tulungagung. Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan program ‘perang melawan tikus’
Tahun 1917: Penyakit Tuberkulosis. Penyakit ini sebetulnya sudah lama berjangkit di Indonesia. Namun, karena jumlah penderitanya tidak massal, baru tahun 1917, pemerintah memberikan perhatian khusus kepada penderitanya. Dibentuk suatu panitia khusus, yang bertugas menyelidiki jumlah penduduk pribumi yang menderita penyakit tuberkulosis dan paru-paru.
Tahun 1920: Penyakit Patek. Penyakit ini sudah mewabah lama dan dianggap sebagai penyakit rakyat, karena mayoritas penderitanya adalah rakyat jelata. Tahun 1920 pemerintah Hindia Belanda melakukan pengobatan massal dengan menyuntikkan obat neosalvarsan dan terbukti ampuh. Dilaporkan seminggu sekali para penderita patek berkumpul di alun-alun dan berjajar antri untuk disuntik.
Tahun 1924: Penyakit Cacingan. Awalnya, di Hindia Belanda, ketika ada anak balita yang tubuhnya kurus kering diidentikkan dengan kurang makan atau kurang gizi. Namun, setelah diketahui tidak sedikit anak priyayi Jawa juga banyak yang juga kurus, akhirnya diselidiki. Ternyata diketahui mereka mengidap cacing. Pada tahun 1924-1939, dr. J. L. Hydrick dari Rockefeller Foundation mempropagandakan pemberantasan penyakit cacingan di Hindia Belanda.
Tahun 1926: Penyakit Trachoma. Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang menjadi sarang penyakit tersebut. Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun 1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan Pemalang.
Referensi