Cari

Bandung Ibukota Priangan, Sejak Kapan Bandung jadi Ibukota Jawa Barat?

Tugu Bandung Lautan Api
Ilustrasi: pikiran-rakyat.com

 

[Historiana] - Sudah sangat lekat dalam hati dan pikiran kita pada  lagu perjuangan “Halo-halo Bandung” yang sangat terkenal itu. Dalam liriknya dilantunkan "Bandung ibukota Priangan". Benar Bandung sebagai ibukota priangan dalam lagu itu lebih populer daripada Bandung sebagai ibukota Jawa Barat. 


Bandung ibukota Priangan membangkitkan kenangan pada masa-masa perjuangan bangsa Indonesia tahun 1945 – 1946, dengan peristiwa Bandung lautan api sebagai puncaknya (25 Maret 1946). Waktu itu dapat dikatakan merupakan masa-masa suram dalam perjalanan sejarah kota Bandung.


Dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Jawa, seperti Surabaya dan Semarang, yang sudah ada pada zaman Majapahit, demikian juga Jakarta, yang sejarahnya dimulai pada akhir abad XV, Bandung, sebagai kota yang kita kenal sekarang, adalah pendatang baru. Sejarah Bandung berawal dari keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels untuk memindahkan kedudukan pemerintahan kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot ke lokasi jalur jalan Pos Besar (Grote Postweg). Pertimbangannya adalah, demi kelancaran pekerjaan-pekerjaan sehubungan dengan jalan yang waktu itu masih sedang dikerjakan. Di samping itu juga untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel), karena lokasi yang baru pada jalur jalan besar akan memudahkan berbagai kegiatan budidaya tanaman-tanaman dalam rangka kebijakan tanam paksa tersebut.



Kepindahan dilaksanakan mulai tanggal 25 Mei 1810 ke lokasi yang ditetapkan, yaitu tempat persilangan jalan Pos Besar dengan sungai Cikapundung. Namun baru sekitar tahun 1816, Bandung yang baru, benar-benar dapat dikatakan tempat kedudukan pemerintahan Kabupaten, dengan bupatinya waktu itu Indrareja Adipati Wiranatakusumah.


Sejak abad ke-17 pusat kegiatan sosial budaya Sunda berada di Sumedang dan juga Cianjur (Hardjasaputra, 2002:126-127; Lubis,1990:32-33). Pada tahun 1856 kedudukan Bandung meningkat lagi dengan keluarnya keputusan Gubernur Jenderal Pahud, yang menetapkannya sebagai tempat kedudukan Residen “Preanger Regentschaffen” menggantikan Cianjur. Namun kepindahan residen Van der Moore beserta stafnya dari Cianjur, baru dapat dilaksanakan pada tahun 1864. Perkembangan yang pesat terjadi setelah jalur kereta api Jakarta-Bogor-Cianjur pad tahun 1884. Peresmiannya berlangsung meriah pada tanggal 17 Mei 1884. Kemudian pada tahun 1894 selesai pula jalur kereta api Bandung-Cilacap, sehingga hubungan Bandung dengan Semarang dan Surabaya melalui jalur tersebut sangat dipermudah. Lalu-lintas orang dan barang makin lancar, terutama angkutan barang ke kota-kota pelabuhan menjadi jauh lebih cepat dan murah. Ekspor barang hasil-hasil perkebunan ke pasar-pasar Eropah berjalan lancar, dan perkebunan-perkebunan sekitar Bandung pun, terutama perkebunan teh memperoleh keuntungan besar berkat transportasi yang semakin cepat dan murah. Memang dapat dikatakan bahwa teh dan perkebunan tehlah yang menjadi pendorong utama bagi perkembangan dan kemakmuran kota Bandung. Hindia Belanda waktu itu, bersama India dan Srilangka, adalah negara penghasil teh terpenting. Dari 330 perkebunan teh yang tersebar di Hindia Belanda waktu itu, kurang lebih 250 ada di Jawa Barat, sebagian besar di Priangan, dengan pusatnya Bandung.

 

Pada awal abad XX mulai terjadi perubahan mendasar pada sistem pemerintahan Hindia Belanda. Dihapusnya kebijakan tanam paksa dan berlakunya undang-undang agraria (agrarische wet) tahun 1870, menjadi pendorong yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi dan demografi yang pesat.

 

Maka pada tahun 1905, ditetapkanlah undang-undang tentang desentralisasi dan ordonansi dewan lokal (Decentralisatie besluit en de Lokale Raden Ordonantie). Tahun itu juga Jakarta, Jatinegara, dan Bogor mendapat status kotapraja (gemeente). Setahun kemudian tepatnya tanggal 1 April 1906, giliran Bandung dan beberapa kota lainnya ditetapkan sebagai kotapraja. 


Dewan kota yang pertama di Bandung beranggotakan 11 orang, terdiri dari 8 orang Eropah, 2 orang Pribumi, dan satu orang Cina yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat di jakarta. Untuk sementara Ketuanya dijabat oleh Asisten Residen, waktu itu E.A.Maurenbrecher.


Selanjutnya baru tahun 1917, Asisten Residen B Coops, yang sejak tahun 1913 menjabat Ketua Dewan Kota, diangkat secara resmi menjadi Walikota Bandung. Dalam tahun itu juga Dewan Kota ditambah anggotanya dengan dua orang Eropah, tiga orang pribumi dan satu orang Cina.

 

Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.

Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950. Ditetapkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Lembar Negara RI tanggal 4 Juli 1950). Seperti dikutip dalam UU no 11 tahu 1950 pasal 1 bahwa "Daerah jang meliputi Karesidenan Banten, Djakarta, Bogor, Priangan, dan Tjirebon ditetapkan mendjadi Propinsi Djawa Barat.". Sementara penetapan Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat tertera pada Pasal 2. ayat (1) Pemerintahan Daerah Propinsi Djawa Barat berkedudukan di kota Bandung. Ayat (2) menyatakan bahwa Dalam waktu luar biasa kedudukan itu untuk sementara waktu oleh Presiden dapat dipindahkan ke lain tempat.


Demikianlah secara singkat sejarah kota Bandung, sejak kepindahan kedudukan pemerintahan Kabupaten dari Dayeuhkolot, sampai menjadi Kotapraja, ibukota Priangan. Selanjutnya Bandung berkembang pesat, sehingga mendapat julukan “Parys van Java” yang memang pantas disandangnya. Kota yang permai dengan iklim yang sejuk di tengah-tengah alam Priangan yang indah, serta dilengkapi infrastruktur yang sungguh memadai untuk pemukiman yang nyaman. Bila kemudian dijuluki Kota Kembang, itupun sangat pantas. Bandung dengan taman-tamannya yang tertata rapih dan selalu bersih, memang berwajah laksana bunga yang cantik dan harum semerbak. Dalam kondisi sekarang rasanya lebih cocok sebutan “Bandung heurin ku tangtung” Bandung yang terasa sempit berdesak-desakan.


Referensi

  1. Joehanda, Atang. 2009. "Bandung Ibu Kota Priangan" atangjoehanda.wordpress.com Diakses 21 Nopember 2020.
  2. Hardjasaputra, A. Sobana. 2004. "Bupati di Priangan: kedudukan dan peranannya pada abad ke-17 - abad ke-19". Bupati di Priangan dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda, hal. 9-65. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  3. Rosidi, Ajip dkk. 2000. "Ensiklopedi Sunda". Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. "Undang-Undang No. 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Lembar Negara RI tanggal 4 Juli 1950)". dpr.goi.d Diakses 21 Nopember 2020.
Baca Juga

Sponsor