Oleh Alam Wangsa Ungkara - Pada 15 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto kembali mencuri perhatian publik saat berpidato dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Bogor. Dalam pidato tersebut, ia melontarkan kata “ndasmu” sebanyak tiga kali sebagai respons terhadap kritik atas program Makan Bergizi Gratis (MBG), ukuran kabinetnya yang dianggap gemuk, serta tuduhan bahwa ia dikendalikan oleh Presiden Joko Widodo. Ucapan ini, yang dalam bahasa Jawa berarti “kepalamu” dan memiliki konotasi kasar, langsung memicu gelombang reaksi di berbagai platform media sosial. Tak lama setelah video pidato itu tersebar, “ndasmu” tak hanya menjadi bahan perbincangan, tetapi juga diolah menjadi musik, reaction video, meme lucu, dan berbagai komentar dari netizen hingga tokoh publik. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih dalam, baik dari sudut pandang komunikasi massa maupun dampaknya terhadap citra politik seorang pemimpin.
Dari Pidato ke Fenomena Viral
Pidato Prabowo awalnya ditujukan untuk kader internal Partai Gerindra, namun keberadaan teknologi dan media sosial membuatnya menyebar luas ke publik. “Tidak ada presiden yang punya tongkat Nabi Musa. Negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu,” ujarnya, disambut tawa hadirin. Ucapan ini, yang disertai gestur jenaka dan nada santai, mungkin dimaksudkan sebagai candaan internal. Namun, ketika klip video tersebut bocor ke ranah publik, responsnya jauh melampaui dugaan.
Di TikTok, frasa “ndasmu” dengan cepat di-remix menjadi lagu oleh kreator konten, lengkap dengan beat catchy yang mengundang pengguna lain untuk membuat video lipsync atau dance challenge. Sementara itu, di X dan Instagram, meme-meme lucu bermunculan, seperti gambar Prabowo dengan caption “Ketika bosmu bilang lembur, tapi kamu jawab ‘ndasmu’,” atau potongan pidatonya yang diedit dengan efek suara dramatis. Tak ketinggalan, YouTuber dan influencer membuat reaction video, menganalisis konteks ucapan tersebut sambil menyelipkan humor. Seorang anak kecil bahkan viral di media sosial karena mengkritiknya dengan polos, “Tolong Pak Presiden, kalau bicara yang baik. Kan kami anak-anak ikut mendengar dan meniru.”
Reaksi publik pun beragam. Aktor Fedi Nuril mencuit di X, “Gue malu Presiden RI yang sudah berumur 73 tahun berpidato menggunakan gestur ala bocah ‘nye…nye…nye’ dan ngomong ‘ndasmu’,” yang mendapat ribuan likes dan retweet. Di sisi lain, ada pula pendukung Prabowo yang melihatnya sebagai bentuk kejujuran dan keberanian, mencerminkan gaya komunikasi blak-blakan yang menjadi ciri khasnya.
NDASMU dalam Ilmu Komunikasi: Fenomena “Framing” dan “Viral Spiral”
Dalam ilmu komunikasi, peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai kombinasi dari framing dan viral spiral. Framing merujuk pada bagaimana pesan disusun dan disampaikan untuk membentuk persepsi publik. Prabowo, dengan gaya komunikasinya yang tegas dan emosional, mencoba membingkai kritik sebagai sesuatu yang tidak signifikan dengan nada menghibur dan kasar sekaligus. Namun, ketika pesan ini keluar dari konteks internal dan masuk ke ruang publik, framing tersebut berubah. Publik tidak lagi melihatnya sebagai candaan biasa, melainkan sebagai sesuatu yang kontroversial, tidak pantas, atau bahkan lucu, tergantung pada sudut pandang masing-masing.
Sementara itu, “viral spiral” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebuah konten menyebar dengan cepat di media sosial, diperkuat oleh partisipasi aktif pengguna melalui kreativitas seperti meme, musik, atau video reaksi. Menurut Henry Jenkins, pakar komunikasi dari University of Southern California, fenomena ini menunjukkan kekuatan “spreadable media,” di mana konten yang memicu emosi—baik tawa, marah, atau kaget—cenderung menyebar lebih cepat. Dalam kasus “ndasmu,” emosi yang ditimbulkan bercampur aduk, mulai dari hiburan hingga kritik keras, sehingga mempercepat penyebarannya.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga, Henri Subiakto, menganalisis bahwa ucapan ini mencerminkan “fallacy of relevance,” yaitu menyerang kritik dengan cara yang tidak relevan dengan substansi argumen. “Prabowo dalam penampilan pidatonya belakangan ini tak hanya meremehkan kritik netizen dan masyarakat, tapi juga meremehkan pendapat para akademisi,” katanya, sebagaimana dikutip dari fajar.co.id. Ini menunjukkan bahwa gaya komunikasi impulsif Prabowo bisa menjadi bumerang, merusak kewibawaannya sebagai kepala negara.
Perspektif Pakar Politik Internasional
Fenomena “ndasmu” juga menarik perhatian pakar politik internasional, salah satunya Edward Aspinall, profesor dari Australian National University yang dikenal dengan kajiannya tentang politik Indonesia. Dalam bukunya Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), Aspinall pernah membahas bagaimana gaya komunikasi pemimpin di Indonesia sering kali mencerminkan feodalisme politik. Dalam konteks “ndasmu,” Aspinall mungkin akan melihatnya sebagai indikasi pola kepemimpinan yang anti-kritik, di mana pemimpin merasa berhak mengabaikan atau bahkan menghina kritik demi mempertahankan otoritas. Meskipun Aspinall belum secara spesifik mengomentari peristiwa ini pada Februari 2025, karyanya memberikan kerangka untuk memahami bagaimana ucapan Prabowo bisa dianggap memperkuat feodalisme politik modern.
Analis lain, seperti Lely Arrianie dari LSPR, memperingatkan bahwa jika kebiasaan ini berlanjut, elektabilitas Prabowo untuk periode kedua bisa terancam. “Kalau kritik publik terus dibalas dengan ungkapan yang tidak pantas, elektabilitas Prabowo akan terdegradasi pelan-pelan,” ujarnya, dikutip dari bbc.com. Ini menunjukkan bahwa di era digital, di mana setiap kata pemimpin bisa menjadi bahan bakar viralitas, kontrol diri dalam komunikasi menjadi semakin krusial.
Dampak dan Refleksi
Viralnya “ndasmu” bukan hanya soal hiburan atau kontroversi semata, tetapi juga cerminan dinamika komunikasi politik di era media sosial. Di satu sisi, kreativitas netizen mengubah ucapan kasar menjadi karya seni digital yang menghibur. Di sisi lain, ini memunculkan pertanyaan serius: sejauh mana seorang pemimpin boleh menggunakan bahasa informal atau kasar tanpa mengorbankan martabat jabatannya? Cendekiawan Yudi Latif, sebagaimana dilansir beritajatim.com, menyarankan agar Prabowo lebih matang dalam menyaring kata-katanya, mengingat dampaknya tidak hanya pada citra pribadi, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Bagi sebagian orang, “ndasmu” adalah ekspresi autentik dari Prabowo yang blak-blakan, sebuah daya tarik yang membuatnya berbeda dari pemimpin lain. Namun, bagi yang lain, ini adalah tanda kurangnya kesantunan yang seharusnya dimiliki seorang presiden. Yang pasti, peristiwa ini telah menjadi bagian dari narasi politik Indonesia di awal 2025, meninggalkan jejak dalam diskursus publik yang akan terus diperdebatkan.
Daftar Referensi
- BBC News Indonesia. “Prabowo sebut 'ndasmu' terhadap pengritiknya – 'Kritik terbuka seolah-olah musuh'.” 17 Februari 2025. www.bbc.com.
- Fajar.co.id. “Pernyataan ‘Ndasmu’ Presiden Prabowo Tuai Kecaman, Pakar Komunikasi Beber Dampaknya ke Publik.” 16 Februari 2025. fajar.co.id.
- BeritaJatim.com. “Soal ‘Ndasmu’, Presiden Prabowo Disarankan Tak Terlalu Impulsif.” 20 Februari 2025. beritajatim.com.
- Suara.com. “Viral Anak Kecil Kritik Ucapan 'Ndasmu' Prabowo: Tolong Presiden Contohkan yang Baik.” 23 Februari 2025. www.suara.com.
- Aspinall, Edward. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford University Press, 2005.
- Jenkins, Henry. Spreadable Media: Creating Value and Meaning in a Networked Culture. NYU Press, 2013.