Cari

Mengupas Rumpaka (Lirik) Rajah Bubuka Sunda



[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Rajah adalah sebuah kata yang cukup familiar bagi penyuka dunia spiritualisme. Namun apakah rajah itu? Dalam KBBI rajah merupakan suratan (gambaran, tanda, dan sebagainya) yang dipakai sebagai azimat (untuk penolak penyakit dan sebagainya). Rajah juga temasuk dalam kategori/varian dari mantra. Sedangkan mantra, dalam khazanah sastra Sunda berarti jenis puisi yang isinya semacam jampi-jampi atau kata-kata yang bermakna magis; isinya dapat mengandung bujukan, kutukan, atau tantangan yang ditujukan kepada lawannya; untaian kata-kata yang tidak jelas maknanya, biasa diucapkan oleh dukun atau pawang bila menghadapi sesuatu keperluan (Mustappa, 1995: 64).

Sebagaimana pendapat Rusyana (1970) membagi mantra berdasarkan tujuannya menjadi 7 bagian, yaitu jampe 'jampi', asihan 'pekasih', singlar 'pengusir', jangjawokan 'jampi', rajah 'kata-kata pembuka 'jampi', ajian 'ajian/jampi ajian kekuatan', dan pelet 'guna-guna'.


Rajah dalam Budaya Sunda
Rajah sunda lebih dikenal dan erat kaitannya dengan seni “papantunan”. Pantun dalam bahasa Sunda berarti balada, atau ballad yakni nyanyian atau syair berlagu yang besifat epis. Hal ini tidak dipisahkan menjadi sendiri-sendiri antara rajah dan papantunan, justru menjadi salah satu kesatuan yang utuh. Dalam seni papantunan Rajah dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai Rajah bubuka (pembuka) dan Rajah penutup (pamunah).

Salah satu bentuk kesenian tradisional adalah pantun. Istilah kesenian pantun terdapat dalam sastra Melayu dan sastra Sunda. Meskipun namanya sama, tetapi pantun dalam sastra Sunda sangat jauh berbeda dengan bentuk pantun dalam sastra Melayu. Istilah pantun dalam sastra Melayu berupa puisi yang terdiri atas empat baris dan memiliki sampiran dan isi.

Bagaimana dengan seni pantun dalam sastra Sunda? Untuk mengetahui perbedaannya kita harus membandingkan kedua bentuk seni tradisional tersebut.Bentuk pantun Sunda tidak terikat oleh sampiran dan isi. Akan tetapi, lebih berbentuk narasi yang ditulis seperti larik-larik lagu untuk mendeksripsikan peristiwa-peristiwa pada saat itu. Dengan demikian, sangatlah berbeda antara pantun dalam sastra Indonesia dengan pantun dalam sastra Sunda. Bentuk sastra pantun pada sastra Indonesia adalah bentuk sisindiran dalam sastra Sunda.

Menurut Ajip Rosidi, cerita pantun dalam sastra Sunda merupakan semacam cerita yang dideklamasikan oleh seorang juru pantun, yaitu dengan diiringi kecapi yang bentuknya seperti perahu. Sedangkan H. Hasan Mustofa dalam bab “Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta” mengemukakan bahwa pantun adalah bentuk seni asli Sunda yang terbagi atas susunan: Rajah (mulai cerita) – Nataan (deskripsi cerita) – Lelucon Rajah (penutup). Dalam pantun Sunda ada istilah cerita pantun dan mantunkeun (membawakan pantun oleh juru pantun).

F.S. Eringa (1994) memberi pengertian tentang batasan cerita pantun Sunda, yakni “Berupa legenda yang mengandung unsur kesejarahan yang kebanyakan berisi berbagai rangkaian peristiwa atau petualangan para bangsawan dalam perebutan kekayaan dan wanita, yang pada akhirnya jika mereka menghadapi kesulitan yang luar biasa selalu diselesaikan dengan pertolongan daya supranatural.”

Sekalipun pertunjukan Pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan. Pantun masih dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas.

Dilihat dalam Papantunan Sunda, Rajah memang belum ditemukan fungsinya secara utuh, seperti yang di ungkap Ajip rosidi dalam bukunya  Beber layar, “nya eta sababna nu matak nepi ka kiwari ta acan aya nu mesek fungsi rajah, naon tali tumalina jeung kapercayaan karuhun urang, naon fungsi pantun dina hirup kumbuh sunda buhun”(1989 : 58). Tapi kalau dilihat dari bait-bait dan kata yang tersurat di dalamnnya, mungkin saja rajah di maksudkan sebagai doa yang di dalamnnya terdapat beberapa cirri kehidupan, dan penghormatan orang Sunda jaman dahulu tehadap suatu kekuatan yang dianggap lebih besar darinya (gaib).

Memang kebanyakan “Papantunan” atau cerita Pantun itu selalu di awali dan di akhiri dengan membaca Rajah. Jikalau di bandingkan jaman sekarang mungkin lebih tegolong sebagai do’a pembuka dan do’a penutup. “umumna rangkai carita pantun the angger bae kitu-kitu keneh dimimitian ku rajah pembuka… sabada lalkon tamat nya ditutup ku rajah pamunah” (Rosidi, 2009 : 32).

Tidak mudah memahami bahasa Rajah yang menggunakan bahsa Sunda Buhun. Sebenarnya masih dipahami, jika kita familiar dengan basa Sunda Buhun. Berikut contoh Rajah Bubuka (Pembuka) dalam Pantun Sunda

Balungbung Agung Rahayu
Guminjing Manjing Walagri
Bray Caang Bray Narawangan
Wangi Diri Sanubari
Gorejag Saringkang Ringkang
Rancage Hate Awaking

Ngembatkeun Jalan Laratan Katampian Geusan Mandi
Ka Leuwi Sipatahunan
Leuwi Nu Ngaruncang Diri-Diri Anu Sakiwari

Rek Muru Lulurung Tujuh
Ngaliwat Ka Pajajaran
Bongan Hayang Pulang Anting
Padungdengan Padungdengan
Jeung Usikna Pangancikan
Hung…Ahung

Turun Ti Gunung Gumuruh
Kahujanan Ku Malati
Nya Moyan Di Pamoyanan
Papanggih Jeung Urang Dami
Anu Keur Mener Ngarajah
Madep Ka Dayeuh Kawangi
Hung… Ahung

Secara harfiah, bahasa rajah sulit diterjemahkan per kata. Di dalam ada bahasa rasa. beberapa kata dalam rajah berupa peribahasa Sunda yang kini hampir punah digunakan masyarakat Sunda. Oleh karena itu, mari kita menerjemahkan untaian kata dalam Rajah Bubuka di atas berdasarkan makna (Meaning based translation).

Balungbung ahung rahayu (saluran air agung kesehatan-keselamatan). Balumbung adalah saluran air, yang agung demi keselamatan (rahayu). Balungbung ini seperti pancuran yang terbuat dari bambu, terakota, logam atau batu yang dipahat. Gumenting manjing walagri (terciptalah kesehatan). Kalimat ini tersambung dengan Balungbung tadi, sebagai penyalur air. Kata "gumenting" menggambarkan suara balungbung bila dipukul 'berdenting' menunjukkan balungbung tersebut bukan terbuat dari bambu atau kayu. Bisa jadi balungbung terbuat dari logam atau batu pahat. Ini menggambarkan tempat 'pemandian suci'.

Bray Caang bray narawangan (terbitlah cahaya terang menerangi), wangi diri sanubari (harum/suci diri sanubari). Menggambarkan kondisi diri dan sanubari (kalbu) yang menerima cahaya ilahi. Menggambarkan hasil dari mandi suci.

Gorejag saringkang-ringkang (terperanjat seraya tersadarkan). Menggambarkan munculnya kesadaran atau eling dalam budaya jawa. Artinya memahami diri secara 'insight'. Rancage hate awaking (bersemangat hati dan tubuh). Menggambarkan timbulnya rasa percaya diri dan keyakinan dalam hati.

Ngembatkeun Jalan Laratan Katampian Geusan Mandi (melanjutkan penelusuran atau napak tilas untuk mandi suci), Ka Leuwi Sipatahunan (ke lubuk dipatahunan). Sipatahunan adalah nama pemandian yang dekat dengan istana Pakuan Pajajaran di zamannya. Sepertinya, Leuwi Sipatahaunan adalah tempat mandi suci seperti sungai Gangga. Jika kita menelisik kalimat melanjutkan penelusuran, menandakan rajah ini dibuat pasca Pajajaran burak (runtuh).

Rek Muru Lulurung Tujuh (hendak menuju menapaktilasi), Ngaliwat Ka Pajajaran (melewati Pajajaran), Bongan Hayang Pulang Anting (karena ingin bolak-balik mengunjungi). Untaian kalimat ini sejalan dengan analisis di atas, bahwa rajah bubuka ini eksis pasca Pajajaran burak. Ada makna kerinduan mendalam menuju pajajaran, sehingga bolak-balik ingin mengunjunginya.

Padungdengan Padungdengan (berbantahan bathin), Jeung Usikna Pangancikan (serta tergeraknya kesadaran). Hung…Ahung (Agunglah). Ada gambaran pergolakan bathin (padungdengan), serta tergeraknya jiwa (Pangacian = kesadaran, Pangancikan = tempat bersemayamnya jiwa/roh). Tubuh manusia di zaman Sunda Buhun (kuno) sering disebut juga sebagai pangancikan. Dalam tubuh pangancikan terdapat kesadaran (pangacian) yang dalam naskah keagamaan Sunda kuno terkait dengan bayu sabda hedap.

Turun Ti Gunung Gumuruh (turun dari Gunung Gumuruh), Kahujanan Ku Malati (kehujanan bunga melati). Gunung gumuruh berada di sekita pegunungan Gede-Pangrango. Gunung Gumuruh banyak tertulis dalam beberapa naskah kuno Sunda. Kehujanan bunga melati ini, mungkin terkait prosesi ritual keagamaan yang sering menggunakan bunga melati. Penggunaan bunga melati ini hingga zaman modern masih digunakan, baik ritual adat pernikahan Sunda atau acara adat lainnya.

Nya Moyan Di Pamoyanan (mumpuni di tempat menempa diri), Papanggih Jeung Urang Dami (bertemu dengan Urang Dami), Anu Keur Mener Ngarajah (yang sedang khusyu merajah), Madep Ka Dayeuh Kawangi (menghadap kota kawangi/Pakuan Pajajaran),  Hung… Ahung (Agung.. agunglah). Kata moyan secara harfiah artinya berjemur, namun dalam bahas konotatif menggambarkan seseorang yang telah memiliki ilmu, baik kanuragan (kesaktian) maupun ilmu panghuripan (kehidupan). Pamoyanan secara harfiah (denotatif) adalah tempat berjemur. Secara konotatif terkait mendapatkan ilmu, maka diterjemahkan sebagai tempat menempa diri atau 'kawah candradimuka' dalam istilah pewayangan. Urang Dami secara harfiah artinya orang-orangan sawah atau bebegik yang terbuat dari jerami (dami). Bertemu dengan urang Dami, mungkin menggambarkan seorang petani atau wong cilik atau rakyat biasa. Ia menghadap kota pakuan yang hancur seraya merajah atau berdoa.

Urang Dami (Manusia Jerami)
Siloka rakyat kecil/wong cilik?

_______________________________________________________________________

Kenapa di kalangan masyarakat sunda Rajah identik dengan Papapantun? Tidak diketahui pula dengan aturan-aturan yang tedapat didalamnya, tidak ada peraturan harus bagaimana seperti apa dan penggunaan dalam setiap huruf vokalnya bagaimana, sepeti yang terdapat pada pupuh. Hal ini tidak diketahui secara jelas tentng peraturan-peraturan yang dimilikinya. Karena mungkin pada jaman dahulu terdapat suatu missing-link tentang hal ini, atau mungkin saja sengaja dirahasiakan sebagai pengetahun yang sangat tetutup. Sepeti yang di ungkap Ajip Rosidi dalam buku Beber Lajar, “teu acan aya ne mesek kmh susunan kapecayaan Sunda buhun nu kiwari masih aya titinggalna dina kasusastraan buhun (pantun)" (1964: 58).

Namun walaupun demikian adanya rajah dalam seni Papantunan pun masih sakral dan penuh dengan mistis. Ada banyak lakon dalam seni Papantunan yang didalamnnya terdapat Rajah, yaitu : “Panggung Karaton, Demung Kalagan, Mundinglaya di Kusumah, Lutung Leutik, Kembang Penyarikan, Ciung Wanara dan Lainnya” dan setiap cerita Papantunan Pasti terdapat Rajah. Rajah pun berbeda-beda tergantung orang yang memantunkannya atau tempat asal di dapatkannya dan dari siapa yang mengajarkannya.

Misalkan Pantun Lutung Leutik yang dibawakan oleh Ki kamal dari kuningan  (Depdikbud, 1987). Walaupun lakon tersebut sudah dibukukan, namun akan beda halnya jika dibawakan oleh pemantun dari Cianjur atau Cirebon, kecuali satu perguruan atau  pernah berguru kepada beliau. “cara Rajah, bedana panataan teh heunteu gumantung kana lalakona, tapi gumantung kana wewengkon jeung saha juru pantuna”(Rosidi, 1964: 37).



Rajah di masa sekarang
Ada dua bentuk rajah yang dikenal di masyarakat umum pada masa ini, ada rajah yang bebentuk lisan, yang merupakan sutu varian dari mantra, ada pula yang bebentuk tulisan atau yang sering disebut sebagai azimat yang terdapat pada sebuah benda, kain, atau tato (di luar sunda) dalam tubuh yang di anggap bisa memberikan manfaat (sebagai penolak bala/kejahatan). Dalam KBBI Azimat adalah suatu barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit, obat dan sebagainya.

Namun Rajah yang tedapat dalam tulisan di khalayak masyarakat banyak sekarang ini, bertuliskan dari hurup arab. Entah bagaimana ceritanya  dari sebagian orang menyebut hal yang sepeti ini juga disebut rajah. Hal ini di mungkinkan juga dari pengaruh islam yang masuk di tatar sunda, dan juga pengaruh kebudayaan lain, sehingga pemahaman dan arti nya pun menjadi meluas.



Referensi
  1. Rosidi, Ajip. 1964, 1989, 2002. "Beber Lajar". Bandung: Kiblat Buku Utama
  2. "Pantun Beton" kemdikbud.go.id Diakses 13 Juli 2020.
Baca Juga

Sponsor