[Historiana] - Setelah Perang Dunia II, Belanda datang kembali ke Indonesia untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang yang kalah dalam peperangan itu. Pihak Belanda tidak mau memperhatikan perubahan-perubahan yang telah terjadi di Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengubah perjalanan hidup bangsa. Namun demikian, di saat itu nama Kepulauan masih tetap disebut "Sunda Kecil". Terbentuknya Provinsi Sunda Kecil pada tanggal 19 Agustus 1945 merupakan salah satu hasil keputusan Panitia Kecil. Bersamaan dengan terbentuknya tujuh provinsi lainnya sebagai bagian wilayah negara Republik Indonesia (RI) Proklamasi. Ketujuh provinsi lainnya yang dibentuk pada waktu itu ialah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Selebes, dan Maluku.(Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 1995: 463-464).
Presiden RI, Soekarno mengangkat dan menetapkan Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernur Sunda Kecil pada tanggal 22 Agustus1945, setelah PPKI dibubarkan pada sidangnya yang terakhir. Gubernur Pudja diberi kuasa oleh Ir. Soekarno, Presiden RI, untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya.
Sebagai Gubernur Provinsi Sunda Kecil, diamulai membentuk pemerintahan yang dinamakan Pemerintahan Nasional RI, disingkat Pemerintahan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Sunda Kecil ialah Singaraja. I Gusti Ngurah Rai diangkat sebagai komandan TKR berpangkat Letnan Kolonel untuk wilayah komando sentral Sunda Kecil (Pendit,1979:74). Dia memegang pimpinan kunci perjuangan perang sejak dilantik sampai 20 November 1946.
Tentara Sekutu mendarat di pelabuhan Benoa pada tanggal 18 Pebruari 1946. Mereka datang untuk melaksanakan tugas-tugas,memindahkan tawanan perang dan kaum interniran Sekutu, melucuti militer Jepang, dan memulihkan keamanan. Kehadiran mereka disambut baik oleh aparat pemerintahan RI Sunda Kecil. Mereka diberi penjelasan bahwa di Provinsi Sunda Kecil telah berjalan pemerintahan RI yang dipimpin oleh Gubernur Mr. Pudja (Pendit,1979:137-138).
Suasana berubah ketika awak kapal “Gajah Merah” yang terdiri dari personal pemerintahan sipil Hindia Belanda (NICA) di bawah pimpinan Letkol. Inf. F.H. Meulen datang dan mendarat pada tanggal 2 Maret 1946. Mereka menyatakan diri sebagai pengganti kedudukan Tentara Sekutu untuk melaksanakan tugas-tugas tentara Sekutu sebelumnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya,yang terjadi sebaliknya yaitu mereka berturut-turut menduduki kota-kota: Denpasar pada tanggal 2 Maret, Gianyar 3 Maret, Singaraja 5 Maret, Tabanan 7 Maret dan Negara pada tanggal 19 Maret 1946. Selain menduduki kota-kota, mereka juga menangkap para pemimpin RI: Gubernur, Ketua KND dan kepala-kepala jawatan. Para pemimpin RI yang ditangkap itu dibawa dan ditahan di Penjara Pekambingan, Denpasar (Pendit, 1979:144).
Suasana semakin tegang karena sejak kehadiran NICA, situasi konflik yang berkepanjangan terjadi antara golongan pendukung RI Proklamasi dengan golongan pendukung kembalinya penjajahan Belanda (NICA). Kekuasaan pemerintahan sipil RI Provinsi Sunda Kecil diambil alih oleh NICA yang sudah terlebih dahulu mendekati raja-raja Bali yang mau diajak bekerja-sama. Beberapa di antaranya membentuk milisi laskar-laskar kerajaan yang diberi nama Pemuda Pembela Negara (PPN) di kerajaan Gianyar, Badan Keamanan Negara (BKN) di kerajaan Klungkung dan Anti Indonesia Merdeka (AIM) dikerajaan Karangasem. Di Jembrana didirikan Badan Pemberantas Pengacau (BPP) ternyata aktivitasnya memang dipersiapkan sebagai milisi antirepublik.
Pihak Belanda (NICA) tidak mengakui pemerintahan Provinsi Sunda Kecil dan menggantikannya dengan pemerintahan Keresidenan Bali Lombok seperti tata pemerintahan pada sebelum perang (PD II). Gubernur Mr. Pudja ditahan, digantikan oleh Residen Dr. M.Boon (1946-1949) yang memproleh dukungan Dewan Raja-raja di Bali. Akan tetapi, di kalangan pemuda pejuang yang terorganisir dalam badan-badan perjuangan sangat menentang kembalinya Belanda (NICA). Mereka tetap mendukung dan mempertahankan RI Proklamasi dengan cara revolusioner. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata dan berjanji bertempur terus sampai cita-citanya tercapai (Pendit, 1979:199).
Lihat juga versi Video-nya...
Badan-badan perjuangan yang telah ada, yaitu TKR Sunda Kecil, PRI, dan Pesindo menggalang kekuatan dan berfusi dalam satu badan perjuangan pada tanggal 14 April 1946. Gabungan ini diberi nama Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (MBU DPRI Sunda Kecil) di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Pasukan di bawah Ngurah Rai bernama Resimen "Ciung Wanara".
Menurut Ktut Sudiri Panyarikan dalam I Gusti Ngurah Rai (1982), laki-laki darah biru dengan tinggi 154 cm dan berat 45 kg ini, “pada tahun 1936, mulai memasuki Officier's Opleiding (pendidikan calon perwira) Korps Prajoda, di Gianyar, Bali. Pendidikan calon perwira ini dimulai pada tanggal 1 Desember 1936.”
“(Pemerintah Kolonial) Belanda telah sengaja memilih perwira Prajoda dari kalangan keluarga berdarah biru,” tulis Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata (2006).
Beberapa desa atau kawasan tertentu menjadi ajang medan pertempuran antara badan perjuangan Republik dengan tentara NICA. Operasi Lintas Laut di Selat Bali pada tanggal 3 April 1946, penyerangan Pos NICA di Penebel 15 April 1946, Pertempuran Kalanganyar 26 April 1946. Pertempuran Munduk Malang 11 Mei 1946, Pertempuran Sawah Tabanan 11 Mei 1946, Long March Gunung Agung Juni-Juli 1946, Pertempuran Tanah Aron 9 Juli 1946, dan lain-lainnya adalah bukti respons kekerasan perang untuk mempertahankan nilai-nilai revolusi (Rai,1985:61-93).
Kesatuan Belanda terkenal yang diperintahkan menduduki adalah Batalyon Infateri KNIL Gajah Merah. Di antara perwira dalam batalyon tersebut, menurut Ktut Sudiri Panyarikan, ada JBT Konig. Waktu itu dia sudah berpangkat kapten. Ia diangkat sebagai salah satu komandan penting batalyon karena pengetahuannya tentang Bali.
Sudah pasti Rai ada di seberang Konig. Republik Indonesia yang baru merdeka dan belum mapan memercayakan Rai sebagai salah satu Letnan Kolonel, yang memimpin Resimen Ciung Wanara. Rai tentu tidak tunduk apalagi takut pada Konig. Tak ada yang perlu ditakuti dari perwira yang memilih kabur dalam melawan fasis Jepang. Toh, dulu Rai juga yang membantu Konig dan kawannya kabur ke Jawa, agar tak dihabisi Jepang.
Di mata orang Indonesia, sosok Konig dianggap congkak dan suka meremehkan orang Bali. Menurut I Gusti Ngurah Pindha dalam Gempilan Perjuangan Phisik Pasukan Induk Ngurah Rai (2012), “Letnan Rai dikenalnya sebagai orang yang sangat baik hati, ramah, jujur, dan bekas bawahannya pula.” Itu kenapa Konig menganggap enteng jika Rai mau berpihak ke Belanda. Konig sempat bersurat kepada Rai, yang agaknya ingin mengajak Rai ikut Belanda, seperti waktu di Prajoda.
“Rai Yang Budiman. Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara. Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka,” tulis Kapten Infanteri JBT Konig dalam suratnya di Denpasar, 13 Mei 1946, seperti dikutip Nyoman Pendit.
Dugaan Konig tentang Rai salah besar. Dikira bakal mau ikut apa kata perwira Belanda bekas atasannya, ternyata Rai memilih ikut Republik. Setelah terima surat Konig, Rai pun menulis surat balasan. Bukan ditujukan untuk bekas atasannya, tapi kepada Letnan Kolonel Termeulen pada 18 Mei 1946.
Tergambar bagaimana Rai hanya mau tunduk pada kebijakan Republik Indonesia. Kala itu, Sjahrir adalah Perdana Menteri yang juga berdiplomasi dalam perundingan.
Ngurah Rai berusaha keras mengusahakan bantuan pasukan dari Jawa. Untuk itu, dirinya memutuskan mengarahkan perhatian pasukan Belanda ke timur Bali.
“Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan long march itu pasukan gerilya (Indonesia) sering dihadang oleh Belanda sehingga sering terjadi pertempuran,” tulis Nyoman Pendit.
Sebelum Ngurah Rai meninggal, Pendit mencatat pihak gerilyawan menang dalam pertempuran Tanah Arun, dekat Gunung Agung, pada 9 Juli 1946. Ketika berada di desa Marga, Tabanan, Rai memerintahkan pasukannya merebut senjata polisi NICA di Tabanan.
Penyerangan terjadi pada 18 November 1946. Serangan itu membuat jengkel tentara Belanda. Ditambah lagi, Wagimin, yang menjadi kepala polisi NICA di Tabanan, ikut bergabung dengan pasukan Rai. Militer Belanda pun mengurung desa Marga pada 20 November 1946, tepat hari ini 74 tahun lalu.
“Sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak,” tulis Pendit.
Sengitnya perlawanan membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur dari Makassar. Pasukan Rai tidak mundur. Dia memilih bertempur sampai titik darah penghabisan. Dalam bahasa Bali, pertempuran macam itu disebut "puputan".
Menurut catatan Pendit, 96 orang dari pihak Indonesia, termasuk Rai, terbunuh. Sementara di pihak Belanda sekitar 400 orang tewas. Peristiwa itu lalu dikenal sebagai Puputan Margarana.
Referensi
- Agung, I. A. A. G. 1993. "Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Nordholt, H.S. 2006. "The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940". Denpasar: Pustaka Larasan.
- Pendit, N.S. 2008. "Bali Berjuang". Denpasar: Pustaka Larasan.
- Philpott, S. 2003. "Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme", terjemahan Nuruddin Mhd. Ali, Uzair Fauzan. Yogyakarta: LKIS.
- Pindha, I G.N. 2013. "Perang Bali Sebuah Kisah Nyata". Jakarta: Dolphin.
- Robinson, G. 2006. "Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik", terjemahan Arif B. Prasetyo. Yogyakarta: LKiS.
- Wirawan, A. A. B. 2012. "Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950". Denpasar: Udayana University Press.