Cari

Babad Pasir | Legenda Banyumas



[Historiana] -Banyak Catra alias Kamandaka yang menjadi tokoh legendaris di di daerah Sungai Serayu-Logawa-Mengaji ternyata mempunyai perilaku yang tidak boleh ditiru oleh masyarakat Banyumas. Teks awal Babad Pasir yang sangat populer itu menceritakan masa muda salah satu leluhur Banyumas yang berasal dari Peajaran (Knebel, 1900). Kisah-kisah yang dilestarikan secara lisan dan turisan itu pada hakikatnya mengisahkan kebanggaan Raden Banyak Catra terhadap perilakunya yang kurang tepuji. Kenyataan memang menunjukkan bahwa banyak orang besar yang menceritakan kisah hidupnya, baik dalam otobiografi maupun biografi, khususnya pada masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa muda dengan penuh kebanggaan, meskipun melanggar norma masyarakat. Kiranya kebanggaan seperti itu menjadi tradisi manusia pada umumnya.

Sama hahya dengan Banyak Catra. Ia adalah orang putra raja Pajajaran yang mencari calon jodohnya di Pasirluhur. Banyak Catra datang dengan membawa kedok sebagai penduduk desa yang mengabdi kepada Patih Pasirluhur, Reksanata. Keberuntungan berpihak kepadanya karena ia diangkat sebagai anak oleh Sang Patih. Di samping itu, Banyak Catra juga menutupi jati dirinya dengan nama samaran, Kamandaka. Menurut beberapa babad, nama tersebut merupakan pemberian seorang peltapa di Gunung Tangkuban Perahu yang bernama Ajar  Mirangrong (ada teks yang menyebut Wirangrong). Agaknya pemalsuan nama itu telah dilegitimasikan atau sekurang-kurirngnya sudah direstui oleh pertapa.

Kisah Kamandaka yang diuraikan dalam teks Babad Pasir di atas menjelaskan sebuah legenda yang hidup di Daerah Alin Sungai Serayu-logawa-Mengaji. Hal itu, agaknya mirip dengan salah satu karya sastra parwa, yaitu Uttarakanda. Uttarakanda menyatakan bahwa Rama mengakhiri pemerintahannya dan menuju ke Sungai Serayu untuk menjelma kembali sebagai Wisnu dan kembali ke sura (Zoetmulder, 1983:101).

Sintesis nilai-nilai paradoksal yang tercantum dalam teks Babad Pasir ditunjukkan melalui tokoh-tokohnya yang menonjol. Yang pertama adalah BanyakCatra. Orang asing yang menjadi nenek moyang bagi adipati-adipati Pasirluhur sesudahnya. Banyak Catra yang datang ke Pasirluhur dengan nama samaran Kamandaka lebih popular sebagai maling julig karena ia berani melanggar tatakrama memasuki taman sari Pasirluhur. Ia memang berlaku sebagai pencuri, tetapi yang dicuri bukan harta benda. Yang dicuri hanyalah hati Sang Putri Bungsu Ciptarasa sebagai anak ke-25 Adipati Kandha Daha. Berlaku sebagai pencuri yang demikian itu dianggap telah melanggar kesopanan atau adat sehingga sangat layak kalau Adipati Kandha Daha marah besar kepada Kamandaka. Maka dari itu, Kamandaka menjadi buron prajurit Pasirluhur. Kamandaka harus tertangkap hidup atau mati. Dua kali kabar tewasnya Kamandaka ternyata hanya isapan jempol karena Kamandaka semakin lama semakin menunjukkan jati dirinya sebagai seorang ksatria setelah ia mampu membunuh Pulebahas, si calon menantu KandhaDaha, dan menghancurkan serbuan Nusakambangan yang dipimpin oleh Parungbahas dan Jurangbahas. Namun, jati diri Kamandaka terbuka menjadi Banyak Catra itu diselingi dengan kegagalan untuk menduduki tahta Pajajaran yang kemudian tergantikan dengan tahta Pasirluhur. Di sini, maling julig yang mencerminkan tindakan yang memalukan dihadapkan dengan tindakan keksatriaan yang membela Pasirluhur dari ancaman Nusakambangan menghasilkan sintesis berupa nilai ksatria sejati.

Yang kedua adalah Dewi Ciptarasa yang kemudian dipersunting Banyak Catradari Pajajaran. Ciptarasa telah menunjukkan kesetiaannya kepada Kamandaka,seorang pria yang telah meruntuhkan hatinya. Meskipun dua kali kabar kematiankekasihnya diterima, ia tidak goyah menunggu saat-saat untuk bertemu kembali.Selain kesetiaan, Ciptarasa juga memperlihatkan keagresifannya untuk mengetahuilebih jauh pria yang telah  menawan hatinya, bahkan ia dengan berani mengundang Kamandaka untuk memasuki taman sari pada waktu tengah malam. Suatu tindakan yang menyerempet bahaya bagi seorang perempuan dan bisa mengesankan sebagai wanita murahan. Lagi pula, putra Pajajaran itu sedang mempunyai hasrat cinta yang kuat bagai seekor banteng yang pantang mundur.Kamandaka sedang dalam posisi cinta yang membanteng sehingga ia tidak takut menghadapi bahaya yang mungkin mengancamnya. Memang kepekaannya sedikit berkurang dengan bergesernya dari tataran angsa (banyak) menuju tataran banteng (andaka) dengan nafsu yang berkobar-kobar memamerkan keperkasaannya sebagai putra Pajajaran yang digambarkan pada tataran jago. Kelengahan Kamandaka justru disadarkan bahwa keperkasaan itu tidak selalu harus dipertunjukkan di depan umum oleh adiknya sendiri yang melakukan penyamaran dengan nama Silihwarni. Kamandaka menemukan kepekaannya ketika ia memasuki tataran anjing untuk menyerahkan hati dan darah anjing kepada Kandha Daha (Priyadi 2002). Di sini, kiranya terdapat saling memaki anjing oleh Kandha Daha kepada lawannya, yaitu Kamandaka, atau sebaliknya. Kemudian, tataran anjing bergeser ke tataran lutung, yaitu suatu tataran yang berproses menuju kembali ke fitrahnya sebagai manusia seperti sediakala sebagaimana ia sebelum datang ke Pasirluhur. Ketika kembali dalam bentuk manusia, dari Kamandaka menjadi Banyak Catra, eksistensinya diakui oleh Kandha Daha, bahkan ia direstui untuk menyunting Putri Bungsu Pasirluhur sebagai calon permaisuri Pajajaran. Namun, Banyak Catra yang berkedudukan sebagai putra mahkota itu gagal menjadi raja Pajajaran yang digeser oleh Banyak Belabur. Banyak Belabur sesungguhnya merupakan usur pator Banyak Catra bersama dengan  Gagak Ngampar yang menyamar sebagai Silihwarni. Luka yang ditimbulkan oleh pusaka Pajajaran di lambung Banyak Catra merupakan cacat yang tidak termaafkan. Seorang calon raja di Pajajaran tidak boleh mempunyai bekas luka walau kecil di sekujur tubuhnya. Meskipun Banyak Catra gagal menjadi raja di Pajajaran, tidak meruntuhkan cintanya kepada putra mahkota yang terbuang itu. Jadi, kesetiaan menciptakan rasa yang selaras sebagai tesis dan keagresifan dengan nafsu yang membanteng sebagai antitesis menghasilkan sintesis berupa cinta sejati, suatu cinta yang tercipta melalui keselarasan rasa antara Ciptarasa dan Banyak Catra.

Yang ketiga adalah Banyak Belanak yang menjadi tokoh penting setelahBanyak Catra. Teks Babad Pasir dengan bangga mendengungkan Banyak Belanaksebagai pahlawan Islam dari Pasirluhur. Ia memerankan sebagai seorang (1) yang mengislamkan Pasirluhur dari Jawa Barat hingga daerah sebelah timur SungaiCitarum, (2) yang mengislamkan pedalaman Jawa Timur, dan (3) yang berpartisipasi dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Karena jasa-jasa itulah Banyak Belanak mendapat gelar Pangeran Senapati Mangkubumi I dari Sultan Demak yang dibanggakan oleh orang-orang Pasir yang daerahnya pernah berstatus sebagai perdikan. Kebanggaan sebagai pahlawan Islam ternyata mendapatkan reaksi pengingkaran dari anaknya sendiri yang bernama Banyak Thole, bahkan ketika ia sakit, justru Banyak Belanak dikubur hidup-hidup. Perlakuan yang sangat tragis. Mengapa Thole menjadi tidak berperikemanusiaan seperti itu ? Apakah ini justru menunjukkan kegagalannya sebagai seorang ayah yang tidak mampu mendidik anaknya menjadi seorang muslim yang baik. Thole ternyata murtad dari agama Islam. Hal itu berarti ia hanya berpura-pura memeluk Islam, tetapi ketika power ayahnya menurun ia mengambil alih kekuasaan. Kepahlawanan Banyak Belanak secara eksternal sebagai tesis dilawankan dengan pengingkaran terhadap kepahlawanannya sehingga sintesis yang dihasilkan adalah pahlawan yang tidak mendapat pengakuan secara internal.

Yang keempat adalah Banyak Thole yang durhaka kepada ayahnya.Kedurhakaan itu dimulai dengan kekafirannya ketika ia memutuskan untuk murtad dari Islam. Kedurhakaan itu diteruskan dengan mengabaikan nasihat-nasihat orangtua hingga menderita sakit keras. Puncak kedurhakaan itu adalah mengubur hidup-hidup ayahnya. Kafir dan durhaka adalah trade mark Banyak Thole yang distempelkan teks Babad Pasir. Kekafiran Thole merupakan kekafiran yang bersifat potensial atau tersembunyi yang tidak disadari ayahnya. Thole hanya berpura-puramengikuti ayahnya masuk Islam, tetapi ternyata hal itu hanya merupakan siasat.Gerakan Thole itu tidak terkontrol karena Banyak Belanak terlalu sibuk untuk menjalankan tugas Sultan Demak dan Wirakencana terlalu asyik dengan dirinya sendiri untuk belajar agama Islam kepada Pangeran Makdum Wali. Salah satu motivasi Wirakencana bersungguh-sungguh memeluk agama Islam agar ia bisa dikuburkan dalam satu liang lahat bersama Pangeran Makdum Wali. Dengan demikian, Thole adalah anak yang kurang mendapat perhatian, baik dari ayahnya maupun pamannya sehingga ia cenderung menuruti kemauan dirinya sendiri.Kekafiran yang dicapkan oleh teks Babad Pasir merupakan upaya pembebasan daripengaruh Demak yang dianggap telah menjajah Pasirluhur sehingga status sebagaikerajaan merdeka sudah hilang. Kekafiran di sini kemungkinan hanya merupakansimbol pembebasan sebagai tesis, sedangkan gerakan kembali memeluk agamaBudha merupakan perlawanan sebagai antitesis yang menghasilkan sintesis nilaikemandirian atau kemerdekaan. Banyak Thole tampaknya termotivasi untukmengembalikan status kemerdekaan Pasirluhur pada masa lampau yang sepadandengan Pajajaran atau Sunda dan Majapahit sehingga ia mencela ayah danpamannya yang mau takluk kepada Demak. Mengubur hidup-hidup Banyak Belanakitu harus ditafsirkan bahwa Banyak Thole memulai melakukan perlawanan sewaktuayahnya masih hidup dengan tidak memandang positif capaian atau prestasi yang diperoleh, bahkan apa yang dilakukan sang ayah dianggap sangat merendahkan martabat dinasti Pasirluhur.

Yang kelima adalah Wirakencana. Tokoh ini adalah paman Thole yangmelakukan pengkhianatan terhadap kemenakannya. Ia tidak mendukung Thole ketika kemenakannya itu menyatakan murtad dari agama Islam. Perlakuan pengkhianatan itu ditutupi dengan nasihat-nasihat yang diberikan kepada kemenakannya agar kembali memeluk agama Islam dan tidak melakukanpembangkangan terhadap Demak. Nasihat yang terakhir ini menurut Wirakencana karena Pasirluhur tidak mungkin mampu menghadapi kekuatan Demak. Thole sangat tersinggung atas nasihat itu dan balik menghina pamannya sebagai seorang laki-laki yang tidak jantan dan cenderung penakut. Teks Babad Pasir membesar-besarkan penghinaan tersebut dan dipakai untuk menjelaskan motivasi Wirakencana untuk lebih setia kepada Demak daripada kemenakannya yang sudah murtad itu. Maka dari itu, Wirakencana kemudian memberikan bantuan kepada prajurit Demak agar bisa masuk dan menyerang kota Pasirluhur. Atas pengkhianatan ini, Thole membuat pernyataan tabu bahwa orang Pasir tidak boleh mengambil paman sebagai patih. Di mata Thole, Wirakencana itu manusia yang rendah dan kotor sehingga ia kadang-kadang disebut dengan nama Banyak Geleh, dan karena semata-mata ingin dikuburkan satu liang lahat dengan Pangeran Makdum Wali, ia disebut Banyak Eleng. Dua nama ini terkesan merupakan nama olok-olok untuk menandingi nama Wirakencana. Jadi, Wirakencana berada di antara dua kutub nilai, pengkhianatan sebagai tesis dan kesetiaan sebagai antitesis yang berujung kepada nilai sebagai hasil sintesis keduanya, yaitu nilai kebijaksanaan dengan kemampuan dapat menempatkan diri pada posisi yang tepat.

Yang keenam adalah Pangeran Perlangon yang mengalami nasib yang tidak berbeda dengan Janah II. Wilayah Pasir dikurangi luasnya oleh Sultan Pajang. Reaksi yang diekspresikan oleh Perlangon adalah mogok menghadap raja dengan cara berpura-pura sakit dan hanya mengirimkan Patih Anglungbayang sebagai wakil. Wakil ini ditolak oleh Sultan Pajang dan Sultan menuntut anak Pangeran Perlangon sebagai wakil. Namun, Pangeran Pasir ini membuat alasan bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk mewakili dirinya sehingga ia meminta empat orang kemenakannya untuk pergi ke Pajang sebagai wakil. Sepulangnya dari Pajang, keempat kemenakan itu menuntut warisan tanah Pasir. Pangeran Perlangon meluluskan permintaan itu dengan pesan bila anaknya yang bernama Pangeran Langkap sudah dewasa, warisan dikembalikan kepada yang berhak. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Perlangon merupakan perlawanan dingin sebagai hasil sintesis dari perlindungan anak sebagai tesis dan ketidaktaatan kepada raja sebagai antitesis. Pangeran Perlangon tampaknya seorang yang sangat lemahkepribadiannya sehingga akan menimbulkan masalah baru. Menolak menghadapraja merupakan aksi pembangkangan dan mestinya bisa dihukum dengan beratkarena tindakannya dapat dimasukkan sebagai pemberontak. Pengiriman keempat kemenakannyaakan mewariskan masalah yang rumit untuk putranya sepeninggalnya, Pangeran Langkap.

Yang ketujuh adalah Pangeran Langkap yang merasakan hak-haknya telah dikuasai oleh keempat kemenakan ayahnya. Ternyata mereka tidak menyerahkan kembali Pasir kepadanya sehingga Pangeran Langkap menuntut keadilan kepada Sultan Pajang. Kedudukan Pangeran Langkap tampaknya sangat lemah sehingga permintaan keadilan itu tidak mengubah nasibnya sehingga terjadi konflik dengan keempat kemenakan ayahnya. Tuntutan keadilan baru mendapat hasil yang memuaskan pada masa Mataram karena raja Mataram meluluskan permohonan Pangeran Langkap. Nilai sintesis yang dihasilkan adalah nilai perjuangan hak-hak dengan tuntutan nilai keadilan sebagai tesis dan nilai konflik saudara sebagai antitesis.

Sintesis Nilai-Nilai Paradoksal pada Teks Babad Banyumas
Asketisisme keduniawian dalam teksBabad Banyumas diperankan oleh RadenBaribin, Janah II, dan Yudanegara III. Raden Baribin dan Janah II menjalankanasketisisme demi kepentingan keturunannya agar hidup lebih baik di masa depandaripada masa kini. Kedua orang ini memang berpandangan jauh ke depan untukmemikirkan nasib anak cucu agar hidup di dunia dengan penuh kemuliaan daripadadirinya. Baribin mestinya kalau tidak pergi dari ibu kota Majapahit sudahdiramalkan akan menjadi raja Majapahit, tetapi ia telah menjadi seorangpecundang yang tersingkir. Untuk mempersiapkan kehidupan yang sejati, Baribin benar-benar telah meninggalkan keduniawian untuk memikirkan moksa. Namun, situasi tidak memungkinkan ia melakukan asketisisme secara penuh karena melihat nasib sang cucu yang tidak menentu, maka asketisisme yang dijalankan mengalami penurunan tingkat menjadi asketisisme duniawi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Janah II yang bernasib kurang menguntungkan karena ia hanyalah seorang pejabat ngabehi yang lebih rendah daripada pendiri Banyumas yang masih terhitung kakeknya. Asketisisme Janah II juga berpengharapan bahwa kehidupan dunia bagi keturunannya itu jauh lebih baik daripada dirinya. Apa yang dicita-citakan oleh Baribin dan Janah II merupakan doa dan harapan dari orang-orangtua untuk kehidupan keturunannya di masa mendatang dengan acuan hari ini yang kurang menguntungkan.

Yudanegara III berbeda dengan Baribin dan Janah II. Ia berasketisisme demi kepentingan masa depan dirinya sendiri. Asketisismenya itu dilakukan dengan menyusuri Sungai Serayu dari Nusakambangan menuju Dataran Tinggi Dieng setelah ia melihat kenyataan bahwa ayahnya, yaitu Yudanegara II wafat di Pendapa Si Panji, dan jabatan bupati dipegang oleh Reksapraja. Yudanegara III ketika masa mudanya terlibat dalam Perang Mangkubumi, tetapi kemudian ia terpisah dari induk pasukannya sehingga ia memilih pulang ke Banyumas. Namun, sekembalinya di Banyumas, ia merasa kecewa karena ayahnya telah wafat sehingga ia berasketisisme hampir tiga tahun. Setelah Reksapraja diberhentikan oleh Susuhunan Pakubuwana III, putra Yudanegara II itu diangkat menjadi Bupati Banyumas dengan gelar nunggak semi ayahnya, Tumenggung Yudanegara III. Ketika Perang Mangkubumi berakhir, ia diangkat menjadiPepatih DalemKasultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwana I (Ricklefs 2002: 111).

Asketisisme duniawi merupakan sintesis dari asketisisme yang dijalankan oleh Raden Baribin, Janah II, dan Yudanegara III sebagai tesis yang dihadapkan dengan harapan berupa kepentingan hidup di dunia sebagai antitesis. Kiranya, asketisisme duniawi seiring dengan asketisisme intelektual. Askestisisme intelektual merupakan rasionalitas baru yang menaikkan kesadaran manusia untuk menciptakan jarak dan bersikap kritis terhadap kondisi sehingga dapat membebaskan diri dari segala keterikatan (Kartodirdjo 1985: 146). Di situ, asketisisme intelektual merupakan nilai yang memiliki keterkaitan antara masalampau atau tradisional dengan masa kini atau modern (Kartodirdjo 1994: 108). Asketisisme duniawi hanyalah tahap antara menuju kesempurnaan hidup sejati yang menghayati prinsip-prinsip ketelitian, ketabahan, ketekunan, kritis, ketuntasan, dan disiplin mental (Kartodirdjo 1994: 104). Hal seperti itu tampakpula pada asketisisme ksatria. Asketisisme ksatria mendeskripsikan fenomena asketisisme sebagai tesis dengan antitesis yang berbeda. Kedhuhu berasketisisme, tetapi melakukan kekerasan berupa pembunuhan terhadap paman angkatnya, sedangkan Banyak Sasra berasketisisme dengan diakhiri umur yang pendek karena pada umumnyaorang yang bertapa itu berumur panjang. Orang yang sudah menempuh asketisisme mestinya hidupnya harus diiringi dengan tindakan-tindakan yang penuh bijaksana, seperti yang tampak pada perilaku para pandita sebagai pengejawantahan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup di kelak kemudian hari. Teks babad memang menggambarkan bahwa Kedhuhu melakukan pertempuran yang ujungnya dilakukan pembunuhan terhadap orang yang terbuang, yaitu Bagus Buwang. Pertempuran itu memang memaksa Kedhuhu harus melakukan tindakan kekerasan atas tindakan serupa dari Bagus Buwang. Bagus Buwang merasa dirinya terbuang sehubungan dengan diangkatnya Kedhuhu sebagai adipati Wirasaba. Kedhuhu tampaknya menjadi penggeser atau usur pator Bagus Buwang. Adik sang adipati Wirasaba itu merasa optimis bahwa dirinya kelakakan menggantikan kakaknya yang tidak mempunyai anak laki-laki.Jadi, kekerasan itu bukanlah rancangan Kedhuhu, tetapi Bagus Buwanglah yang melakukan percobaan pembunuhan yang sebelumnya telah dilontarkan fitnah tentang Kedhuhu kepada sang adipati. Di sini, Kedhuhu justru menjadi pihak yang dikorbankan oleh Bagus Buwang dengan fitnahnya yang menyatakan bahwa Kedhuhu telah merampas kekuasaan sang adipati. Padahal, Kedhuhu diangkat menjadi adipati karena anggota keluarga raja-raja Majapahit. Kedhuhu dikenali oleh raja sebagai kemenakannya karena memakai keris yang kembar yang dibawa Baribin ke Pajajaran dengan keris raja. Keris itu merupakan lambang identitas asal-usul dan pewarisan tahta (Mochtar 1982: 37), khususnya tahta Wirasaba sebagai bawahan Majapahit. Pertempuran di Kali Palet itu tidak lebih daripada suatu upaya pembelaan diri atas ancaman Bagus Buwang. Kalau tidak ada perlawanan, Kedhuhu sendiri yang akan mengalami kehancuran.

Banyak Sasra yang hanya berusia muda ketika meninggal kelihatannya tidaksejalan dengan asketisismenya. Kematian Banyak Sasra mungkin merupakan skenario yang bisa menjelaskan bahwa kedudukan Bagus Mangun sebagai anakyatim atau yatim piatu itu untuk mempertegas peran-peran Banyak Sasra sebagai seorang ayah itu dilimpahkan kepada orang lain. Peran-peran tersebut adalah Pandita Putra sebagai kakek, Kiai Mranggi dan istri sebagai orang tua angkat atau paman, dan Kiai Tolih sebagai orang tua angkat. Namun, Banyak Sasra adalah landasan bagi Bagus Mangun menjadi seorang anak yang beriman dalam kehidupannya kelak. Tugas hidup Banyak Sasra sebagai orang tua Bagus Mangun memang tidak tuntas sehingga orang-orang yang terdekatnya yang mengambil alih. Asketisisme di satu sisi dipertentangkan dengan kekerasan, yaitu pembunuhan, atau usia pendek menghasilkan sintesis berupa nilai asketisismeksatria. Artinya, asketisisme mereka berdua itu bukan asketisisme para panditauntuk mencapai kesempurnaan hidup sejati atau moksa, tetapi mencapai kesempurnaan hidup di dunia untuk menuju kesempurnaan hidup yang sejati(Wiryamartana 1993: 122). Jadi, hidup dunia tidak ditinggalkan begitu saja karenapara ksatria memiliki kewajiban untukmemayu hayuning bawana dan menikmati kehidupan dunia. Asketisisme Kedhuhu merupakan persiapan perang (bdk.Poerbatjaraka 1964: 16) Kedhuhu dan memerangi fitnah yang dilontarkan Bagus Buwang. Bersatunya Kedhuhu dengan Åšakti, istrinya yang berasal dari Majapahit, bermuara dengan kejayaan Kedhuhu dalam perang untuk menikmati kekuasaan di Wirasaba seperti Arjuna di dalam Kakawin Arjunawiwaha (bdk. Wiryamartana 1990: 468 & 2007: 1-2).

Warga Utama I adalah adipati Wirasaba yang memiliki sifat-sifat keutamaan yang tidak dipunyai anggota keluarga yang lain. Ia seorang pejabat yang patuh kepada atasan, tetapi mencintai orang-orang yang berada di bawahnya. Pendek kata, Warga Utama I adalah orang yang lurus. Ketika Demak berdiri menggantikan Majapahit, ia belajar Islam dengan sungguh-sungguh bersama Ki Gede Buwara. Tatkala Demak runtuh dan pusat kekuasaan bergeser ke Pajang, Warga Utama I juga setia kepada Sultan Pajang dengan pengiriman upeti, termasuk putri Wirasaba. Kelurusan sikap Warga Utama I diperlihatkan ketika ia mengambil salah seorang panakawannya menjadi menantu. Pengambilan menantu itu memang digambarkan dengan pulung yang diperoleh Bagus Mangun sebagai legitimasi. Motivasi pengambilan sebagai menantu mungkin dilandaskan atas kemampuan yang tampak dan kesetiaan bawahan kepada atasan. Pulung merupakan sesuatu yang diada-adakan oleh teks-teks babad.

Sikap baik seseorang tidak selalu dinilai positif oleh semua orang. Warga Utama I karena kebaikannya mengambil anak Toyareka sebagai menantu, tetapi rupanya perkawinan itu tidak berjalan dengan baik sehingga diceraikan. Anak Toyareka kiranya tidak bisa menerima kenyataan atas keputusan mertuanya. Ketika mantan mertua itu mengirimkan mantan istrinya kepada Sultan Pajang menjadikan anak Toyareka marah dan menciptakan fitnah yang keji sehingga Warga Utama I menjadi korban hukuman mati. Di sini, adipati Wirasaba melakukan tindakan yang kurang waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tindakan untuk menyerahkan putrinya kepada Sultan Pajang merupakan awal timbulnya fitnah yang dirancang pihak Toyareka. Anak Toyareka kelihatannya masih mencintai putri Wirasaba itu dan hal itu bisa menjadi konflik yang mungkin muncul. Keutamaan yang dipertentangkan dengan ketidakwaspadaan menghasilkan sintesis yang sebenarnya sudah disebutkan dalam teks-teks babad, yaitu tempat peristiwa pembunuhan Warga Utama I di desa Bener. Orang yang mempunyai keutamaan, tetapi tidak waspada dan menjadi korban fitnah, serta terhukum mati karena tidak bersalah, maka sesungguhnya Warga Utama I adalah orang yang benar. Ia difitnah buruk oleh Toyareka, tetapi yang terpancar selalu kebenaran. Jadi, orang yang benar tetaplah benar.

Selanjutnya, teks Babad Banyumas menampilkan jiwa keperintisan dari Bagus Mangun sebagai pendiri Banyumas dan Mertadiredja II sebagai pembuka kota Purwokerto. Keduanya juga berposisi sebagai orang-orang yang menggeser kedudukan orang lain atau usurpator. Mereka telah menutup peluang yang dimiliki oleh orang yang memang paling berhak. Bagus Mangun telah menggeser Wargawijaya untuk menduduki jabatan adipati Wirasaba. Mertadiredja II menutuppeluang kakaknya Kertadiredja untuk menggantikan ayah mereka sebagai wedanabupati Kanoman. Kertadiredja hanya menjadi ngabehi Sokaraja. Bagus Mangun menjadi adipati Wirasaba karena adanya kasus pembunuhan mertuanya pada hari Sabtu Pahing yang mengakibatkan saudara-saudaranya mengalami trauma sehingga tidak ada yang berani memenuhi panggilan raja untuk menghadap ke Pajang. Setelah menjadi adipati, Bagus Mangun tidak ingin menikmati sendiri kekuasaan yang diperolehnya secara kebetulan dan penuh keberuntungan itu sehingga ia membagi empat bumi Wirasaba. Wirasaba sendiri dikembalikan kepada orang yang paling berhak, yakni Wargawijaya. Bagus Mangun memilih untuk merintis sendiri dengan membuka kota Banyumas sebagai tempat atau pusat kekuasaan. Kota Banyumas adalah simbol sarung keris Gajah Endra yang baru karena keris itu Bagus Mangun sendiri seperti pusar Gatotkaca, sarung dari keris Kuntawijayandanu dalam pewayangan (Doyodipuro 2004: 28). Namun, Bagus Mangun juga mendapat pesan berupa pantangan dari ayah angkatnya untuk tidak membawa keris tersebut ke medan perang. Pantangan itu merupakan simbol pengendalian diri (Moebirman 1980: 35).

Mertadiredja II terpilih menggantikan ayahnya karena dipandang oleh Belanda memiliki kecakapan yang lebih daripada kakaknya sebagai wedana Bupati Kanoman. Kertadiredja justru menggantikan kedudukan adiknya sebagai ngabehi Sokaraja. Dalam pembentukan Karesidenan Banyumas, Mertadiredja II diangkat sebagai Bupati Ajibarang. Namun, alam Ajibarang kurang bersahabat sehingga Mertadiredja II memilih untuk pindah dan membangun kota yang baru yang kelak disebut Purwokerto sehingga nama Kabupaten Ajibarang digantikan dengan nama Kabupaten Purwokerto. Dengan demikian, Mertadiredja II menjadi pembuka dan bupati pertama Purwokerto seperti halnya Bagus Mangun dalam kasus pendirian Banyumas. Mertadiredja II memilih kemenakan dan sekaligus menantunya yang bernama Djajadiredja menjadi Bupati Purwokerto yang kedua. Djajadiredja adalahanak Kertadiredja. Ia menjabat selama tujuh tahun karena ia dibuang ke Padang akibat melakukan kesalahan. Pengangkatan Djajadiredja menjadi Bupati Purwokerto secara tersirat merupakan pengembalian terhadap pihak yang berhak. Kalau dahulu Kertadiredja tergeser, Djajadiredja ditempatkan pada posisi yang seharusnya diduduki Kertadiredja. Namun, hal itu tidak berlanjut karena pembuangan Djajadiredja ke Padang dan digantikan oleh anak Mertadiredja II yang memakai nama nunggak semi, yaitu Mertadiredja III. Keperintisan ditentangkan dengan penggeseran kedudukan itu dapat disatukan berupa nilai altruistik yang berlawanan dari egoistis. Bagus Mangun dan Mertadiredja II bukanlah orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Bagus Mangun mengembalikan Wirasaba kepada Wargawijaya, sedangkan Mertadiredja II memberikan kesempatan kepada anak Kertadiredja yang bernama Djajadiredja untuk menjadi Bupati Purwokerto. Jadi, altruistik merupakan sintesis nilai keperintisan dengan kedudukan sebagai usurpator.

Babad Banyumas kemudian menunjukkan nilai kepercayaan yang terpancar dari Yudanegara I dan Yudanegara II. Artinya, keduanya adalah orang andalan raja. Orang yang diandalkan oleh orang lain mestinya mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak dijadikan andalan, entah itu kecerdasan, kepandaian, kebaikan, ketulusan, kepatuhan, dan lain-lain, atau bisa tampil meyakinkan sehingga mereka mendapat kepercayaan. Semuanya tampak positif di mata orang yang mengandalkannya. Memang tidak gampang orang bisamasuk ke dalam kalangan seperti yang diterima Yudanegara I dan Yudanegara II untuk menjadi wedana bupati di mancanegara kilen. Namun, menjadi orang kepercayaan raja, tidak berarti Yudanegara I dan Yudanegara II itu takluk sepenuhnya kepada orang yang memberikan kepercayaan. Yudanegara I dan Yudanegara II memperlihatkan sikap kekritisan kepada raja. Raja itu tidak lebih dari manusia biasa yang juga bisa mengambil putusan yang keliru. Seperti pada kasus Geger Pacina, Susuhunan Pakubuwana II mula-mula mendukung orang-orang Cina, tetapi kemudian berbalik kepada VOC (Adrisijanti 2000: 88) sehingga Yudanegara II juga berbalik ke Banyumas setelah lolos dari kematian (Remmelink2002: 207) sebagai tanda ketidaksenangannya pada sikap raja yang tidak konsisten. Hal itu tidak berbeda dengan pendahulunya, yaitu Yudanegara I yang menelantarkan salah seorang istri padmi pemberian raja. Seorang bupati mendapatkan istri dari keraton merupakan simbol penghormatan, tetapi anehnya istri dari keraton itu ditelantarkan. Perilaku seperti ini merupakan simbol yang juga memperlihatkan ketidaktaklukkannya kepada raja meskipun ia telah mendapatkan anugrah raja. Di satu sisi, mereka menjadi kepercayaan raja karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, sedangkan di sisi lain mempunyai kekritisan kepada raja dengan memberikan penilaian apa adanya. Tampaknya kedua hal itu bertentangan, yaitu berusaha keras untuk menjadi orang yang diandalkan dan sekaligus kritis.

Dari dua hal yang dipertentangkan ini disintesiskan dalam bentuk nilai keberanian yang didasari cablaka. Orang yang memiliki keberanian seperti yang ditunjukkan Yudanegara I dan Yudanegara II itu karena disokong oleh dua hal, yaitu (1) posisisebagai orang yang diandalkan, tetapi tidak silau dengan sepenuhnya takluk, (2) kecerdasan sebagai kemampuan dalam memberikan penilaian yang muncul dari sikap kritis. Dengan demikian, Yudanegara I dan Yudanegara II di pihak rajaadalah (1) orang yang bisa diandalkan, tetapi juga (2) menjadi duri dalam daging sehingga jalan yang ditempuh raja adalah dengan pemberian hukuman mati.Hukuman itu hanya bisa ditimpakan kepada Yudanegara I karena Yudanegara II sudah terlebih dahulu meninggal sebelum hukuman itu dilaksanakan. Hukuman itu merupakan keputusan sintesis dari pihak raja.

Yudanegara IV dan Yudanegara V tidak berbeda dengan dua pendahulunya di atas yang juga menjadi orang andalan raja. Namun, keduanya menunjukkan perilaku yang berupaya untuk memisahkan diri dari Kasunanan Surakarta. Yudanegara IV memelihara pasukan Bugis untuk memperkuat diri sebagai persiapan melakukan pemberontakan, sedangkan gerakan separatisme yang ditempuh Yudanegara V dengan membuat simbol-simbol keraton di Banyumas. Salah satunya adalah membuat alun-alun yang luas dengan ditanamnya beringin kurung kembar untuk menyamai alun-alun keraton. Alasan yang sering muncul dalam teks-teks babad adalah penanaman beringin kurung di alun-alun Banyumas sebagai sebab pemecatan. Memang ada versi lain yang menyatakan bahwa Yudanegara V meminta untuk dijadikan sultan kepada Thomas Stamford Raffles yang berkunjung ke Banyumas. Versi ini kelihatan lemah karena Raffles sendiri belum pernah ke Banyumas. Di sini, ada dua hal yang bertentangan, yaitu (1) menjadi orang andalan bisa menimbulkan sikap merasa lebih daripada orang-orang yang selevel, (2) keinginan untuk memisahkan diri atau gerakan separatis. Sintesis yang dihasilkan adalah nilai kemandirian. Namun, bagi raja, sikap mendua Yudanegara IV dan Yudanegara V juga dirasakan sebagai duri dalam daging yang disintesiskan dalam bentuk keputusan pemecatan. Pemecatan Yudanegara IV hanya berakibat Banyumas dipegang oleh orang luar, sedangkan Yudanegara V tidak hanya itu, melainkan lebih parah dengan disintegrasi Banyumas yang dibagi menjadi dua, yakni (1) Kasepuhan dan (2) Kanoman. Anak Yudanegara V tidak ada yang menggantikan kedudukannya sehingga muncul semacam pemeo bahwa keturunan Yudanegara V tidak layak menjadi pejabat. Nilai kemandirian yang dilandasi oleh cablaka itu memang harus ditebus dengan harga sangat mahal dalam bentuk pemecahbelahan Banyumas agar mudah dikuasai. Jadi, apa yang dilakukan raja Surakarta itu sama saja dengan devide et impera seperti yang sering dilakukan Belanda dalam menghadapi orang-orang pribumi. Jiwa kemandirian dibumihanguskan oleh raja Surakarta agar tidak selalu muncul perlawanan di kemudian hari.

Sudjiman di satu sisi menyatakan kesetiaannya kepada pemerintahan baruyang disebut Republik Indonesia meskipun ia pernah menjadi pamong praja padamasa pemerintahan kolonial Belanda dan pemerintahan pendudukan Jepang.





Referensi
  1. Naskah asli "Babad Pasir" Khastara Perpusnas RI.Terbitan tahun 1837 M. Diakses 24 Juni 2020
  2. Priyadi, Sugeng. "Sintesis Nilai-Nilai Paradoksal pada Teks Babad Pasir dan Babad Banyumas". Jurnal 'Sosiohumaniora, Vol.10, No.3, November 2008 :89-103
  3. Priyadi, Sugeng. "Babad Pasir: Banyumas dan Sunda". jurnal.ugm.ac.id

Baca Juga

Sponsor