Cari

Menelusuri Agama Sunda Buhun - Agama Jati Sunda


[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Keadaan masyarakat Sunda kuno memang masih menjadi misteri. Pun demikian dengan agama yang dianut leluhur orang Sunda di zaman kuno. Hal ini terjadi karena minimnya sumber data dan informasi terkait keberadaan jejak peradaban Sunda Kuno.

Apa agama orang sunda pada masa Sunda Kuna? Berita sejarah memberikan indikasi -anasir Hindu dan Budha yang nampak dominan. Bagaimana sumber-sumber yang ada bisa memberikan kejelasan bagi kita di zaman modern ini?

Berikut ini pembahasan mengenai keagamaan Urang Sunda di zaman Sunda kuno dari Anis Jatisunda, seorang tokoh budaya Sunda yang berasal dari Sukabumi. Materi bahasan ini disampaikannya dalam sebuah seminar di Bogor pada tahun 2008 (lihat bagian sumber di bawah).

Secara ekstrim Anis Jatisunda berpendapat, bahwa 'agama orang sunda kuna' sebut saja zaman pajajaran adalah "Agama Sunda". Beberapa berita yang sudah ditemukan mayoritas telah memierikan kejelasan-kejelasan. Contolnya naskah lontar kropak-406, Carita Parahyangan (CP) yang menunjukkan adanya para wiku "nu ngawakan Jatisunda", yakni para pendeta yang menganut dan mengamalkan "Agama Sunda" - agama lokal. Para pendeta itu memelihara "kabuyutan parahiyangan".

Indikasi dari sisa pranata religi semacam itu, kini masih tetap hidup di lingkungan masyarakat "urang Rawayan" (Baduy), yang disebut agama "Sunda Wiwitan". Sisa dari Kabuyutan lati sunda atau parahiyang, adalah Mandalaa Kanekes, tempat hunian mereka. Pemeliharaan mandala atau kabuyutan "Jati Sunda", dengan penuh kesetiaan masih mereka laksanakan hingga kini. Mandala tersebut kini mereka sebut sebagai "Sasaka Domas, Sasaka Pusaka Buana atau disebut juga Sasaka Pada Ageung".

Kesaksian lain secara primordial, merujuk kepada berita serial Pantun Bogor versi Aki uyut Baju Rambeng. Dalam "pantun gede" (pantun sakral) episode "Curug Sipada Weruh", diceritakan bahwa:  
"Saacan Urang Hindi ngaraton di Kadu Helo ogeh, Karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut Agama Sunda tea..." 
(Sebelum orang Hindi bertahta di Kadu Hejo pun, Leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama sunda).

Secara hipotesis, yang dimaksud "Urang Hindi" di sini, adalah tokoh Dewawarman. Sebagaimana diberitakan Pustaka Wangsakerta, ia dipungut mantu oleh Aki Tirem alias Aki Luhur Mulya, dikawinkan kepada puterinya, Pohaci Larasati, kemudian diangkat jadi Raja di Salakanagara yang beribu kota di Rajatapura (130 - 168 M), menggantikan dirinya. Nama tempat Kadu Hejo, sejalan dengan berita Pantun berlokasi di Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, sampai sekarang masih bernama demikian.

Pada tahun 1972 Ayah Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen (penasehat Puun) Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman para "prahajian" Pakuan Pajajaran, agama mereka "Agama Sunda Pajajaran". Sampai sekarang masih mereka agungkan, terpatri dalam ikrar yang mereka namakan "Sadat Sunda" (Sahadat Sunda):
"Pun, Sadu sadat sunda, tuan katata tuan katepi, selam larang teu ka sorang, tuan urang (h)aji pakuan".
Sahadat Sunda ini, setaun sekali mereka ucapkan pada kegiatan upacara muja di Babalayan Pamujan "Sasaka Pada Ageung" (Pemujaan Urang Baduy).

Beralih kepada pengertian kata "Sunda" sebagai nama suatu agama. Dalam mitos Ngadegna Nagara Sunda, berita Pantun Bogor episode "Pakujajar Beukah Kembang", Sunda berarti suci atau bagian yang menyempurnakan - "harti sunda teh suci, wareh nu nyampurnakeun".

Tanah Sunda pada awalnya disebut Buana Sunda. Nama yang diberikan oleh  Sanghyang Wenang. Ketika tanah ini masih berupa hamparan kosong, banyak didatangi orang untuk "nyundakeun diri" (bertapa menyucikan diri).
"...di dinya ta hade jasa pieun panyundaan nyundakeun diri: pieun nyampurnakeun raga eujeung sukma, abeh bisa ngarasa paeh sajero hirup, ngarasa hirup sabari paeh ". 
(...di sana bagus sekali untuk menyucikan diri, untuk menyempurnakan raga dan sukma, agar mampu merasakan mati selagi hidup, merasa hidup selagi mati).

Kian hari buana sunda kian padat oleh para petapa yang nyundakeun diri Karenanva, lama kelamaan mereka menyandang sebutan "wang sunda" (manusia suci) -nama mewujud suatu komunitas, "etnik sunda".

Telah dimaklumi, Agama Sunda sudah ada semenjak sebelumnya Dewawarman bertahta di Salakanagara (130 - 168 M). Dihitung sampai sekarang, eksistensinya sudah kurang lebih 19 abad bahkan mungkin lebih. Kitab Suci sebagai pegangannya disebut Sambawa, Sambada dan Winasa, tiga kitab yang ditulis oleh "Prabu Resi Wisnu Brata".
"... pikukuhan Agama Sunda Palajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada,Winasa onu dituliskeun ku Parabu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa tingongora. Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngarti Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea. Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun, boro-boro ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh tunggal nu ngan Sahiji-sahijina,ngan sahiji bae.....".
(Ajaran-ajaran agama Sunda Pajajaran dituliskan dalam Kitab Suci Sambawa, Sambada, Winasa yang dituliskan oleh Prabu Resi Wisnu Brata. Dialah yang suka bertapa dari semenjak muda. Dia pulalah yang mengajak semua jadi mengerti agama yang sekarang disebut Agama Sunda Pajajaran. Yakni agama yang tidak membeda-bedakan bahkan juga tidak menjelek-jelekan memusuhi agama lain. Sebab tidak ada agama yang jelek. Yang jelek itu bukan agama, tapi cara mengamalkan agama, dan kelakuan mereka yang tidak mau mengerti kepada makna "ahad" itu berarti tunggal yang benar-benar hanya satu, hanya "satu-satu-nya").

Secara hipotesis tokoh Prabu Resi Wisnu Brata menurut cerita Pantun, adalah,.Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu' (1175 - 1297 M), berdasarkan catatan sejarah Pustaka Wangsakerta. Sebab salah satu diantara raja-raja Sunda yang berperangai-arif dan bijaksana sebagai resi dan gencar menyebarkan agama kala itu, hanya raja ini. Mungkin sebelum 3 buah kitab suci tadi ia tulis, entitas agama sunda selama kurang lebih 1 millenium (1000 tahun), masih bersifat agama tidak resmi. Baru semenjak Kerajaan Sunda dibawah pernerintahannya, Agama Sunda disahkan oleh negara. Nampaknya kala itu pula, agama Hindu atau pun Budha mulai rnemudar. Sekurang-kuranglya telah luluh dengan agarna Sunda. Sehingga berbagai Kitab Suci Agama Hindu-Budha sudah kurang diberlakukan lagi secara khusus.

Dalam Pantun (sakral) Bogor episode "Tunggul Kawung Bijil Sirung" diceritakan, penyebar agama sunda pertama adalah seorang tokoh yang menyandang julukan "Mundi ing Laya Hadi Kusumah" setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari "Jagat Jabaning Langit".

Secara harfiah Layang Salaka Domas berarti "Kitab Suci Delapan Ratus Ayat " (The Holy Scripture of Eight Hurdred Verses). Yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dari semenjak lahir (sambawa), dewasa sampai tua (sambada) dan kematian serta kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi tiap ayat daiam ketiga kitab suci tadi, "Urang Rawayan" (Baduy) pun tetap merahasiakannya, atau mungkin memang mereka sudah tidak mengetahuinya lagi. Pada zamannya Siliwangi masih bertahta di Pakuan Pajajaran, isi ketiga kitab suci tadi selalu dibaca pada malam yang sunnyi, hening, penuh ketenteraman. yaitu pada puncak upacara Kuwera Bakti di Balay Pamunjungan Kihara Hyang, beratapkan lingit bebas diterangi cahaya "damar sewu" berbaur dengan cahaya bulan purnama sedang mengembang, dipimpin oleh Brahmesta Pendeta Agung negara. Keesokan harinya ketiganya diarak di dalam "Jampana Niskala Wastu" berkeliling di halaman Balay Pamunjungan lalu ke kompleks Pakuan.

Kembali kepada tokoh Mundi ing Laya Hadi Kusumah. Siapa ia sebenarnya? Tak ada satupun cerita pantun atau cerita babad yang menjelaskannya. Tersebutnya tokoh "Mundinglaya Dikusumah" putra Prabu Siliwangi dirasa tidak memungkinkan,sebab zamannya terlalu muda. Mundi ing Laya Hadi Kusumah, suatu nama bermakna filosofis : "[seseorang] yang telah mampu mengusung tinggi tentang kematian, setara indahnya bunga" - Konotasi dari "seseorang yang telah mampu menguasai hawa nafsunya seraya meninggalkan hal ihwal keduniawian", identik dengan "Utusan Sang Pencipta". Bisanya masuk ke Jagat Jabaning Langit, suatu jagat diluar alam semesta, bersimpuh keharibaan Sang Hyang Tunggal, tentu figur ini bukan manusia sembarangan. Jagat Jabaning Langit adalah "Mandala Ageung". Dalam istilah Urang Baduy disebut "Buana Nyungcung". Tempat bersemayamnya Sang Rumuhung, Nu Maha Agung, Sang Hyang Tunggal.

Dari pengistilahan nama-nama dzat Sang Maha Pencipta seperti di atas, memberikan indikasi bahwa Orang Sunda semenjak masa nirleka pun sudah menganut faham Monotheisme (Satu Tuhan) yakni Tuhan sebagaimana digambarkan dalam Pantun Bogor:

"Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana." Dalam mantra yang disebut "sahadat Pasajaran", disebutkan sifat-sifatnya, berbunyi :
"Hyang Tunggal tatwa panganjali, Ngawandawa di jagat kabeh alam sakabeh, halanggiya di saniskara, hung tatiya ahung. "
(Sang Hyang Agung yang Maha Esa, Dia-lah yang sebenarnya sang "Penyembahan", tiada beranak tidak bersaudara, mempunyai teman pun tidak di Jagat dan di Alam ini' Yang paling unggul di segala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung !)

Hanya kepadanya orang sunda menyembah dan minta perlindungan, sebab hanya Inyana-lah yang memiliki kebenaran sejati dan hakiki. Dalam keadaan "Tunggal-nya", "Sang Hyang Rumuhung Nu Ngeresakeun" dibantu oleh para "Sang Hyang", seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening, sang Hyang Guru Hyang Tunggal (Guriang Tunggal). sang Hyang Kala. sang Hyang Guru Bumi Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, Sunan Ambu dan para Sang Hyang lainnya, sesuai tugas dan wewenangnya masing-masing di Jagat dan Alam seisinya.

Sang Hyang yang menempa kepasrahan dalam perjalanan kehidupan manusia adalah Sang Hyang Kala, lazim disebut Dewa Papasten (dewa kepastian) yang menguasai kewenangan "Sang Waktu".

Orang sunda-nyunda demikian yakin perjalanan hidupnya dikendalikan oleh ketentuan waktu yang diistilahkan "papasten" tadi. Seperti ucapan Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi, yang gagal menyeberang ke Nusa Larang karena diterpa badai dan topan:
"Dengekeun Gusti! Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu, saha anu bisa nyahatkeun talaga lara. saha anu bisa mungpang ka papasten."
(Dengarkan Gusti ! Siapa yang mampu membendung membanjirnya waktu, siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang bisa melawan kepastian).

Disini tersirat bahwa segala langkah dan upaya, tak akan bisa tercapai apabila belum waktunya yangdalam bahasa sunda kuno disebut "Uga".

Dalam kolteks sebagai masyarakat ladang, Sanghyang yang diagungkan oleh orang sunda ialah Sanghyang Amhu Sri Rumbiyang Jati (sebagai Dewi Kesuburan Padi dan tanam-tanaman) dan Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau disebut pula Batara Patanjala (Dewa kesuburan dan kesejahteraan). Kedua Sanghyang suami-isteri ini, sebagai pangbayu hirup hurip manusa sunda. Karenanya dijadikan inti puja dalam kegiatan-kegiatan upacara besar semacam "Lebaran", baik Upacara tahunan Seren Tahun Guru Bumi maupun winduan: Upacara Tutug Galur Kuwera Bakti di Pakuan. Waktu kegiatannya berupa pesta akbar setiap selesainya panen padi di ladang. Kita maklumi, sekarang pun hal demikian masih berlaku di lingkungan masyarakat adat Baduy, Pancer Pangawinan, Naga, Dukuh, Sumedang Larang, Cigugur, bahkan warga masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang.

Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini manusia sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut "Jagat jadi carita dan Jagat kari carita" (dunia fana dan alam baka).

Di jagat kari carita. terdapat mandala dan buana karma atau Jagat pancaka. Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat secara vertikal, diantaranya dari bawah keatas:
  1. Mandala Kasungka
  2. Mandala Parmana
  3. Mandala Karna
  4. Mandala Rasa
  5. Mandala Seba
  6. Mandala Suda
  7. Jati Mandala
  8. Mandala Samar
  9. Mandala Ageung.
Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka (mandala paling bawah). Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.

Mandala keenam, Mandala Suda; berupa tempat berkumpulnya para "Karuhun" yang telah bebas untuk pulang pergi ke dunia fana. Ia boleh berwujud lagi, tapi kalau berbicara hanya melalui perasaan. Atau sebaliknya, boleh bersuara biasa tapi mesti tanpa wujud.

Dari Mandala Suda naik lagi ke "Alam Kasucian" yaitu ke Jati Mandala. Di mandala ini terdapat dua paseban; Paseban Pangauban tempat para Karuhun yang sudah bebas untuk kembali lagi ke dunia fana menjenguk yang masih hidup, seraya boleh berwujud dan berbicara seperti biasa. Sebelah atasnya terdapat Papanggung Bale Ageung. Di sana berkumpul para Karuhun yang sedang menunggu giliran untuk nitis.

Sebelah atas, Jati Mandala ada Mandala Samar. Di Mandala ini yang tinggal para Karuhun yang sudah memiliki jadwal nitis. Mereka sudah tidak perlu lagi naik tahapan mandala, sebab mereka sudah pada habis giliran, untuk kemudian lebur menyatu dengan dzat semesta alam. Ada tiga tempat sejajar diatas Mandala Samar. Yang ada di tengah, tempat bersemayamnya Sanghyang Guriyang Tunggal. Sebelah kirinya persemayaman Sang Hyang Wenang, yang kanan Sang Hyang Wening. Ditengah atas ketiganya tempat bersernayamnya Sang Hyang Kala.

Sedangkan yang paling atas sendiri Mandala Ageung, jarak dari Mandala Samar kira-kira dua puluh sembilan setengah zaman (dua puluh salapan satengah jaman), atau istilah Urang Kanekes (Baduy) hanya berjarak sagorolong jeruk nipis (segelinding jeruk nipis). Mandala inilah yang juga disebut Jagat Jabaning Langit tempat bersemayamnya "Sang Hyang Tunggal", "anu nunggal bae di sakabeh alam sakabeh 1agat" (Tuhan Yang Maha Kuasa, yang "Maha Esa" di seluruh alam dan seluruh Jagat). Suatu Jagat tanpa ruang tanpa waktu, tanpa terang tanpa gelap, tanpa jarak tanpa batas.

Sarana Peribadatan

Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zamannya Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti:

l) Balay Pamunjungan

Balay Pamunjungan berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lazim disebut "Arca Domas". Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zamannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamunjungan Kihara Hyang berlokasi di "Leuweung Songgom" (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan dibawahnya sangat luas juga di puncak bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca Emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.

Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan "munjung" kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Marakangsa, Puun Meuray, Puun Sari, para Puun dan para Pangwereg Punjung.

Sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut Talaga Rena Mahawijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuwi Sipatahunan. Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay - bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagaimana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor
".....ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya..."
Karya Siliwangi ini mungkin merupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena disana ada gaib jahat yang selalu muncul. Sebagaimana Naskah Lontar Carita Parahyangan memberitakan: "...Sanghyang Haluwesi. Nu nyaeuran Sang Hyang Rancamaya. Mijilna ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati ... . "  Menurut Pantun "Disaeurna talaga Rancahmaya" karena sosok gaib jahat yang ada di tempat itu, tiap tahun selalu meminta "pimatarameun" (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut "Sekar Manah".

Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482M) merttmnya Prabu Sitiwangi , Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikanl"ii termasuk pasir Badigul atau menurut Rujah Pakuan disebut Sanghyangpidungkukqn, sebagai Balay pamunjungannya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masihperlu dilaksanakan.

2). Babalayan Pamujan

Babalayan Pamujan, ini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian-kabupatian Luar Dayeuh atau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada tiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara "Muja" baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.

3). Saung Sajen (Pancak Saji)

Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara "nyajen", semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga.

Disamping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat "sajen" yang tersebar ditempat-tempat yang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti didepan gua, di bawah pohon besar, dihulu sungai, tengah hutan dsb. Tempat-tempat semacam itu sebagian besar senantiasa ditandai oleh adanya "batu-batu besar" dan "batu-datar" sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya. Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sangg Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran agama sunda, makhluk manusia yang sudah "nyunda", mesti menyadari, bahwa yang diistilahkan
"uteuk tongo walang taga, manusa buta detia, lukut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga Sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puih, bentang rapang bulan ngempray, Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hiyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana."
(satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut-rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin topan, bintang bertaburan-Bulan terang, matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya)

Beranjak dari faham inilah, maka bagi manusia sunda "alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakrabi bahkan dihormati". Implementasinya, melalui pranata "puja-puji-saji" lewat mandala suci sarana peribadatan tadi.

Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigul pendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Bramesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Pamujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu. Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR)- Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati, dan lain-lain.

Dambaan utama orang sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke "Kahyangan" (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala dibawahnya. Sebab ketika lahir datang dari mandala "Hyang" tanpa rencana, kembali pun melalui proses "Ngahiyang" tanpa mesti direncanakan menginginkan sorga. Hal inilah yang dalam pengistilahan sunda disebut "mulih kalati mulang ka asal". Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa Hindu-Budha, jika dilihat dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah "tradisi megalitiknya" bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.

Sumber: 

Djatisunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun dan Babad". Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar)" Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ", tgl 20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Versi pdf dari sukapura.files.wordpress.com Diakses 20 Mei 2020.
Baca Juga

Sponsor